SELAMAT DATANG Para Pencari Cinta Sejati,Tanpa Membenci,Tanpa Menyalahkan,Tanpa Kesombongan,Tanpa Membedakan,Semoga Engkau Mendapat Rahmat Alloh~Raden Bagus Langlang Jagat

road to sufi

road to sufi

Wednesday, November 29, 2017

Memahami Nama ‘Hu’/’Huwa’: 

Dia Yang Tak Bisa Diliputi Nama

 
A. Sebutan Tuhan

Sahabat-sahabat, kadang kita terlalu cepat ‘memagari diri’ dari istilah-istilah yang kita anggap tidak berada dalam domain yang sama dengan agama kita. Terlalu cepat ‘mengkafirkan’. Bukan mengkafirkan orang lain, tapi mengkafirkan bahasa (lain). Dengan memagari diri seperti ini, apalagi dengan didahului prasangka, maka dengan sendirinya kita akan semakin sulit saja memahami hikmah kebenaran yang Dia tebarkan di mana-mana.
Padahal, dalam Qur’an pun Allah menjelaskan bahwa beragam bahasa adalah tanda dari-Nya juga.
“Dan diantara ayat-ayatnya ialah menciptakan langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat ayat-ayat bagi orang-orang berilmu (‘Alimiin).” Q.S. 30 : 22.
Jika ada orang menyebut tuhannya sebagai Yehovah, Eloh, Eloheim, atau Adonai, mekanisme dalam pikiran kita mendadak seperti mencipta imaji-imaji bahwa ada banyak tuhan yang sedang berjejer, sesuai urutan sesembahan yang ada sepanjang masa. Ada tuhan yang disebut Yehovah, Eloheim, Jahveh, Brahma, Manitou, Zeus, Allah, Tuhan Alah, dan lain sebagainya. Sedangkan yang kita sembah adalah yang disebut Allah, yang lainnya bukan, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Tuhan kita dan agama kita. Pokoknya thoghut, atau kafir.
Benarkah begitu? Bukankah Tuhan hanya satu? Bukankah ‘Laa ilaaha Ila’Llah’ artinya tiada Tuhan selain Allah? Wallahu ‘alam, meski saya mengerti bahwa Tuhan hanya satu, tapi saya belum mengetahui secara total makna lahiriyah maupun batiniyah dari kalimat syahadat itu. Tapi setidaknya, bukankah cara berfikir yang seperti tadi juga berarti bahwa tanpa sadar pikiran kita telah menyejajarkan Dia dengan selain-Nya? Atau, secara halus dan tersamar sekali, itu artinya kita masih mengakui bahwa ada banyak entitas dalam satu himpunan tuhan, dan Allah adalah salah satu dari yang ada dalam himpunan itu. Bukankah itu keterlaluan?
Istilah ‘Allah’ sudah ada sejak sebelum Al-Qur’an turun. Sebelum junjungan kita Rasulullah menerima wahyunya yang pertama, bangsa Arab sudah menggunakan kata- kata ‘demi Allah’ jika mengucapkan sumpah. Hanya saja, mereka juga sering menyebut nama patung-patung mereka, ‘demi Lata’ atau ‘demi Uzza’, ‘demi punggung istriku’, atau bahkan ‘demi kuburan ibuku’, dalam sumpah mereka.
Kapan istilah ‘Allah’ pertama kali dikenal manusia? Tidak tahu persis. Diperkirakan tidak akan jauh dari periode kemunculan agama Islam yang dibawa Rasulullah di tanah Arab. Tapi apakah berarti, pada periode sebelum itu, Allah diam saja di langit sana, dan tidak memperkenalkan diri-Nya? Rasanya kok tidak demikian ya. Saya suka bertanya-tanya, misalnya dengan nama apa Allah mengenalkan diri-Nya pada nabi Ya’kub as dan nabi Musa as, nabi bangsa Bani Israil? Karena pada kenyataannya, bangsa yahudi sekarang tidak menyebut nama-Nya dengan sebutan ‘Allah’ yang sesuai dengan bahasa Arab.
Kitab suci dari Allah yang kita kenal ada empat: Taurat, Zabur, Injil, dan kitab penutup dan penyempurna semuanya, Al-Qur’an. Taurat, atau Torah, turun kepada Nabi Musa as. Karena Musa adalah orang Bani Israil, tentu kitab yang turun pun berbahasa mereka, Ibrani. Demikian pula Zabur, Injil, dan Al-Qur’an. Semua turun dan disampaikan dengan bahasa penerimanya.
Jadi, apakah salah jika orang yang kebetulan beragama lain, menyebut nama Allah dengan nama yang turun pada bahasa kitab mereka? Apakah itu Tuhan yang lain? Belum tentu. Sekali lagi, kita tidak boleh terlalu cepat ‘mengkafir-kafirkan’, termasuk mengkafirkan bahasa dan istilah.
Ada banyak sekali irisan kemiripan bahasa-bahasa agama dalam sejarah. Sebagai contoh, nama ‘Allah’, sangat mirip dengan ‘Eloh’. Dalam kitab-kitab Ibrani, Tuhan disebut sebagai ‘Eloheim’. Dari asal kata ini, kita mengerti misalnya arti kata ‘betlehem.’ Dari asal katanya, Bethel dan Eloheim. ‘Bethel’ bermakna rumah, dan ‘Eloheim’ adalah Allah. Rumah Allah. Jika demikian, apa bedanya kata ‘Betlehem’ dengan ‘Baytullah’?
Juga ‘Yehova’ atau ‘Yahwe’, sangat mirip dengan ‘Ya Huwa’, Wahai Dia (yang tak bernama). Yang agak ‘mencurigakan’, adalah inti ajaran Socrates, ‘Gnothi Seauthon’, yang artinya adalah ‘Kenalilah Dirimu.’ Dari segi makna, ini sangat mirip dengan inti hadits yang sering diulang-ulang oleh para sahabat Rasulullah maupun para sufi terkemuka, ‘man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu,’ mereka yang ‘arif tentang dirinya, akan ‘arif pula tentang Rabb nya.’ Esensinya sangat mirip: mengenal diri. Dan sebuah fakta yang tak kalah menariknya, sejarah mencatat bahwa Socrates adalah guru dari Plato, Plato guru dari Aristoteles, dan Aristoteles adalah guru dari Alexander of Macedon. Sosok yang terakhir ini oleh sebagian ahli tafsir disamakan dengan Iskandar Dzulqarnayn, sosok panglima yang namanya diabadikan dalam Al-Qur’an.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa semua tuhan sama saja, yang berbeda hanya namanya. Atau dewa pada tiang totem yang disembah bangsa indian apache adalah Allah juga. Bukan begitu. Saya hanya mengatakan bahwa kita sebaiknya jangan terlalu ‘alergi’ dengan kata-kata agamis dari agama lain. Kita harus berhati-hati sekali untuk ‘mengkafirkan’ istilah. Sebab kalau ternyata salah, maka artinya kita ‘mengkafirkan’ sebuah hikmah atau sebuah tanda dari-Nya. Maka kita akan semakin jauh saja dari kebenaran.
Bukankah Allah pasti menyebarkan jejak-Nya di mana-mana, sepanjang zaman? Dan jangan berfikir bahwa Allah hanya pernah dan hanya mau ‘muncul’ di agama kita saja. Ini berarti kita, sebagai makhluk, berani-berani menempatkan Allah dalam sebuah himpunan, ke sebuah konsep di dalam kepala kita. Himpunan deretan tuhan, atau himpunan kelompok agama.
Allah adalah Tuhan. La Ilaha Ilallah. Dia ada di luar himpunan apapun. Dia tak beragama, dan tidak memeluk agama apapun. Karena itu, kita jangan berfikir, baik sadar maupun tidak, bahwa Allah ‘beragama Islam’.
Agama diciptakan-Nya sebagai jalan untuk memahami-Nya, memahami kehidupan, dan memahami diri ini. Segala sesuatu Dia ciptakan dan Dia akhiri. Maka Allah adalah sumber dan akhir segalanya. Dua asma- Nya adalah ‘Al-Awwal’ dan ‘Al-Akhir’. Ini pun sebuah kebetulan yang menarik, karena bangsa Yunani kuno, bangsanya Socrates dan Plato, eyang guru dari Alexander tadi, juga menyebut salah satu nama yang dimiliki Tuhan mereka sebagai ‘Alpha Omega’, berarti ‘Yang Awal dan Yang Akhir’ (Alpha = Alif = huruf awal dalam alfabet yunani dan arab, simbol ‘awal’; sedangkan Omega = huruf terakhir dalam alfabet yunani, simbol ‘akhir’). Kemiripan yang sangat menarik, ya?

