30 Thariqah-(1) Thariqah Uwaisiyah
Penisbatan
Tharîqah kepada Uwais al-Qarni Ra (w. 36 H) Abu „Amir Uwais bin „Amir al Muradi
Tsumma al-Qarn. Beliau adalah termasuk golongan pembesar Tabi‟in (menurut
Pendapat yang ashah) (Syaikh Ismâil haqqi bin Musthâfa al-Khalwati al-Barsawi,
Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl. Libanon: Dar Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman:
18), bahkan termasuk pembesar Tabi‟in dan orang yang paling utama pada masanya.
Kedudukan Uwais al-Qarni Ra disaksikan sendiri oleh Rasûlullâh Saw., beliau
bersabda:
“Aku mencium
nafas tuhan yang Maha Rahman dari arah tanah Yaman”
Yang
dimaksud oleh nabi adalah mencium bau harum kekasih Allâh Swt. yaitu Uwais
al-Qarni Ra.
Rasûlullâh
Saw. menuturkan keistimewaan Uwais dikabarkan Allâh Swt. kepada Umar dan Ali
bahwa: ”Ada seseorang dari umatku yang bisa memberikan syafaat di hari kiamat
sebanyak bulu domba dari jumlah domba yang dimiliki oleh Rabbiah dan Mudhar
(keduanya dikenal karena mempunyai domba yang banyak), lalu para sahabat
bertanya: “Siapa dia wahai Rasûlullâh Saw.?”. Rasul Saw. Menjawab: “Ia adalah
hamba Allâh Swt”. Siapa namanya ya Rasul? “Rasul menjawab: “Ia bernama Uwais
al-Qarni Ra”.
Rasul
Saw. bersabda: “Yang mencegah untuk menemuiku adalah dua hal (1) karena
keadaan, dan (2) karena dia menghormati aturan. Sebab dia mengasuh ibunya yang
sudah tua, buta matanya, lumpuh kedua tangan dan kakinya.
Uwais
bekerja sebagai pengembala unta di siang hari dengan upah yang cukup untuk
dibelanjakan untuk ibunya, dirinya dan dishadaqahkan kepada tetangganya yang
miskin.
Para
sahabat bertanya apakah kita bisa melihatnya atau tidak? Rasul Saw. bersabda:
Abu Bakar al-Shiddiq r.a tidak bisa menemukannya, yang bisa menemukan dia
adalah Umar dan Ali.
Dia
memiliki ciri-ciri berambut lebat, dan memiliki tanda putih sebesar dirham pada
bahu kiri dan telapak tangannya tanda putih, tanda putih itu bukan penyakit
belang (barosh). Jika kalian menemukan dia sampaikan salamku padanya, lalu
mintakan doanya untuk umatku”, (Muslim, Shahih Muslim hadits, Libanon: Dar
al-Fikr, nomor: 2542 jilid 4, juz 7, halaman: 188 & Farid al-Din al-Attor,
Tadzkirat al-Auliyâ‟, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 49).
Setelah
Rasûlullâh Saw. dan Abu Bakar al-Shiddiq r.a wafat, Umar diangkat menjadi
Khalifah. Di sela-sela kesibukan Umar sebagai Khalifah beliau teringat tentang
sabda Rasul tentang Uwais. Lalu Umar mengajak Ali bin Abi Thalib untuk
mencarinya di kota Najt (Yaman). Umar mengumpulkan penduduk Najt dan bertanya:
Apakah di antara kalian ada seseorang dari suku Qorn?
penduduk
Najt menjawab: “Ya”. Kemudian salah satu dari penduduk Qorn mendekati Umar,
lalu Umar mengabarkan tentang Uwais dan para penduduk tidak mengenalnya.
Dengan
nada tinggi Umar berkata: “Nabi Muhammad Saw. pemilik syariat ini tidak berkata
sembarangan”.
Sebagian
penduduk berkata: wahai pemimpin orang mukmin, Uwais adalah orang yang tidak
pantas Engkau cari karena dia adalah orang gila lagi gelandangan. „
Umar
berkata: “Aku mendatangi kalian hanya untuknya, di mana dia?”.
