SELAMAT DATANG Para Pencari Cinta Sejati,Tanpa Membenci,Tanpa Menyalahkan,Tanpa Kesombongan,Tanpa Membedakan,Semoga Engkau Mendapat Rahmat Alloh~Raden Bagus Langlang Jagat

road to sufi

road to sufi

Monday, November 11, 2019

Suluk Abdul Jalil ~ Syekh Siti Jenar
( Bag 16 sd 18 )
 

 

~ Bag 16. Ar Risalah al Islamiyyah

Pengalaman ruhani yang menggetarkan, menakjubkan, dan membingungkan itu berlangsung beberapa saat sebelum kelahiran putera pertamanya dari Shafa. Itu sebabnya, usai subuh saat masih tercekam oleh pesona pengalaman menakjubkan itu, ia langsung memberikan nama Darbuth kepada puteranya. Nama itu dimaksudkan sebagai tonggak peringatan dari perjalanan ruhaninya memasuki Dar al-Buthun, yakni Rumah “persembunyian” Khazanah Tersembunyi, di mana ia mengenal fana, tenggelam dalam kesatuan Tauhid (fana’ fi Tauhid).

Kelahiran seorang putera adalah kebanggaan bagi seumumnya laki-laki. Karena, putera tidak saja akan menjadi penyambung mata rantai nasab, tetapi menjadi kehormatan dan kemuliaan dalam hidup seorang laki-laki. Namun, Abdul Jalil menyambut kelahiran putera pertamanya dengan perasaan biasa saja. Ia tidak mengharap-harap bayi lelaki montok darah dagingnya itu bakal menjadi penyambung nasabnya yang bisa membawa keharuman namanya. Ia juga tidak membayang-bayangkan kehormatan dan kemuliaan dirinya bakal meningkat dengan kehadiran bayi tersebut.

Ia menganggap kelahiran puteranya adalah atas kehendak-Nya semata. Itu sebabnya, ia tidak dapat memastikan apakah bayi laki-laki itu akan berumur panjang hingga kakek-kakek atau justru akan mati dalam usia dini. Ia juga tidak bisa berharap puteranya bakal menjadi manusia sempurna. Semuanya adalah rahasia Ilahi. Semuanya tergantung pada kehendak-Nya.

Pagi itu, tanpa diundang, Syaikh Abdul Ghafur berkunjung ke rumah Abdul Jalil dengan tujuan utama memberikan berkah dan panjatan doa bagi sang bayi. Namun, saat menjumpai Abdul Jalil bersimpuh di atas sajadah yang tergelar di sudut kamar, dia langsung duduk dan merangkulnya penuh kemesraan. “Sekaranglah waktunya, Abdul Jalil. Sekaranglah waktunya engkau harus ke Jawa menggantikan saudara kita, Abdur Rahman Muttaqi al-Jawy.”

“Saya telah menemui-Nya, Tuan. Saya telah menemui-Nya,” kata Abdul Jalil dengan perasaan yang sukar dilukiskan.

“Karena itulah engkau harus secepatnya ke negeri Jawa. Karena maqam yang engkau capai telah memenuhi syarat untuk menggantikan kedudukan saudara kita Abdur Rahman Muttaqi al-Jawy,” kata Syaikh Abdul Ghafur.

“Putera saya baru saja lahir,” kata Abdul Jalil, “apakah pantas jika dia saya tinggalkan?”

“Ini bukan soal pantas atau tidak. Ini juga bukan soal masuk akal atau tidak. Ini adalah tugas suci yang wajib engkau tunaikan. Bukankah keadaanmu ini lebih ringan dibanding Ibrahim al-Khalil yang harus meninggalkan istri dan putera sulungnya di lembah tak berair tak bertetumbuhan? Bukankah mertuamu dengan tulus akan mengambil alih tanggung jawab atas istri dan puteramu? Dan aku, tentu akan bersedia menjadi guru bagi puteramu,” kata Syaikh Abdul Ghafur menguatkan.

“Terima kasih, Tuan guru,” kata Abdul Jalil. “Saya serahkan putera saya, Darbuth, sepenuhnya di bawah asuhan Tuan guru.”

“Engkau namakan siapa puteramu?”

“Darbuth.”

“Apakah engkau ingin memamerkan kepada orang lain bahwa engkau telah mencapai Dar al-Buthun, begitu?”

“Maksud saya, itu hanya sebagai tonggak peringatan.”

“Abdul Jalil, apa yang telah engkau alami adalah rahasia-Nya. Jadi, jangan sekali-kali engkau gegabah mengungkapkan kepada orang-orang yang tidak berhak.”

“Tapi, bukankah itu kehendak-Nya juga?”

“Kehendak-Nya untuk membuka rahasia kepadamu dan tidak untuk yang tidak berhak. Aku sangat khawatir engkau terjebak pada kecerobohan tanpa kendali dengan mengikuti perasaan tanpa pertimbangan akal.”

“Jadi sebaiknya bagaimana, Tuan guru?”

“Berilah puteramu nama Bardud, yang berarti ulat dalam kepompong. Karena, saat lahir ayahandanya telah terbang menjadi kupu-kupu. Dan dia, yang di dalam kepompong, akan mengikuti jejakmu menjadi kupu-kupu yang indah.”

“Tepat sekali perumpamaan Tuan guru,” sahut Abdul Jalil gembira. “Tadi saya benar-benar menyaksikan bagaimana ganas dan jahatnya saya ketika masih menjadi ulat. Di cermin itu (saat peristiwa ruhani), saya melihat semuanya.”

Syaikh Abdul Ghafur tertawa. Abdul Jalil ikut tertawa. Mereka sepakat memberi nama putera pertama Abdul Jalil dengan nama Bardud. Sebab, nama itu bukan saja menjadi tonggak peringatan peristiwa ruhaniah, melainkan pula menjadi pelajaran baginya untuk berhati-hati menggunakan perumpamaan-perumpamaan dalam mengungkapkan rahasia Ilahi.

Sepanjang hari itu mereka berbincang-bincang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas Abdul Jalil di negeri Jawa. Sebagai orang yang lebih lama mengarungi samudera kehidupan, Syaikh Abdul Ghafur banyak menceritakan berbagai pengalaman hidup selama menjadi anggota Jama’ah Karamah al-Aulia. Dan Abdul Jalil dengan penuh takzim mendengarkan kisah tersebut.

Ketika malam menyelimuti bumi dengan sutera hitam, Syaikh Abdul Ghafur berpamitan pulang. Abdul Jalil, sesuai pesan Syaikh Abdul Ghafur, menyiapkan diri untuk pergi ke selatan menunaikan tugas menggantikan kedudukan Syaikh Abdur Rahman Muttaqi al-Jawy. Seiring terbitnya matahari di ufuk timur, ia meninggalkan rumah, meninggalkan anak dan istrinya. Ia tidak tahu apakah akan bisa kembali dan bertemu lagi dengan mereka. Semua yang bakal dialaminya dipasrahkan kepada Allah.

Sepanjang perjalanan ke daerah selatan di pantai barat tanah Bharatnagari (India), Abdul Jalil singgah di desa-desa miskin tempat kediaman suku Kanbi, Kharwa, dan Kori yang merupakan suku-suku berkasta rendah dalam tatanan hidup masyarakat di negeri Gujarat.

Kemiskinan yang beribu-ribu tahun berkuasa dan merajalela di tengah suku-suku malang itu telah membawa Abdul Jalil pada keputusan untuk menyingkapkan cakrawala baru yang menyinarkan cahaya terang matahari kebenaran Islam. Sebab, kemiskinan yang tidak disinari fajar Tauhid akan membawa manusia ke lembah kekufuran. Demikianlah, pada suatu pagi yang terang ia berkata kepada pemimpin suku Kanbi bernama Warnasamkara Saswata yang sedang duduk menggembalakan hewan ternaknya di tengah hamparan rerumputan yang menguning.

“Tahukah engkau, o Manusia, tentang apa dan siapa manusia itu?”

Warnasamkara Sawata tegak berdiri dan berjalan mendekat. Dengan wajah menunduk dan suara gemetaran dia menjawab, “Manusia adalah bayangan maya dari Brahman, sebagaimana percik api yang meletik dari Bunga Api Abadi. Ketika Tuan menanyakan tentang siapakah manusia maka Tuan sesungguhnya sedang menanyakan keberadaan masing-masing percikan api.”

“Jika demikian, apa yang membedakan manusia satu dengan manusia lain? Mengapa manusia yang satu boleh menista dan menghina manusia lain? Mengapa manusia yang satu harus sukarela menerima hinaan dari manusia lain? Mengapa kehinaan yang diterima satu golongan manusia harus diwariskan turun-temurun?” tanya Abdul Jalil bertubi-tubi.

“Tuan,” sahut Warnasamkara Saswata sambil menunjuk sapi kurus gembalaannya, “tidakkah Tuan lihat sapi yang merumput itu? Begitulah keberadaan manusia, utuh laksana perwujudan sempurna seekor sapi. Ada manusia yang menjadi kepala. Ada manusia yang menjadi tubuh. Ada manusia yang menjadi kaki. Dan ada manusia yang menjadi tapak kaki.”

“Apakah Tuan menganggap bahwa suku Kanbi adalah tapak kaki sapi?”

