SELAMAT DATANG Para Pencari Cinta Sejati,Tanpa Membenci,Tanpa Menyalahkan,Tanpa Kesombongan,Tanpa Membedakan,Semoga Engkau Mendapat Rahmat Alloh~Raden Bagus Langlang Jagat

road to sufi

road to sufi

Tuesday, January 24, 2017

Rabi’ah al-Adawiyah (رابعة العدوية القيسية)


Rabi’ah al-Adawiyah (رابعة العدوية القيسية)
713/717 Masehi  95/99 Hijriah-801 Masehi / 185 Hijriah
makamnya di Bukit Zaitun,Yerusalem

~~~~~~~~~~~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~~~~~~~~
Suatu hari Fudhail bin Iyadh memangku anak yang berumur empat tahun. Tanpa disengaja bibir Fudhail menyentuh pipi anak itu sebagaimana yang sering dilakukan seorang ayah kepada anaknya.
“Apakah Ayah cinta kepadaku?” si anak bertanya kepada Fudhail.
“Ya, “Jawab Fudhail.
sang anak bertanya lagi: “Apakah Ayah cinta kepada Allah?”  jawab Fudhail bin Iyadh:"Ya.."
“Ayah.” “Berapa banyakkah hati yang Ayah miliki?”
“Satu”, jawab Fudhail.
“Dapatkah Ayah mencintai dua hal dengan satu hati?” si anak meneruskan pertanyaannya.
Fudhail segera sadar bahwa yang berkata-kata itu bukanlah anaknya sendiri. Sesungguhnya kata-kata itu adalah sebuah petunjuk Ilahi. Karena takut dimurkai Allah, Fudhail memukul-mukulkan kepalanya sendiri dan memohon ampun kepada-Nya. Ia renggut kasih sayangnya kepada si anak kemudian dicurahkannya kepada Allah semata-mata.
~~~~~~~~~~~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~()~~~~~~~~

Rabiah Al-Adawiyah (bahasa arab: رابعة العدوية القيسية)
dikenal juga dengan nama Rabi'ah Basri adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan dan kecintaannya terhadap Allah. Rabi'ah merupakan klien (bahasa arab: Mawlat) dari klan Al-Atik suku Qays bin 'Adi, dimana ia terkenal dengan sebutan al-Qaysyah. Ia dikenal sebagai seorang sufi wanita yang zuhud, yaitu tidak tertarik kepada kehidupan duniawi, sehingga ia mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Rabiah diperkirakan lahir antara tahun 713 - 717 Masehi, atau 95 - 99 Hijriah, di kota Basrah, Irakdan meninggal sekitar tahun 801 Masehi / 185 Hijriah.
Nama lengkapnya adalah Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah.
Rabiah merupakan sufi wanita beraliran Sunni pada masa dinasti Umayyah yang menjadi pemimpin dari murid-murid perempuan dan zahidah, yang mengabdikan dirinya untuk penelitian hukum kesucian yang sangat takut dan taat kepada Tuhan.
Rabi'ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai The Mother of the Grand Master atau Ibu Para Sufi Besar karena kezuhudannya. Ia juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu Al-Faridh dan Dhun Nun Al-Misri. Kezuhudan Rabi'ah juga dikenal hingga ke Eropa. Hal ini membuat banyak cendikiawan Eropa meneliti pemikiran Rabi'ah dan menulis riwayat hidupnya, seperti Margareth Smith, Masignon, dan Nicholoson.

Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak, sekitar abad ke delapan tahun 713 - 717 masehi. Ia dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan Rabiah yang berarti anak keempat. Ayahnya bernama Ismail, ketika malam menjelang kelahiran Rabi'ah, keadaan ekonomi keluarga Ismail sangatlah buruk sehingga ia tidak memiliki uang dan penerangan untuk menemani istrinya yang akan melahirkan. Beberapa hari setelah kelahiran Rabi'ah, Ismail bermimpi bertemu dengan nabi Muhammad, dalam mimpinya dia berkata pada Ismail agar jangan bersedih karena anaknya, Rabi'ah, akan menjadi seorang wanita yang mulia, sehingga banyak orang akan mengharapkan syafaatnya.

