"Ana Al Haq.... !"
Abu Abdullah Husain bin Mansur al-Hallaj ( أبو عبد الله الحسين بن منصور الحلاج )
Mansur Al Hallaj, Sufi besar ini mempunyai tempat cukup penting dalam dunia tasawuf. Pernyataan-pernyataannya cendrung kontroversial.
Seperti Socrates – fisuf besar Yunani sekian abad sebelum masehi yang harus mati minum racun, Al-Hallaj juga tokoh besar dan filsuf yang dihukum mati karena mempertahankan pendapat dan ajarannya. Mereka sama-sama meninggalkan banyak legenda yang masih dibicarakan orang hingga kini. Lebih penting lagi ialah pemikiran dan gagasan-gagasannya yang brilian. Sudah ratusan buku yang membahas kedua tokoh ini.
Dalam dunia sufi, Al-Hallaj mempunyai kisah tersendiri. Pemikirannya tentang Wahdatul Wujud, yaitu paham yang meyakini bahwa seseorang mampu meleburkan diri ke dalam Dzat Allah, meninggalkan banyak kontroversi. Bahkan sampai sekarangpun perdebatan tentang hal itu belum juga reda. Selain itu Al-Hallaj juga sangat piawai dalam mengemukakan pengalaman spritualnya. Ia bahkan cenderung ekstrim. Jargonnya yang terkenal; Ana al-Haq (aku adalah Tuhan),masih terus menjadi bahan perbincangan yang tiada habis sampai sekarang.
Ia lahir dengan nama Abu Al-Mugis Al-Husain ibnu Mansur al-Baidlawi pada 858 M / 244 H di Baida, di Provinsi Fars, Iran. Masa remajanya dihabiskan di Kota Tustar, belajar pada Sahal ibnu Abdullah At-Tustari, sufi besar yang terkenal di Tustar. Ketika usianya menginjak 18 tahun, ia pergi ke Basrah, lalu ke Baghdad, ia berguru kepada beberapa guru spritual, seperti Syekh Abdul Husain al-Nurim Syekh Junaid Al-Bagdadi, dan Syekh Amru ibn Usman Al-Makki.
Ketika berguru pada Al-Makki itulah ia mulai mendapat pemahaman tentang Wahdatul Wujud, dan sejak itu ia banyak melontarkan ucapan-ucapan yang kontroversial. Padahal beberapa gurunya sudah berkali-kali melarangnya. Tapi sia-sia. Itu sebabnya ia memilih meninggalkan perguruannya di Basrah, dan kembali ke Baghdad. Di Ibu kota Irak ini ia masuk kembali ke perguruan milik Syekh Junaid Al-Baghdadi. Tapi di sini ia kembali melontarkan ucapan-ucapan yang mengungkapkan rahasia ke-Tuhan-an, walaupun sudah dilarang oleh gurunya.
Meski bagi banyak orang dianggap nyeleneh, Al-Hallaj juga berdakwah. Bahkan ia tidak tanggung-tanggung dalam berdakwah. Misalnya berdakwah sambil mengembara, dari Ahwaz, Khurasan, Turkistan, keluar dari Irak, sampai ke India. Hebatnya dimanapun ia berada selalu elu-elukan karena ilmu agamanya yang tinggi. Kepiawaiannya inilah yang menjadikannya mempunyai banyak pengikut yang balakangan disebut kelompok al-Hallajiyah. Mereka memandang Al-Hallaj sebagai waliyullah yang memiliki kekeramatan.
Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan, Al-Hallaj adalah seorang sufi yang sangat tekun beribadah. Dalam ibadahnya yang khusyu’ ia sering mengungkapkan rasa Syathahat, yaitu ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil. Hal itu terjadi ketika ia tenggelam dalam Fana, suatu tingkatan kerohanian ketika kesadaran tentang segala sesuatu sirna kecuali hanya kesadaran tentang Allah SWT.
Dari sinilah muncul ungkapan An al-Haq – yang oleh Al-Hallaj ditafsirkan bahwa “Aku berada di dalam Dzat Allah.” Bayak ahli tasawuf menafsirkan, ungkapan itu sebenarnya tidak dimaksudkan bahwa dirinya adalah Tuhan. Hal itu tampak dalam sebuah pernyataan, “Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, bukanlah Yang Maha Benar Itu Aku. Aku hanyalah satu dari yang benar. Maka bedakanlah antara aku dan Dia.”