“Demikianlah keyakinan yang kami ikuti, yang kami warisi dari leluhur-leluhur kami sejak ribuan tahun silam.” “

Jika sapi adalah lambang perwujudan manusia yang berasal dari percikan Bunga Api Abadi, lantas siapakah Bunga Api Abadi itu? Apakah Dia adalah Sang Gembala? Jika Dia adalah Sang Gembala, apakah Dia berkedudukan sebagai tapak kaki atau kepala?” tanya Abdul Jalil memburu.

Warnasamkara Saswata diam tak menjawab. Dia bingung diburu rentetan pertanyaan yang dilontarkan Abdul Jalil. Namun, sejenak kemudian pemimpin suku Kanbi itu berkata, “Tuan, pengetahuan tentang Dia bukanlah kewenangan kami. Itu adalah kewenangan para Brahma agung. Kami hanya menjalani apa yang sudah ditentukan olehnya.”

“Bukankah tadi Tuan katakan bahwa manusia adalah percikan api dari Bunga Api Abadi?” tanya Abdul Jalil. “Bukankah percik-percik api itu adalah sama dalam zat dan sifat-sifat, meski bentuk dan kecemerlangannya berbeda-beda? Bukankah masing-masing percik api itu sesungguhnya dapat kembali ke Bunga Api Abadi?”

Warnasamkara Saswata termangu-mangu. Gurat-gurat keras yang menghiasi wajahnya adalah citra keperkasaan yang pantang menyerah menghadapi gelombang samudera kehidupan. Dia meyakini bahwa kerasnya kehidupan sebagai manusia berkasta rendah yang harus dilampauinya itu adalah kodrat manusiawinya, meski jauh di kedalaman relung jiwanya sebenarnya tersembunyi api pemberontakan yang diam-diam menggugat keberadaan dirinya sebagai manusia yang hidup dinista dan dihina. Itu sebabnya, di dalam mimpinya dia merindukan hidup bebas, terhormat, dihargai, dan dimanusiakan.

Akhirnya, dengan suara bergetar dirayapi rasa takut, Warnasamkara Saswata berkata, “Apakah menurut Tuan, zat dan sifat-sifat dari percik api itu sama? Dan apakah percik api dapat mencapai Bunga Api Abadi?” “

Dengarkanlah berita gembira ini, o Manusia,” kata Abdul Jalil dengan suara lembut, namun berwibawa, “bahwa di negeri yang dilingkupi pasir dan batu-batu telah lahir seorang Avatar Agung bernama Muhammad Saw. yang mengajarkan bahwa manusia adalah percik api dari Bunga Api Abadi. Muhammad Saw. mengajarkan bahwa semua percik api adalah sama dalam zat dan sifat-sifat. Karena itu, semua percik api sama di hadapan Bunga Api Abadi. Yang membedakan percik api satu dan percik yang lain adalah kedekatannya dengan-Nya. Percik api yang paling dekat itulah yang disebut muttaqin. Dan percik api bisa berasal dari mana saja tidak dibatasi warna kulit, keturunan, pangkat, jabatan, dan kekayaan.”

“Sang Avatar Agung, Muhammad Saw., yang lahir dari keluarga bangsawan Bani Hasyim dengan tegas menunjukkan bahwa seorang budak berkulit hitam bernama Bilal bin Rabah adalah percik api yang lebih mulia dan lebih terpuji di hadapan Bunga Api Abadi dibanding Omar al-Hakam, sang Abu Jahal, pamannya yang bangsawan dan kaya raya. Bahkan kepada budak hitam Bilal bin Rabah itu diberikan anugerah kemuliaan berupa warisan abadi dalam wujud adzan, yakni seruan memanggil manusia beriman untuk beribadah mengingat Bunga Api Abadi, tempat percik-percik api kelak akan kembali.”

“Tuanku,” kata Warnasamkara Saswata memberanikan diri, “bagaimana pandangan Sang Avatar Agung tentang keberadaan kami, orang-orang dari suku Kanbi, dan saudara-saudara kami suku Kharwa, Kori, Govala, Bagdi, dan Bauri yang berkulit legam serta hidup dalam lingkaran kenistaan dan kehinaan? Apakah kami dapat beroleh anugerah kemuliaan dari Bunga Api Abadi sebagai percik api-Nya sebagaimana yang diperoleh budak hitam bernama Bilal?” “

Sang Avatar Agung, Muhammad Saw., mengajarkan bahwa Bunga Api Abadi yang merupakan pangkal segala kejadian (al-Khaliq) tidak membeda-bedakan percik api yang memancar dari-Nya (makhluk). Yang membedakan adalah kedekatan. Yang paling dekat dengan Sumber Api Abadi itulah yang paling cemerlang sinarnya dan paling mulia. Dan kedekatan dengan Sumber Api Abadi, menurut Sang Avatar Agung, tidaklah berkaitan dengan warna kulit dan anasir-anasir keturunan.”

“Karena itu, o Manusia, jika engkau bersedia menadahkan tanganmu untuk menerima tetesan madu kebenaran dari pinggan sang Avatar Agung maka derajat Tuan adalah sama dengan derajat kami. Jika Tuan disakiti orang maka kami akan membela Tuan seolah-olah yang disakiti oleh orang itu adalah diri kami sendiri. Sebab, sang Avatar Agung mengajarkan bahwa sesama pengikut ajaran sang Avatar Agung adalah sesaudara – sama-sama percik api dari Bunga Api Abadi – yang darah dan kehormatannya wajib dibela dan dihormati.”

Mendengar uraian Abdul Jalil, Warnasamkara Saswata merasakan api pemberontakan di kedalaman relung-relung jiwanya berkobar-kobar dengan hebat hingga membakar bongkahan gunung es yang tegak menjulang di dadanya. Dia merasakan dinding-dinding gunung es di dadanya runtuh dengan suara gemuruh. Dan seiring dengan itu, dia jatuh terduduk di atas lututnya dengan tubuh bergetar dan air mata haru bercucuran membasahi pipi. “

Tuan Guru, apakah kami boleh menjadi pengikut Sang Avatar Agung? Apakah Tuan dan saudara-saudara Tuan berkenan menerima kami yang hina ini sebagai saudara? Apakah syarat-syarat yang harus kami penuhi untuk menjadi pengikut Avatar Agung?” “

Ucapkan dua kalimat kesaksian yang Tuan yakini dengan sepenuh jiwa. Kalimat pertama, Tuan menyaksikan keesaan Sang Bunga Api Abadi, yakni Allah. Kalimat kedua, Tuan menyaksikan bahwa Sang Avatar Abung adalah rasul pancaran Sang Bunga Api Abadi.”

Masih dengan air mata bercucuran, Warnasamkara Saswata bersujud mencium kaki Abdul Jalil sambil berkata, “Bimbinglah kami, o Tuan Guru.”

Abdul Jalil memegang bahu Warnasamkara Saswata dan kemudian menepuk-nepuknya, “Berdirilah Tuan! Sebab, semua pengikut sang Avatar Agung, Muhammad Saw., berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Tidak satu pun di antara pengikut Muhammad Saw. boleh bersujud kepada sesamanya. Satu-satunya yang wajib disujudi adalah Sang Bunga Api Abadi.”

Dengan tubuh gemetar dan hati diamuk perasaan tak karuan, Warnasamkara Saswata berdiri. Disaksikan Abdul Jalil yang wajahnya bersih cemerlang dengan hidung mancung, mata coklat, alis tebal, kumis, dan cambang lebat yang semuanya memancarkan kewibawaan menggetarkan, dia berkata dengan suara bergetar, “Tuan Guru, belum pernah kami mendapat perlakuan seperti ini sebelumnya. Belum pernah ada orang yang bersedia menganggap kami sebagai saudara.”

“Kabut kegelapan malam yang menyelimuti hari-harimu dengan kemiskinan, kesengsaraan, kehinaan, dan kenistaan telah terhapus dengan terbitnya matahari kebenaran, Matahari Islam, yang membawa persamaan derajat, persaudaraan, keselamatan, kedamaian, dan kebahagiaan. Marilah Saudaraku, kukuhkan jiwamu dengan menyaksikan keesaan Sang Bunga Api Abadi dan keberadaan sang Avatar Agung sebagai rasul pancaran-Nya.”

Di bawah hangatnya cahaya matahari pagi, dengan suara terbata-bata, namun hati diliputi semangat berkobar menyongsong kehadiran cakrawala hidup baru, Warnasamkara Saswata mengikrarkan diri sebagai Muslim dengan mengucap dua kalimat syahadat di bawah bimbingan Abdul Jalil. Sebagaimana dicontohkan Muhammad al-Mushthafa Saw. saat menyiarkan kebenaran Islam pertama kali, Abdul Jalil pertama-tama menanamkan ruh at-Tauhid ke dalam jiwa Warnasamkara Saswata.

Abdul Jalil pertama-tama mengajarkan tentang keesaan Allah dalam Dzat, Shifat, Af’al, dan Asma’. Allah adalah Tunggal. Meliputi. Tak terbandingkan dengan sesuatu. Dan karenanya, manusia tidak boleh membayang-bayangkan Allah dengan sesuatu. “Karena kekerdilan akal budi manusia saja mereka mengatakan bahwa Tuhan ada di langit, bintang-bintang, matahari, rembulan, gunung-gunung, lautan, batu-batu, dan pohon-pohon. Padahal, ruh-Nya ada di dalam diri manusia. Karena itu, sungguh nista, hina, dan tolol manusia yang sudah tahu bahwa ruh-Nya ada di dalam diri sendiri, namun masih juga ia bertekuk lutut menyembah batu dan pepohonan.”