B. Asma-asma Allah.

Istilah ‘Allah’ sendiri adalah ‘hanya’ sebuah asma. Itu hanya nama dari sebuah entitas. Namun ‘Hu’, atau ‘Dia’, adalah sebutan bagi sebuah zat, sebuah entitas, yang tertinggi. Tak terbandingkan, tak terukur, tak terperi. Lalu apakah kita, sebagai makhluk, memungkinkan untuk menempatkan Dia ke dalam kepala kita, menaruhnya ke dalam sebuah konsep ‘nama’? Tentu tidak. Dia, secara utuh, secara menyeluruh, secara real, sesungguhnya tak bernama. Tak ada apapun yang bisa membungkus-Nya, termasuk sebuah nama.
Lalu untuk apakah, atau nama-nama siapakah, yang berjumlah sembilan puluh sembilan sebagaimana diperkenalkan dalam Al-Qur’an, dan disusun sebagai ‘asma’ul husna’? Nah, itu adalah bukti begitu penyayangnya Dia pada makhluknya yang satu ini, manusia.
Penjelasannya begini. Dia Yang Tertinggi jelas tak mungkin dibungkus atau terliputi oleh apapun, termasuk sebuah nama. Tapi Dia bersedia ‘menurunkan derajat-Nya’ demi supaya lebih dimengerti oleh manusia. Maka Dia memperkenalkan diri-Nya, bagi mereka yang ingin mengenal-Nya di tahap awal, dengan memisalkan dirinya dengan nama-nama sifat manusia. Memisalkan diri-Nya dengan nama-nama yang memungkinkan untuk dideskripsikan dalam bahasa manusia.
Ambil contoh, Ar-Rahmaan (Maha Pengasih) atau Ar-Rahiim (Maha Penyayang). Kita bisa memahami makna dua kata ini, karena nama sifat-sifat ini, pengasih dan penyayang, adalah nama sifat yang juga ada pada manusia. Tapi dari segi makna, kedua kata ini dalam memperkenalkan nama sifat-Nya sebenarnya telah mengalami degradasi makna yang amat sangat.
Maha Pengasih, atau Ar-Rahmaan, adalah ‘hanya’ bahasa manusia yang paling memungkinkan untuk menggambarkan salah satu sifat-Nya. Tapi kedalaman makna istilah ini telah berkurang jauh sekali, karena Dia, yang Tak Terperi, memisalkan diri-Nya dengan istilah manusia yang jelas tak memadai untuk melukiskan diri-Nya yang tak terbatas. Dalam asma’ul husna, misalkan istilah ‘Ar-Rahim’, sebenarnya ‘hanya’ merupakan sebuah istilah yang masih memungkinkan untuk bisa terpahami oleh manusia. Sifat Penyayang-Nya yang asli, yang real, yang tidak bisa dimisalkan dengan bahasa manusia, adalah jauh, jauh, jauh lebih penyayang lagi, melebihi apa yang tergambar pada sepotong kata ‘Ar-Rahim’.
Demikian pula untuk ke-98 asma asma Allah yang lain. Semua nama-nama tersebut, sebenarnya mengalami degradasi makna yang sangat jauh dari aslinya, demi supaya terpahami oleh kita, manusia. Sifatnya yang asli, tak terkira jauhnya melebihi apa yang mampu tergambarkan oleh sepotong kata dalam bahasa kita, manusia.
Allah telah berkenan ‘merendahkan diri-Nya’ ke dalam nama sifat-sifat manusia, yang jauh, jauh lebih rendah dari kedudukan-Nya yang asli. Ia bersedia dipanggil dengan bahasa kita. Ini sebuah bukti kasihsayang-Nya yang amat sangat. Bisakah kita membayangkan, misalnya ada seorang raja yang kerajaannya mencakup lima benua, lalu bersedia turun berjalan di pasar kumuh dan mau dipanggil dengan bahasa pasar, seperti ‘Lu’, ‘Sia’, atau ‘Kowe’? Raja tentu akan sangat murka. Tapi Dia, Allah, tidak. Meskipun Dia Maha Tinggi kedudukannya, tapi Dia bahkan bersedia memperkenalkan diri-Nya lebih dahulu (!), dan membahasakan diri-Nya dengan bahasa manusia, dan mencontohkan asma-Nya dengan sifat manusia.
‘Dia’ yang asli, sesungguhnya tidak bernama. Lalu istilah ‘Allah’ itu apa? Istilah itu ‘hanyalah’ bagian dari asma’ul husna, pada urutan yang pertama.
Istilah ‘Allah’, menurut seorang ahli hikmah, sebenarnya sebuah simbol juga. Menurutnya, istilah ‘Allah’, yang terdiri dari:
‘alif’, ‘lam’, ‘lam’ dan ‘ha’,
sesungguhnya merupakan singkatan dari kata bahasa Arab:
‘Al/Aliflili hu/huwa’.
Alif, Lam, Lam, Ha

‘Al’ dalam bahasa Arab bermakna kata ganti tertentu, maknanya sama seperti ‘The’ dalam bahasa Inggris, atau seperti ‘El’ dalam bahasa Ibrani dan bahasa Spanyol. Maknanya, katakanlah, ‘sesuatu’. Huruf ‘Alif’ bermakna ‘sesuatu yang tegak’, ‘Allah’, atau bisa juga ‘yang mengawali’, mirip seperti alpha dalam aksara Yunani. Kata ‘Li’ dalam bahasa Arab bermakna ‘bagi sesuatu’, dan dalam lafaz ‘Allah’ kata ini diulang dua kali. Sedangkan ‘hu’ atau ‘huwa’ bermakna ‘Dia’.
Jadi lafaz ‘Allah’, kata yang di dalam Al-Qur’an paling sering dipakai-Nya untuk menyebut diri-Nya, sebenarnya sama sekali tidak mencakup keseluruhan zat-Nya. Lafaz ‘Allah’ sebagai simbol, sebenarnya justru mempertegas bahwa ‘Dia’ adalah tak bernama. Mengapa demikian? Karena jika makna ini dibaca secara keseluruhan, maka “Al, li, li, hu” kurang lebih maknanya adalah ‘Sesuatu, yang baginya diperuntukkan, dan sesuatu ini diperuntukkan, untuk Dia.” Jadi artinya secara sederhana adalah, ‘(simbol) ini diperuntukkan, dan permisalan ini diperuntukkan, untuk Dia (yang tak bernama).”
Dia yang asli, sebagai zat (entitas), sama sekali tak bisa diliputi oleh sebuah nama.

C. Hadits Rasulullah yang mengandung simbol serupa.

Kalau kita teliti dalam memperhatikan hadits berikut ini, kita akan mengerti bahwa Rasulullah bukan orang yang berkata dengan ‘pendapatnya sendiri’. Orang dalam tingkatan maqam seperti Rasulullan saw., tentulah setiap tindak tanduk dan perkataanya sudah sepenuhnya dalam bimbingan Allah swt. Tampak dari demikian akuratnya simbol-simbol yang digunakan, meskipun jika kita baca secara sepintas hadits ini sangatlah sederhana dan tidak bermakna dalam. Hanya kalau kita teliti, betapa dalam dan akuratnya simbol yang Beliau gunakan dalam kata- katanya.
Kita lihat hadits berikut ini:
Diriwayatkan dari riwayat Abu Hurairah ra.:
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, apakah kami dapat melihat Tuhan kami pada hari kiamat?”
Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian terhalang melihat bulan di malam purnama?”
Para sahabat menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”
Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian terhalang melihat matahari yang tidak tertutup awan?”
Mereka menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”
Rasulullah saw. bersabda, “Seperti itulah kalian akan melihat Allah. Barang siapa yang menyembah sesuatu, maka ia kelak mengikuti sembahannya itu. Orang yang menyembah matahari mengikuti matahari, orang yang menyembah bulan mengikuti bulan, orang yang menyembah berhala mengikuti berhala.”
[H. R. Muslim no. 267]
Sepintas, hadits ini hanya berisi tentang melihat Allah di hari kiamat. Tapi kalau kita teliti lebih jauh perumpamaan yang digunakan dengan kacamata ilmu astronomi yang pada saat Rasul mengatakan hadits tersebut ilmu ini belum semaju sekarang, sebenarnya hadits ini juga menjelaskan bahwa ada bagian dari ‘Dia’ yang tak akan bisa kita kenali. Kita cermati perumpamaan bulan purnama yang dipakai beliau dalam hadits ini.
Sebagaimana kita tahu, pada saat bulan purnama di langit malam yang cerah, kita bisa melihat bulan ‘seluruhnya’. Kata seluruhnya ini saya beri tanda kutip, karena memang ‘seluruhnya’ itu semu. Kita melihat –seakan-akan– bulan tampak seluruhnya dari mata kita. Kita, saat itu, seakan-akan bisa ‘mengenal’ bulan seluruhnya.
Nah, di zaman modern ini, kita tentu mengetahui bahwa bulan adalah sebuah ‘satelit,’ sebuah planet kecil yang mengelilingi bumi. Periode waktu rotasi bulan, sama persis dengan periode lamanya bulan mengelilingi bumi. Jadi, permukaan bulan yang menghadap bumi setiap saat adalah sisi yang sama persis, yang itu-itu saja. Tidak berubah.
Demikian pula, ada sisi lain di balik bulan yang akan selalu tidak tampak dari bumi, yang setiap saat akan selalu membelakangi bumi, tidak akan pernah terlihat dari bumi. Dengan kata lain, jika kita berdiri di sisi bulan yang terlihat dari bumi, maka meski bulan berotasi sambil terus mengorbit mengelilingi bumi, kita akan selalu terlihat dari bumi. Sebaliknya, jika kita berdiri di sisi bulan yang tidak terlihat dari bumi, maka kita tidak akan pernah terlihat dari bumi pula.

Gambar jelasnya seperti ini:
Rotasi Bulan: sisi yang selalu menghadap bumi

Inilah sebabnya, sejak zaman manusia pertama ada hingga sekarang, permukaan bulan yang tampak dari bumi kelihatannya tak pernah berubah, karena sisi yang menghadap bumi senantiasa merupakan sisi yang sama.
Di hadits ini, Rasul memisalkan Allah sebagai bulan purnama. Bulan, sebagaimana telah dijelaskan tadi, hanya ada satu sisi yang bisa terlihat oleh kita. Jadi, secara tersirat dalam hadits tadi, Rasulullah juga menjelaskan bahwa sesempurna- sempurnanya pengenalan seseorang akan Allah (seperti orang yang telah mencapai maqam para sahabat Beliau itu), sebenarnya barulah satu sisi dari Dia saja. Sisi yang memang Dia hadapkan sepenuhnya kepada manusia. Sisi inilah yang dalam bahasa agama disebut sebagai Wajah-Nya.
Tapi sampai kapan pun, akan tetap ada sisi lain dari Dia yang tidak akan pernah terpahami oleh manusia (karena Dia sesungguhnya Maha Tak Terbatas). Dan keseluruhan ‘Dia’ secara utuh, yang bisa dikenali dan yang tidak, dalam bahasa agama disebut Zat-Nya,” atau entitas-Nya, secara keseluruhan.
Jadi sekarang kita bisa lebih memahami, jika dalam Al-Qur’an atau doa yang diajarkan Rasulullah mengandung kata-kata ‘wajah Allah’ atau ‘wajah-Nya (wajhahu)‘, maka itu bukan berarti bahwa Dia memiliki wajah di depan kepala seperti kita. Itu maknanya adalah, konteks ‘Dia’ dalam kalimat itu adalah pada sisi yang masih bisa kita kenali. Sedangkan Zat-Nya yang utuh tidak akan pernah bisa kenali.
Mengenai zat-Nya, Al-Qur’an sendiri cukup menerangkan seperti ini:
“…laysa kamitslihi syay’un”

“… dan tiada sesuatupun yang bisa dijadikan permisalan untuk Dia.” (QS. 42 : 11)
Rasul melarang manusia memikirkan zat-Nya, dalam sabdanya, “Berfikirlah kalian tentang makhluk Allah, dan jangan sekali-kali berfikir tentang zat-Nya, sebab kalian akan binasa.” Bahkan Beliau sendiri pun mengakui bahwa dirinya tidak memahami ‘Dia’ dalam konteks zat, sebab dalam sabdanya Beliau menjelaskan, “sesungguhnya aku adalah orang yang bodoh dalam ihwal zat Tuhanku.”
Kembali pada contoh bulan di atas. Bulan, sesuai periode edarnya, akan tampak dari bumi bermacam-macam bentuknya, mulai dari bulan hitam (bulan tak tampak), bulan hilal, bulan sabit, bulan setengah, hingga bulan purnama.
Sebenarnya demikian pula pengenalan manusia kepada Allah ta’ala. Ada yang tidak mengenal sama sekali (bulan hitam), ada yang pengenalannya setipis hilal, ada yang pengenalannya seperti bulan setengah, dan ada pula yang pengenalannya terhadap Allah telah ‘purnama’. Namun demikian, sebagai zat tetap saja Dia tidak akan pernah terpahami sepenuhnya oleh manusia, karena Dia adalah Maha Tak Terbatas. 