Ia menulis sejumlah kitab dan bait-bait puisi. Dalam legenda Muslim, ia adalah prototipe pencinta yang mabuk kepayang kepada Allah.
Husain ibnu Manshur, yang dijuluki Al-Hallaj (penyortir wol), awalnya pergi menuju Tustar, di sana menjadi pelayan Sahl ibnu Abdullah selama dua tahun, kemudian setelah itu ia bertolak ke Baghdad.
Ia memulai pengembaraannya pada usia 18 tahun. Setelah itu ia pergi Bashrah dan bergabung dengan Amr ibnu Ustman, sampai delapan belas bulan bersamanya. Ia menikah dengan putri Ya’qub Al-Aqta’. Karena pernikahannya dengan Putri Ya’qub itulah membuat Amr ibnu Ustman menjadi tidak senang terhadap Al-Hallaj.
Karena itulah Al-Hallaj pergi meninggalkan Bashrah menuju Baghdad. Di sana ia menemui Junaid. Junaid memberikan syarat kepada Al-Hallaj, bahwa ia harus diam dan mengasingkan diri.
Setelah beberapa lama ia bersama Junaid, ia melanjutkan perjalanannya menuju Hijaz. Ia tinggal di Makkah selama satu tahun. Setelah itu ia kembali lagi ke Baghdad. Bersama sekelompok sufi ia sering menghadiri majelis Junaid dan sering mengajukan pertanyaan kepada Junaid, namun Junaid tidak menjawabnya.
Ketika Junaid menolak menjawab pertanyaan-pertanyaannya, Al-Hallaj merasa kesal dan tanpa pamit ia pergi menuju Tustar. Di sana ia tinggal selama satu tahun dan diterima dengan hangat oleh masyarakat, namun karena ia sering merendahkan doktrin yang berlaku di tengah masyarakat saat itu, para ulama ulama pun akhirnya merasa jengkel lalu menentangnya.
Al-Hallaj pun sebenarnya sudah jemu dengan tempat itu. Ia lalu mencoba menanggalkan jubah sufinya, dan mengenakan jubah orang kebanyakan, dan menghabiskan hari-harinya bersama orang-orang kebanyakan (duniawi).
Namun upaya ini tidak membawa perubahan apa-apa bagi dirinya. Setelah itu ia menghilang selama lima tahun. Sebagian ia habiskan waktunya di Khurasan, dan Transoxiana, sebagian lagi di Sistan.
Al-Hallaj kemudian kembali ke Ahwaz. Di sana khotbah-khotbahnya mendapat dukungan dari kaum elite dan masyarakat kebanyakan. Ia sering berkhotbah tentang rahasia-rahasia manusia, sehingga ia dijuluki sebagai “Al-Hallaj Sang Rahasia.”
Setelah masa itulah ia mengenakan jubah Darwis yang compang camping lagi dan pergi menuju ke tanah Haram, bersama sekelompok orang dengan pakaian yang serupa. Saat ia tiba di Makkah, Ya’qub Al-Nahrajuri menuduhnya sebagai tukang sihir. Karena tuduhan itulah ia kembali lagi ke Bashrah, lalu ke Ahwaz.
“Sekarang aku akan pergi ke negeri-negeri kaum Polities, untuk menyeru manusia kepada Allah,” tuturnya.
Ia pun pergi ke India, Transoxiana, lalu ke Cina., menyeru manusia kepada Allah dan banyak menulis kitab untuk mereka.
Saat ia kembali dari pengembaraannya ke daerah-daerah itu, masyarakat di daerah-daerah tersebut menulis surat untuknya.
Orang-orang India memanggilnya Abul Mughis, masyarakat Cina menjulukinya Abul Mu’in, mereka yang di Khurasan mengenalnya sebagai Abul Muhr, orang-orang Parsi memanggilnya Abu Abdullah, masyarakat Khusiztan menjulukinya Al-Hallaj, sang Rahasia, di Bahgdad ia dijuluki sebagai Mustalim, sedangkan di Bashrah ia dikenal sebagai Mukhabbar.