Ia selanjutnya menjelaskan bahwa sekalipun Tuhan tidak bisa dibanding-bandingkan dan disetarakan dengan sesuatu (laisa kamitslihi syai’un), bukan berarti Tuhan tidak bisa didekati. “Karena, berkali-kali Tuhan mengisyaratkan manifestasi diri-Nya sebagai Cahaya (Nur) langit dan bumi (Allahu Nur as-samawati wa al-ardh) atau Cahaya di atas segala cahaya (Nurun ‘ala nur). Maka, lewat isyarat itulah manusia bisa mendekat. Namun, janganlah membayangkan bahwa Cahaya (Nur) dalam hal ini adalah cahaya (nur) yang bisa dilihat dengan mata indriawi manusia. Sekali-kali cahaya bukanlah Cahaya.”

Warnasamkara Saswata terlihat bingung dengan penjelasan Abdul Jalil tentang Tuhan yang memanifestasikan diri-Nya dalam wujud niscaya Cahaya yang tak bisa dilihat oleh indera manusia. Abdul Jalil yang menangkap ketidakpahaman Warnasamkara Saswata kemudian mengajarkan secara rahasia tentang apa yang dimaksud dengan uraiannya itu. Dengan cara membisikkan ke telinga kiri Warnasamkara Saswata, ia menguraikan sekaligus membuktikan ucapannya bahwa ada cahaya-cahaya yang tidak bisa ditangkap indera penglihatan manusia, namun keberadaannya di dalam diri manusia dapat disaksikan dengan pandangan bashirah.

Ia menguraikan hakikat keberadaan manusia sebagai berbahan dasar lempung yang di dalamnya tersembunyi Ruh Ilahi. “Itulah yang dimaksud dengan percik api dari Bunga Api Abadi. Ini berarti, setiap percik api berhak untuk mendekat dan menyatu kembali dengan Bunga Api Abadi. Bahkan sang Avatar Agung, Muhammad Saw., tegas-tegas mengajarkan bahwa semua percik api pada akhirnya akan kembali kepada Bunga Api Abadi sebagaimana terungkap dalam kalimat: Innali Allahi wa innailaihi raji’un, yang menjadi intisari ajaran Islam.”

“Saya akan jalankan semua petunjuk Tuan Guru,” kata Warnasamkara Saswata.

“Ingat-ingatlah selalu bahwa tugas utamamu sebagai manusia adalah mengingat asal-usulmu yang berasal dari Bunga Api Abadi. Berjuanglah mengisi hari-hari hidupmu dengan mengingat-Nya di saat engkau tidur, duduk, berdiri, berjalan, dan bahkan saat naik kendaraan. Karena dengan mengingat-Nya maka engkau akan mendapatkan ketenangan dan kedamaian. Dan manakala engkau mengingat selain Dia, apalagi sampai pikiran dan perasaanmu terikat kepada sesuatu selain Dia, niscaya kesengsaraan dan penderitaan yang akan engkau dapatkan. Ingat-ingatlah selalu: Ingat kepada-Nya. Ingat! Ingat!” Abdul Jalil mewanti-wanti.

Suatu pagi Abdul Jalil sampai di pasar dekat perkampungan suku Kanbi yang ramai. Saat itu bertepatan dengan datangnya pedagang-pedagang suku Kharwa yang membawa gerabah dan pecah-belah. Di tengah pasar, didampingi Warnasamkara Saswata, ia berkata kepada orang-orang yang mengerumuninya. “Aku akan mengajarkan kepada kalian cara menjadi manusia paripurna (al-insan al-kamil) yang memegang jabatan wakil Tuhan di mukan bumi (khalifah Allah fi al-ardh). Tahukah kalian siapakah yang disebut manusia paripurna? Manusia paripurna adalah manifestasi Tuhan di dunia yang memiliki kewajiban utama mengagungkan dan memuliakan Sang Pencipta. Karena kewajiban utama itulah maka manusia paripurna dianugerahi hak-hak istimewa oleh Tuhan untuk mengatur kehidupan di bumi sebagai wakil-Nya. Dan karena itu, kepada manusia paripurnalah seluruh makhluk di permukaan bumi harus tunduk dan mengikuti perintahnya.” “

Lihatlah kubah biru mahabesar yang diangkat di atas kalian. Tidaklah kubah biru itu dibentangkan dan diangkat ke atas kecuali karena diperuntukkan bagi manusia paripurna. Lihatlah permadani rerumputan yang terbentang hijau di hadapanmu. Tidaklah permadani hijau itu dibentangkan kecuali diperuntukan bagi manusia paripurna. Lihatlah juga bintang-gemintang, matahari, awan, hujan, angin, gunung-gunung, samudera, dan segala isi jagad raya tiadalah dicipta kecuali diperuntukkan bagi manusia paripurna. Kepada manusia paripurnalah diajarkan nama-nama oleh Tuhan, yakni pengetahuan yang tidak diberikan kepada makhluk mulia lain, termasuk malaikat.” “

Namun, sungguh malang nasib manusia. Dari zaman ke zaman hingga zaman ini, manusia cenderung terperosok ke jurang kehinaan yang mengerikan. Manusia tidak hanya kehilangan keparipurnaannya, tetapi yang lebih mengenaskan adalah mereka telah jatuh ke jurang kenistaan dan kehinaan sebagai makhluk serendah hewan. Mereka seolah tidak mengetahui lagi tentang kemuliaan dan keagungan yang telah diperolehnya dari Sang Pencipta. Mereka telah menjadi hewan buas yang memangsa sesamanya. Mereka memperbudak sesamanya. Mereka menindas sesamanya. Bahkan mereka telah memuja dan menyembah sesamanya.”

Seorang suku Kharwa bernama Shyam, pedagang gerabah berkulit hitam, maju dan bertanya, “Bagaimanakah caranya kami bisa menjadi manusia paripurna, o Tuan Guru?” “

Untuk menjadi manusia paripurna, kalian harus melampaui kedudukan kalian sebagai manusia (an-nas) terlebih dahulu. Sebab, tanpa melalui kedudukan sebagai manusia maka kalian tidak lebih dari makhluk berkesadaran hewan yang hanya hidup untuk memangsa dan dimangsa. Jika kedudukan kalian sebagai manusia telah terlampaui maka kalian harus melampaui kedudukan manusia beriman (al-mu’min) terlebih dahulu. Jika kedudukan kalian sebagai manusia beriman (al-mu’min) telah terlampaui maka kalian harus melampaui kedudukan manusia bertakwa (al-muttaqin). Demikian seterusnya, hingga tercapai kedudukan manusia paripurna.” “

Namun, yang paling penting kalian lampaui adalah menjadi manusia terlebih dahulu. Sebab, banyak di antara manusia yang tidak menyadari bahwa dirinya adalah manusia. Banyak di antara manusia yang merayap di permukaan bumi bagaikan hewan melata yang tidak mampu membayangkan sesuatu selain melampiaskan hasrat hewani untuk memangsa dan berkembang biak. Sungguh banyak di antara manusia yang hidup dengan kesadaran hewan bagaikan cacing, kalajengking, kadal, ular, buaya, tikus, kucing, anjing, kera, dan harimau.”

Seorang pemuda Kanbi bernama Sukhalobhena, dengan suara bersemangat menyela, “Bagaimana cara untuk melampaui kedudukan manusia, o Tuan Guru?”

Abdul Jalil menatap tajam-tajam mata Sukhalobhena seolah hendak mengukur kedalaman jiwa pemuda itu. Sesaat kemudian, dengan suara menggelegar ia berkata, “Untuk melampaui manusia (an-nas), engkau harus menjadi manusia terlebih dahulu. Dan seseorang baru menjadi manusia jika ia punya kehendak untuk tampil dan menyadari keberadaan dirinya sebagai manusia. Engkau baru bisa disebut manusia jika engkau menyadari dirimu memiliki kehendak. Hidup manusia adalah kehendak untuk membuktikan bahwa dirinya ada.” “

Untuk mengetahui keberadaan dirimu sebagai manusia maka ujilah dirimu dengan kesadaran bahwa engkau berkehendak untuk tampil sebagai manusia. Pertama, sadarilah bahwa dirimu merupakan manusia yang terbuat dari bahan dasar lempung yang disemayami Ruh Yang Ilahi. Kedua, sadarilah bahwa keberadaan manusia-manusia yang lain adalah sama dengan dirimu sehingga engkau tidak boleh merasa lebih tinggi atau lebih rendah. Ketiga, sadarilah bahwa yang paling tinggi derajatnya di antara manusia adalah mereka yang sudah mencapai pencerahan dengan menyaksikan hakikat Yang Ilahi yang tersembunyi di dalam dirinya, yang dengan penyaksian itu membuat mereka mengenal Sang Pencipta.”

