SELAMAT DATANG Para Pencari Cinta Sejati,Tanpa Membenci,Tanpa Menyalahkan,Tanpa Kesombongan,Tanpa Membedakan,Semoga Engkau Mendapat Rahmat Alloh~Raden Bagus Langlang Jagat

road to sufi

road to sufi

Friday, September 30, 2016

Tingkatan Maqam Sufi



MAQAM SUFI Menurut Ibn Atha’illah




Mengenai maqām, Ibn Atha’illah membaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;


1. Maqam taubat
2. Maqam zuhud
3. Maqam shabar
4. Maqam syukur
5. Maqam khauf
6. Maqam raja’
7. Maqam ridha
8. Maqam tawakkal
9. Maqam mahabbah

1. Maqam Taubat
Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar.
Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya.Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan,maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.
Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yangada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.
Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaiksangka (husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itusangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.

 2. Maqam Zuhud
Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam; Zuhd ahir Jalīseperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara alal,seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasanduniawi. Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung(ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, makadia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah,dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalausudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapatrasa cinta kepada dunia, dan rasa asud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn‘Aţā’illah:
 ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau asud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.

Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Seorang salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua; yaitu saat kenikmatan dunia tidak ada dan saat kenikmatan dunia itu ada. Ini dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka dia akan menghargainya dengan bershukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena Allah. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih.

3. Maqam Sabar
 Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam:
1. sabar terhadap perkara haram, 
2. sabar terhadap kewajiban, dan 
3. sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia.Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
“Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.

Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri.Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salikdan orang-orang yang dipilih-Nya.
Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.

4. Maqam Syukur
Shukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; 
1. shukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakannikmat yang didapat. 
2. shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan. 
3. shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat,segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-matadari-Nya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:
“Dalam shukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; shukur lisan yaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), shukur badan adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan shukur hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata dari Allah.”

Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Lebih lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2 bagian; shukur āhir dan shukur bāţin. Shukur āhir adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan shukur bāţin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.
Manfaat dari shukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak menshukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jikadia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat kenikmatantersebut. 
Allah berfirman: 
 لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ 
(Jikakalian bershukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah [kenikmatanitu]).

Jika seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.
Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu bershukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dariAllah, shukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Diaharus bershukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya,karena hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui danmeyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dariAllah.
Pengejawantahan shukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal inimanusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan shukur.

5 & 6 . Maqam khauf dan Raja
Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas sirnanya al dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. KetikaAllah berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan hal yang ada pada dirisalik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
“Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yangterpuji maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendakAllah terwujud.”
Khauf seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi dengan rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah pembangkit dari rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang membangkitkan maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.
Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allahkepadanya berupa anugerah maqām, hal dan berbagai kenikmatan yang diaterima. Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknyadia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan danketaatan penuh pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, makalihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkauingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yangtelah kau berikan kepada-Nya.”
Rajā’ bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepadaAllah secara kontinu.
Jika rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin menguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pastiakan disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.

7 & 8 . Maqam Ridha dan Tawakkal
Ria dalam pandangan Ibn ‘Ata'illah adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada 
QS.al-Mā’idah ayat 119:(Allah ria terhadap mereka, dan mereka ridha kepada Allah), 
dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang ridha kepada Allah).
Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika maqam ridha sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqāmtawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām ridha dan maqām tawakkal. Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya,dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam
QS. Hūd ayat 123: (…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya).
Sebagaimana maqām-maqām lainnya, maqām ridha dan tawakkal tidak akanbenar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakanbahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya,dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentukangan-angan.

“Perencanaan (tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiadalagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir.Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan maqām tawakkal dan ridha, hal ini jelas, karena seorang yang ridha maka cukup baginya perencanaan Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan perencanan-Nya. Apakahengkau tidak tahu bahwa cahaya ridha telah membasuh hati dengan curahanperencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang ridha terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya ridha atas keputusan-Nya, maka tiada lagibaginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah ridha kepada qadhā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar ridha akan qadhā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencanaberkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami(semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”  

Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia ridha, hatinya tidak boleh mendongkol. Ridha dengan qadhā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.
Meridhai qadhā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meridhai kekufuran dan kemaksiatan.
Ridha dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan muliaserta membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, jugadapat mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segalabencana. Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelapmata hati. Dengan ridha atas segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih sukamengoreksi segala amal perbuatan pada masa-masa yang lampau, agarseseorang dapat mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.