Sekembalinya dari Makkah yang kedua kalinya, keadaannya telah banyak berubah. Ia adalah seorang “manusia baru”, menyeru manusia kepada kebenaran dengan menggunakan istilah-istilah yang sama sekali tidak dipahami oleh seorangpun. Karena itulah, diriwayatkan bahwa ia telah di usir dari lima puluh kota.
Dalam keadaan yang membingungkan seperti itulah, masyarakat terbelah menjadi dua kelompok berkaitan dengan Al-Hallaj, ada yang pro pada pendapatnya, dan ada banyak yang menentangnya. Walaupun mereka banyak yang menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Al-Hallaj.
“Katakanlah, Dialah Kebenaran,” teriak mereka kepadanya.
“Ya, Dialah segalanya,” jawab Al-Hallaj. “Kalian mengatakan bahwa Dia hilang (tak dapat diindrai). Sebaliknya Husainlah (maksudnya dirinya) yang hilang (fana). Lautan tak akan surut ataupun lenyap.”
Masyarakat melapor kepada Syekh Junaid, “kata-kata Al-Hallaj mengandung makna esoteris.”
“Biarkan ia dieksekusi,” jawab junaid. “Sekarang ini bukanlah saat yang tepat bagi makna-makna esoteris.”
Ia dipenjara oleh Khalifah selama satu tahun. Namun selama dalam tahanan itu, masyarakat sering menjenguk dan menemuinya untuk mengkonsultasikan masalah-masalah mereka. Akhirnya mereka dilarang untuk mengunjungi Al-Hallaj. Setelah itu selama lima bulan tak ada seorangpun yang menemuinya, kecuali Ibnu Atha’ dan Ibnu Khafif.
Pada suatu kesempatan, Ibnu Atha’ mengirimkan pesan kepada Al-Hallaj. “Wahai Syekh, mintalah maaf atas segala ucapanmu agar engkau bisa bebas.”
Al-Hallaj menjawab, “Suruh ia yang mengatakan hal ini untuk meminta maaf.”
Ibnu Atha’ menangis saat mendengar jawaban ini. “Kita bahkan tidak memiliki secuil pun derajat dibanding dengan Al-Hallaj.” Katanya.
Diriwayatkan, pada malam pertama ia dipenjara, para sipir datang ke selnya, namun tidak menemukannya di sana. Mereka mencarinya ke seluruh sudut sel, namun ia tetap tidak ditemukan.
Pada malam kedua, mereka juga tidak menemukan baik Al-Jallaj maupun selnya.
Pada malam ketiga, mereka menemukannya berada di dalam selnya.
Para sipir itu bertanya, “Dimana engkau pada malam pertama, dan dimana engkau bersama sel ini di malam kedua? Kini engkau di sel ini kembali, tanda-tanda apa ini?”
Ia menjawab, “Di malam pertama, aku berada di dalam-Nya, karena itulah aku tidak berada di sini. Pada malam kedua, Dia berada di sini, maka aku dan sel ini pun tiada. Di malam ketiga, aku dikirim kembali, agar hukum dapat ditegakkan, ayo lakukan tugas kalian!”
Saat Al-Hallaj masuk penjara itu, ada tiga ratus orang tahanan lain di sana. Malam itu ia menyapa mereka, “Wahai para tahanan, maukah kalian aku bebaskan?”
“Mengapa tidak engkau bebaskan saja dirimu sendiri?” Tanya mereka.
“Aku adalah tahanan Allah, aku adalah pengawal keselamatan,” jawabnya. “Jika engkau mau, aku dapat melepaskan semua belenggu dengan satu isyarat.”
Al-Hallaj membuat satu isyarat dengan jari telunjuknya, dan semua belenggu mereka pun terbuka, hancul lebur.
“Sekarang bagaimana kita bisa pergi? Tanya para tahanan itu. “Karena pintu sel terkunci.”
Al-Hallaj membuat satu isyarat lagi, dan tembok penjara pun jebol.
“Sekarang pergilah kalian,” pekiknya.
“Engkau tidak ikut?” Tanya mereka.
“Tidak,” jawabnya. “Aku punya sebuah rahasia dengan-Nya yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan.”