Seorang pedagang buah bernama Upahata bertanya, “Tapi, o Tuan Guru, bukankah kelahiran kami sebagai manusia berkasta rendah adalah atas kehendak Yang Ilahi? Bukankah dalam kehidupan sebelum ini kami tidak memiliki kehendak untuk tidak mau dilahirkan di kalangan ini? Bukankah ini semua sudah suratan Yang Ilahi?”

Abdul Jalil mendongakkan kepala menatap gugusan awan yang menggumpal di langit. Sesaat sesudah itu, dengan kekuatan yang memancar dari kedalaman relung-relung jiwanya, ia membuka mulutnya dan berkata, “Camkan, o Manusia, bahwa engkau lahir di dunia ini dengan citra kebebasan merdeka jiwa manusia. Engkau yang berjiwa kerdil bisa membiarkan hidupmu terbelenggu oleh rantai yang memborgol kaki dan tanganmu. Lalu engkau biarkan orang lain memasang kuk di tengkukmu dan membuatmu sebagai hewan yang bisa dikendalikan sesuai kehendak orang yang menguasaimu. Namun, engkau yang berjiwa agung dan perkasa dapat membebaskan diri dari rantai-rantai yang membelenggu kebebasan hidupmu.” “

Memang, pada kelahiranmu yang pertama engkau tidak diberi kewenangan untuk memilih sesuai kehendakmu. Sebab, kelahiranmu yang pertama berada di balik rahasia hijab-Nya; ruang hidupmu diliputi oleh kegelapan rahim. Saat lahir, engkau saksikan cahaya terang matahari. Engkau sambut kebebasanmu di dunia ini dengan tangisan. Dan engkau dapati dirimu lahir sebagai anak yang memunculkan naluri keibuan.” “

Namun, sadarilah bahwa kelahiranmu yang kedua adalah kelahiran jiwa yang kepadanya diberikan kewenangan untuk memilih sesuai kehendakmu. Kelahiranmu yang kedua diterangi oleh pancaran cahaya akal dan budi: ruang hidupmu diterangi oleh pancaran cahaya matahari. Saat lahir, engkau saksikan sinar yang lebih terang dari matahari. Engkau sambut kelahiran keduamu dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Pada kelahiran keduamu, engkau akan mendapati dirimu sebagai manusia yang mewarisi dunia sebagai amanat Yang Ilahi; kelahiran kedua manusia yang melahirkan dunia dan alam semesta.” “

Tapi Tuan Guru,” seru Upahata minta penjelasan, “apa yang Tuan Guru ungkapkan itu bagi kami hanya mimpi indah. Sebab, kami lahir papa, hina, dan nista. Tatanan kehidupan telah menentukan keberadaan kami sebagai telapak kaki yang peran utamanya adalah diinjak-injak.” “

Dengarlah, o Manusia,” seru Abdul Jalil berapi-api, “aku ajarkan kepadamu tentang cara menjadi manusia paripurna. Karena itu, aku serukan kepadamu, jangan mempercayai mereka yang mengajarkan kepadamu adanya perbedaan hakikat manusia karena warna kulit, bahasa, kekayaan dan kemiskinan, nama marga, dan keturunan. Itu semua adalah kebohongan yang dilatari maksud jahat merendahkan harkat dan martabat manusia yang sesungguhnya sangat mulia dan agung. Mereka adalah peracun jahat. Mereka tidak sadar telah meracuni jiwa, pikiran, dan tubuh sendiri sehingga mereka pun akan membusuk bersama-sama orang yang mempercayai kedustaan mereka.” “

Renungkanlah kisah sebutir benih di dalam tanah yang ragu-ragu, gentar, gamang, dan takut berada di dalam kegelapan yang pekat. Namun, ia juga takut pada keluasan langit dan panas matahari yang dikiranya akan menerbangkan dan membakarnya hingga binasa. Meski demikian, hasrat untuk tumbuh di dalam dirinya sangat kuat. Maka, saat lahir sebagai kecambah, sadarlah ia bahwa keluasan langit dan terang cahaya matahari adalah keleluasaan dan berkah yang membuatnya tumbuh dan berkembang menjadi pohon raksasa. Karena itu, o Saudaraku, janganlah engkau takut untuk tumbuh menyongsong cakrawala dan matahari untuk membangun hidup baru sebagai manusia paripurna.” “

Sadarlah, o Saudaraku, bahwa manusia ibarat seutas tambang yang merentangkan harkat hewani dan harkat manusia sempurna yang membentang di atas jurang tanpa sadar. Jika engkau tidak memilik nyali untuk meniti hingga ke seberang – tempat harkat manusia sempurna – engkau akan tetap merayap di sisi jurang harkat hewani. Tidak ada yang berubah pada kehidupan semacam itu, kecuali keberadaanmu yang makin terbenam ke dalam genangan lumpur kehinaan sebagai cacing tanah.” “

Bagiku, sungguh memuakkan harus berkawan apalagi bersaudara dengan mankhluk tak bernyali yang melata. Sebab, pada hati yang lemah bersemayam cacing-cacing menjijikkan yang menggeragoti ketegaran jiwa manusia. Sungguh, aku ingin berkawan dan bersaudara dengan manusia-manusia berhati tegar dan pemberani, yang tak merasa gentar meniti jembatan kehidupannya. Sungguh, hanya mereka yang berhati singa dan bersemangat rajawali saja yang berani bangkit dari lumpur kehinaan menuju mahligai kemuliaan dan keagungan manusia paripurna.” “

Tapi Tuan Guru,” seru Upahata dengan dada naik turun, “bagaimana mungkin kami yang rendah ini berani meniti jembatan tambang kehidupan jika pemimpin kami yang berhati singa belum memberikan keteladanan bagi kami?” “

Apakah yang engkau maksud adalah Warnasamkara Saswata, putera Babu Bepin?” “

Benar, Tuan Guru,” sahut Upahata. “Babuji Warnasamkara itulah pemimpin kami. Jika beliau melarang kami melakukan segala sesuatu maka kami akan patuh.” “

Ketahuilah, o Saudaraku, Putera-Putera Kanbi,” kata Abdul Jalil, “bahwa Singa Allah, pemimpinmu yang teguh dan pemberani itu, telah jauh melompat ke tengah tambang jembatan kehidupannya. Warnasamkara Saswata (peraturan tentang perbedaan warna yang berlaku selama-lamanya), telah meninggalkan ujung tambang kehinaan dirinya. Dia telah menanggalkan kesadaran cacingnya. Dia telah menjadi seekor singa. Dia telah melampaui kemanusiaannya. Dia telah menjadi manusia beriman (mu’min).”

Upahata tercengang mendengar penuturan Abdul Jalil. Sambil berjalan merunduk dia mendekati Warnasamkara Saswata. Kemudian dengan suara terbata-bata dia bertanya, “Benarkah engkau telah meninggalkan negeri asalmu, o Babuji?” “

Upahata,” kata Warnasamkara Saswata tegas, “Aku tidak pernah meninggalkan negeri asalku. Aku hanya mengikuti naluriku untuk tumbuh dan berkembang sebagai pohon. Tanpa berani berkehendak untuk tumbuh, aku tetaplah menjadi butiran benih yang terbenam di dalam kegelapan tanah tanpa manfaat. Aku tidak akan menjadi sesuatu yang berarti bagi bumi.” “

Tapi Babuji?” “

Terang matahari dan luas kubah biru akan menguji kehendakku,” Sahut Warnasamkara Saswata. “Terang matahari dan luasnya kubah biru akan memberiku keleluasaan untuk mewujudkan diri menjadi diriku yang sebenarnya.” “

Babuji?” “

Aku ingin menjadi pohon berdaun rindang dan berbuah lebat,” sahut Warnasamkara Saswata, “yang daun-daunku bisa menaungi mereka yang kepanasan, yang buah-buahku memberikan kesegaran bagi yang memetiknya. Tidakkah engkau sekalian selama ini telah diharuskan menjadi cacing-cacing yang bertugas utama menggemburkan tanah? Cacing-cacing yang harus berkubang lumpur kehinaan, yang tempat tinggalnya di dalam kegelapan tanah?” “

Aku katakan kepada kalian semua, o Saudaraku, bahwa sekarang aku adalah penganut sang Avatar Agung, Muhammad al-Mushthafa Saw.. Sang Avatar yang mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, tidak dibedakan oleh warna kulit, keturunan, kekayaan, dan pangkat jabatan. Sesungguhnya, yang paling mulia di antara manusia adalah yang paling dekat kedudukannya dengan Sang Pencipta. Karena aku telah menjadi pengikut sang Avatar Agung maka nama yang kupakai yang melambangkan perbedaan derajat manusia berdasar warna kulit telah kuhapus dan kuganti dengan nama baru Abdur Rahman, yang bermakna hamba Yang Mahakasih.” “

Karena itu, o Saudaraku, jika dengan keberanianku untuk mewujudkan kehendakku sebagai manusia paripurna ini kalian meninggalkanku maka tinggalkanlah aku. Sebab, telah jelas bagiku bahwa manusia yang berani menguji dirinya jauh lebih berharga daripada manusia yang berdiam diri menunggu keputusan nasib. Aku sudah bosan dengan larangan beribadah ke candi-candi bagi suku kita. Aku sudah bosan suku kita dihinakan dan dianggap cacing. Karena itu, aku akan berjuang menjadi sesuatu yang lebih berharga daripada cacing. Dan sungguh akan menjadi kegembiraan dan kebahagiaan bagiku jika kalian bersedia ikut meniti jembatan tambang kemanusiaan. Meninggalkan dunia cacing yang hitam pekat untuk menjadi manusia paripurna, yakni wakil Tuhan di muka bumi.” “

Kami setia mengikutimu, o Babuji,” seru orang-orang suku Kanbi sambil berlutut mengikrarkan kesetiaan diri di hadapan Warnasamkara Saswata.