Menyerah kepada qadhā’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini,sebagaimana firman Allah SWT.:
Hai orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yangberkata kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi,atau sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama kami, niscaya merekatidak akan mati, dan tidak akan terbunuh. Yang demikian karena Allahhendak jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka danAllah rnenghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yangengkau kerjakan.

9. Maqam Mahabbah
Imam al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maabbah adalah maqām tertinggidari sekian maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maabbah adalah tujuan utama dari semua maqām.
Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep mahabbah bahwa dalam mahabbah seorang sālik harus menanggalkan segalaangan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik yangtelah sampai pada mahabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwarasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orangyang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yangdicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yangdicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.
”...mahabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqām, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah mahabbah, karena mahabbah adalah hasil dari seluruh maqām, menjadi akibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang, ridha dan lainsebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum mahabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd danlain sebagainya...”
Untuk dapat mencapai hal tersebut diatas, maka seorang salik disyaratkan terlebih dulu mengambil baiat (janji)pada seorang gurutarekat (Mursyid). Dimana tugas seorang guru Mursyid adalah membimbing dan mengarahkan agar seorang salik tidak terjerumus kedalam kesesatan.Baiat Tarekat merupakan pintu utama memasuki dunia tasawuf.
Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakikat atau dengan kata lain pengalaman Syari'at, yang disebut "Al-Jaraa" atau "Al-Amal", sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
 
1) Tarekat adalah pengamalan syari'at, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.

2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang tidak (batin).

3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.


Maqam Hakikat
Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran.
Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk
mencari suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan
definisinya sebagai berikut :

a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma'ruf mengatkan :
"Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai suatu tujuan...sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan mata hatinya".
b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:
"Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan, disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan oleh Allah kepada hamba-Nya".

Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:
1) "Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;
2) "Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
3) "Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal".
Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan mari"fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma'rifat merupakan tujuan akhirnya.

Maqam Marifat
Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf. Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan:
"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."

Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma'rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma'rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya. Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hambatidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalamikesesatan.
Demikian ulasan singkat kami tentang maqam (kedudukan) dan hal(keadaan) dalam dunia tasawuf atau dunia para Wali Allah, semoga kitasemua dapat menempuh tahapan-tahapan dalam tasawuf. Wallah A’lam Bishawab

Thursday, September 29, 2016

Sholat Tasbih

Shalat Tasbih ~ Menjawab Kontroversi

 

 

 Tasbih berasal dari kata سَبَحَ – sabaha, yang artinya ‘menjauh’. Ber-tasbih dalam pengertian syariat artinya ‘menjauhkan Allah dari segala sifat kekurangan dan kejelekan’. 

Dengan begitu, ketika kita bertasbih, maka kita menunjukkan keluarbiasaan Allah dalam segala hal, tanpa ada kekurangan sedikitpun.
Ada 7 surat yang dimulai dengan ucapan tasbih: Surat al-Isra’ (17:1), Surat al-Hadid (57:1), Surat al-Hasyr (59:1), Surat al-Hasyr (59:1), Surat as-Shaf (61:1), Surat at-Taghabun (64:1), Surat al-A’la (8:1).
Dalam al-Quran, banyak perintah agar kita ber-tasbih kepada Allah swt dalam segala keadaan. Di antaranya adalah ayat-ayat berikut.

Maka bersabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang (Thoha/20: 130)
Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, karena kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu akan berdiri (at-Thur/52: 48)
Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi. (al-Mu’min/40: 55)

KEISTIMEWAAN TASBIH

1. Kalimat yang paling dipilih Allah swt
Suatu kali Rasulullah ditanya apakah ucapan yang paling unggul? Rasulullah menjawab,

مَا اصْطَفَى اللهُ لِمَلاَئِكَتِهِ أَوْ لِعِبَادِهِ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ

‘Yang dipilih Allah swt terhadap para malaikat-Nya dan hamba-Nya adalah ucapan: Subhanallahi wa bihamdihi’ (Riwayat Muslim)

2. Memberatkan timbangan amal
Rasulullah bersabda,

كَلِمَتَانِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيْلَتَانِ فِى الْمِيْزَانِ حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ

‘Ada dua kalimat yang keduanya ringan diucapkan di lidah namun memberatkan timbangan amal dan keduanya disukai oleh ar-Rahman, yaitu: Subhanallahi wa bi hamdihi subhanallahil azhim’ (Riwayat Bukhari dan Muslim)

