SELAMAT DATANG Para Pencari Cinta Sejati,Tanpa Membenci,Tanpa Menyalahkan,Tanpa Kesombongan,Tanpa Membedakan,Semoga Engkau Mendapat Rahmat Alloh~Raden Bagus Langlang Jagat

road to sufi

road to sufi

Friday, September 30, 2016

Tingkatan Maqam Sufi



MAQAM SUFI Menurut Ibn Atha’illah




Mengenai maqām, Ibn Atha’illah membaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;


1. Maqam taubat
2. Maqam zuhud
3. Maqam shabar
4. Maqam syukur
5. Maqam khauf
6. Maqam raja’
7. Maqam ridha
8. Maqam tawakkal
9. Maqam mahabbah

1. Maqam Taubat
Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar.
Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya.Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan,maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.
Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yangada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.
Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaiksangka (husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itusangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.

 2. Maqam Zuhud
Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam; Zuhd ahir Jalīseperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara alal,seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasanduniawi. Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung(ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, makadia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah,dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalausudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapatrasa cinta kepada dunia, dan rasa asud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn‘Aţā’illah:
 ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau asud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.

Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Seorang salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua; yaitu saat kenikmatan dunia tidak ada dan saat kenikmatan dunia itu ada. Ini dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka dia akan menghargainya dengan bershukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena Allah. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih.

3. Maqam Sabar
 Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam:
1. sabar terhadap perkara haram, 
2. sabar terhadap kewajiban, dan 
3. sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia.Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
“Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.

Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri.Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salikdan orang-orang yang dipilih-Nya.
Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.

4. Maqam Syukur
Shukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; 
1. shukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakannikmat yang didapat. 
2. shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan. 
3. shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat,segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-matadari-Nya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:
“Dalam shukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; shukur lisan yaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), shukur badan adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan shukur hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata dari Allah.”

Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Lebih lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2 bagian; shukur āhir dan shukur bāţin. Shukur āhir adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan shukur bāţin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.
Manfaat dari shukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak menshukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jikadia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat kenikmatantersebut. 
Allah berfirman: 
 لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ 
(Jikakalian bershukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah [kenikmatanitu]).

Jika seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.
Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu bershukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dariAllah, shukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Diaharus bershukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya,karena hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui danmeyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dariAllah.
Pengejawantahan shukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal inimanusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan shukur.

5 & 6 . Maqam khauf dan Raja
Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas sirnanya al dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. KetikaAllah berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan hal yang ada pada dirisalik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
“Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yangterpuji maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendakAllah terwujud.”
Khauf seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi dengan rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah pembangkit dari rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang membangkitkan maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.
Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allahkepadanya berupa anugerah maqām, hal dan berbagai kenikmatan yang diaterima. Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknyadia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan danketaatan penuh pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, makalihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkauingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yangtelah kau berikan kepada-Nya.”
Rajā’ bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepadaAllah secara kontinu.
Jika rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin menguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pastiakan disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.

7 & 8 . Maqam Ridha dan Tawakkal
Ria dalam pandangan Ibn ‘Ata'illah adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada 
QS.al-Mā’idah ayat 119:(Allah ria terhadap mereka, dan mereka ridha kepada Allah), 
dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang ridha kepada Allah).
Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika maqam ridha sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqāmtawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām ridha dan maqām tawakkal. Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya,dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam
QS. Hūd ayat 123: (…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya).
Sebagaimana maqām-maqām lainnya, maqām ridha dan tawakkal tidak akanbenar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakanbahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya,dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentukangan-angan.

“Perencanaan (tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiadalagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir.Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan maqām tawakkal dan ridha, hal ini jelas, karena seorang yang ridha maka cukup baginya perencanaan Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan perencanan-Nya. Apakahengkau tidak tahu bahwa cahaya ridha telah membasuh hati dengan curahanperencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang ridha terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya ridha atas keputusan-Nya, maka tiada lagibaginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah ridha kepada qadhā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar ridha akan qadhā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencanaberkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami(semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”  

Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia ridha, hatinya tidak boleh mendongkol. Ridha dengan qadhā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.
Meridhai qadhā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meridhai kekufuran dan kemaksiatan.
Ridha dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan muliaserta membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, jugadapat mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segalabencana. Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelapmata hati. Dengan ridha atas segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih sukamengoreksi segala amal perbuatan pada masa-masa yang lampau, agarseseorang dapat mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.

Menyerah kepada qadhā’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini,sebagaimana firman Allah SWT.:
Hai orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yangberkata kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi,atau sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama kami, niscaya merekatidak akan mati, dan tidak akan terbunuh. Yang demikian karena Allahhendak jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka danAllah rnenghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yangengkau kerjakan.

9. Maqam Mahabbah
Imam al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maabbah adalah maqām tertinggidari sekian maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maabbah adalah tujuan utama dari semua maqām.
Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep mahabbah bahwa dalam mahabbah seorang sālik harus menanggalkan segalaangan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik yangtelah sampai pada mahabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwarasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orangyang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yangdicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yangdicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.
”...mahabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqām, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah mahabbah, karena mahabbah adalah hasil dari seluruh maqām, menjadi akibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang, ridha dan lainsebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum mahabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd danlain sebagainya...”
Untuk dapat mencapai hal tersebut diatas, maka seorang salik disyaratkan terlebih dulu mengambil baiat (janji)pada seorang gurutarekat (Mursyid). Dimana tugas seorang guru Mursyid adalah membimbing dan mengarahkan agar seorang salik tidak terjerumus kedalam kesesatan.Baiat Tarekat merupakan pintu utama memasuki dunia tasawuf.
Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakikat atau dengan kata lain pengalaman Syari'at, yang disebut "Al-Jaraa" atau "Al-Amal", sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
 
1) Tarekat adalah pengamalan syari'at, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.

2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang tidak (batin).

3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.


Maqam Hakikat
Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran.
Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk
mencari suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan
definisinya sebagai berikut :

a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma'ruf mengatkan :
"Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai suatu tujuan...sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan mata hatinya".
b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:
"Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan, disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan oleh Allah kepada hamba-Nya".

Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:
1) "Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;
2) "Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
3) "Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal".
Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan mari"fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma'rifat merupakan tujuan akhirnya.

Maqam Marifat
Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf. Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan:
"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."

Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma'rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma'rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya. Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hambatidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalamikesesatan.
Demikian ulasan singkat kami tentang maqam (kedudukan) dan hal(keadaan) dalam dunia tasawuf atau dunia para Wali Allah, semoga kitasemua dapat menempuh tahapan-tahapan dalam tasawuf. Wallah A’lam Bishawab