Al-auliya’ – baik yang tergabung dalam Jama’ah Karamah al-Auliya’ atau tidak – adalah manusia-manusia yang diberi tugas (tawalla) oleh Allah untuk melindungi dan memberikan pertolongan pada agama Allah yang telah diturunkan melalui nabi dan rasul di masa silam. Sebab, nabi dan rasul telah diakhiri tugas-tugasnya oleh Muhammad al-Mushthafa Saw. (khatam al-anbiya’ wa ar-rasul). Al-auliya’ pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari al-Waly, yakni Asma Ilahi yang tidak disifatkan kepada nabi dan rasul sehingga karenanya nabi dan rasul memiliki akhir dalam menjalankan tugas. Sementara al-auliya’ sebagai pengejawantahan al-Waly tetap menjalankan tugas sebagai pelindung dan penolong agama Allah sepanjang zaman.

Tugas utama al-auliya’ sebagai pelindung dan penolong agama Allah itu baru disadari oleh Abdul Jalil ketika ia melakukan perjalanan dari Surat ke Goa, di mana ia berjumpa dengan tiga aulia yang berasal dari Andalusia. Yang pertama, Abdul Malik al-Isbiliy (Abdul Malik dari Sevilla) yang meninggalkan negeri kelahirannya untuk menetap di daerah Kandesh dan mengajarkan keahlian membuat alat-alat dari besi seperti cangkul, mata bajak, ladam kuda, pisau, parang, mata tombak, pedang, dan bahkan meriam.

Pertemuan Abdul Jalil dengan Abdul Malik al-Isbiliy terjadi di utara pasar Kandesh. Saat itu Abdul Malik al-Isbiliyah sedang membawa barang dagangannya di atas gerobak untuk dijual ke pasar. Melalui perjumpaan tak sengaja itulah Abdul Jalil mengetahui bahwa kepindahan Abdul Malik al-Isbiliy adalah atas petunjuk Misykat al-Marhum. Dan kepindahannya itu berkaitan dengan isyarat bakal tersingkirnya Islam dari bumi Andalusia (Spanyol).

Islam adalah agama Allah, demikian ungkap Abdul Malik al-Isbiliy. Karena itu, Islam tidak akan musnah dari muka bumi. “Jika Islam akan disingkirkan dari Andalusia maka Allah akan menumbuhkan Islam di tempat lain. Tugasku sama denganmu, yakni menaburkan benih-benih kebenaran Islam di tanah garapan baru yang masih liar dan penuh semak belukar.”

Aulia kedua yang dijumpai Abdul Jalil adalah Abdur Rahim al-Kadisy (Abdur Rahim dari Cadiz) yang meninggalkan negeri kelahirannya untuk menetap di Sibutu (Pulau Zulu, Filipina). Kepindahan Abdur Rahim al-Kadisy tidak berbeda dengan Abdul Malik al-Isbiliy, yakni atas petunjuk Misykat al-Marhum agar pergi meninggalkan Andalusia untuk menebarkan benih-benih baru Islam di tanah timur. “Aku ditunjuk oleh Misykat al-Marhum untuk menggantikan kedudukan Syarif Abdul Karim al-Makduny (Syarif Abdul Karim dari Macedonia) yang telah dipanggil-Nya.”

Aulia ketiga adalah Abdul Malik Israil al-Gharnatah (Abdul Malik Israil dari Granada), yang lahir di Granada, Andalusia. Berasal dari keluarga Yahudi dan memeluk Islam di bawah bimbingan Abdul Malik al-Isbiliy. Atas petunjuk gurunya, dia tinggalkan kota kelahirannya untuk menjadi darwis pengembara dan sempat tinggal setahun di Ismailiyah, Mesir.

Di sanalah, dia menikahi puteri Syaikh Abdul Hamid al-Mishri, seorang ulama di Ismailiyah. Beberapa pekan setelah kelahiran puteri pertamanya, dia mengembara ke timur hingga ke negeri Jawa. Ketika bertahun-tahun kemudian dia kembali ke Ismailiyah, puteri tunggalnya telah dinikahkan oleh sang kakek dengan Syarif Mahmud, putera Syaikh Abdullah Kahfi al-Mishri. Dengan demikian, Abdul Malik Israil al-Gharnatah adalah besan dari wali besar asal Ismailiyah, yaitu Syaikh Abdullah Kahfi al-Mishri. Dari perkawinan tersebut lahirlah dua putera; yang sulung bernama Syarif Hidayatullah dan yang kedua bernama Syarif Nurullah.

Abdul Malik Israil al-Gharnatah adalah kekasih Allah dari Bani Israil. Dia bukan anggota Jama’ah Karamah al-Auliya’, namun Allah sangat mencintainya. Dia hidup menggelandang dari satu tempat ke tempat lain untuk menyampaikan kebenaran Islam. Menjelang usia tuanya dia mengajak cucu sulungnya, Syarif Hidayatullah, berkelana ke berbagai negeri. Hal itu dilakukan atas petunjuk besannya yang memintanya agar membawa Syarif Hidayatullah mengembara ke negeri timur.

Syarif Hidayatullah atau Syarif Hidayat saat itu baru berusia lima belas tahun. Namun, tempaan hidup yang diajarkan kakeknya, Wali besar Abdullah Kahfi al-Mishri, telah menjadikannya sebagai pemuda tangguh yang tak pernah mengeluh. Ketika diajak oleh kakeknya dari pihak ibu, Abdul Malik Israil al-Gharnatah, untuk mengembara ke timur dengan melintasi berbagai tantangan dan rintangan, dia sangat tabah dan sabar mengahadapi berbagai ujian berupa kekurangan makanan, cuaca ganas, orang-orang yang tidak ramah, bahkan penyakit.

Ketika bertemu dengan Abdul Jalil di pinggiran kota Satara, tepatnya di tepi sungai Krishna di sekitar pegunungan Ghats Barat, tiba-tiba saja ia menyerahkan cucunya. “Telah tiga bulan ini aku menunggu kehadiranmu di sini, o Tuan Abdul Jalil. Bimbing dan asuhlah cucuku sebagai puteramu sendiri. Ini sesuai pesan besanku.”

“Diakah cucu Yang Mulia Syaikh Abdullah Kahfi al-Mishri?” tanya Abdul Jalil sambil menepuk-nepuk bahu Syarif Hidayat.

“Dia juga cucuku,” Abdul Malik Israil tertawa, “karena ibunya adalah puteriku.”

“Ah, siapa namamu, Nak?” tanya Abdul Jalil.

“Nama saya Hidayatullah, Paman,” sahut Syarif Hidayat.

“Namanya memang Hidayatullah,” kata Abdul Malik Israil, “namun karena dia keturunan Imam Hasan bin Ali maka dia disebut orang Syarif Hidayatullah.”

Abdul Jalil tertawa mendengar penjelasan Abdul Malik Israil. Ia kemudian menjelaskan kepada Syarif Hidayat bahwa nama dan gelar adalah atribut-atribut belaka dari makna hakiki. Itu sebabnya, manusia hendaknya tidak terperangkap ke dalam sifat-sifat yang atributif. “Apalah artinya menggunakan nama Syarif jika perbuatan yang dilakukannya tidak berbeda dengan Fir’aun, Namrudz, Samiri, Qarun, Abu Jahal, Musailamah, atau Mu’awiyah,” kelakarnya.

“Saya mohon bimbingan dan petunjuk Paman.”

Abdul Jalil tertawa dan memberi isyarat kepad aAbdul Malik Israil bahwa ia menangkap pancaran nur al-auliya’ yang tersembunyi di relung-relung kedalaman jiwa Syarif Hidayat. Abdul Malik Israil mengangguk tanda setuju. “Sekarang aku serahkan dia kepada Tuan. Sebab, aku harus membantu tugas-tugas guruku, Yang Mulia Abdul Malik al-Isbiliy.”

“Namun, perjalananku masih jauh dan berat karena aku belum tahu dengan pasti di mana aku harus tinggal,” kata Abdul Jalil.

“Cucuku sudah kuajak mengembara selama tiga tahun. Dia terbiasa tidur di bawah langit dengan selimut kabut. Dia terbiasa digigit rasa dingin dan dibakar panas matahari gurun. Dia tidak pernah mengeluh ketika sakit. Dia sangat tabah dan sabar. Dan menyerahkan dia kepada engkau, o Kekasih Allah, tidak ada syak dan kekhawatiran lagi di dalam hatiku. Karena, kemana pun engkau mengajaknya pergi pastilah rahmat dan lindungan Allah senantiasa bersamamu,” Abdul Malik Israil tersenyum hangat.

“Apakah Syaikh Abdullah Kahfi al-Mishri menyampaikan pesan khusus untukku berkenaan dengan penyerahan cucunya ini kepadaku?” tanya Abdul Jalil.