3. Menghapus dosa yang banyak
Rasulullah bersabda,

مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبَدِ الْبَحْرِ

Barangsiapa yang mengucapkan: Subhanallahi wa bi hamdihi 100x maka Allah dihapuskan kesalahan meskipun kesalahannya itu sebanyak buih lautan’ (Riwayat Bukhari dan Muslim)

4. Punya perkebunan kurma di surga

مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِى الْجَنَّةِ

‘Barangsiapa yang mengucapkan: Subhanallahil azhimi wa bi hamdihi, maka ditanamkan baginya satu pohon kurma di surga’ (Riwayat at-Tirmidzi)

5. Terhindar dari kesedihan dan penyakit-penyakit berat (misal: stroke)
Suatu kali Qabishah al-Makhariq mendatangi Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, ajarkan aku beberapa kalimat (ucapan) yang dengannya Allah memberi manfaat kepadaku, karena sungguh umurku sudah tua dan aku merasa lemah untuk melakukan apapun’. Lalu Rasulullah berkata, ‘Adapun untuk duniamu, maka ketika engkau selesai shalat Shubuh, maka ucapkanlah tiga kali:

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ

Jika engkau membacanya, maka engkau terhindar dari kesedihan, kusta (lepra), penyakit biasa, belang, lumpuh akibat pendarahan otak (stroke)…’ (Riwayat Ibnu as-Sunni dan Ahmad)

6. Senjata menghadapi persoalan besar
Diriwayatkan dari Abu Hurayrah, bahwa jika Rasulullah menghadapi persoalan penting, maka beliau mengangkat kepalanya ke langit sambil mengucapkan: Subhanallahil azhim, dan jika beliau bersungguh-sungguh dalam berdoa, maka beliau mengucapkan: Ya hayyu ya qoyyum (Riwayat at-Tirmidzi)

7. Senjata menghadapi krisis pangan
Rasulullah bersabda,

طَعَامُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي زَمَنِ الدَّجَّالِ طَعَامُ الْمَلاَئِكَةِ: التَّسْبِيْحُ وَالتَّقْدِيْسُ، فَمَنْ كَانَ مَنْطِقُهُ يَوْمِئِذٍ التَّسْبِيْحَ أَذْهَبَ اللهُ عَنْهُ الْجُوْعَ

‘Makanan orang beriman pada zaman munculnya Dajjal adalah makanan para malaikat, yaitu tasbih dan taqdis. Maka barangsiapa yang ucapannya pada saat itu adalah tasbih, maka Allah akan menghilangkan darinya kelaparan’ (Riwayat al-Hakim)

Nash hadits sholat tasbih adalah sebagai berikut,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعطِيْكُ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحَبُوِكَ أَلاَ أَفَعَلُ بِـكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْـتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوْلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمـَهُ وَحَدِيْثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيْرَهُ وَكَبِـيْرَهُ سِـرَّهُ وَعَلاَنِيَـتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبـَعَ رَكَعَاتٍ تَكْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الكِتَابِ وَسُورَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقِرَائَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُلِ لِلَّهِ وَلاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِي سَـاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَـاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْـجُدُ فَتَقُولُهَا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ بُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَـنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُركَ مَرَّةً

Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda kepada Abbas bin Abdul Muththalib, “Hai Abbas, hai pamanku, maukah engkau aku beri? Maukah engkau aku kasih? Maukah engkau aku beri hadiah? Maukah engkau aku ajari sepuluh sifat (pekerti)? Jika engkau melakukannya, Allah mengampuni dosamu: dosa yang awal dan yang akhir, dosa yang lama dan yang baru, dosa yang tidak disengaja dan yang disengaja, dosa yang kecil dan yang besar, dosa yang rahasia dan terang-terangan, sepuluh macam (dosa). Engkau shalat empat rakaat. Pada setiap rakaat engkau membaca al-Fatihah dan satu surat (al-Quran). Jika engkau telah selesai membaca (surat) pada awal rakaat, sementara engkau masih berdiri, engkau membaca, ‘Subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaaha illa Allah, wallahu akbar’ sebanyak 15 kali. Kemudian ruku’, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari ruku’, lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau turun sujud, ketika sujud engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari sujud, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau bersujud, lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Maka itulah 75 (dzikir) pada setiap satu rakaat. Engkau lakukan itu dalam empat rakaat. Jika engkau mampu melakukan (shalat) itu setiap hari sekali, maka lakukanlah! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) setiap bulan sekali! Jika tidak, maka (lakukan) setiap tahun sekali! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) sekali dalam umurmu.