Berbagai Wajah Bulan

Dari sini saja, kita bisa mengerti bahwa faham panteisme, atau menyatunya Tuhan dan manusia sebagaimana yang dituduhkan kepada kaum sufi, adalah tidak tepat. Tentu mustahil sesuatu yang tak terbatas bisa terlingkupi oleh sesuatu yang terbatas.
Agaknya yang dituduhkan pada kaum sufi sebagai panteisme atau penyatuan, sebenarnya yang terjadi adalah ‘sirna kediriannya’. Contohnya seperti cahaya lilin yang akan lenyap cahayanya jika diletakkan di bawah cahaya matahari. Ini masih perlu kita kaji lebih lanjut. Atau paling tidak, agaknya tidak semua sufi meyakini panteisme. Seperti kata teman saya: “Sufi, pantheisme? Sufi yang mana dulu, nih?”
Sekarang, dari cara Rasulullah memberikan contoh pada dalam hadits di atas, kita bisa lebih mengerti kira-kira sedalam apa akurasi hikmah dari kata-kata seseorang jika telah ada dalam tingkatan maqam seperti junjungan kita Rasulullah Muhammad saw. Tentu beliau tidak asal ambil contoh saja, seperti ketika kita sedang berusaha menerangkan sesuatu kepada orang lain. Sekarang semakin jelas pula bahwa segala sesuatu dari diri Beliau telah ditetapkan dalam bimbingan Allah ta’ala, bahkan sampai hal ‘sepele’ seperti mengambil contoh yang tepat ketika menerangkan sebuah persoalan.
Juga sebagaimana hadits Rasulullah tadi, segala sesuatu dalam ciptaan-Nya pun tidaklah semata-mata hanya sebagaimana yang tampak dari luar. Allah tentu tidaklah sesederhana itu. Seperti hadits tadi, segala sesuatu juga mengandung makna batin. Alam semesta, bulan, bintang, batu, hewan, tumbuhan, manusia, syariat (ada syariat lahir dan tentu ada syariat batin), dan lain sebagainya. Sedalam apa seseorang melihat maknanya, tentu sangat tergantung pada kesucian qalbnya, sarana untuk menerima ilmu dari-Nya.
Kini kita bisa sedikit lebih mengerti pula, seperti apa kira-kira kesucian qalb Rasulullah saw, jika kata-kata Beliau mampu menyederhanakan kandungan makna yang sedalam itu (itupun baru yang bisa kita ungkapkan) dalam kesederhanaan simbol-simbol yang sangat akurat.
Kalau Al-Qur’an? Lebih tak bisa kita bayangkan lagi seperti apa sesungguhnya kedalaman kandungan makna Al-Qur’an.
Semoga bermanfaat,

Saturday, February 18, 2017

Suluk Wujil ~ Sunan Bonang

Suluk Wujil ~ Sunan Bonang


Ratu Wahdat 

Adalah Sang Wujil Kinasih namanya, ia berkata pada sang Panembahan Ratu Wahdat. Ia bersujud pada telapak kaki sang Maha dwija, yang tinggal di Bonang [Tuban] seraya memohon maaf, sebab ingin diwejang tentang seluk beluk agama yang terpilih sampai ke sir [rahasia] yang se dalam-dalamnya.

Sepuluh tahun lamanya Wujil berguru, belum mendapatkan pelajaran yang penting. Adapun Wujil berasal dari Majapahit, sebagai kinasih sang Raja. Pelajaran Paramasastra, Sastra Arab semua telah dikuasainya dengan baik. Karena tidak diberi pelajaran yang penting, maka Wujil pergi sekehendak hatinya. Setiap harinya bermain topeng sampai bosan, bertingkah laku seorang badut yang menjadi tumpuan olok-olok.

Sang Wujil Kinasih dengan sungguh-sungguh memohon belas kasih Sunan Bonang dengan menyerahkan hidup dan matinya. “ duh sang Mahamuni, hamba mohon diberi penjelasan tentang ajaran rahasia huruf tunggal menurut paham pangiwa dan panengen, karena masih ada dalam tatanan gending dan syair. Hamba tidak membawa hasil dan senantiasa meninggalkan kecintaan saya kepada Majapahit dan mengembara mengikuti kehendak hati. Oleh karena itu, pada suatu malam hamba pergi untuk mencari rahasia tentang kesatuan , kesempurnaan dalam semua tingkah laku. Hamba datangi orang suci , mencari intisari panguripan, titik akhir dari kekuasaan yang sebenarnya. Titik akhir dari utara selatan, terbenamnya matahari dan bulan, tertutupnya mata dan keadaan akhir kematian. Titik akhir dari ada dan tiada.”

Panembahan Wahdat menjawab sambil tersenyum;” Wahai Wujil Kinasih, betapa kau sungguh gegabah, berkata yang bukan-bukan, terlalu berani, hatimu ingin menagih karena besarnya jasamu yang telah diberikan”
Tidak layak aku disebut sebagai orang suci di dunia, bilamana menjual ajaran membeli ajaran kitab, lebih baik aku jangan dipanggil ahli Wahdat.

Barangsiapa menjual belikan ilmu, bersikap sombong, seolah-olah tahu segala sesuatu, orang tersebut diibaratkan seperti burung bangau yang sedang bertapa di atas air. Diam tidak bergerak, pandangannya tajam, berpura-pura alim melihat mangsanya, seperti telur yang tampak putih diluar, di dalamnya bercampur merah.
Sang Wujil Kinasih membuat api unggun dibawah pertapaan sang Dwijatama, di ujung tepi laut sebuah desa yang bernama Bonang. Tempatnya sunyi senyap, tidak ada buah-buahan yang dapat dimakan. 

“Wujil, muridku, kemarilah segera.”
Sang Panembahan Wahdat memegang kucirnya seraya diusap-usap “ dengarlah kata-kata rahasiaku ini, kalaupun dari kata-kataku engkau masuk ke Neraka, saya sendiri yang akan dimasukkan ke dalamnya, bukan engkau!” Wujil Kinasih berkata sambil bersembah dengan takzim ” Jangan paduka guru, lebih baik hamba Wujil Kinasih ini yang masuk ke Neraka”.
“Peringatanku Wujil, berhati-hatilah dalam hidup ini, jangan lengah, jangan sembrana dam mengambil tindakan. Man Arofa Nafsahu Faqod Arofa Rabbahu [barang siapa yang mampu mengenali diri sendiri, semata-mata dia mengenal Gusti Allah” 

“ Ketahuilah kesejatian Salat itu, bukan Maghrib atau Isa’, itu hanya dapat disebut sembahyang, kalau pun disebut Salat itu, karena bunganya Salat Daim dan merupakan Tata krama.”
Wujil Kinasih, mendengarkan sambil menundukkan kepala dengan khidmat. 
Kemudian Panembahan Wahdat melanjutkan “ Jangan menyembah, bilamana tidak diketahui siapa yang disembah. Akibatnya akan direndahkan martabatmu. Seperti menulup seekor burung, peluru kau hambur-hamburkan, burungnya tidak kena. Akhirnya menyembah Adam Sarpin sembahnya sia-sia.”
Wujil Kinasih masih belum dapat menangkap dengan jelas, tetapi dengan takzim, mendengarkan wejangan gurunya. 

“adapun puja atau pujian itu meski siang dan malam memuja kalau tidak disertai petunjuk tidak akan sempurna. Ketahuilah yang disebut puja itu keluar masuknya nafas. Dan juga anasir yang empat perkara [ tanah, air, api dan angin]. 
Dahulu kala ketika ‘ada’ diciptakan, adapun sifatnya ada empat hal yakni kahar, jalal, jamal dam kamil]. Delapan sifat itu dalam badan manusia keluar-masuk. Jika keluar kemana arahnya, jika masuk dimana tempatnya. 

Tua dan muda itu sifat bumi, jika tua dimanakah mudanya, jika muda dimana tuanya. 
Sifat air itu Hidup-mati, bilamana hidup dimana matinya, jika mati dimana hidupnya. 
Sifat Api itu kuat-lemah, jika kuat dimana letak lemahnya, namun apabila lemah dimana letak kuatnya. 
Yang keempat sifat Angin yaitu ada-tiada. Jika ada dimana tidak adanya, dan ketika tidak ada dimana adanya.” 

Kau akan tersesat apabila tidak mengetahuinya, ketahuilah pegangan hidup adalah mengetahui akan dirinya sendiri, dan tiada hentinya memujiNya. Dimana letak doa dan tujuan doa jangan sampai engkau tidak mengetahuinya. 
Hidup yang sejati itu bagaikan burung, sesaat terbang jauh, hinggap di dahan sebentar dan terbang lagi, bilamana engkau ingin mengetahui kesejatian dirimu, maka perbaikilah dirimu. Tinggalah di suatu tempat yang sepi, jangan terpengaruh dari keramaian dunia. Jangan jauh-jauh engkau mencari Guru, karena Guru sejati ada di dalam dirimu. Rusaknya dirimu bukan karena orang lain, tetapi karena kehendakmu sendiri.
 



Kenalilah dirimu sendiri 

“Wujil, sebelum kau mencari sangkan paraning dumadi, maka kenalilah dirimu sendiri, yaitu seperti melihat, badan yang terlentang. Perhatikanlah segala bentuk kekuranganmu, dan kekuranganmu itulah yang selalu diingat terus menerus.” 
Wujil Kinasih telah mampu mengenali dirinya sendiri, dia telah mengenali TuhanNya. Ia Tidak berbicara, bila tidak ada rahasia yang diajarkannya. Dalam lalakunya, ia mencari kasunyataning ngaurip, sungguh-sungguh mencari diri sendiri. Ucapannya tidak pernah menyimpang dari kesucian, tidak penah berbohong. 
“ Keadaan Tuhan , jelas tidak sama dengan dengan keadaan manusia, oleh sebab itu Sucikanlah TuhanMu itu. jika ada orang yang mengaku tahu tentang TuhanNya, tetapi perilakunya tidak sesuai, tidak mematuhi ajaran pengendalian Nafsu, mengesampingkan kehidupan yang saleh, maka sebenarnya dia seperti mengambil sesuatu benda dalam kegelapan. Orang yang benar-benar mengetahui Tuhannya, dia mampu mengekang hawa nafsunya, siang malam memelihara penglihatannya, tidak pernah tidur.” 