“Keesokan harinya para sipir bertanya padanya, “Kemana perginya para tahanan lainnya?”
“Aku telah membebaskan mereka,” jawab Al-Hallaj dengan santainya.
“Mengapa engkau tidak ikut pergi?” tanya mereka.
“Allah punya alasan untuk mencemoohku, maka aku tidak pergi,” jawabnya.
Kejadian di penjara ini dilaporkan kepada Khalifah. “Akan ada kerusuhan,” pekik Khalifah. “Bunuh dia, atau cambuk dia dengan tongkat sampai dia menarik kembali ucapannya.”
Mereka mencambuknya dengan tongkat sebanyak tiga ratus kali. Setiap kali cambuk mendera tubuhnya, sebuah suara ghaib berkata, “Jangan takut, wahai Ibnu Manshur!”
Kemudian mereka membawanya keluar untuk disalib. Dengan tiga belas belenggu yang berat di tubuhnya, Al-Hallaj melangkah dengan tegap sepanjang jalan, sambil melambaikan tangannya seperti seorang pengembara.
“Mengapa engkau berjalan dengan begitu pongah?” Mereka bertanya.
“Karena aku tengah berjalan menuju pejagalan,” jawabnya. sambil melantunkan bait-bait syait:
kekasihku tak bersalah
diri-Nya aku anggur terbaik seperti Dia
laksana tuan rumah yang ramah,
melayani tamunya.
Dan kala perjamuan telah berakhir,
Dia menghunus pedang dan kafan pun di gelar-Nya,
Itulah takdir,
Bagi ia yang meneguk anggur lama,
Di musim panas bersama singa tua
Menurut Al-Hallaj, Allah SWT menciptakan menusia menurut bentuk-Nya, dalam pengertian bahwa, kendati manusia adalah makhluk dan bukan Tuhan, manusia mempunyai tabiat kemanusiaan yang menyerupai tabiat ketuhanan Allah SWT. Dengan kata lain, tabiat kemanusiaan adalah tabiat ke-Tuhan-an yang tidak sempurna, sedangkan tabiat ketuhanan Allah SWT Maha Sempurna, suci dari kekurangan. Banyak sufi se zamannya yang berbicara seperti itu, misalnya Syekh As-Syibli, yang bahkan dianggap gila. Lain halnya dengan AL-Hallaj, ia tidak dianggap gila, tapi orang waras yang bijak.
Banyak kisah menarik di sekitar Al-Hallaj, terutama pergaulannya dengan Junaid Al-Bagdadi. Pada suatu hari Syekh Junaid berkata, “Hai, Mansur (Al-Hallaj) tak lama lagi suatu titik dari sebilah papan akan diwarnai oleh darahmu!” maka sahut Al-Hallaj, “Benar, tapi engkau juga akan melemparkan pakaian kesufianmu dan mengenakan pakaian Maulwi Ana Al-Haq.” Dan ternyata dua ramalan itu menjadi kenyataan. Pada suatu hari Al-Hallaj benar-benar dirangsang oleh “Api cinta Ilahiyah” dan kembali meneriakkan “Ana al-Haq” tanpa henti.
Para guru dan teman-temannya seperti Syekh Junaid dan As-Syibli, menasihati dia agar menahan diri. Namun ia tidak mempan oleh teguran itu. Al-Hallaj terus saja mengulang seruannya, “Ana Al-Haq,” setiap saat. Gara-gara itulah, kaum ulama syariat bangkit melawan Al-Hallaj, didukung oleh Hamid bin Abbas, Perdana Menteri Irak. Dan akhirnya keluarlah “Fatwa Kufur”, yang menyatakan bahwa Al-Hallaj melanggar ketentuan agama dan dapat dihukum mati.
Tapi ketika hukuman itu disampaikan untuk mendapat persetujuan Khalifah Muqtadir Billah menolaknya, kecuali fatwa tersebut di tanda tangani oleh Syekh Junaid Al-Bagdadi, maka Khalifah Muqtadir pun mengirimkan fatwa itu kepada Syekh Junaid – sampai enam kali. Pada kiriman yang ke tujuh, Syekh Junaid membuang pakaian kesufiannya lalu memakai pakaian keulamaan. Setelah itu ia menulis pada surat jawaban: menurut hukum syariat, Al-Hallaj dapat di jatuhi hukuman mati, tapi menurut ajaran rahasia kebenaran, Allah Maha Tahu!.