Takhrij Hadits

Hadits riwayat Abu Dawud 1297; Ibnu Majah, 1387; Ibnu Khuzaimah, 1216; al-Hakim dalam Mustadrak, 1233; Baihaqi dalam Sunan Kubra, 3/51-52, dan lainnya dari jalan Abdurrahman bin Bisyr bin Hakam, dari Abu Syu’aib Musa bin Abdul Aziz, dari Hakam bin Abban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Sanad ini berderajat hasan.
Hadits ini juga memiliki banyak jalan yang menguatkan, sehingga sangat banyak ulama Ahli Hadits yang menguatkannya. Dalam riwayat lain disebutkan,

عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ قَالَ حَدَّثَنِي رَجُل كَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ يَرَوْنَ أَنَّهُ عَنَّهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ائْتِنِي غَدًا اَحءبُوكَ وَأُثِـيْبُكَ وَأَعْطِيْكَ حَتَّى ظَنَنءتُ أَنَّهُ يُعْطِينِي عَطِيَّة قَالَ إِذَا زَالَ النَّهَارُ فَقثمْ فَصَلّ أَرْبَـعَ رَكَعَاتٍ فَذَكَرَ نَحَوَهُ قَالَ ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَـكَ يَعْنِي مِنْ السَّجْدَةِ الثَّالِيَةِ فَاسْتَوِ جَالِسًا وَلاَ تَقثمْ حَتَّى تُسَبِّحَ عَشْرًا وَتَحْمَدَ عَشْرًا وَتُكَبِّرَ عَشْرًا وَتُهَلِّلَ عَشْرًا ثُمَّ تَصْنَعَ ذَلِكَ فِي الأَرْبَعِ الرَّكَعَاتِ قَالَ فَإِنَّكَ لَوْكُنْتَ أَعُظَمُ أَهْلِ الْـأَرْضِ ذَنْبًا غُفِرَ لَكَ بِذَلِكَ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أُصَلِّيَهَا تِلْكَ الـسَّـاعَةَ قَالَ صَلِّهَا مِنْ اللَّيْـلِ وَالنَّهَار

Dari Abul Jauza’, dia berkata, ‘Telah bercerita kepadaku seorang laki-laki yang termasuk sahabat Nabi. Orang-orang berpendapat, dia adalah Abdullah bin Amr, dia berkata, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Datanglah kepadaku besok pagi. Aku akan memberimu hadiah, aku akan memberimu kebaikan, aku akan memberimu.’ Sehingga aku menyangka, bahwa beliau akan memberiku suatu pemberian. Beliau bersabda, ‘Jika siang telah hilang, berdirilah, kemudian shalatlah empat rakaat’ (Kemudian dia menyebutkan seperti hadits di atas) Beliau bersabda, ‘Kemudian engkau angkat kepalamu –yaitu dari sujud kedua-, lalu duduklah dengan sempurna, dan janganlah kamu berdiri sampai engkau bertasbih sepuluh kali, bertahmid sepuluh kali, bertakbir sepuluh kali, dan bertahlil sepuluh kali. Kemudian engkau lakukan itu dalam empat rakaat. Sesungguhnya, jika engkau adalah penduduk bumi yang paling besar dosanya, engkau diampuni dengan sabab itu.’ Aku (sahabat itu) berkata, ‘Jika aku tidak mampu melakukannya pada saat itu?’ Beliau menjawab, ‘Shalatlah di waktu malam dan siang.’” (HR. Abu Dawud, no. 1298).
Juga diriwayatkan Thabarani dan Ibnu Majah, no. 1386, pada akhir hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَلَوْ كَانَتْ ذُنُوْبُكَ مِثْلَ رَمْلِ عَالِجٍ غَفَرَهَا اللهُ لَكَ

Seandainya dosa-dosamu semisal buih lautan atau pasir yang bertumpuk-tumpuk, Allah mengampunimu.” (Dishahihlan al-Albani dalam Shahih at-Targhib Wat Tarhib, 1/282).