“Dia hanya mengatakan bahwa Islam adalah agama Allah dan karenanya Islam akan dilindungi sendiri oleh Allah melalui wali-wali-Nya yang merupakan pengejawantahan dari al-Waly, nama-Nya,” Abdul Malik Israil menjelaskan. “Artinya, Islam tidak akan terhapus dari muka bumi. Jika Islam nanti terhapus dari bumi Andalusia, bukan berarti Islam akan punah. Sebaliknya, Islam tetap lestari dan hanya akan berpindah tempat belaka, yakni ke arah timur. Itu sebabnya, para aulia ditugaskan menyampaikan risalah kebenaran Islam kepada dunia timur yang masih dipenuhi tanah berbatu dan semak-semak berduri kejahilan.”

“Bawalah Hidayatullah, cucu kita, ke arah timur. Carilah dia yang terkasih, Abdul Jalil al-Jawy, yang akan mengolah lahan gersang menjadi persemaian subur bagi benih-benih Islam. Pasrahkan Hidayatullah kepadanya. Sebab, hanya melalui Abdul Jalil kita bisa ikut menebar benih-benih Islam melalui cucu kita, Hidayatullah. Dan semoga Hidayatullah bisa menjadi lantara bagi tercurahnya hidayah Allah di negeri timur. Itu saja pesan Abdullah Kahfi al-Mishri kepadaku.” lanjut Abdul Malik Israil.

“Tuan Malik Israil,” tanya Abdul Jalil mengerutkan kening, “dari mana Syaikh Abdullah Kahfi al-Mishri mengetahui jika Islam akan dihapus dari tanah Andalusia? Bukankah Andalusia bukan wilayahnya?”

“Aku yang memberi tahu,” kata Abdul Malik Israil. “Aku sendiri diberi tahu oleh guruku, Syaikh Abdul Malik al-Isbiliy. Dan Tuan pasti tahu, guruku diberi tahu oleh Yang Mulia Misykat al-Marhum.”

Abdul Jalil diam. Beberapa jenak kemudian ia menoleh dan menatap dalam-dalam Syarif Hidayat yang berdiri di sisinya. Setelah itu, ia dengan bahasa isyarat mengatakan kepada Abdul Malik Israil untuk menjelaskan kepada Syarif Hidayat tentang hakikat tersembunyi di balik akan dihapusnya Islam dari bumi Andalusia. Abdul Malik Israil mengangguk tanda setuju.

Dengan bersikap pura-pura tidak tahu tentang hakikat tersembunyi di balik terhapusnya Islam di Andalusia, Abdul Jalil bertanya kepada Abdul Malik Israil, “Pernahkah Tuan Syaikh Abdul Malik al-Isbiliy menuturkan kenapa Islam akan dihapuskan dari bumi Andalusia? Pernahkah pula beliau menuturkan kenapa Islam harus disebarkan ke dunia timur, padahal di sana tak lama lagi bakal dipusakakan kepada Dajjal sang Penyesat?” “

Tidak,” sahut Abdul Malik Israil tegas. “Beliau tidak pernah menjelaskan ini dan itu tentang hal tersebut. Namun, beliau pernah bertanya kepadaku tentang nabi-nabi Bani Israil dan tentang nasib Bani Israil sendiri yang sering ditimpa malapetaka hingga terusir dari negerinya. Aku paham bahwa di balik pertanyaan itu sebenarnya beliau menyadari bahwa nasib umat Islam di Andalusia sudah mirip dengan Bani Israil.” “

Bisakah Tuan menceritakan tentang kisah-kisah Bani Israil sejak mereka memperoleh kemuliaan dari Allah hingga mereka dihukum dan dihalau dari negeri kelahiran?” pinta Abdul Jalil.

Persoalan Bani Israil dengan Allah pada dasarnya adalah cermin hubungan antara manusia dan Sang Pencipta. Itu sebabnya, inti dan hakikat persoalannya hanya mencakup tiga hal utama. Pertama, sejak manusia pertama dicipta (Adam) sudah diadakan perjanjian antara manusia dan Sang Pencipta (Hosyea 6:7) di mana manusia harus patuh dan taat kepada perintah Sang Pencipta (Beresyit 2:16-17). Namun, manusia pertama, leluhur kita Adam, justru telah melanggar perintah-Nya sehingga dijatuhi hukuman menanggung derita di muka bumi (Beresyit 3:6-19). Kecenderungan manusia keturunan Adam mengingkari perjanjian yang dibuat dengan Sang Pencipta selalu terjadi setiap kurun zaman dan selalu mendatangkan hukuman.

Pada zaman Nuh, hukuman Allah ditimpakan kepada manusia keturunan Adam yang cenderung melakukan kejahatan (Beresyit 6:5) dengan azab berupa air bah yang membinasakan manusia, kecuali Nuh (Beresyit 7:10-23). Perjanjian antara Allah dengan Nuh pun dibuat (Beresyit 9:8-17). Namun, manusia durhaka lagi kepada Allah. Kemudian dihukum lagi di zaman Nabi Shalih, Ibrahim, Luth, dan Syuaib. Allah pun membuat perjanjian dengan Ibrahim dengan tanda khitan (Beresyit 17:9-14). Allah juga membuat perjanjian dengan Musa (Eleh Syemot 19:4-6). Dari berbagai perjanjian yang dibuat antara Allah dan manusia, intinya adalah satu: “Mereka akan menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allah mereka!” (Beresyit 17:7; Eleh Haddebarim 4:20; Yirmeyahu 24:7).

Kedua, Allah memberikan karunia kemuliaan, kebebasan, keadilan, kemakmuran, keselamatan, dan bahkan kekuasaan kepada manusia-manusia yang setia memegang perjanjian dengan-Nya. Kemuliaan dan kekuasaan diberikan Allah kepada Daud a.s., di mana karunia itu dalam perjanjian diperuntukkan bagi Daud beserta keturunannya (2 Syemuel 7:8-14; Tehillim 89:4-5). Kemuliaan dan kekuasaan Daud berpuncak pada masa puteranya, yakni Sulaiman. Itulah masa puncak dari manusia beriman yang bisa selaras membangun peradaban dunia dengan tetap memegang teguh perjanjian dengan Allah.

Ketiga, kehidupan dunia adalah kehidupan nisbi yang tidak kekal abadi. Maksudnya, segala sesuatu yang berlangsung di dunia tidak pernah langgeng. Itu sebabnya, perjanjian Allah dan Daud pun bisa gugur. Tidak abadi. Ini terlihat saat Sulaiman usai memerintah maka kekuasaan Bani Israil pun pecah menjadi dua. Seluruh keturunan Daud tidak ada lagi yang dianugerahi kemuliaan dan kekuasaan. Itu sebabnya, perjanjian dibatalkan Allah. Keturunan Daud dicopot dari kekuasaan (pecah menjadi dua. Seluruh keturunan Daud tidak ada lagi yang dianugerahi kemuliaan dan kekuasaan. Itu sebabnya, perjanjian dibatalkan Allah. Keturunan Daud dicopot dari kekuasaan (Yirmeyahu 22-23). “

Apa saja yang sebenarnya yang sudah dilakukan keturunan Daud sehingga mereka dilepas dari perjanjian Allah? Bisakah Tuan menguraikan kisah mereka?” pinta Abdul Jalil. “

Sebenarnya segala kemuliaan, kebebasan, kemakmuran, keadilan, keselamatan, dan kekuasaan yang dikaruniakan Allah kepada manusia-manusia yang patuh dan setia pada perjanjian suci dengan Allah adalah ujian belaka. Apakah dengan karunia itu manusia tetap setia kepada Dia ataukah manusia melupakan Dia karena sibuk menikmati karunia yang telah diberikan-Nya. Hanya Tuhan yang memiliki kewenangan meneruskan atau membatalkan perjanjian.” “

Persoalan yang dihadapi Bani Israil dalam kaitan dengan murka Allah beserta hukuman-Nya dapat dikata hampir sama dari waktu ke waktu, yakni sekitar penyakit jiwa mencintai karunia-karunia pemberian-Nya secara berlebihan. Mereka bukan saja telah mendewakan diri karena leluhurnya telah beroleh janji dari Allah, melainkan mengagungkan kekuasaan, menikmati kemakmuran secara zalim, menjadikan lembaga agama sebagai alat pembenar diri, mempermainkan hukum dan keadilan, mengabaikan hak-hak anak yatim dan janda serta orang-orang miskin, memuja kesyahwatan, dan yang paling keji adalah memberhalakan Allah dalam wujud lembaga agama yang disesuaikan dengan nafsu serta akal pikiran mereka,” papar Abdul Malik Israil. “

Bukankah perilaku itu merupakan kecenderungan seluruh umat manusia, bukan semata-mata Bani Israil?” tanya Abdul Jalil. “

Memang demikianlah adanya,” kata Abdul Malik Israil, “namun Bani Israillah yang mencatat peristiwa-peristiwa celaka itu di dalam kitab sucinya secara rinci lewat kisah nabi-nabinya. Merekalah yang dengan cermat mencatat bagaimana murka Allah ditimpakan atas mereka karena kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan, yakni melanggar perjanjian yang sudah ditetapkan dengan Allah. Dan kesalahan-kesalahan itu diabadikan di dalam kitab suci dan sahifah yang berisi catatan nubuat, yang disampaikan para nabi mereka dari zaman ke zaman.” “