Sejak kecil Rabi'ah sudah dikenal sebagai anak yang cerdas dan taat beragama. Beberapa tahun kemudian, ayahnya, Ismail, meninggal dunia kemudian disusul oleh ibunya, sehingga Rabi'ah dan ketiga saudara perempuannya menjadi anak yatim piatu Ayah dan Ibunya hanya meninggalkan harta berupa sebuah perahu yang kemudian digunakan Rabi'ah untuk mencari nafkah. Rabi'ah bekerja sebagai penarik perahu yang menyebrangkan orang dari tepi sungai Dajlah ke tepi sungai yang lain. Sementara ketiga saudara perempuannya bekerja dirumah menenun kain atau memintal benang.
Ketika kota Basrah dilanda berbagai bencana alam dan kekeringan akibat kemarau panjang, Rabi'ah dan ketiga saudara perempuannya memutuskan untuk berkelana ke berbagai daerah untuk bertahan hidup.

Dalam pengembaraanya, Rabi'ah terpisah dengan ketiga saudara perempuannya sehingga ia hidup seorang diri. Pada saat itulah Rabi'ah diculik oleh sekelompok penyamun kemudian dijual sebagai hamba sahaya seharga enam dirham kepada seorang pedagang. Pedagang yang membeli Rabi'ah sebagai hamba sahaya memperlakukannya dengan kejam, sehingga Rabi'ah harus selalu bekerja keras sepanjang hari. Dalam suatu malam, Rabi'ah bermunajat kepada Allah jika ia dapat bebas dari perbudakan maka ia tak akan berhenti sedikit pun beribadah. Ketika Rabi'ah sedang berdoa dan melakukan salat malam, pedagang yang menjadi majikannya itu dikejutkan oleh sebuah lentera yang bergantung di atas kepala Rabi'ah tanpa ada sehelai tali pun Cahaya bagaikan lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya sakinah (diambil dari bahasa hebrew yaitu "Shekina" yang berarti cahaya rahmat Tuhan) dari seorang muslimah suci. Melihat peristiwa tidak biasa yang terjadi pada Rabi'ah, pedagang itu menjadi ketakutan dan keesokan harinya membebaskan Rabi'ah. Sebelum Rabi'ah pergi, Pedagang itu menawarkan Rabi'ah untuk tinggal di Basrah dan ia akan menanggung segala keperluan dan kebutuhan Rabi'ah, namun karena kezuhudannya, Rabi'ah menolak dan sesuai janjinya jika ia bebas, maka Rabi'ah akan mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah.

Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencintai Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut:

Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.

Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhlukNya.”

Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.”
Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan kesungguhan hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup.
Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rbi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:

Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasar ku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.

Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain "tobat, sabar dan syukur". Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah:
“Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. 5: 59).

Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya.

Doanya:
Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.

Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridha kepada hamba yang mencintaiNya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridha kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikanNya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan:

Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukkan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu
.

Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintaiNya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali denganNya dan terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya denganNya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepadaNya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatinya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah membebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya diriNya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dariNya, meskipun ia merasa harus mencintaiNya.
Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmatNya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat) (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam Margaret Smith, 1928).
Rabi’ah dan menjelang hari kematiannya
Dikisahkan, Rabi’ah telah menjalani masa hidup selama kurang lebih 80 tahun. Dan selama itu, ia hanya mengabdi kepada Allah sebagai Pencipta dirinya, hingga Malaikat Izrail menjemputnya. Tentu saja, Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa di mana Allah selalu berada dekat dengannya. Para ulama yang mengenal dekat dengan Rabi’ah mengatakan, kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alam akhirat, tak pernah terbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecuali hanya ta’zhim (mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikit sekali meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.