Ulama yang Melemahkan Hadits Shalat Tasbih

Sebagian ulama melemahkan hadits shalat tasbih. Di bawah ini di antara ulama yang melemahkan tersebut:
1.    Ketika mengomentari hadits shalat tasbih yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, Abu Bakar Ibnul A’rabi berkata, “Hadits Abu Rafi’ ini dha’if, tidak memiliki asal di dalam (hadits) yang shahih dan yang hasan. Imam Tirmidzi menyebutkannya hanyalah untuk memberitahukannya agar orang tidak terpedaya dengannya.” (Tuhfzatul Ahwadzi Syarh Tirmidzi, al-Adzkar karya an-Nawawi, hal. 168).
2.    Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan hadits-hadits shalat tasbih dan jalan-jalannya, di dalam kitab beliau al-Maudhu’at, kemudian men-dha’if-kan semuanya dan menjelaskan kelemahannya.
3.    Imam adz-Dzahabi rahimahullah menganggapnya termasuk hadits munkar (Mizanul I’tidal, 4/213. Dinukil dari Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 32, tahqiq Syaikh Abdullah al-Laitsi al-Anshari).

Ulama yang Menguatkan

Namun, sejumlah ulama besar Ahli Hadits telah menguatkan menshahihkan hadits shalat tasbih, di antaranya:
1.    Ar-Ruyani rahimahullah berkata dalam kitab al-Bahr, di akhir kitab al-Janaiz, “Ketahuilah, bahwa shalat tasbih dianjurkan, disukai untuk dilakukan dengan rutin setiap waktu, dan janganlah seseorang lalai darinya.”
2.    Ibnul Mubarak. Beliau ditanya, “Jika seseorang lupa dalam shalat tasbih, apakah dia bertasbih dalam dua sujud sahwi 10, 10 (sepuluh, sepuluh)?” Beliau menjawab, “Tidak, Shalat tasbih itu hanyalah 300 (tiga ratus) tasbih.” Dalam riwayat ini, Ibnul Mubarak tidak mengingkari shalat tasbih, yang menunjukkan bila beliau membenarkannya (Al-Adzkar, hal. 169). Imam Tirmidzi rahimahullah berkata, “Ibnul Mubarak dan banyak ulama berpendapat (disyariatkannya) shalat tasbih dan mereka menyebutkan kautamaannya.” (Al-Adzkar, hal. 167).
3.    Al-Hafizh al-Mundziri (wafat 656 H) berkata, “Hadits ini telah diriwayatkan dari banyak sahabat Nabi, dan yang paling baik ialah hadits Ikrimah ini. Dan telah dishahihkan oleh sekelompok ulama, di antaranya al-Hafizh Abu Bakar al-Aajuri, Syaikh kami al-Hafizh Abul Hasan al-Maqdisi, semoga Allah merahmati mereka. Abu Bakar bin Abu Dawud berkata, “Aku mendengar bapakku berkata, ‘Tidak ada hadits shahih dalam shalat tasbih, kecuali ini’.” Muslim bin al-Hajjaj berkata, “Tidaklah diriwayatkan di dalam hadits ini sanad yang lebih baik dari ini (yakni isnad hadits Ikrimah dari Ibnu Abbas).” (Shahih at-Targhib wat Targhib, 1/281, karya al-Mundziri, tahqiq al-Albani).
4.    Imam Nawawi rahimahullah (wafat 676 H), beliau membuat satu bab, Bab: Dzikir-dzikir Shalat Tasbih, di dalam kitabnya al-Adzkar, hal. 166. Beliau juga menyebutkan perselisihan para ulama tentang hadits-hadits shalat tasbih, dan beliau termasuk ulama yang menyatakan disyariatkannya shalat tasbih.
5.    Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 689 H) berkata, “Disukai untuk melakukan shalat tasbih.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 47, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan).
6.    Syaikh as-Sindi (wafat 1138 H) berkata, “Hadits ini (shalat tasbih) telah dibicarakan oleh huffazh (para ulama ahli hadits). Yang benar, bahwa hadits ini hadits tsabit (kuat). Sepantasnya orang-orang mengamalkannya. Orang-orang telah menyebutkannya panjang lebar, dan aku telah menyebutkan sebagian darinya dalam catatan pinggir kitab (Sunan) Abu Dawud dan catatan pinggir kitab al-Adzkar karya an-Nawawi.” (Ta’liq dalam Sunan Ibnu Majah, 1/442).
7.    Syaikh al-Albani rahimahullah menshahihkan hadits shalat tasbih ini dalam kitab Shahih at-Targhib Wat Targhib, 1/281.
8.    Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari berkata mengomentari perkataan Ibnu Qudamah di atas, “Banyak ulama telah menshahihkan isnad hadits shalat tasbih, dan lihatlah (kitab al-Atsar al-Marfu’ah Fil Akhbar al-Maudhu’ah, hal. 123-143, karya al-Laknawi rahimahullah. Beliau telah mengumpulkan hal itu dengan sangat banyak.” (Catatan kaki Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 47, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan).
9.    Syaikh Salim al-Hilali menshahihkan hadits shalat tasbih dalam kitab beliau Mukaffiratudz Dzunub.
10.    Syaikh Abu Ashim Abdullah ‘Athaullah berkata, “Riwayat Abu Dawud; Timidzi; Ibnu Majah; Abdur Razzaq di dalam al-Mushannaf; al-Baihaqi dalam as-Sunan; dan al-Hakim di dalam al-Mustadrak; (derajat hadits) shahih li ghairihi.” (I’lamul Baraya Bi Mukaffiratil Khathaya., hal. 40, taqdim: Syaikh Mushthafa al-Adawi).
11.    Selain para ulama di atas, yang juga termasuk menshahihkan hadits shalat tasbih ini ialah Imam Daruquthni, Ibnu Mandah, al-Khathib al-Baghdadi, Ibnu shalah, Ibnu Hajar al-Asqalani, as-Suyuthi, Syaikh Ahmad Syakir, dan lainnya.