Maka Al-Hallaj pun ditangkap pada tahun 913 M / 309 H. ia ditahan dan dijebloskan kedalam penjara. Para ulama pro pemerintah menuduhnya sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan syariat. Bahkan ia dituduh berkomplot dengan kelompok perusuh Qaramithah yang mengancam kedaulatan Bani Abbasiyah. Maka Al-Hallaj pun dihukum mati dengan cara disalib.
Saat mereka membawa Al-Hallaj ke tiang gantungan di Bab al-Taq, ia mencium kayunya dan menaiki tangganya sendiri.
“Bagaimana perasaanmu?” Tanya mereka.
“Mi’rajnya seorang kasatria adalah di tiang gantungan,” jawabnya.
Ia mengenakan celana sebatas pinggang dan mantel di bahunya. Sambil menghadap ke arah kiblat, ia menengadahkan kedua tangannya dan mulai bercengkrama dengan Allah.
“Apa yang diketahui-Nya, tak seorang pun mengetahuinya,” katanya. Lalu ia pun naik ke tiang gantungan.
Sekelompok orang pengikutnya bertanya, “Bagaimana menurutmu, mengenai kami yang merupakan para pengikutmu, dan mengenai mereka, yang hendak merajammu?”
“Mereka mendapat dua pahala, sedangkan kalian satu,” jawabnya. Kalian hanya berprasangka baik padaku, sedangkan mereka digerakkan oleh kekuatan keimanan terhadap Allah untuk menjaga kelurusan hukum-Nya.”
Kemudian As-Syibli mendekat dan berdiri di hadapannya sambil berkata, “Bukankah kami telah melarangmu dari (melindungi) manusia?” pekiknya. Lalu ia bertanya, “Wahai Al-Hallaj, apa itu sufisme?”
Al-Hallaj menjawab, “Yang engkau lihat ini adalah derajat terendahnya.”
“Lalu apa yang lebih tinggi daripada ini?” tanya As-Syibli.
“Yang tak dapat engkau capai,” jawab Al-Hallaj.
Orang-orang mulai melempari Al-Hallaj dengan batu. Sedangkan As-Syibli, demi menyesuaikan diri, melempar segumpal tanah. Al-Hallaj merintih.
Mereka bertanya, “Engkau tidak merintih saat dilempar dengan batu-batu itu. Tapi mengapa engkau merintih sewaktu terkena lemparan segumpal tanah?”
“Karena mereka yang melemparku dengan batu tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. Mereka punya alasan. Sedangkan ia yang melempar gumpalan tanah itu, ia mengetahui bahwasanya tidak seharusnya ia melakukan itu kepadaku. Itulah yang menyakitkanku.”
Kemudian mereka memenggal kedua tangannya, Al-Hallaj pun tertawa.
“Mengapa engkau tertawa?” pekik mereka.
“Sungguh mudah memenggal kedua tangan orang seseorang yang terbelenggu,” jawabnya. “Namun dibutuhkan seorang kasatria untuk memenggal tangan-tangan segenap sifat yang melepaskan mahkota cita-cita dari dahi-Nya.”
Mereka memotong kedua kakinya. Ia pun tersenyum.
“Dengan kedua kaki ini, aku melakukan perjalanan duniawi,” katanya. “Dengan dua kaki lainnya yang kupunya, aku bahkan bisa berjalan di dua alam (dunia dan akhirat). Jika kalian mampu, potonglah kedua kaki itu!”
Lalu ia mengusapkan kedua tangannya yang bunting ke wajahnya, sehingga lengan dan wajahnya berlumuran darah.
Mereka bertanya, “Mengapa engkau melakukan itu?”
“Aku telah kehilangan banyak darah,” jawabnya. “Aku sadar bahwa wajahku telah memucat. Kalian menyangka bahwa pucatnya wajahku disebabkan oleh ketakutanku. Maka kuusapkan darah ke wajahku agar pipiku tampak semerah mawar di mata kalian. Riasan para ksatria adalah darah mereka.”
“Lalu mengapa engkau juga melumuri lenganmu dengan darah?”