Para penduduk
Najt menjawab: “Dia ada di lembah Uranah sedang mengembala unta di rerumputan,
dia mengembala unta sampai waktu sore hari kemudian kami memberinya makan sore,
dia tidak bergaul dalam keramaian penduduk, tidak berteman dengan siapapun,
tidak memakan makanan orang pada umumnya, tidak bergembira seperti suka cita
orang pada biasanya, justru dia menangis tatkala semua orang tertawa, dan dia
tertawa tatkala banyak orang-orang menangis”. Umar berkata: “Bawalah aku
menemui dia”.
Lalu
para penduduk mengantar Umar dan Ali menuju ke tempat Uwais, saat itu Uwais
sedang shalat, ketika Uwais merasakan kedatangan Umar dan Ali, dia mempercepat
shalatnya, lalu ketika Umar melihat Uwais selesai shalat, Umar langsung
mengucapkan salam kepada Uwais. Lalu Uwais menjawab salam Umar dan Ali. Umar
bertanya: “Siapa namamu?” Uwais menjawab: “Abdullah (hamba Allâh Swt.)”, Umar berkata,
kita juga hamba-hamba Allâh Swt., siapa nama yang dikhususkan untukmu. Uwais
menjawab: “Uwais”. Kemudian Umar berkata: “Tunjukkan tangan kananmu kepadaku”.
Pada saat itu terlihat tanda putih di telapak tangan Uwais seperti yang
disebutkan oleh nabi Muhammad Saw. Umar berkata: “Nabi kirim salam kepadamu dan
berwasiat kepadamu untuk mendo‟akan aku”. Uwais berkata: “Engkau lebih utama
mendo‟akan seluruh orang-orang muslim karena Engkau adalah orang yang paling
utama di muka bumi ini”. Umar berkata: “Aku juga mendo‟akan orang mukmin tetapi
seyogyanya Engkau mengikuti wasiat Nabi untuk berdo‟a”. Uwais keberatan untuk
diminta mendo‟akan, sehingga Uwais berkata: “Wahai Umar mintalah do‟a kepada
seseorang selain aku”.
Umar membujuk Uwais untuk mau berdo‟a, lalu Umar
berkata: “Rasul telah menunjukkan tanda-tandamu kepada kami, dan semua tanda
itu ada padamu”. Uwais berkata: “Ambillah wasiat Nabi itu dariku”, lalu sahabat
Umar dan Ali kembali ke Madinah, kemudian Uwais bersujud di tanah sambil
berdo‟a: “Wahai Tuhanku, kekasihmu nabi Muhammad Saw. telah memindahkan keadaan
ini kepadaku, kekasihmu berwasiat kepadaku untuk berdo‟a. Wahai tuhanku,
Ampunilah seluruh umat nabi Muhammad Saw.”, (Farid al-Din al-Attor, Tadzkirat
al-Auliyâ‟, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 49-50).
Setelah
pertemuan antara Uwais dengan Umar dan Ali, Lalu tersiar kabar bahwa Uwais
memiliki derajat yang tinggi, sehingga penduduk kota Yaman selalu mencari dan
mendatanginya. Dengan keadaan ini Uwais merasa terganggu untuk bermunajat
kepada Allâh Swt., sehingga Ia meninggalkan Yaman agar tidak diketahui
keberadaannya oleh penduduk, setelah itu tidak ada yang melihat Uwais di
manapun kecuali Harim Bin Hayyan, dia berkata: “Aku mendengar bahwa Uwais bisa
diterima syafa‟atnya pada hari qiamat, sehingga aku melakukan perjalanan untuk
mencarinya, lama aku mencarinya sehingga hatiku terbuai kerinduan untuk bertemu
dengan Uwais. Seluruh desa dan kota telah aku lalui, sehingga aku sampai di
kota Kuffah.