Pada masa Nabi Yesaya a.s., misalnya, Allah sudah mengingatkan para pendusta agama yang berbuat jahat, kejam, kikir, tidak membela hak anak yatim, tidak memperjuangkan hak janda-janda, dan lalai dalam beribadah: ‘Untuk apa korbanmu yang banyak itu? Aku sudah jemu dengan korban-korban bakaran berupa domba jantan dan lemak dari anak lembu gemukan; darah lembu, domba, dan kambing jantan pun tidak Aku sukai. Apabila engkau datang untuk menghadap ke hadirat-Ku, jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh-sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku.” “

Jika engaku merayakan bulan baru, sabat, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku tidak tahan melihatnya karena perayaanmu itu penuh kejahatan. Aku benci melihat perayaan-perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap. Karena itu, jika engkau menadahkan tanganmu untuk berdoa maka Aku akan memalingkan wajah-Ku. Bahkan sekalipun engkau berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah. Basuhlah! Bersihkanlah dirimu! Jauhkanlah perbuatan-perbuatan jahatmu dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat! Belajarlah berbuat baik! Usahakanlah keadilan! Kendalikanlah orang kejam! Belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda! (Yesyayahu 1: 11-17).” “

Bukankah nubuat Nabi Yesaya itu yang dimaktubkan secara singkat dalam Surat al-Ma’un? Dan bukankah Bani Israil menolak seruan itu?” kata Abdul Jalil. “

Pada masa Nabi Yermia pun seruan yang sama disampaikan kepada Bani Israil di Baitullah. Seruan itu berbunyi: ‘Perbaikilah tingkah laku dan perbuatanmu agar Aku berkenan diam bersamamu di tempat ini. Jangan percaya pada perkataan dusta yang berbunyi: Ini Baitullah! Ini Baitullah! Baitullah! Jika engkau sungguh-sungguh memperbaiki tingkah laku dan perbuatanmu, jika engkau sungguh-sungguh melaksanakan keadilan di antara kalian, tidak menindas orang asing, anak yatim dan janda, tidak menumpahkan darah orang yang tak bersalah, dan tidak mengikuti Ilah lain yang menjadi kemalanganmu sendiri, maka Aku berkenan diam bersama-sama engkau di tempat ini, di tanah yang telah Aku berikan kepada nenek moyangmu, dari dahulu kala sampai selama-lamanya. Namun, sesungguhnya engkau lebih percaya pada perkataan dusta yang tidak memberi manfaat. Bagaimana mungkin engkau mencuri, membunuh, berzina, bersumpah palsu, membakar korban kepada Baal, dan mengikuti ilah lain yang tidak engkau kenal, kemudian engkau datang berdiri di hadapan-Ku, pada bait yang di atasnya nama-Ku diserukan, sambil engkau berkata, “Kita selamat supaya dapat melakukan segala perbuatan yang keji ini!” Sudahkah bait yang di atasnya nama-Ku diserukan ini menjadi sarang penyamun di matamu? (Yirmeyahu 7: 3-11).”

Tidak berbeda dengan yang telah dialami Nabi Yesaya, firman Allah yang disampaikan Nabi Yermia pun diabaikan. Bahkan orang-orang fasik di antara penduduk kota Anatot merencanakan akan membunuh Yermia bin Hilkia. Dengan suara kasar mereka mengancam Yermia, “Janganlah engkau bernubuat demi nama Allah supaya engkau tidak mati oleh tangan kami!” Namun, Allah menghukum mereka dengan firman yang berbunyi: “Sesungguhnya, Aku akan menghukum mereka: pemuda-pemuda mereka akan mati oleh pedang, anak-anak mereka yang laki-laki dan perempuan akan habis mati kelaparan, tidak ada yang tinggal hidup di antara mereka. Sebab, Aku akan mendatangkan malapetaka kepada orang-orang Anatot pada tahun hukuman mereka (Allah menghukum mereka dengan firman yang berbunyi: “Sesungguhnya, Aku akan menghukum mereka: pemuda-pemuda mereka akan mati oleh pedang, anak-anak mereka yang laki-laki dan perempuan akan habis mati kelaparan, tidak ada yang tinggal hidup di antara mereka. Sebab, Aku akan mendatangkan malapetaka kepada orang-orang Anatot pada tahun hukuman mereka (Yirmeyahu 11: 21-23).

Tantangan yang paling berat dihadapi Yermia justru datang dari kalangan imam Bani Israil yang tidak mempercayai firman Allah yang disampaikan kepadanya. Tersebutlah imam bernama Pasyhur bin Imer yang memukuli Yermia dan memasungnya di gerbang Benyamin di Baitullah. Kemudian turunlah firman Allah yang mengutuk Pasyhur beserta kawan-kawannya dengan ancaman akan diserahkan kepada raja Babylonia untuk ditawan dan dibuang ke sana. Tidak hanya mereka yang beroleh kutukan, bahkan raja-raja Yehuda pun akan turut diserahkan kepada raja Babylonia yang akan menawan, menjarah kekayaan, dan membuang mereka (Yirmeyahu 20: 2-6).

Firman Allah yang disampaikan Yermia tentang raja Babylonia yang bakal menghancurkan raja-raja Yehuda sangat menggemparkan dan membuat marah mereka yang tidak percaya. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa keberadaan mereka sebagai Bani Israil yang dicintai Allah bakal dikalahkan raja kafir Babylonia. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa kemuliaan mereka sebagai Bani Israil akan dihinakan oleh bangsa tak bersunat.

Karunia Allah yang diberikan kepada Bani Israil ternyata telah membuat mereka buta terhadap makna kebenaran sejati Ilahi. Lantaran mereka mencintai karunia itu maka mereka menolak tegas kehadiran Yermia sebagai utusan Allah. Tidak cukup menantang Yermia, para pembesar kerajaan dan imam Bani Israil memunculkan seorang nabi palsu bernama Hananya bin Azur. Dia membuat nubuat-nubuat palsu yang bertentangan dengan nubuat yang disampaikan Yermia. Demikianlah, nubuat yang disampaikan Hananya bin Azur semata-mata untuk memenuhi hasrat dan nafsu Bani Israil belaka. Namun, ketika Yermia menantang mubahalah maka matilah Hananya bin Azur sebagai bukti bahwa dia hanyalah nabi palsu.

Firman Allah yang disampaikan kepada manusia sering kali dianggap aneh dan tidak dipahami karena firman-firman itu cenderung berisi kenyataan pahit dan tidak menyenangkan. Hal itu terlihat saat Yermia harus menyampaikan firman Allah yang memperingatkan penduduk Yerusalem agar keluar dari kota yang akan direbut oleh Nebukadnezar, raja Babylonia. Para pejabat kerajaan, imam, dan pemuka Bani Israil marah dan menganggap Yermia sebagai pengkhianat. Mereka beramai-ramai memohon kepada raja Yehuda, Zedekia bin Yosia, agar Yermia dibunuh saja. Raja Zedekia yang penakut dan tak berdaya menghadapi mereka kemudian menyerahkan Yermia. Lalu dimasukkanlah Yermia ke dalam perigi tak berair agar mati kelaparan. Namun, Allah menolongnya melalui tangan seorang Ethiopia bernama Ebed-Melekh. Yermia berhasil diselamatkan.

Setelah keluar dari perigi tak berair, Yermia memperingatkan raja Zedekia agar menyerahkan diri kepada para perwira Babylonia demi keselamatan dirinya dan kota Yerusalem beserta isinya. Yermia menyatakan bahwa apa yang disampaikannya adalah firman Allah. Zedekia harus menerima firman itu, meski pahit. Namun, kekecutan hati raja Zedekia terhadap para imam dan perwira Yehuda telah menjadikannya mengabaikan peringatan Yermia.

Apa yang disampaikan Yermia ternyata terbukti. Hukuman Allah dijatuhkan atas raja keturunan Daud yang mengabaikan firman-Nya itu. Dan hukuman Allah benar-benar dilaksanakan oleh raja Babylonia, Nebukadnezar. Pasukan Babylonia di bawah pimpinan Nergal-Sarezer dan Nebusyazban serta perwira lain berhasil menjebol gerbang Yerusalem. Zedekia bin Yosia beserta semua tentara yang tidak percaya dengan nubuat Yermia ketakutan dan lari tunggang-langgang menuju Araba-Yordan. Namun, mereka berhasil ditangkap oleh pasukan Babylonia di Yerikho. Mereka dibawa ke Ribla yang terletak di tanah Hamat, tempat Nebukadnezar beserta pasukannya berkemah.

Hukuman pedih pun dijatuhkan kepada Zedekia bin Yosia. Hukuman itu tak terbayangkan sebelumnya, yakni perintah menyembelih anak-anak Zedekia juga semua pembesar Yehuda di depan matanya. Tidak cukup sampai di situ, mata Zedekia dibutakan, tangan serta kakinya dibelenggu dengan rantai tembaga, dan dia digiring ke Babylonia sebagai tawanan. Istana raja dan rumah-rumah rakyat dibakar. Tembok-tembok Yerusalem dirobohkan. Sisa-sisa penduduk Yerusalem serta pejabat Zedekia digiring sebagai tawanan (Yirmeyahu 39: 1-9).”