Kesimpulan
1.    Derajat hadits shalat tasbih adalah shahih li ghairihi, sehingga dapat diamalkan. Adapun para ulama men-dha’if-kannya atau menyatakan bahwa hadits shalat tasbih adalah palsu, karena tidak mendapatkan hadits yang kuat sanadnya. Tetapi, hal ini bukan berarti seluruh sanad hadits shalat tasbih tidak shahih. Karena sebagiannya yang berderajat hasan, kemudian dikuatkan jalan lainnya, sehingga meningkat menjadi shahih li ghairihi
2.    Shalat tasbih hukumnya sunnah, bukan wajib sebagaimana anggapan sebagian orang.
3.    Cara shalat tasbih sebagaimana hadits di atas.
4.    Shalat tasbih dilakukan 4 rakaat dengan satu salam, sesuai dengan zhahir hadits. Ada juga sebagian ulama yang menyatakan dengan dua salam. 
5.    Waktunya boleh siang ataupun malam.

Berikut pendapat ulama mengenai hukum shalat Tasbih berjama’ah, yaitu : 

1.Berkata al-Kurdy r.m. di dalam Fatawa: 

“Shalat Tasbih tidak termasuk shalat yang disunat berjama’ah. Menurut mazhab Syafi’i, shalat sunat yang disyari’at berjama’ah maka disunatkan berjama’ah dan diberikan pahala karenanya dan yang tidak disyari’atkan jama’ah maka tidak disunatkan berjama’ah dan tidak mendapatkan pahala jama’ah karena tidak disyari’atkan berjama’ah tetapi pahala shalat sunat tetap ada dan tidak gugur sesuatupun. Jama’ah tersebut juga tidak makruh. Karena tidak didapati dalam mazhab syafi’i shalat sunat yang makruh berjama’ah sebagaimana yang telah ditetapkan, bahkan apabila diniatkan berjama’ah tersebut untuk mengajarkan orang awam maka itu termasuk cahaya atas cahaya”.

Selanjutnya beliau menjelaskan apabila dikuatirkan dengan melaksanakan shalat tasbih berjama’ah muncul i,tiqad orang awam bahwa shalat tasbih disunatkan berjama’ah, ketika itu tidak jauh, maka dibenarkan pengingkarannya, bahkan wajib atas pihak yang berwenang. 1

2.Berkata al-Imam Abdullah bin Husen baafaqiih dan Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madny

“Dimubahkan berjama’ah pada umpama shalat Witir dan Tasbih, maka tidak dimakruhkan dan dan tidak ada pahala pada demikian. Namun apabila diniatkan mengajar orang yang shalat dan menggemarkan mereka, maka baginya berpahala” 2

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa shalat tasbih tidak termasuk shalat sunat berjama’ah. Namun demikian pelaksanaan shalat tasbih dengan cara berjama’ah untuk mengajarkan atau menggemarkan orang awam melaksanakan shalat tasbih dapat dibenarkan. Tindakan yang sama dengan ini, dapat juga dilihat pada tindakan Sayidina Abbas r.a yang menjiharkan fatihah pada shalat jenazah, padahal shalat jenazah termasuk shalat yang tidak sunnah menjiharkannya. Tindakan Saiyidina Abbas tersebut adalah untuk memberitahu kepada orang awam bahwa membaca fatihah adalah termasuk sunnah, sebagaimana tersebut dalam riwayat berikut :

عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَلَى جَنَازَةٍ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ قَالَ لِيَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ

Artinya : Dari Thalhah bin Abdullah bin Auf, beliau berkata : “Aku shalat jenazah dibelakang Ibnu Abbas r.a. Beliau membaca fatihah kitab. Kemudian berkata : “Supaya mereka mengetahui sesungguhnya bacaan tersebut adalah sunnah”. (H.R. Bukhari)3

Yang dimaksud dengan membaca fatihah tersebut adalah dengan menjiharkannya, karena disebutkan “membaca fatihah”, gunanya untuk memberitahukan bahwa membaca fatihah adalah sunnah. Kalau tidak dibaca dengan jihar, tentunya perkataan “supaya mereka mengetahui” tidak bermakna. Memaknai membaca fatihah pada hadits di atas dengan cara jihar juga disebut oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitab Fathul Barri4. Dua hadits riwayat Hakim di bawah ini menjadi penguat dalam memaknai membaca fatihah pada hadits di atas dengan membaca secara jihar, yaitu : 

1.Syarruhubail berkata :

حضرت عبد الله بن عباس صلى بنا على جنازة بالأبواء وكبر ثم قرأ بأم القرآن رافعا صوته بها ثم صلى على النبي صلى الله عليه وسلم ثم قال : اللهم عبدك وابن عبدك وابن أمتك يشهد أن لا إله إلا أنت وحدك لا شريك لك ويشهد أن محمدا عبدك ورسولك أصبح فقيرا إلى رحمتك وأصبحت غنيا عن عذابه يخلى من الدنيا وأهلها إن كان زاكيا فزكه وإن كان مخطئا فاغفر له اللهم لا تحرمنا أجره ولا تضلنا بعده ثم كبر ثلاث تكبيرات ثن انصرف فقال : أيها الناس إني لم أقرأ عليها إلا لتعلموا أنها السنة

Artinya : Aku hadir bersama Abdullah bin Abbas melakukan shalat atas jenazah dengan kami di Abuwa’. Beliau bertakbir kemudian membaca ummul qur’an dengan mengangkat suaranya dan kemudian bershalawat kepada Nabi SAW. Kemudian beliau mengatakan : “Allahumma ‘abdaka wa ibnu ‘abdika wa ibnu ummatika yasyhadu anlaa ilaha illa anta wahdaka laa syarika laka wa yasyhadu anna muhammadan ‘abduka warasuluka ashbaha faqiran ila rahmatika wa ashbahtu ghaniyan ‘an ‘azabihi yakhli minaddunya wa ahlihi in kana zakiyan fa zakkihi wa inkana mukhthi-an faghfir lahu. Allahumma la tahrimna ajrahu wa la tazhlilna ba’dahu. Kemudian melakukan takbir tiga kali lalu beliau berpaling dan berkata : “Hai manusia !. Seseungguhnya aku tidak membaca ummul qur’an kecuali supaya kalian mengetahui sesungguhnya ummul qur’an itu adalah sunnah.” H.R.Hakim)5

2. Sa’id bin Abi Sa’id berkata : 

صلى بنا ابن عباس على جنازة فجهر بالحمد لله ثم قال : إنما جهرت لتعلموا أنها سنة هذا حديث صحيح على شرط مسلم

Artinya : Kami melakukan shalat jenazah bersama Ibnu Abbas. Beliau membaca alhamdulillah secara jihar. Kemudian beliau berkata : “hanya saja aku menjiharkannya adalah supaya kalian mengetahui sesungguhnya hal itu adalah sunnah. Berkata Hakim : “Ini adalah hadits shahih atas syarat Muslim”. (H.R. Hakim) 6

Umar juga pernah menjihar doa iftitah shalat beliau karena ingin mengajarkannya kepada manusia sebagaimana disebut dalam hadits di bawah ini : 

عن عبدة أن عمر بن الخطاب كان يجهر بهؤلاء الكلمات يقول : سبحانك اللهم وبحمدك تبارك اسمك وتعالى جدك ولا إله غيرك