Lamaran Untuk Rabi'ah

Ketenaran Rabi'ah Al-Adawiyah sebagai wanita sufi menimbulkan hormat dan sekaligus kekaguman pada semua kalangan. Banyak kalangan ingin menikahinya, tetapi semua ditolaknya. "Aku adalah milik-Nya' jawabnya.
Selama hidupnya, Rabi'ah Al-Adawiyah, wanita sufi dari Bashrah, tidak pernah menikah. Ketenarannya sebagai wanita sufi menimbulkan hormat dan sekaligus ke kaguman pada semua kalangan. Karena itulah, Gubernur Bashrah kala itu, Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi berkeinginan untuk menikahinya, tapi ditolak Rabiah. Rabiah mengatakan, “ Seandainya engkau memberikanku seluruh warisan hartamu, tidak mungkin aku memalingkan perhatianku dari Allah kepadamu, hatta sekejap mata sekalipun”
Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi adalah gubernur yang kaya raya. De ngan kekayaan yang melimpah ruah ini dia meminta tolong kepada para ulama dan umara untuk mencarikan istri yang cocok, yang dapat membuatnya menjaga dengan amanah harta bendanya.
Orang-orang yang dimintai saran itu memberikan saran bahwa istri yang memenuhi syarat itu adalah Rabi'ah Al-Adawiyah.Namun, begitu lamaran itu disampaikan kepada Rabi'ah, ia mengirim surat kepada sang gubernur:
Persis seperti halnya kezuhudan (zuhud) di dunia ini adalah sumber kesenangan dan kenikmatan jasmani, maka begitu pulalah perhatian pada dunia menimbulkan kekhawatiran dan kesedihan. Singkirkanlah kekayaanmu di dunia ini untuk kehidupan akhirat nanti. Bersikaplah amanah kepada dirimu sendiri sekarang ini. Jangan biarkan orang lain mengelola dan membagi-bagikan harta kekayaanmu kelak. Berpuasalah dan kehidupan. Berbukalah dengan kematian.
Akan halnya diriku, seandainya Allah memberiku sebanyak apa yang engkau berikan, atau bahkan lebih dan itu, aku tidak mungkin memalingkan perhatian ku dariNya barang sekejap pun.
Kepada orang lain yang bertanya ke-padanya mengapa ia tidak menikah, Rabi'ah berkali-kali menjawab, "Ikatan perkawinan berkenaan hanya dengan wujud. Akan tetapi, adakah wujud dalam diriku? Aku bukanlah milik diriku sendiri. Aku adalah milik-Nya."
Kisah di atas mungkin berkenaan dengan Hasan Al-Bashri, sufi dari Bashrah, dekat Baghdad. Hasan pernah bertanya kepada Rabi'ah ihwal apakah ia ingin bersuami.
Rabi'ah menjawab, "Ikatan perkawinan hanya sebatas pada wujud. Akan tetapi, di sini wujud itu tidak ada. Aku tidak mengetahui diriku sendiri. Melalui Dia-lah aku ada, dan di bawah bayang-bayang kehendak dan kemauan-Nya saja-lah aku mawujud. Suami dicari dari-Nya."
"Bagaimana engkau mencapai ke-dudukan (maqam) ini?" tanya Hasan.
"Dengan melenyapkan segenap pencapaianku dalam diri-Nya."
"Lalu, bagaimana engkau mengetahui-Nya?"
"Engkau mengetahui 'bagaimana',' jawabnya, "sementara aku mengetahui tanpa 'bagaimana'."
Dalam beberapa kisah disebutkan, Hasan Bashri sendiri sangat mencintai Rabi'ah. Namun tidak ada keberanian untuk melamarnya. Dan akhirnya mereka terlibat dalam suatu persahabatan tetapi mesra yang didasarkan karena Allah SWT semata-mata, bukan karena hawa nafsu.
Sebuah anekdot menggambarkan bagaimana status "teman tapi mesra" antara Hasan dan Rabi'ah:
Seminggu sekali, Hasan Al-Bashri mengadakan pertemuan dan ia me-nyampaikan khutbah. Setlap kali naik mimbar, ia selalu mencari Rabi'ah. Dan jika tidak melihatnya, ia tidak mau berkhutbah.
Orang-orang mengatakan, "Begitu banyak orang penting dan terkemuka berkumpul di sini, ada apa gerangan jika wanita tua berhijab itu tidak datang ke sini?"
Hasan menjawab, "Anggur yang diperuntukkan buat gajah tidak bisa dituangkan ke dalam dada semut."
Setiap kali majelis pertemuan itu se-makin hangat dan bersemangat karena mendengar kata-katanya, Hasan Al-Bashri akan berpaling kepada Rabi'ah dan berkata, "Duhai, meskipun tersembunyi di balik hijab, segenap hasrat dan gairah ini timbul hanya dari bara api dalam qalbumu."
Persahabatan mesra kedua sufi itu juga tertihat dalam pengakuan Hasan Al-Bashri berikut, "Kuhabiskan siang dan malam hari bersama Rabi'ah dengan mendiskusikan thariqah dan haqiqah, tetapi aku maupun Rabi'ah tidak pemah merasa bahwa salah seorang di antara kami adalah pria dan yang lainnya wanita. Hanya saja, ketika aku meninggalkannya, kudapati diriku dalam keadaan sangat memerlukan dan miskin, sementara kulihat Rabi'ah benar-benar dalam keadaan ikhlas."
"Aku akan Menikah jika..
Di kala lain, orang-orang juga ber-tanya kepada Rabi'ah, "Mengapa engkau tidak menikah?"
la menjawab, "Aku khawatir akan tiga hal. Jika kalian sanggup membebaskanku dari kekhawatiranku itu, aku akan menikah.
Pertama, di saat sekarang, akankah keimananku cukup untuk menyelamatkanku?
Kedua, akankah buku amalanku diberikan kepadaku di tangan kiriku atau tangan kananku?
Ketiga, di saat itu ketika sekelompok orang dipanggil maju di sebelah kiri dan digiring ke neraka, dan sekelompok orang di sebelah kanan dipanggil serta digiring masuk ke surga, dalam kelompok mana aku termasuk?"
Orang-orang itu terbengong, Tentang masalah itu, kami tidak tahu."
"Dengan ketakutan seperti ini, apa-kah aku bisa menikah?" kata Rabi'ah.