“Itulah sebagai laku dasarnya, wahai Wujil Kinasih, supaya dapat mematikan hawa nafsu, jangan hanya mendengar saja, berjuanglah dengan sungguh-sungguh dalam jalan kesucian, satukan kehendak dan keyakinan.”
“ Penglihatan manusia itu terbatas, maka tidak mampu melihatNya, Dia tidak akan tampak, karena memang tidak berbentuk , tetapi Dia tetap ada. Dia tidak maqom [tiada menempati ruang tertentu]. Bila orang berhenti melihat, malahan mempunyai penglihatan yang sejati, yang sempurna. Melihat semua ciptaanNya yang nampak, maka sesungguhnya melihat wujud yang Sejati.” 
“ Wujil, SEBAB itu tiada bedanya, karena tertutup oleh gerakan-gerakan [kehidupan], bedanya bukan dari sumbernya. Membicarakan yang SEBAB tidak akan ada habis-habisnya. KitabNya itu bagaikan burung perkutut yang Unggul. Sekalipun dibicarakan siang malam tanpa henti, jika tidak disertai dengan ajaran yang bijak, tetap tidak ada manfaatnya. Lebih baik orang diam saja” 
“hendaklah kau tahu hakikat diam dan berbicara. Bila engkau tidak tahu, itu tidak ada gunanya. Diam artinya tidak ada isinya bilamana berbicara, jika berbicara jangan keras [menyakitkan]. Burung di pohon kanigara berteriak, itulah perumpaannya, tidak ada artinya. Bilamana menyangkut tentang kawruh sinandi, jangan berbuat seperti orang yang dapat berbicara.” 

“apa gunanya bentuk, bagi orang yang berjaga di malam hari dengan orang yang sudah buta matanya? Keduanya sama saja tidak ada manfaatnya , bilamana tidak dituntun untuk melihat kebenaran yang sesungguhnya, bagaimana mungkin bisa tahu dengan sendirinya, bagaimana bisa melihat diri sendiri.” 

“Sembah dan puji, sebaiknya kau ketahui. Sembah itu bermacam-macam, kata orang bijak; ada orang yang memuji dalam sekejap saja, bilamana tahu sasarannya, dalam energy positif, maka sama saja orang itu melakukan sembahyang seratus tahun. “ 
“ Adapula orang yang memuji terus menerus siang dan malam tidak mengenal waktu, bagaikan sembahyang enam puluh tahun. Yaitu orang yang sudah sempurna raganya [tidak terikat oleh kepentingan jasmaniah] perilakunya dapat menjadi contoh, bukan seperti burung bangau.” 
“ Orang yang melakukan sembah dan puji di siang dan malam hari, dengan pengaruh kebaikan dan mengikuti petunjuk, sama saja bersembahyang selama dua belas tahun.”
“ Wujil, yang dinamakan Tafakur itu, bila dalam keadaan diam, dia tahu kemana arahnya. Orang yang diam itu lebih baik, itulah sembahyang tanpa putus tanpa terikat oleh waktu. Sempurnalah orang itu, tubuhnya tidak ada yang tertinggal , bahkan termasuk kotoran dan air kencingnya.
 
Hakikat niat 

Wujil Kinasih, bertanya ;” apakah hakekat perbuatan baik, itu ?” 
Panembahan Wahdat menjawab “ Wujil Kinasih, perbuatan itu hakikatnya dikerjakan. Bilamana perbuatan itu tidak dikerjakan bagaimana akan dapat diselesaikan? 
Yang tidak lupa mengerjakan kebaikan, itu artinya sudah mendapatkan anugerah dari Tuhan. Dan siapa yang tidak mengerjakan kebaikan, artinya dia telah menunjukkan dosanya, maka yang akan diterima adalah kemalangan, kesengsaraan.”
“ apakah yang dimaksud dengan hakikat NIAT, guru?” 
Panembahan Wahdat , menjawab” hakikat niat itu bukan terbatas pada gagasan saja. Yang menggagas dan menyebut itu bukan niat yang sejati. Tidak mudah yang disebut dengan Salat, sembahyang dan pujian itu, bilamana tidak tahu akan siapa, yang menerima tugas. 
Siapa, yang mendapat denda dengan hal-hal yang bersifat kasar seperti hukuman denda, hukuman cambuk, hukuman mati. Maka orang ramai mempertengkarkannya.” 

“ sembahyang yang sejati dan sejatinya sembahyang itu, tidak mengenal waktu, semua tingkah lakunya itu ibadah, kebaktian, puji, sembah. Sampai pada air sesucinya, kotorannya dan bahkan air kencingnya pun menjadi sembah. Itulah yang disebut dengan hakikat NIAT yang sejati.”
“ NIAT itu penting bahkan lebih penting dari perbuatan yang banyak, NIAT itu bukan bahasa, juga bukan suara. NIAT adalah suatu energy untuk melakukan suatu tindakan, yang terungkap di dalam pikirannya. Sebenarnya NIAT itu bukan niatnya yang di dalam pikiran. Melainkan NIAT untuk melakukan tindakan yang terungkap. NIAT sembahyang tidak ada bedanya dengan NIAT merampok. Yang berbeda adalah SEMBAHYANG dan MERAMPOK.” 

“ sebabnya orang menjadi sirik kafir karena dikafirkan oleh aturan, karena mereka mengandalkan segala kepandaiannya berpegang teguh pada untaian kata-katanya, yang kemudian digunakan utntuk saling meyakinkan orang lain. 
Setelah melakukan sembahyang maghrib, mereka ramai saling bertengkar mulut, akhirnya berubah menjadi saling memukul dengan menggunakan baju masing-masing, sehingga ikat kepalanya terlepas. Bertengkar di dalam masjid, akhirnya saling marah dengan memegang teguh bunyi tulisan dan bersembahyang sendiri-sendiri. 
Ini karena mereka tidak mengetahui hakikat NIAT. Mereka katanya sudah berniat, ada pula yang mencari NIAT, tetapi tidak tahu jalannya.”
“ Wujil , hendaklah engkau mengekang hawa nafsumu, bilamana sudah kau ikat, jangan kau terlalu banyak bicara, jangan terlalu memaksakan kehendak, apalagi menuruti kehendak pribadi. Itulah jalan yang sesat, yang hanya mengandalkan pendapat pribadi.”
 

Tujuan orang beribadah
 
“ guru, apakah yang dimaksud dengan manunggaling kawula lan Gusti, itu?” Wujil bertanya. 
‘ wahai Wujil dalam kehidupan ini sukar untuk mati, selagi orang tersebut masih hidup jarang orang yang mencapainya. Mati merupakan tujuan orang yang beribadah, orang yang berbakti. tiada lagi hitung menghitung, sebab kembali kepada asalnya.” 
“Bilamana masih memperhitungkan sesuatu tentu engkau tidak akan menemukan apa yang kau idamkan. Bilamana engkau ingin menemukannya, maka hilangkan dahulu nafsu-nafsumu. “
“Bilamana engkau sudah menemukannya, maka engkau akan menemukan kesamaan, kemauan manunggal dengan kehendak. Tunggal wujud beda nama, tunggal kehendak berlainan wujud, segalanya manunggal.” 

“Setelah manunggal serta setia dalam mati dan hidup, tiada larangan perihal sandang pangan. Semua kehendaknya manunggal dengan kehendakNya.”
“ orang yang dikasihi tidak boleh memilih atau membagi, itulah tanda kehendak-Nya. Orang yang masih memilih dan membagi adalah orang yang berada di luar, tidak akan tahu apa yang ada di dalamnya.” 
“Sembahnya hanya disebarkan tanpa arah, sebab tidak tahu yang ada di dalam Puri. Hanya mendengar saja, maka yang diperhatikan keratonnya, janganlah engkau hanya mendengar beritanya saja, berita itu sesungguhnya menyesatkan, bila engkau salah mengerti.”
Niken Satpada kemudian diperintahkan untuk mengambil cermin, setelah cermin dibawa menghadap Guru kemudian di sandarkan pada pohon kayu ‘wungu’. 
“ Wujil dan Satpada, kalian bercerminlah disitu.” Kedua orang itu bergegas ada di depan cermin, yang tinggi dan lebarnya melebihi badan keduanya. Setelah Wujil berada di depan cermin, WUjil kelihatan seperti anak-anak yang berwajah jeruk wangi, karena sudah tua. 

“ wahai Wujil kau yang berdiri, aku bersila saja “ kata si Satpada.
“ kalian berdua, lihat baik-baik, disitu ada dua bayangan yang selalu bersatu kehendak.” Kata sang Panembahan Wahdat.
“ Wujil, kehendakku dan kehendakmu, dimana bersatunya” sela satpada .
“ Engkau dan aku adalah laki-laki dan wanita , dimana bersatunya” sahut Wujil.
“ tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan bersatu di dalam cermin, seperti layaknya laki-laki dan perempuan yang dipersatukan diatas ranjang.” Jawab sang Panembahan.
Satpada masih belum dapat menangkap arti dari manunggalnya Gusti dan kawula.
Wujil juga keliru pendapatnya “laki-laki dan wanita tidak ada bedanya yang ada dalam cermin, wujudnya satu. Laki-laki dan wanita kalau sudah ada dalam cermin , tidak lagi dikatakan laki-laki atau wanita, karena itu adalah rasa tunggal.”
Satpada menyahut” perkataan Wujil mulai menyerempet-serempet tentang hal asmara.”
Wujil cepat menyahut ” aku tidak bermaksud seperti itu. engkau salah paham Satpada.” 

Panembahan Wahdat tersenyum dan menjelaskan; ” Wujil, kau diamlah dan perhatikan wujud yang ada dalam cermin itu, datang dan perginya wujud itu. wujud yang di dalam cermin itu, bilamana datang dari mana tempatnya, dan ketika wujud itu pergi, kemana arah perginya. Nah coba Wujil, kau pergilah ke belakang cermin. “ Wujil mengikuti perintah Gurunya.
“Satpada, perhatikan dua rupa itu. sekarang pertanyaanku, dimana rupa sang Wujil yang tadi ada di dalam cermin itu?” kata sang Guru. “ yang ditanya kebingungan, dan berkata “ Betul Guru, hanya ada satu wujud, yaitu rupaku saja. Meskipun Wujil ada dibelakang cermin, tidak kelihatan rupanya.”
“ Satpada, sekarang kau pergilah ke tempat sang Wujil Kinasih. Wujil, kau kesinilah dan berdiri di depan cermin.!” Perintah sang Guru. 