“Aku tengah berwudlu.”
“Wudlu untuk apa?”
“Saat seseorang hendak mendirikan shalat dua rakaat dalam cinta,” jawab Al-Hallaj. “Wudlunya belum sempurna bila tidak dilakukan dengan darah.”
Kemudian mereka mencungkil kedua bola matanya. Raungan terdengar di antara kerumunan orang. Sebagian menangis, sebagian melempar batu. Lalu mereka hendak memotong lidahnya.
“Sabarlah sedikit, beri aku waktu untuk mengutarakan sepatah-dua patah kata,” ujarnya. “Ya Allah, pekiknya sambil menengadahkan wajahnya ke langit. “Janganlah engkau usir mereka dari haribaan-Mu lantaran apa yang mereka lakukan padaku karena Engkau. Jangan pula Engkau cabut kebahagiaan ini dari mereka. Segala puji bagi Allah, karena mereka memotong kedua kakiku saat aku tengah meniti jalan-Mu. Dan jika mereka memenggal kepalaku, sungguh mereka telah mengangkatku ke tiang gantungan, merenungkan keagungan-Mu.”
Sebelum dihukum mati, ia shalat dan berdoa, “Ya Allah, mereka adalah hamba yang berhimpun untuk membunuhku, karena fanatik kepada agama-Mu dan hendak mendekatkan diri kepada-Mu. Maka ampunilah dan berilah rahmat kepada mereka. Karena jika engkau membuka hati mereka, seperti engkau membuka hatiku, mereka tidak akan melakukan seperti yang sedang mereka lakukan terhadapku. Dan jika engkau tutup hatiku seperti engkau menutup hati mereka, niscaya aku tidak akan diperlakukan seperti ini.”
Kemudian mereka memotong daun telinga dan hidungnya. Seorang yang membawa kendi kebetulan hadir di sana. Melihat Al-Hallaj, ia memekik, “Penggal, penggal dengan keras dan benar! Apa urusannya ia bicara tentang Tuhan?”
Kata-kata terakhir yang diucapkan Al-Hallaj adalah “Cinta-Nya adalah pengasingan-Nya.” Kemudian ia membaca sebuah ayat: “Orang-orang yang tidak beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari itu segera didatangkan, dan orang-orang yang beriman merasa takut padanya dan mereka yakin bahwa kiamat itu adalah benar (akan terjadi).”
Itulah kata-kata terakhirnya.
Kemudian mereka memotong lidahnya. Baru ketika shalat maghrib tiba mereka memenggal kepalanya. Bahkan saat mereka memenggal kepalanya, Al-Hallaj tersenyum, lalu setelah itu ia meninggal dunia.
Tangisan membahana dari kerumunan orang. Al-Hallaj telah membawa bola takdir ke batas medan tawakal. Tiap potongan tubuhnya menyerukan, “Akulah Kebenaran.”
Keesokan harinya mereka mengatakan, “masalah ini akan bertambah buruk ketimbang saat ia hidup.”
Maka mereka pun membakar jasadnya. Dari abunya pun terdengar seruan, “Akulah Kebenaran.” Bahkan pada saat pembantaiannya, tiap tetes darahnya membentuk nama Allah”.
Mereka tercengang melihat semua itu, lalu mereka membuang abunya ke Sungai Tigris. Abunya mengambang di permukaan sungai Tigris dan terus menyerukan, “Akulah kebenaran.”
Sebelum dieksekusi Al-Hallaj telah berpesan kepada pembantunya, “Saat mereka membuang abu jasadku ke Sungai Tigris, Baghdad akan terancam tenggelam. Hamparkanlah jubahku di sungai, kalau tidak, Baghdad akan hancur.”
Pembantunya, saat melihat apa yang terjadi, membawa jubah Al-Hallaj dan menghamparkannya di tepi Sungai Tigris. Air pun surut dan abu Hallaj pun diam. Kemudian mereka mengumpulkan abunya dan menguburkannya.
Kematian Al-Hallaj merupakan kehilangan besar sekaligus noda hitam dalam dunia tasawuf. Namun pemikirannya tetap hidup terus, tak lekang oleh ruang dan waktu
khususon Mansur Al Hallaj..al Fateha