 Sekendi Madu Putih

Tidak hanya seorang gubenur kaya raya yang terpesona dengan Rabi'ah, seorang ulama juga kesengsem dengan akhlaq sufi wanita yang hidupnya penuh amal ibadah itu.
Menurut Abdul Wahid Zayd, Rabi'ah sering kali menghadiri majelis Samit Ajlan. Amalan-amalan ibadahnya yang terkenal menyebabkan Abdul Wahid ingin menikahinya.
"Aku ungkapkan keinginanku kepada Samit Ajlan," tutur Abdul Wahid, "yang mengungkapkan keinginanku kepada Samit Ajlan, yang mengatakan bahwa bahwa ia akan mencoba menyampaikan pinanganku kepada Rabi'ah."
Abdul Wahid meninggalkan Samit dan berusaha menemui Rabi'ah sendiri.
Ketika sudah berhadapan dengan Rabi'ah, justru Abdul Wahid mendapatkan pertanyaan, "Nafsu mana, wahai sang pria, yang engkau lihat dalam diriku yang menyebabkanmu rindu kepadaku?"
Pertanyaan itu mengejutkan Abdul Wahid, sebab ia yakin bahwa berita pinangannya belum sampai kepada wanita sufi tersebut.
Kemudian Rabi'ah mengangkat wajahnya ke langit dan berdoa, "Ya Allah, kirimkan kepada kami sekendi madu putih untuk jamuan makan kami."
Segera saja sebuah kendi, yang belum pernah disaksikan Abdul Wahid sebelumnya, muncul dari tempat yang tidak diketahui asal usulnya.
"Wahai Abdul Wahid," serunya, "jika engkau ingln madu yang sama sekali bukan berasal dari lebah mana pun, atau belum pemah dirasakan oleh makhluk mana pun, ulurkan tanganmu dan berbukalah sendiri."
Abdul Wahid sangat ketakutan untuk mengulurkan tangannya, betapapun dia ingin berusaha.
Rabi'ah kemudian meminta dia dan rombongannya meninggalkannya.
Dengan segera Abdul Wahid dan rombongannya pun pergi.
"Pandanglah Sang Pencipta"
Rabi'ah tidak hanya dicintai kaum pria, tetapi juga kaum wanita. Cinta di sini bukan cinta hawa nafsu, tetapi cinta untuk mengabdi dan meneladani sebagaimana yang diamalkannya.
Seorang wanita pemah mengaku kepada Rabi'ah, "Demi Allah, aku mencintaimu."
Rabi'ah menjawab, "Patuhilah dan taatilah Allah, yang demi diri-Nya engkau mencintaiku."
Salah seorang wanita shalihah yang mengabdi dan berkhidmat kepada Rabi'ah adalah Abdah binti Abu Syuwail. Banyak riwayat hidup Rabi'ah, khusus-nya yang berada di dalam rumah, bersumber dari dirinya.
Ada juga beberapa santri wanita yang berkhidmat kepada Rabi'ah, sebagaimana petikan kisah berikut ini:
Pada suatu hari yang indah di musim semi, Rabi'ah menyendiri di kamar tempat ia berkhalwat, dan tidak bermaksud keluar. Kemudian, salah seorang santri wanitanya berkata, "Wahai Ibu, keluarlah dan lihatlah karya-karya Sang Pencipta."
"Lebih baik masuklah," jawab Rabi'ah, "dan pandanglah Sang Pencipta itu sendiri. Merenungkan-Nya membuatku tidak sempat lagi memandang ciptaanNya."