Wujil pun segera bertukar tempat dengan Niken Satpada.
“ nah sekarang ada tidak rupa si Satpada, dalam cermin itu?” tanya sang Guru.
“ tidak ada rupa wanita, Guru, yang ada hanyalah wajahku. Menurut pendapat hamba yang bodoh, manunggalnya dua kehendak itu ; Tiadanya adalah Ada, dan Adanya adalah Tiada.” Jawab Wujil.
“ bagaimana penjelasannya pernyataanmu itu, Wujil ?” tanya sang Guru.
“ tidak ada penjelasannya Guru.”


sumber: 1. Suluk Wujil Sunan Bonang 2. Suluk Seh Melaya 3. Serat Pustaka Raja Purwa, 2006, Pura Pustaka Yogyakarta

Sumber : http://www.kompasiana.com

Monday, January 30, 2017

Syekh Ahmad ar-Rifa`i


Syekh Ahmad ar-Rifa`i

Sayyidina Ahmad ar-Rifa`i (Imam dari Tariqat Sufi Rifa'i) diberikan penglihatan berada di Surga Keempat dan melihat Samudera yang demikian besar, dan dia pikir itu adalah air, tetapi ketika dia mendekatinya ternyata samudera pasir, bukan air. Ia tidak bisa melihat batas awal, atau akhirnya. 
Semakin dia mendekat hingga sampai kesetiap partikel pasir, ia menemukan bahwa setiap butir pasir itu sendiri adalah seluruh alam semesta! Dan di sana ia mendengar suara adzan memanggilnya, dan Nabinya adalah Sayyidina Muhammad (saw). "Dia mendengar azan seperti azan kami, dan mengatakan ini adalah dunia yang bukan fotocopy dari dunia ini atau sama satu sama lainnya, dan Nabi (saw) adalah Nabi untuk setiap dunia ini, yaitu dunia dalam diri mereka. Inilah pengetahuan rahasia yang dicapai oleh Sayyidina Ahmad ar-Rifa `i (q). Akbar al-akbar!"
Syaikh  Ahmad Al-Rifa'i, tokoh sufi di mana Tarikat Rifa'iyyah dibangsakan, yang lahir dengan nama Ahmad bin Shalih, diketahui memiliki sejumlah nama seperti Ahmad   bin Abi'l Hasan Al-Rifa'i, Ahmad bin Ali Abul Abbas, Syaikh Ahmad kabir Rifa'i, atau nama lengkapnya Sidi Ahmad bin Yahya bin Huzain bin Rifa'ah. 
Ia dilahirkan pada bulan Muharram tahun 500 Hijriah/ September 1106 Masehi tetapi ada juga yang menyatakan kelahirannya pada bulan Rajab tahun 512 H/ Oktober-November 1118 Masehi. Sebagian sumber menyebut Syaikh Ahmad Rifa'i lahir di Marokko, tetapi sumber yang kuat menyatakan ia lahir di Qaryah Hassan, dekat Basrah di Irak. Menurut satu cerita, nama Rifa'i berkaitan dengan nama Suku Rifa'i yang tinggal di Makkah sejak tahun 217 H tetapi pindah ke Sevilla di Spanyol. Pada masa kakek Syaikh Ahmad Rifa'i pada tahun 450 H, datanglah keluarga Rifa'i ke Basrah. Oleh karena datang dari barat, maka kakek Syaikh Ahmad Rifa'i memakai nama Al-Maghribi. Sebagian meriwayatkan, ayah dari Syaikh Ahmad Rifa'i yang pindah dari Maghrib ke Irak, tinggal di kota  Ummu ‘Ubaidah di Batha'ih.
Menurut riwayat, ketika berusia 7 tahun ayahanda Syaikh Ahmad Rifa'i  wafat di Baghdad. Ia kemudian diasuh oleh pamannya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, yang tinggal di Basrah. Asy-Sya'rani dalam kitab Lawaqihul Anwar menuturkan bahwa Syaikh Mansyur Al-Batha'ih adalah seorang syaikh thariqah. Dalam sejarah hidup Syaikh Ahmad,  ia pertama kali belajar Ilmu Fiqih Mazhab Syafi'i dengan mempelajari Kitab Al-Tanbih dari Syaikh Abul Fadl Al-Wasithi, akan tetapi belakangan ia  lebih cenderung kepada ilmu tasawuf. Kecenderungan kepada tasawuf itu kemungkinan disebabkan oleh lingkungan keluarganya yang menganut gerakan sufisme dan bahkan paman yang mengasuhnya adalah guru besar (syaikh)  tarikat. Bahkan di bawah bimbingan sang paman, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, Syaikh Ahmad Rifa'i memasuki dunia tasawuf secara mendalam sampai ia menggantikan kedudukan sang paman sebagai syaikh.

Syaikh Sholah ‘Azham, penulis masalah-masalah tasawuf asal Mesir, menuturkan kisah pemilihan syaikh yang patut menggantikan kedudukan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih yang sudah tua dan sakit-sakitan. Syaikh Mansyur Al-Batha'ih ingin memilih khalifah penggantinya.  Para murid dan pengikut yang berjumlah ribuan memohon kepada Syaikh Mansyur Al-Batha'ih agar secepatnya memilih putera Syaikh Mansyur Al-Batha'ih sendiri yang bernama Ahmad untuk menggantikan kedudukan syaikh. Namun Syaikh Mansyur Al-Batha'ih malah memilih Ahmad bin Shalih, keponakannya yang sejak kecil telah diasuhnya. Para murid dan pengikut sangat kecewa dengan pilihan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih. Mereka diam-diam menghadap isteri Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, memohon agar bersedia membujuk suaminya untuk membatalkan pilihannya pada Ahmad bin Shalih dan memilih Ahmad bin Mansyur sebagai pengganti.

Faham dengan keinginan murid-murid dan pengikutnya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih berencana mengadakan sayembara model sufi. Satu hari dipanggilnya sepuluh orang murid senior, termasuk puteranya, Ahmad bin Mansyur, dan keponakannya, Ahmad bin Shalih. Masing-masing mereka diberi seekor burung merpati dan sebilah pisau disertai perintah untuk berlomba menyembelih burung tersebut, dengan syarat dilakukan di tempat tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapa pun. Lalu para peserta sayembara itu berhamburan ke berbagai arah untuk menjalankan tugas masing-masing.

Dalam waktu tidak lama, berdatanganlah para murid senior membawa burung-burung merpati yang telah tersembelih. Setelah itu, puteranya, Ahmad bin Mansyur datang pula dengan burung merpati yang telah tersembelih. Hanya Ahmad bin Shalih yang datang paling akhir dengan burung merpati masih hidup dan belum disembelih.
Di hadapan murid-murid senior dan puteranya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih bertanya kepada Ahmad bin Shalih,"Wahai Ahmad, kenapa engkau datang terlambat? Dan kenapa pula burungmu belum  kau sembelih?"

Dengan takzim Ahmad bin Shalih menjawab,"Maafkanlah saya paman, saya tidak dapat melaksanakan perintahmu. Sebab saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri. Saya tidak menemukan tempat seperti yang paman maksudkan. Saya tidak menemukan tempat yang bebas dari pengawasan. Setiap tempat yang saya datangi senantiasa saya rasakan Allah selalu hadir dan mengawasinya."

Mendengar jawaban Ahmad bin Shalih, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih dan para murid serta puteranya terpukau. Sebab yang disampaikan Ahmad bin Shalih itu menunjukkan betapa tinggi tingkat muraqabah Ahmad bin Shalih. Untuk itu, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih menetapkan pilihan dengan berkata,"Turiiduna li mahbubikum, wa Allahu yuuridu li mahbubih" (kalian menghendaki orang yang kalian sukai, tetapi Allah lebih menghendaki orang yang Dia sukai). Demikianlah, Ahmad bin Shalih Al-Rifa'i terpilih secara mutlak sebagai pengganti Syaikh Mansyur Al-Batha'ih. Sekali pun mengganti kedudukan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, namun ajaran yang dikembangkan Syaikh Ahmad Rifa'i tidak sama persis dengan yang diajarkan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, karena Syaikh Ahmad Rifa'i juga memperoleh ijazah dari guru sufi yang lain, yaitu Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi.

Ketika  Syaikh Ahmad Rifa'i bertemu dengan seorang wali bernama Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi, ia diberinya pelajaran berupa sindiran: 

"Orang yang berpaling.. dia tiada sampai. 
Orang yang ragu-ragu.. tidak mendapat kemenangan. 
Barangsiapa tidak mengetahui waktunya kurang..maka semua waktunya telah kurang."

Sindiran itu sangat berkesan bagi  Syaikh Ahmad Al Rifa'i. Setahun lamanya Syaikh Ahmad Rifa'i mengulang-ulang perkataan ini.

Setelah setahun Al-Rifa'i datang kembali menemui Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi dan meminta wasiat lagi. Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi kemudian berkata, 

"Sangatlah keji kejahilan bagi orang-orang yang mempunyai Akal. 
Sangatlah keji penyakit pada sisi semua dokter. 
Sangatlah keji sekalian kekasih yang meninggalkan Wushul." 
  
Syaikh  Ahmad Al-Rifa'i kembali mengulang-ulang perkataan itu selama setahun dan ia  banyak mendapat manfaat dari perkataan itu karena perkataan itu diresapi, dihayati dan diamalkan.
Syaikh Ahmad Rifa'i dikenal sebagai rujukan  ilmu thariqah di jamannya, karena ia dianggap memiliki ilmu haqiqat yang tinggi dan sebagai wali qutub yang agung dan masyhur sesudah jaman Syaikh Abdul Qadir  Al-Jailany. Ke mana pun ia pergi, para pengikutnya selalu mengikutinya. Itu sebanya, para pengikutnya dikenal dengan sebutan "Al-Thoifah Al-Rifa'iyah".

 Dijuluki dengan Muhiyyudin dan Sayyid al- ‘arifin (penghulu para ‘arif). Berasal dari Maghribi dan terlahir di Bathaih yang kemudian menjadi tempat tinggalnya.
     
Kualitas, kemasyhuran dan tingkatan spiritualnya sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Beliau adalah salah seorang dari empat orang yang dianugerahi kemampuan menyembuhkan lepra,kebutaan, menghidupkan orang mati, dengan izin Allah. Beliau termasuk salah satu orang termasyhur di dunia. Muridnya berasal dari berbagai makhluk dan berbagai negara. Banyaknya tidak terhitung. Tidak ada satu negara muslimpun yang tidak memiliki zawiyahnya.

Beliau adalah orang yang sering bermujahadah, beliau juga termasuk salah satu orang yang menguasai berbagai kondisi spiritual dan rahasia-rahasianya. Kepada beliaulah kepakaran ilmu ini dinisbathkan. Beliau terangkan berbagai kondisi spiritual dan memberikan solusi atas berbagai permasalahan dalam posisi mereka. Berbagai pernyataan berkualitas tinggi dalam tasawuf dinisbathkan kepada beliau.
Beliau termasuk orang tawadhu’ dan melepaskan dirinya dari dunia, tidak pernah menyimpan apapun. Ketika ada yang bertanya kepadanya tentang pernyataannya, “Sendiri lebih baik dari pada teman jelek”. Beliau menjawab, 
“di Zaman sekarang ini orang saleh lebih baik dari pada teman duduk. 
Karena memandangnya adalah obat dan tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali tauhid”.