Artinya : Dari ‘Abdah, sesungguhnya Umar bin Khatab menjihar kalimat-kalimat itu dengan mengatakan : “Subhanakallahumma wa bihamdika tabaaraka ismuka wa ta’ala jadduka wa la ilaha ghairaka” (H.R. Muslim) 7


*TATA CARA SHALAT SUNAT TASBIH 4 RAKAAT 2 SALAM :
Usholli sunatan tasbih arba'a Roka'atin lillahita'ala Allahu Akbar

Secara umum, shalat tasbih sama dengan tata cara shalat yang lain, hanya saja ada tambahan bacaan tasbih yaitu:
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
Lafadz ini diucapkan sebanyak 75 kali pada tiap raka’at dengan perincian sebagai berikut.
  • Sesudah membaca Al-Fatihah dan surah sebelum ruku sebanyak 15 kali,
  • Ketika ruku’ sesudah membaca do’a ruku’ dibaca lagi sebanyak 10 kali,
  • Ketika bangun dari ruku’ sesudah bacaan i’tidal dibaca 10 kali,
  • Ketika sujud pertama sesudah membaca do’a sujud dibaca 10 kali,
  • Ketika duduk diantara dua sujud sesudah membaca bacaan antara dua sujud dibaca 10 kali,
  • Ketika sujud yang kedua sesudah membaca do’a sujud dibaca lagi sebanyak 10 kali,
  • Ketika bangun dari sujud yang kedua sebelum bangkit (duduk istirahat) dibaca lagi sebanyak 10 kali.
Demikianlah rinciannya, bahwa shalat Tasbih dilakukan sebanyak 4 raka’at dengan sekali tasyahud, yaitu pada raka’at yang keempat lalu salam. Bisa juga dilakukan dengan cara dua raka’at-dua raka’at, di mana setiap dua raka’at membaca tasyahud kemudian salam.
Semua riwayat menunjukkan 4 raka’at, dengan tasbih sebanyak 75 kali tiap raka’at, jadi keseluruhannya 300 kali tasbih
membaca tasbih dilakukan sesudah bacaan-bacaan yang biasa pada shalat.keculali pada waktu tasyahud ( tahiyyat ) tasbih dibaca sebelum tasyahud.apabila lupa membaca tasbih pada satu tempat boleh diganti pada tempat berikutnya asal jumlah tetap 300kali ( 4 x 75 )
surat yang lazim dibaca :
Rakaat pertama : surat At takatsur ( Al haakumut takaastur... )
rakaat ke kedua : surat Al Ashr ( Wal ashri...)
rakaat ke tiga : Surat Al Kafirun ( Qulyaa aayuhal kaafirun... ) 
rakaat ke empat : surat Al ikhlas ( Qulhu... )
*Qoola Rosulullah saw : Hai abbas, pamanku! maukah paman menerima yang istimewa ? Saya tujukan sepuluh hal yang kau terima bilamana mengamalkan kesepuluh hal itu ialah :
1. diampuni Allah dosamu yang lalu
2. Diampuni dosa-dosa yang belakang
3. Diampuni Allah semua dosamu yang lama
4.Maupun dosa-dosa yang baru
5. Diampuni Allah dosamu yang terlanjur
6. maupun dosa-dosa yang disengaja
7. Diampuni Allah dosamu yang kecil
8. maupun dosa dosa yang kecil
9. Diampuni allah semua dosamu yang nyata
10. maupun dosa-dosa yang samar
untuk memperoleh yang sepuluh hal itu hendaklah kamu shalat Tasbih (H.R Abu Daud & Tarmidzi )
 
" shalat Tasbih ini dilakukan satu hari satu kali, kalau bisa tiap malam.kalau tidak bisa dapat seminggu sekali, jika masih tidak bisa, kerjakanlah sekalipun hanya seumur hidupmu ! " Demikianlah sabda Nabi saw.
apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh akan dapat memberikan ketenangan jiwa, sehingga dapat merasakan dan menikmati arti hidup yang sesungguhnya dibawah ridha Rabbil 'Alamin.


DAFTAR PUSTAKA

1.Sayyed ‘Alwi bin Ahmad as-Saqaf, al-Fawaidul Makkiyah, dicetak dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, Usaha keluarga, Semarang, Hal. 176
2.Sayyed Abdurrahman bin Muhammad A’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.67
3.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 89, No. Hadits : 1335
4.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 204
5.Hakim, al-Mustadrak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 512, No. Hadits : 1329
6.Hakim, al-Mustadrak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 510, No. Hadits : 1323
7.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 299, No. Hadits : 399