Pencarianku terhenti pada seorang laki-laki yang memiliki
ciri-ciri yang persis seperti yang diceritakan Nabi, Umar, dan Ali. Laki-laki
itu sedang berwudhu‟ di pinggir sungai Furadh. Hatiku senang sekali dan berucap
salam padanya, kemudian dia menjawab dan melihat ke arahku, kemudian aku ingin
mencium tangannya, tapi dia menolak. Aku berkata semoga Allâh Swt. mengasihimu
dan mengampunimu wahai Uwais. Bagaimana kabarmu? Setelah aku bertanya seperti
itu aku tidak kuasa membendung tangisku karena merasa kasihan terhadap keadaan
Uwais yang lemah dan Uwais juga menangis. Usai menangis Uwais berkata: “Wahai
Harim bin Hayyan, siapa yang menunjukkanmu kepadaku?”. Aku tidak menjawab
pertanyaan itu lalu
aku balik bertanya: “Bagaimana Anda tahu namaku dan bapakku ?” Uwais menjawab:
“Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Waspada yang menceritakan kepadaku, ruhku
telah mengenali ruhmu, karena antara ruh orang-orang mukmin saling mengenal”.
Harim, berkata kepada Uwais: “Ceritakanlah kepadaku tentang haditsnya Rasul?”
Uwais menjawab: “Aku tidak pernah bertemu dengan Nabi tetapi aku mendengar
hadits Nabi yang diriwayatkan dari sahabatnya, aku tidak menyukai membuka pintu
fatwa dan pengingat karena aku telah disibukkan selain hal itu”. Lalu aku
berkata: “Aku menyukai mendengar ayat al-Qur‟an darimu, kemudian Uwais memegang
tanganku sambil mengucapkan ta‟awudz, Uwais menangis tersedu-sedu, kemudian
membaca ayat al-Quran:
Kemudian
Uwais menjerit dengan keras, bahkan aku tidak mengetahui apakah akalnya masih
ada atau tidak. Selang beberapa saat Uwais berkata: “Wahai Harim bin Hayyan,
kenapa engkau mendatangiku?”. Aku menjawab: “Tujuanku mencarimu untuk merasa
tenang dan nyaman bersamamu”, Uwais mengomentari jawabanku: “Aku tidak
mengerti, bahwasanya orang yang mengenal Allâh Swt. bagaimana ia bisa merasa
tenang dan nyaman bersama selain-Nya?”. Aku berkata: “Berilah aku wasiat”.
Uwais berkata: “Jadikan kematian di bawah kepalamu (ingat pada kematian) dan di
dalam kepalamu dan setelah itu tidak ada pengaruh kehidupan setelah kematian
(tidak ingat pada kehidupan dunia dan yang diingat hanya Allâh Swt. semata),
jangan Engkau memandang dosa kecil tapi pandanglah pada besarnya maksiat kepada
Allâh Swt. karena jika Engkau meremehkan dosa maka Engkau telah meremehkan
berpaling dari Allâh Swt”. Harim berkata: “Apa yang Engkau perintahkan
kepadaku? Di tempat mana aku bermukim?” Uwais berkata: “Bertempatlah di Syam”
Aku berkata: “Bagaimana aku mendapatkan penghidupan di kota Syam (Syiria)?”
Uwais berkata: “Jauhkan perasaan itu dari hatimu, karena keragu-raguan telah
mencemari hatimu, sehingga nasihat tidak bermanfaat”. aku berkata lagi:
“Berilah aku wasiat” Uwais berkata: “Bapakmu Hayyan
telah
mati, Nabi Adam, Hawa, Nuh, Ibrahim, Musa, Nabi Muhammad Saw. dan seluruh Nabi
dan Rasul telah meninggal semua, abu Bakar, Umar bin al-Khattab telah mati” aku
bertanya kepada Uwais “apakah Umar bin al-Khattab telah mati?” Uwais menjawab:
“Ya. Allâh Swt. telah memberikan kabar kepadaku melalui ilham tentang
kematian Umar bin al-Khattab”. Kemudian Uwais berkata: “Wahai Harim, aku dan
Engkau termasuk golongan orang-orang yang mati”. Kemudian Uwais membaca
shalawat kepada Nabi, berdo‟a dengan do‟a yang pelan. Lalu Uwais berkata:
“Wasiatku kepadamu bersuluklah dengan jalan sesuai syari‟at dan Tharîqah
orang-orang yang baik, jangan Engkau melupakan dzikir kepada Allâh Swt.