Berkenaan dengan pemutusan hubungan kepada selain Allah lari dari segala sesuatu kepada Allah dan menninggalkan apapun selain Allah, beliau menyitir sebuah sya’ir:

Bagaimana kalian bisa bergembira sedangkan hidup adalah kesedihan
Bagaimana kalian bisa ridha sedangkan Al-Anaam (sang pencipta murka).
Wahai yang menjadikan antara aku dan kehidupan
Dan menjadikan antara aku dan alam kehancuran
Jika Engkau meneriakkan cinta, maka semua menjadi hancur
Dan semua yang ada di atas tanah menjadi debu.

Syaikh Syamsudin Abu Mudzafar Yusuf  Sabt ibn Jauzi dalam kitab tarikh karangannya menyatakan salah seorang syaikh kami berkisah, “Pada suatu malam di pertengahan bulan sya’ban, aku mendatangi Syaikh Ahmad Rifa’i dan mendapati sekitar 100 ribu orang sedang berkumpul. ‘Ini adalah kumpulan yang sangat besar kataku kepadanya. Beliau balik berkata, ‘Engkau akan mendapat kerugian sebagaimana yang didapat  Hamman jika terbetik dalam hatimu bahwa akulah pemimpin kumpulan ini’”.

Syaikh Abu Farj AbduRrahman bin Ali Ar-Rifa’i keponakan dari saudara perempuannya berkisah, “pada suatu hari aku duduk di tempat yang membuatku dapat mendengar perkataan dan melihat beliau dengan jelas. Saat itu beliau duduk seorang diri, tidak didampingi oleh siapapun. Tiba-tiba seseorang turun dari langit dan duduk di hadapannya. Beliau berkata, ‘ Selamat datang utusan dari timur.’ ‘Dua puluh hari sudah aku tidak makan dan minum. Aku ingin engkau memberi makan keinginanku’, ujar orang tersebut.
  ‘Apa keinginanmu ?’ tanya beliau.
Orang itu memandang ke lima ekor angsa yang sedang terbang dan berkata, ‘ Aku ingin salah satu dari angsa tesebut, panggang. Dua potong roti dan secangkir beasar air dingin’.
‘Akan aku berikan semua yang engkau minta’. Jawab sang Syaikh. 
Kemudian beliau memandang ke arah angsa-angsa tersebut sambil berkata, ‘penuhi permintaan orang ini’. Tak lama kemudian salah seekor dari mereka turun dalam keadaan terpanggang. Setelah itu Syaikh mengulurkan tangannya mengambil dua buah batu yang ada di sampingnya yang kemudian berubah menjadi dua potong roti hangat. Kemudian beliau mengulurkan tangannya ke udara dan saat turun tangan tersebut  telah menggenggam cawan besar merah berisi air. Orang tersebut makan dan minum lalu kembali terbang kearah datangnya tadi.

Seiring dengan perginya orang tersebut, Syaikh bangkit dan memungut tulang-tulang angsa tadi, meletakkannya di tangan kiri dan mengusapnya dengan tangan kanannya seraya berkata, “hai tulang belulang yang berserakan, dengan perintah Allah terbanglah engkau. BismiallahiRrahmaanirrahiim. Seketika itu pula angsa tersebut terbang ke udara menghilang dari pandangan kami. “

Syaikh Jalaludin Abdurrahman As-Suyuti berkata dalam kitabnya At-tanwir bab  imkanrukyatin Nabiyyi SAW (Dimungkinkannya melihat RasuluLlah SAW), “Syaikh Ahmad Rifa’i berdiri di depan makam RasuluLlah SAW kemudian beliau bersya’ir

Ketika jauh, 
rohku yang kukirim sebagai wakilku 
untuk menciumi tanah kuburmu. 
Sekarang yang diwakilkan telah hadir, 
sekarang ulurkanlah tangan kananmu 
agar beruntung kedua bibirku.
  
Seketika itu pula keluarlah tangan RasuluLlah SAW dari kuburnya.

Diriwayatkan salah seorang sahabatnya sering melihat beliau duduk di kursi As-Shidq dalam mimpimya, namun ia tidak pernah mengabarkan hal tersebut kepada beliau. Dan sang syaikh diriwayatkan memiliki seorang isteri yang berlidah tajam dan berperangai kasar.

"Suatu hari orang tadi menghadap beliau dan mendapati isteri tersebut sedang memukulkan penyulut lampu ke punggungnya hingga hitam bajunya tanpa sedikitpun dilawan oleh sang syaikh. Sahabat tersebut keluar dan menemui para sahabat yang lain kemudian berkata, “Wahai saudara-saudara, sang syaikh mendapat perlakuan demikian dan demikian….. namun kalian dam saja.”. Salah seorang berkata, “Maharnya lima ratus dinar dan beliau adalah orang yang miskin”. Sahabat tadi berlalu dan mengumpulkan 500 dinar kemudian pergi menghadap sang Syaikh dan meletakkan uang tersebut di hadapannya.
Apa ini  ?“ tanya sang syaikh kepada sahabatnya tersebut.
“Ini mahar perempuan yang telah berbuat ini dan itu kepada engkau” jawabnya.
“Tahukah engkau” ujar sang syaikh, “Jika bukan karena kesabaranku atas pukulan dan mulutnya, engkau tidak akan melihatku duduk di kursi Ash-Shidq. “

Syaikh Syamsudin Sabth Ibn Jauzi dalam kitab tarikh berkata, “Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Abu Abas bin Rifa’i adalah syaikh orang-orang Bathaih, beliau tinggal di Umm Ubaidah dan dianugerahi berbagai karamah dan maqam. Diantara para sahabatnya ada yang menunggangi hewan buas dan bermain dengan ular. Ada pula yang memanjat dan melemparkan dirinya  dari pohon kurma tertinggi tanpa cedera sedikitpun. Mereka semua berkumpul satu kali dalam semusim.”

Ketua para Qadhi Mujiruddin AbruRrahman Al-Amiri Al-‘Alimi Al-Hanbali Al-Maqdisi dalam kitabnya Al-Mu’tabar fi abna min ‘abar meriwayatkan, “ Beliau adalah Abu Abbas Ahmad bin Abi Al-Hasan Ali bin Abi Abas Ahmad yang dikenal dengan sebutan bin Rifa’i beliau bermadzhab Syafi’i ,berasal dari barat dan tinggal di Umm Ubaidah sebuah desa di Bathaih. 
Sebuah syair darinya :

Bila gelap tiba, bergolak kalbuku mengingat-Mu
Tangisku bak cicitan burung merpati.

AL-Alamah Syamsudin bin Nashirudin Ad-Dimasyqi berkata, “Kami belum pernah mendengar bahwa guru kami Syaikh Abu Abas Ahmad bin Rifa’i merupakan keturunan salah seorang dari para Imam sebagaimana yang dinyatakan oleh beberapa imam, atau nasab yang shalih dari Ali bin Abi Thalib atau kepada keturunan beliau yang mulia. Yang sampai kepada kami, yang dihafal oleh para Hufadz  dan yang kami anggap kuat, beliau adalah Abu Abas Ahmad bin Syaikh Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad bin Yahya bin Hazim bin Ali bin Rafa’af Al-Maghribi. Berasal dari Iraq dan kata Rifa’i dinisbathkan kepada kakek buyutnya.

Adalah ayahnya syaikh Abi Al-Hasan Ali yang datang dari Maghrib dan menetap di Bathaih. Beliau mengawini saudara perempuan Syaikh Manshur ahli zuhud ,dan dari perkawinan tersebut lahirlah Syaikh Ahmad Rifa’i. Ayahnya meninggal dunia ketika beliau masih dalam kandungan dan beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 500 H. Beliau diasuh oleh paman dari ibunya sejak saat itu.

Beliau belajar kepada pamannya, kepada Abi Al Hasan Ali Al-Qaari Az-Zahid dan lainnya. Kemudian beliau menjadi pemimpin kaum ‘aarif dan salah seorang wali terbesar dalam sejarah. Beliau wafat 17 tahun setelah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilli, pada bulan Jumadil Ula 587 H”.

Sedangkan Ketua Qadhi Jamaluddin Abu Mahasin Yusuf At-Tadafi mengatakan, “Beliau adalah Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Yahya bin Hazim bin Ali bin Tsabit bin Ali bin Al-Husain Al-Asghar bin Al-Mahdi bin Muhammad bin Qasim bin Musa bin AbdurRahim bin Saleh bin Yahya bin Muhammad bin Ibrahim bin Musa bin Kadzim bin Ja’far As’Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.”

Ajaran Syaikh Ahmad Rifa'i

Ajaran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa'i banyak diriwayatkan oleh ‘Abdul Wahhab Al-Sya'rani dalam buku At-Thabaqat al-Kubra. Ajaran zuhud, misal, menurut Syaikh Ahmad Rifa'i adalah landasan keadaan yang diridlai dan tingkatan-tingkatan yang disunnahkan. Langkah pertama salik menuju Allah adalah mengarahkan diri sepenuhnya kepada Allah.  Siapa yang belum menguasai landasan kezuhudan, maka langkah-langkah selanjutnya akan sulit menemukan yang benar. Sedang ma'rifat, menurut Syaikh Ahmad Rifa'i, adalah kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yaqin sehingga tersingkaplah hakikat realitas-realitas yang benar-benar meyakinkan. Dalam riwayat lain, dikisahkan Syaikh Ahmad Rifa'i berkata,
  
"Cinta mengantar pada rindu dendam, 
sementara ma'rifat mengantar pada kefanaan - ketiadaan diri."

Ajaran Syaikh Ahmad Rifa'i tidak lepas dari rebana sebagai pengiring dzikir dan shalawat. Menurut riwayat, suatu saat Syaikh Ahmad Rifa'i berdzikir dalam keadaan fanaa. Tubuhnya terangkat ke atas dan dalam keadaan tidak sadar ia menepuk-nepuk dadanya. Allah memerintahkan kepada malaikat untuk memberinya rebana di dadanya. Tetapi Syaikh Ahmad Rifa'i tidak ingat apa-apa akibat terlalu khusyuknya. Sejak saat itu, rebana menjadi bagian dari ajaran tarikat Ar-Rifa'iyyah.