 Wafatnya Rabi'ah

Berbagai kisah menjelang kematian Rabi’ah menyebutkan, di antaranya pada masa menjelang kematian Rabi’ah, banyak sekali orang alim duduk mengelilinginya.
Rabi’ah lalu meminta kepada mereka: ‘Bangkit dan keluarlah! Berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh Allah Yang Maha Agung!’
Maka semua orang pun bangkit dan keluar, dan pada saat mereka menutup pintu, mereka mendengar suara Rabi’ah mengucapkan kalimat syahadat, setelah itu terdengar sebuah suara: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya. Maka masuklah bersama golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. 89: 27-30).

Setelah itu tidak terdengar lagi suara apa pun. Pada saat mereka kembali masuk ke kamar Rabi’ah, tampak perempuan tua renta itu telah meninggalkan alam fana. Para dokter yang berdiri di hadapannya lalu menyuruh agar jasad Rabi’ah segera dimandikan, dikafani, disalatkan, dan kemudian dibaringkan di tempat yang abadi.

Kematian Rabi’ah telah membuat semua orang yang mengenalnya hampir tak percaya, bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkan alam fana dan menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orang kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya penuh penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia. Setiap orang sudah pasti akan mengenang Rabi’ah, sebagai sufi yang telah berjumpa dengan Tuhannya.

Karenanya, setelah kematian Rabi’ah, seseorang lalu pernah memimpikanya.
Dia mengatakan kepada Rabi’ah, “Ceritakanlah bagaimana keadaanmu di sana dan bagaimana engkau dapat lolos dari Munkar dan Nakir?”
Rabi’ah menjawab, “Mereka datang menghampiriku dan bertanya, “Siapakah Tuhanmu?’
Aku katakan, “Kembalilah dan katakan kepada Tuhanmu, ribuan dan ribuan sudah ciptaan-Mu, Engkau tentunya tidak akan lupa pada perempuan tua lemah ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu di dunia, tidak pernah melupakan-Mu. Sekarang, mengapa Engkau harus bertanya, ‘Siapa Tuhanmu?’”

Meskipun hidup Rabiah seperti berlangsung linear dan konstan, seluruh energi hidupnya dia abdikan untuk cinta, Rabiah memberi tahu kepada kita bahwa hidup memang tidak sederhana, seperti yang dijalaninya. Hidup itu begitu rumit, kadang kadang ada kemesraan dan kadang-kadang ada kehidmatan bertahta.
Rabiah wafat dengan meninggalkan pengalaman sufistik yang tak terhingga. Hikmah yang ditinggalkan sangat berharga dan patut kita gali sebagai ‘makrifat’ hidup. Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi. Rabi’ah meninggal dunia pada 135 Hijrah yaitu ketika usianya menjangkau 80 tahun. Moga-moga Allah meridhai, amin…

Syair Rabi'ah Lainnya:

 Alangkah sedihnya perasaan dimabuk cinta
Hatinya menggelepar menahan dahaga rindu
Cinta digenggam walau apapun terjadi
Tatkala terputus, ia sambung seperti mula
Lika-liku cinta, terkadang bertemu surga
Menikmati pertemuan indah dan abadi
Tapi tak jarang bertemu neraka
Dalam pertarungan yang tiada berpantai
-----------------------------------------------------------------------------------------
 Ya Allah, apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di dunia ini,
Berikanlah kepada musuh-musuh-Mu
Dan apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
Berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku
----------------------------------------------------------------------------------------- 
Alangkah buruknya,
Orang yang menyembah Allah
Lantaran mengharap surga
Dan ingin diselamatkan dari api neraka
Seandainya surga dan neraka tak ada
Apakah engkau tidak akan menyembahNya?

Aku menyembah Allah
Lantaran mengharap ridha-Nya
Nikmat dan anugerah yang diberikan-Nya
Sudah cukup menggerakkan hatiku
Untuk menyembahMu
 -----------------------------------------------------------------------------------------
 Sulit menjelaskan apa hakikat cinta
Ia kerinduan dari gambaran perasaan
Hanya orang
yang merasakan dan mengetahui
Bagaimana mungkin
Engkau dapat menggambarkan
Sesuatu yang engkau sendiri bagai hilang
dari hadapanNya, walau ujudmu
Masih ada karena hatimu gembira yang
Membuat lidahmu kelu
 -----------------------------------------------------------------------------------------
Andai cintaku
Di sisimu sesuai dengan apa
Yang kulihat dalam mimpi
Berarti umurku telah terlewati
Tanpa sedikit pun memberi makna
 -----------------------------------------------------------------------------------------
 Tuhan, semua yang aku dengar
di alam raya ini, dari ciptaan-Mu
Kicauan burung, desiran dedaunan
Gemericik air pancuran
Senandung burung tekukur
Sepoian angin, gelegar guruh
Dan kilat yang berkejaran
Kini
Aku pahami sebagai pertanda
Atas keagungan-Mu
Sebagai saksi abadi, atas keesaanMu
dan
Sebagai kabar berita bagi manusia
Bahwa tak satu pun ada
Yang menandingi dan menyekutuiMu
 -----------------------------------------------------------------------------------------
 Bekalku memang masih sedikit
Sedang aku belum melihat tujuanku
Apakah aku meratapi nasibku
Karena bekalku yang masih kurang
Atau karena jauh di jalan yang ‘kan kutempuh
Apakah Engkau akan membakarku
O, tujuan hidupku
Di mana lagi tumpuan harapanku padaMu
Kepada siapa lagi aku mengadu?
 -----------------------------------------------------------------------------------------
 Ya Allah
Semua jerih payahku
Dan semua hasratku di antara segala
kesenangan-kesenangan
Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan
Adalah untuk berjumpa denganMu
Begitu halnya dengan diriku
Seperti yang telah Kau katakan
Kini, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki
 -----------------------------------------------------------------------------------------
Ya Tuhan, lenganku telah patah
Aku merasa penderitaan yang hebat atas segala
yang telah menimpaku
Aku akan menghadapi segala penderitaan itu dengan sabar
Namun aku masih bertanya-tanya
Dan mencari-cari jawabannya
Apakah Engkau ridha akan aku
Ya, Ya Allah
O Tuhan, inilah yang selalu mengganggu langit pikiranku

 -----------------------------------------------------------------------------------------
Ya Allah
Aku berlindung pada Engkau
Dari hal-hal yang memalingkan aku dari Engkau
Dan dari setiap hambatan
Yang akan menghalangi Engkau
Dari aku

 -----------------------------------------------------------------------------------------
Ya Illahi Rabbi
Malam telah berlalu
Dan siang datang menghampiri
Oh andaikan malam selalu datang
Tentu aku akan bahagia
Demi keagunganMu
Walau Kau tolak aku mengetuk pintuMu
Aku akan tetap menanti di depannya
Karena hatiku telah terpaut padaMu

 -----------------------------------------------------------------------------------------
Tuhanku
Tenggelamkan diriku ke dalam lautan
Keikhlasan mencintaiMu
Hingga tak ada sesuatu yang menyibukkanku
Selain berdzikir kepadaMu


 -----------------------------------------------------------------------------------------