walaupun sekejap, jika Engkau sudah sampai kepada kaummu berilah nasihat kepada
mereka, jangan Engkau memutus nasihat (mengharapkan kebaikan) dari Hamba Allâh
Swt., jangan Engkau menyimpang dari taat kepada pemimpin umat sehingga imanmu
tidak keluar tanpa kamu sadari, Engkau tidak mengetahui apakah Engkau akan
jatuh ke neraka atau tidak”. Kemudian Uwais berkata: “Wahai Harim, Engkau dan
aku tidak akan pernah bertemu sejak saat ini, jangan lupakan aku dalam do‟a,
berangkatlah ketika aku berangkat, jangan Engkau tinggalkan aku sedetikpun
sebelum kepergianmu”. Lalu aku dan Uwais menangis, kemudian Uwais pergi
sementara aku memandanginya dari belakang sampai Uwais naik ke gunung. Setelah
peristiwa itu aku tidak melihat dan mengetahui keadaannya, (al-Din al-Attar,
Tadzkirat al-Auliyâ‟. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 51–52).
Nasihat-nasihat Uwais al-Qorn
Maksudnya
adalah apabila seseorang sudah ma‟rifat kepada Allâh Swt. (pokok), maka akan
mudah baginya semua mahluk (cabang)
Maksudnya
adalah keselamatan itu ada pada menyendiri (secara ruhani bukan secara jasadi)
Maksudnya
adalah ingatlah kepada kematian dan janganlah ingat pada kehidupan dunia dan ingatlah
hanya Allâh Swt. semata
Janganlah
mengharap kehidupan setelah mati. Maksudnya adalah membekali hidup untuk
menyongsong kematian.
-
Aku mencari kedudukan, maka aku temukan kedudukanku di dalam sifat tawadhu‟.
-
Aku mencari kepemimpinan, maka aku temukan kepemimpinan itu dalam (memberi)
nasihat kepada orang.
-
Aku mencari keagungan, maka aku temukan keagungan di dalam sifat fakir.
-
Aku mencari sunnah dan aku temukan sunnah itu di dalam sifat takwa.
-
Aku mencari kemuliaan, maka aku temukan kemuliaan itu dalam sifat qona‟ah.
-
Aku mencari kenyamanan maka aku temukan kenyamanan itu dalam sifat zuhud.
-
Ingatlah kepada kematian.
-
Jika kamu mampu (untuk) tidak memisahkan hatimu dengan air mata, maka
lakukanlah.
-
Bernadzarlah kepada kaummu ketika kamu kembali kepada mereka.
-
Dan bersungguh-sungguhlah dalam (menghidupi) dirimu.
-
Takutlah meninggalkan (sholat) jamaah.
-
Kamu meninggalkan agamamu sedangkan kamu tidak menyadarinya. Kemudian kamu mati
dan masuk neraka pada hari kiamat,
(al-Din
al-Attar, Tadzkirat al-Auliyâ‟. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010.
halaman: 54-55).
Penjelasan:
Sebagian wali Allâh Swt. diberi julukan Uwais. Artinya tidak membutuhkan
bimbingan dari seorang guru, karena Uwais adalah Faidhul Ilahi (anugerah
Ilahi) tanpa perantara orang lain dan berkah cahaya kenabian. Derajat ini
adalah maqâm yang sangat tinggi Maka intisab
Tharîqahnya secara hakikat
langsung kepada Allâh Swt. dan proses suluknya sesuai dengan suluk Nabi
sebagaimana sabda Nabi Saw:
Tuhanku telah mendidikku, maka Allâh Swt. lah yang
memperbaiki adabku.
dikutip :Judul buku: Sabilus Salikin 30 Thariqah
Penyusun: Santri Pondok Pesantren Ngalah
Jumlah halaman:880
Tahun terbit: 2013
sumber: http://www.http://galakgampil.ngalah.net
dikutip :Judul buku: Sabilus Salikin 30 Thariqah
Penyusun: Santri Pondok Pesantren Ngalah
Jumlah halaman:880
Tahun terbit: 2013
sumber: http://www.http://galakgampil.ngalah.net