Untuk menuju kepada Tuhan, Al-Rifa'i mengajarkan dzikir yang diformulasi dengan irama dan intonasi suara yang lantang dengan tujuan supaya yang tidur bangun dan yang alpa menjadi ingat. Oleh karena cara berdzikir yang berirama itu, dunia Barat menyebut dzikir Tarikat Rifa'iyyah dengan sebutan Darwis Menangis, terutama karena suara-suara ganjil yang dihasilkan pada dzikir berjama'ah Tarikat Rifa'iyyah. Ada pula yang menyebut dzikir Rifa'iyyah dengan sebutan Dzikir Arra, yaitu "dzikir menggergaji" terutama yang dijalankan Tarikat Rifa'iyyah di Asia Tengah dan Turki. Sebagian penganut Tarikat Rifa'iyyah menyatakan tidak tahu pasti apakah Dzikir dengan suara lantang itu diajarkan oleh Syaikh Ahmad Rifa'i sendiri atau ada pengaruh dari Tarikat Yasawiyyah yang dibangsakan kepada Syaikh Ahmad Yasawi, di mana Syaikh Ahmad Yasawi dikenal sebagai pelopor dzikir lantang karena ia seorang sastrawan sufi.

Dalam kitab at-Thabaqat al-Kubra  diterangkan, pada saat mengajar Syaikh Ahmad Rifa'i suaranya terdengar oleh orang-orang yang tinggal jauh dari tempatnya seolah semua bisa mendengar apa yang disampaikan  sama seperti orang yang dekat dengan tempatnya mengajar. Saat Syaikh Ahmad Rifa'i mengajar,  penduduk di sekitar  Ummi Abidah beramai-ramai keluar dari rumahnya untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh Syaikh Ahmad Rifa'i. Konon,  orang yang  tuli pun  jika hadir mengaji, akan dibukakan pendengarannya oleh Allah sehingga bisa mendengar apa yang disampaikan  Syaikh Ahmad Rifa'i. Para guru tarikat  banyak yang hadir untuk mendengarkan wejangan   Syaikh Ahmad Al-Rifa'i. Mereka biasanya menggelar sajadah sebagai tempat duduk. Setelah Syaikh Ahmad Al-Rifa ‘i selesai memberi pelajaran, mereka pulang sambil menempelkan sajadah ke dada mereka  masing-masing. Setelah sampai di rumah,  mereka dengan lancar  bisa menjelaskan semua yang telah mereka dengar  kepada para muridnya.

Dari berbagai ajaran Al-Rifa'i yang paling menonjol dan terkenal adalah Dabus, suatu didikan yang luar biasa ganjil.Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimensions of Islam (1975) menganggap Tarikat Rifa'iyyah sebagai tarikat ganjil karena melatih murid-muridnya untuk tahan api, melukai diri sendiri dengan benda-benda tajam, berjalan di atas pecahan kaca, mematukkan diri dengan ular berbisa, memakan kaca, ditusuk benda-benda runcing (dabus), dengan anggapan murid-murid yang mencapai tahap fana tidak lagi memiliki rasa sakit karena sangat dzikir kepada Allah.

Asy-Sya'rani mengomentari kedudukan Al-Rifa'i dalam kedudukan tasawuf  dengan ungkapan,"Dia adalah seorang tokoh dalam tasawuf, mengenal berbagai keadaan kaum sufi, dan banyak menuingkap masalah-masalah posisi mereka. Setiap kali ia keluar, ia selalu diikuti orang banyak. Dia memiliki murid."

Keanehan dalam berbagai hal, tidak hanya dimiliki Al-Rifa'i, banyak hal aneh yang juga sering terjadi pada diri murid Syaikh Ahmad Rifa'i seperti mampu  masuk ke dalam api yang sedang menyala, menjinakkan binatang buas seperti harimau, membuat hewan buas patuh dan menuruti apa yang mereka katakana, sehingga singa pun  dapat dijadikan kendaraan oleh mereka. Di Mesir banyak cerita tentang bagaimana murid-murid Tarikat Rifa'iyyah menolong orang-orang yang dipatuk ular cobra.  Pendek kata, berbagai keajaiban ditunjukkan oleh murid-murid Tarikat Rifa'iyyah.
  
Keteladanan Hidup Syaikh Ahmad Rifa'i

Salah satu dari sekian banyak  budi pekerti yang diteladankan  Syaikh Ahmad Rifa'i  adalah seringnya ia mengunjungi tempat orang-orang berpenyakit kusta. Ia tidak sekedar mengunjungi, tetapi  mencuci bersih pakaian orang-orang berpenyakit kusta yang sangat menjijikkan menurut pandangan umum itu. Dipeliharanya orang-orang yang sedang sakit itu dengan mengantarkan makanan untuk mereka dan ia  juga turut makan bersama-sama mereka  tanpa merasa jijik.

Ketika Syaikh Ahmad Al Rifa'i datang dari perjalanan dan  telah dekat dengan kampungnya,  maka dipungutnya kayu bakar. Setelah  itu dibagi-bagikannya kayu bakar itu  kepada orang-orang sakit, orang buta, orang-orang tua dan orang  yang membutuhkannya. Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Mendatangi orang-orang yang semacam itu adalah  wajib bagi kita dan bukan sekedar sunnah. Nabi Saw bersabda : "Barang siapa yang memuliakan orang tua muslim, maka Allah akan meluluhkan orang untuk memuliakannya jika ia sudah tua".

Setiap berada dijalan, Syaikh Ahmad Rifa'i selalu menunggu  lewatnya orang buta, di mana saat  ada orang buta lewat  lalu dipegang dan dituntun serta diantar  sampai ke tujuan. Syaikh Ahmad Rifa'i memiliki kasih sayang bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada binatang. Dikisahkan satu saat  ada seekor anjing menderita penyakit kusta. Kemana saja anjing itu pergi, ia selalu  diusir orang. Anjing itu kemudian dipelihara oleh Syaikh  Ahmad Al-Rifa'i. Anjing itu dimandikan dengan air panas, lalu diberi obat dan makanan, sampai anjing itu sembuh dari penyakit yang dideritanya. Kalau ada orang yang bertanya tentang apa yang telah  diperbuatnya  Syaikh Ahmad Rifa'i selalu berkata , "Aku selalu membiasakan pekerjaan yang baik."

Syaikh Ahmad Rifa'i kalau kebetulan dihinggapi nyamuk akan  membiarkannya. Ia tidak mengijinkan orang lain untuk  mengusirnya. Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Biarkanlah dia meminum darah yang dibagikan Allah kepadanya."

Pada suatu hari ada seekor kucing sedang nyenyak tidur di atas lengan bajunya. Waktu shalat telah masuk. Syaikh Ahmad Rifa'i lalu menggunting lengan bajunya itu karena ia  tidak sampai hati mengejutkan kucing yang sedang lelap tidur itu. Seusai shalat,  lengan bajunya itu diambil dan dijahit lagi.

Jika ada orang minta dituliskan wafak/azhimah  kepadanya, maka Syaikh Ahmad Rifa'i akan mengambil kertas lalu ditulis tanpa pena. Anehnya, sewaktu ada orang memberikan kertas yang pernah ditulisnya tanpa pena setahun sebelumnya, ia menolak untuk menulis ulang di atas kertas itu sambil menjelaskan bahwa kertas itu sudah pernah ditulisinya.

Budi pekerti mulia  lain yang ditunjukkan Syaikh Ahmad Rifa'i ialah ia  tidak mau membalas kejahatan dengan kejahatan. Apabila ia dimaki  orang, ia hanya  menundukkan kepala dan bersujud mencium bumi dan menangis serta meminta maaf  kepada orang yang memakinya.  Syaikh Ahmad Rifa'i pernah dikirimi surat oleh Syeikh Ibrahim al-Basity yang isi suratnya merendahkan martabatnya. Syaikh Ahmad Rifa'i berkata kepada orang yang menyampaikan surat itu, "Coba bacalah surat itu!"

Ternyata isi surat itu  adalah  "Hai orang yang buta sebelah, hai Dajjal, hai orang yang membikin bid'ah,  dan berbagai macam caci-maki yang menyakitkan hati."  Setelah  pembawa surat itu selesai membaca surat,  maka surat itu diterimakan kepada Syaikh Ahmad Rifa'i, dan setelah membaca Syaikh Ahmad Rifa'i berkata : "Ini semua benar, semoga Allah membalas kebaikan kepadanya." Lalu Syaikh Ahmad Rifa'i  berkata dengan bersyair, 

"Maka tidaklah aku peduli kepada orang yang meragukan aku 
yang penting menurut Allah, aku bukanlah orang yang meragukan." 

Sebentar kemudian  Syaikh Ahmad Rifa'i berkata : "Tulislah sekarang jawaban balasanku yang berbunyi :
"Dari orang rendah kepada Tuanku Syaikh Ibrahim. 
Mengenai tulisan Tuan seperti yang tertera dalam surat, 
memang Allah telah menjadikan aku menurut apa yang dikehendaki-Nya 
dan aku mengharapkanmu hendaknya sudi bersedekah kepadaku 
dengan mendo'akan dan memaafkanku."
Setelah surat balasan ini sampai pada Syaikh Ibrahim al-Basity dan dibaca isinya, kemudian Syaikh Ibrahim pergi. Menurut cerita,   tidak ada seorang pun yang tahu ke mana syaikh itu pergi.

Kisah menggemparkan yang pernah dialami Syaikh Ahmad Rifa'i adalah sewaktu ia melakukan ibadah Haji dan  ketika berziarah ke Makam Nabi Muhammad Saw. Saat itu terlihat  tangan menjulur dari dalam kubur Nabi Saw bersalaman dengan beliau dan beliau pun terus mencium tangan Nabi Saw tersebut. Kejadian itu disaksikan oleh banyak orang  yang  berziarah ke Makam Nabi Saw tersebut. Semua orang takjub dan terheran-heran dengan peristiwa aneh itu.

Setelah menyaksikan keajaiban gurunya, salah seorang murid Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Qutub!". Syaikh Ahmad Rifa'i  menjawab, "Sucikan syak wasangkamu daripada Qutubiyah".  Lalu  murid itu berkata lagi, "Tuan Guru adalah Ghauts!".  Syaikh Ahmad Rifa'i menjawab lagi, "Sucikan syak wasangkamu daripada Ghautsiyah"

Menurut Al-Imam Asy-Sya'rani, jawaban-jawaban Syaikh Ahmad Rifa'i atas simpulan muridnya adalah dalil bahwa Syaikh Ahmad Al-Rifa'i  sejatinya telah melampaui "Maqaamat" dan "Athwar",   karena ketinggian derajatnya , kualitas maqam-nya, dan dekatnya dengan Allah sehingga tidak diketahuinya maqam, meski terdapat beberapa maqam.

Sebelum wafat beliau telah menceritakan kapan waktunya akan meninggal dan sifat-sifat hal ihwalnya beliau. Beliau akan menjalani sakit yang sangat parah untuk menangung bilahinya para makhluk. 
Sabdanya, “Aku telah di janji oleh Allah, agar nyawaku tidak melewati semua dagingku (daging harus musnah terlebih dahulu). Ketika Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i sakit yang mengakibatkan kewafatannya, beliau berkata, 
“Sisa umurku akan kugunakan untuk menanggung bilahi agungnya para makhluk. Kemudian beliau menggosok-ngosokkan wajah dan uban rambut beliau dengan debu sambil menangis dan beristighfar. 
Yang dideritai oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i ialah sakit “Muntah Berak”. Setiap hari tak terhitung banyaknya kotoran yang keluar dari dalam perutnya. Sakit itu dialaminya selama sebulan. Hingga ada yang tanya, 
“Kok, bisa sampai begitu banyaknya yang keluar, dari mana yaa kanjeng syeikh. Padahal sudah dua puluh hari tuan tidak makan dan minum. Beliau menjawab, 
“Karena ini semua dagingku telah habis, tinggal otakku, dan pada hari ini nanti juga akan keluar dan besok aku akan menghadap Sang Maha Kuasa".
Setelah itu ketika wafatnya, keluarlah benda yang putih kira-kira dua tiga kali terus berhenti dan tidak ada lagi yang keluar dari perutnya. 
Demikian mulia dan besarnya pengorbanan Aulia Allah ini sehingga sanggup menderita sakit menanggung bala yang sepatutnya tersebar ke atas manusia lain.

Tentang waktu wafatnya Syaikh Ahmad Rifa'i tidak terdapat keseragaman. Sebagian menyatakan Syaikh Ahmad Rifa'i  wafat tahun 578 H di al-Batha'ih, yang lain menyatakan  Syaikh Ahmad Rifa'i wafat di Umm Ubaidah pada 22 Jumadilawwal 578 H atau 23 September 1183 M. Namun ada pula yang menyatakan  Syaikh Ahmad Rifa'i wafat  pada hari Kamis, waktu Dhuhur, tanggal 12 Rabbiul awwal 570 H dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Ada juga riwayat Beliau wafat pada hari Kamis 12 Jumadil Ula 580 H, di Umm Ubaidah di usia 90 tahun. Kata Rifa’i dinisbathkan kepada orang yang mempunyai kedudukan tinggi di Maghrib.
            Meskipun banyak bukti sejarah tenang masuknya tarekat Rifa‘iyah di Indonesia seperti di atas tadi. Namun, belum diketahui dan dijumpai bagaimana bentuk transmisi tarekat Rifa‘iyah di Indonesia berdasarkan silsilahnya. Apalagi dengan silsilah gabungan antara tarekat Qadiriyah wa Rifa‘iyah.
Sebuah manuskrip tua memberikan informasi tentang perkembangan tarekat Qadiriyah wa Rifa‘iyah di Indonesia, ada dua buah tahun yang terdapat pada kolofon naskah ini, pertama tahun 1184 H dan kedua tahun 1187 H. Naskah ini memberikan informasi tentang silsilah tarekat Qadiriyah wa Rifa‘iyah yang berkembang di Indonesia. Silsilah tersebut dapat dilihat di bawah ini :
     (1).Nabi Muhammas Saw
     (2).Ali bin Abi Thalib
    (3).Imam Husain
     (4).Imam Zainal Abidin
     (5).Imam Muhammad Baqir
     (6).Imam Ja‘far al-Shadiq
     (7).Imam Musa Al-Kazhim
     (8).Imam Ali Musa al-Ridhawiyah
     (9).Syekh Ma‘ruf al-Karkhi
     (10).Syekh Sarri as-Siqthi
     (11).Syekh Abu al-Qasim Junaidi al-Baghdadi
     (12).Syekh Abu Bakar asy-Syibli
     (13).Syekh Abdul Azizi
     (14).Syekh Abdul Wahid at-Tamin at-Tamimi
     (15).Syekh Abu al-Faraj al-Tharthusi
     (16).Syekh Abu Hasan Ali al-Quraysi al-Hakkari
     (17).Syekh Abu Sa‘id al-Mubarak al-Makhzum
     (18).Syekh Muhyiddin Abi Muhammad Sayyid Abdul Qadir al-Jaylani
     (19).Sayyid Abdurrazaq
     (20).Sayyid Syamsuddin Abi Shalih
     (21).Sayyid Zainuddin
     (22).Sayyid Baqaluddin
     (23).Sayyid Nurruddin
     (24).Sayyid Tajuddin
     (25).Sayyid Yasin
     (26).Sayyid Husain al-Qadiri
     (27).Sayyid Muhammad al-Husain al-Ahmadi ar-Rifa‘i
     (28).Sayyid Abdurrahim Rifa‘i
     (29).Sayyid Yusuf ar-Rifa‘i
     (30).Sayyid Abd ar-Rifa‘i Ahmad
     (31).Sayyid Abdullah bin Sayyid Muhammad Al-‘Abd al-Husaini
     (32).Syekh Qasim al-‘Ala’i
Hadzihi asy-syajarah al-mubaarakah bi ismi asy-Syaikh Qaasim na’khudz a‘la’i muriid al-qaadiri khalifah al-qaadiriyah wa al-rifa‘iyah syahr Jumadil tarikh thamaniyah sannah 1184 H.
  
Pada silsilah ini sangat terlihat jelas ada penggabungan silsilah antara tarekat Qadiriyah dan Rifa‘iyah yang kemudian dikenal dengan tarekat Qadiriyah wa Rifa‘iyah. Penggabungan tarekat ini kemudian juga akan berdampak kepada penamaan terhadap amalan pada tarekat ini.
“sekarang hijrah Nabi saw 1187 pada tahun alif pada bulan Rabi‘ul Akhir dalam dua belas hari bulan fi yaum sabt pada masa itu. tamat surat ini daripada naskhahnya wallahu a‘lam.
Hijrah Nabi 1187 pada tahun dal akhir dalam dua puluh hari bulan Zulqaidah pada hari Ithnain pada masa itu lah mualim mengambil wadha’ daripada gurunya tuan Khalifah yang duduk dalam Bandar Natar yang memegangkan hukum segala anak Aceh Qadi oleh baba mu‘alim, tamat kalam” ‘Inilah tarekat daripada Sayyid Yusuf yang khadim kan kepada Muhammad Amin wallahu a’lam”.

Setelah itu pada naskah ini dimulailah bacaan al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi, para istrinya, sahabatnya, anaknya Fatimah dan ccunya Hasan Husain kemudian para Tabi‘in dan Tabi’ Tabi’in dari kalangan Anshar dan Muhajirin dan kepada ulama yang mujtahid yang empat dan kemudian kepada Syekh Abdul Qadir al-Jaylani dan kemudian secara khusus kepada Syekh Ahmad Rifa’i, dan kemudian kepada Syekh Ahmad bin ‘Alwan, dan kemudian secara khusus kepada Syekh Ahmad yang dikenal dengan ‘Abd ar-Rifa‘i bin Yusuf, dan kemudian secara khusus kepada  Muhammad Amin bin Abdul Faqar bin Abdullah bin al-marhum Yusuf."
Dalam penjelasan teks ini mungkin dapat dihubungkan dengan keterangan di atas bahwa Muhammad Amin merupakan cicit dari Sayyid Yusuf dan juga memperjelas tentang penggabungan antara tarekat Qadiriyah dan Rifa‘iyah.


Tarekat Rifaiyah mempunyai tiga ajaran dasar, yaitu :

               1.     Tidak meminta sesuatu

               2.     Tidak menolak

               3.     Tidak menunggu

Sementara itu, menurut asy-Syarani, tarekat ini menekankan pada :

          1.     ajaran asketisme (zuhud)

         2.     Makrifat (puncak tertinggi dalam ajaran tasawuf)

Dalam pandangan Syekh Ar-Rifai, sebagaimana diriwayatkan asy-Syarani, asketisme merupakan landasan keadaan-keadaan yang diridhai dan tingkatan-tingkatan yang disunahkan. Asketisme adalah langkah pertama orang menuju kepada Allah, mendapat ridha dari Allah, dan bertawakal kepada Allah. Menurut Syekh Ar-Rifai, "Barang siapa belum menguasai landasan kezuhudan, langkah selanjutnya belui lagi benar."
Mengenai makrifat... Syekh Ar-Rifai berpendapat bahwa penyaksian adalah kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yakin dan tersingkapnya hakikat realitas-realitas secara benar-benar yakin. Menurutnya, cinta mengantar rindu dendam, sedangkan makrifat menuju kefanaan ataupun ketiadaan diri.Irhamni MA dalam tulisannya mengenai Syekh Ahmad Ar-Rifai mengungkapkan bahwa pendiri Tarekat Rifaiyah ini semasa hidupnya pernah mengubah sebuah puisi bertema
 "Cinta Ilahi"
Andalkan malam menjelang, 

begitu gairah kalbuku mengingat-Mu. 

Bagai merpa terbelenggu atau meratap tanpa jemu. 

Di atasku awan menghujani derita dan putus asa. 

Di bawahku lautan menggelora/ kecewa Tanyalah atau biarlah mereka bernyawa. 

Bagaimana tawanan-Nya bebaskan tawanar lainnya. 

Sementara dia bisa dipercaya tanpa Nya. 

Dan, dia tidak terbunuh, kematian itu istiroh baginya. 

Bahkan, dia tidak dapat mai sampai bebas karenanya

Syair di atas merupakan salah satu bentuk asketisme yang dilakukan Syekh Ahmad Rifa dalam mencapai hakikat tertinggi mengenal Alloh. Tentu saja, wirid dan zikir antara satu tarekat dengan lainnya berbeda-beda. Termasuk dalam hal lelaku atau gerakan zikir ini. Namun, satu hal yang menjadi kesamaan hampir dalam seluruh tarekat adalah zikir kalimat tahlil, yakni 
La llaha illallah (tiada Tuhan kecuali Allah).
Kalimat ini senantiasa dibaca secara berulang-ulang. Bentuk lainnya berupa zikir vokal yang diucapkan secara teratur oleh kaum Rifaiyah dalam zawiyah mereka.

Dalam beberapa cabang Rifaiyah, para pengikut mengucapkan berbagai doa dan selalu melafalkan nama Allah [asmaulhusna). Misalnya, 

Allah, Wu (Dia), 

Hayy (Yang Hidup), 

Haqq (Yang Nyata), 

Qayyum (Yang Mandiri), 

Rahman (Yang Pengasih), 

Rahim (Yang Penyayang), dan lainnya.

Ciri khas Tarekat Rifaiyah terletak pada zikirnya. Zikir kaum Rifaiyah ini disebut darwis melolong karena dilakukan bersama-sama dan diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukannya sampai mencapai suatu keadaan. Saat itu, mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, misalnya berguling-guling dalam bara api, tetapi tidak terbakar sedikit pun..