Abdul Jalil menarik napas berat mendengarkan kisah dramatis yang dialami Bani Israil pada masa Nabi Yermia. Kemudian dengan suara lembut ia berkata kepada Syarif Hidayat, “Itulah kisah keturunan Daud yang telah melanggar perjanjian leluhurnya dengan Allah. Mereka meninggalkan keteladanan leluhurnya dan akhirnya menerima hukuman pedih dari Allah.” “

Karena itu, o cucuku,” seru Abdul Malik Israil, “jangan sekali-kali engkau meninggalkan keteladanan yang telah diwariskan oleh leluhurmu, Muhammad Saw.. Karena, sesungguhnya kecintaan Allah kepada hamba-Nya bukanlah disebabkan oleh garis keturunan atau kebangsaan. Namun, mereka yang setia meneladani kehidupan yang dicontohkan nabi-nabi yang tercitra pada diri Muhammad Saw. itulah yang paling dicintai-Nya.” “

Saya akan selalu ingat pesan Kakek,” sahut Syarif Hidayat takzim. “

Itu artinya,” sela Abdul Jalil, “sebagai seorang syarif keturunan Imam Hasan bin Ali r.a., beban yang engkau pikul sangat berat. Engkau harus mampu mewujudkan keteladanan yang diwariskan leluhurmu. Janganlah kisah keturunan Daud terulang kepadamu dan kepada keturunanmu. Ingat-ingatlah itu.” “

Saya akan selalu ingat pesan Paman,” sahut Syarif Hidayat takzim.

Abdul Jalil tersenyum. Namun, sejenak kemudian ia bertanya kepada Abdul Malik Israil, “Apakah yang dialami umat Islam di Andalusia juga seperti yang dialami Bani Israil pada masa Nabi Yermia?” “

Islam adalah ikatan perjanjian antara manusia dan Sang Pencipta, sebagai kelanjutan perjanjian-perjanjian sebelumnya. Manusia yang mengikatkan diri di dalamnya harus mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, baik yang bersifat hablun min an-nas maupun hablun min Allah, yakni tatanan kehidupan yang sudah disampaikan oleh barisan nabi-nabi sejak Adam hingga Muhammad.” “

Itu sebabnya, bagi para pengikut Muhammad Saw. diwajibkan meneladani perikehidupan Muhammad Saw. yang merupakan citra seluruh nabi dan rasul. Artinya, citra keteladanan yang diwariskan Muhammad Saw. adalah kecintaan kepada Sang Pencipta yang melebihi segala-galanya, hidup zuhud, tidak makan jika tidak lapar, jika makan pun tidak sampai kenyang, tawakal, sabar, tawadhu’, qana’ah, kuat beribadah, selalu rindu untuk mati, sehingga saat wafat tidak ada yang ditinggalkan kecuali selembar tikar, sebatang busur, dan jubah. Muhammad Saw. dan keempat khalifah penggantinya tidak membangun istana dan gedung megah, padahal mereka menguasai baitul mal.”

“Sementara itu, apa yang sudah berlaku atas umat Islam di Andalusia? Mereka sudah sampai pada puncak perkembangan budaya dan ilmu pengetahuan yang membawa sebagian besar dari mereka terjebak ke dalam perangkap kesibukan yang berlebihan dalam mencintai karunia Allah. Mereka telah benar-benar sibuk mengurusi karunia sehingga melupakan Sang Pemberi Karunia. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak di antara mereka yang kelihatan tekun menjalankan ibadah, namun hati mereka kering dan tertutup dari cahaya kebenaran Ilahi.”

“Istana agung, bangunan indah, masjid menakjubkan, lembaga pendidikan yang maju telah mereka dirikan dengan kebanggaan sebagai umat berperadaban tinggi. Namun, kecintaan mereka terhadap kebendaan dan pamrih duniawi pun meningkat. Mereka mengedepankan akal dan pikiran sebagai panglima. Mereka mendewakan lembaga agama dan menjadikannya sebagai alat untuk mensahkan kepentingan-kepentingan pribadi. Mereka bahkan membangun surga beserta keindahannya di dunia. Mereka lupa bahwa kehidupan di dunia bersifat sementara.”

“Pendek kata, menurut hematku, kehidupan umat Islam di Andalusia laksana tinggal di surga dunia yang gemerlapan. Mereka tidak lagi menunjukkan citra kehidupan yang diteladankan Muhammad Saw. dan keempat khalifah penggantinya yang mencintai Allah di atas segala-galanya,” ujar Abdul Malik Israil menegaskan.

Abdul Jalil menarik napas panjang. Ia kemudian menepuk-nepuk bahu Syarif Hidayat sambil berkata, “Camkanlah, o Hidayat, Anakku, intisari dari kisah yang dituturkan oleh kakekmu. Betapa segala sesuatu selain Allah itu pada hakikatnya terbatas dan bersifat sementara. Kebebasan, kemakmuran, keadilan, kemuliaan, kekuasaan, dan bahkan keselamatan yang dikaruniakan Allah kepada manusia semata-mata ujian. Jangan sampai ujian itu memalingkan kita dari Sang Pemberi Karunia. Teladanilah Muhammad al-Mushthafa Saw. yang seluruh hidupnya diabdikan untuk melayani Allah dan mengajak manusia untuk melayani Allah. Ingatlah selalu keteladanan Muhammad Saw. yang ketika lahir ke dunia telanjang dibungkus selembar selimut dan ketika wafat pun telanjang dibungkus selembar kain kafan. Tidak ada mahkota. Tidak ada istana. Tidak ada bangunan megah. Tidak ada sesuatu pun yang ditinggalkannya kecuali Kitab Allah dan keteladanan agung seorang adimanusia yang sempurna.”

“Saya akan selalu ingat fatwa Paman,” kata Syarif Hidayat. “

Namun, engkau harus ingat, o Cucuku,” Abdul Malik Israil menyela, “bahwa perjanjian Islam yang dilakukan Muhammad Saw. dengan Allah adalah perjanjian baru. Meskipun hakikatnya sama dengan perjanjian yang dibuat oleh Adam, Nuh, Ibrahim, dan Daud, cakupan perjanjian antara Muhammad Saw. dan Allah bersifat anugerah, bukan kesepakatan.” “

Saya belum paham, Kakek,” Syarif Hidayat minta penjelasan. “Apakah yang Kakek maksudkan dengan bersifat anugerah dan bukan kesepakatan?” “

Karena perjanjian antara Allah dan Bani Israil telah dilanggar maka Allah mengadakan Perjanjian Baru (Ibrani: Berith Hadasya) dengan keluarga Israel dan keluarga Yehuda (Ibrani: Bait Yisrael we Bait Yehuda), bukan seperti perjanjian terdahulu yang telah diingkari oleh Israel dan Yehuda. Dalam perjanjian baru itu Allah akan menaruh Taurat di dalam batin dan menuliskannya di dalam hati pemegang perjanjian baru, di mana Allah akan menjadi Tuhan mereka dan mereka menjadi umat Allah (we hayu li le am wa ani eheye lahem lelohim, Yirmeyahu 31: 31-33). Perjanjian Baru itulah yang disebut Perjanjian Salam (Ibrani:Berith Syalom; Berith Olam) sebagaimana disampaikan Nabi Yehezkiel a.s. (Yekhezqel 34: 25; 37: 26-27).” “

Jika perjanjian-perjanjian (berith) sebelumnya bersifat kesepakatan (Ibrani: karat-et) antara Allah sebagai Sang Pencipta Yang Mahakuat dan manusia yang lemah, maka Perjanjian Salam bersifat anugerah (Ibrani: karat-le). Artinya, Perjanjian Salam bersifat sukarela. Tidak ada paksaan. Lantaran itu, prinsip dasar di dalam Islam adalah: Tidak ada paksaan dalam agama (QS al-Baqarah: 256). Karena itu, kita umat Islam, sebagaimana Rasulallah, hanya diperintahkan untuk berseru menyampaikan kepada manusia untuk menuju ke jalan Allah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan jika berbantahan pun dengan cara yang baik pula. Karena, hanya Allah yang tahu siapa manusia-manusia sesat dan siapa manusia-manusia yang beroleh petunjuk (QS an-Nahl: 125),” kata Abdul Malik Israil. “

Dengan Perjanjian Baru yang disebut Perjanjian Salam itu,” sahut Abdul Jalil sambil memandang Syarif Hidayat, “berarti seluruh umat manusia yang memegang Perjanjian Salam adalah sederajat. Maksudnya, kecintaan Allah terhadap manusia-manusia pemegang Perjanjian Salam tidak dibatasi lagi oleh keisrailan, keyahudian, kearaban, atau berdasar keturunan dan warna kulit; tetapi semata karena ketakwaan. Tegasnya lagi, kekasih Allah yang sangat dicintai oleh-Nya bisa berkulit merah, putih, kuning, coklat, dan bahkan hitam sekalipun. Tidak ada monopoli-monopolian keunggulan manusia berdasar warna kulit dan azas keturunan, apalagi berdasar kekayaan bendawi.” “

Muhammad al-Mushthafa Saw. telah mengajarkan bahwa manusia bisa menjadi Islam bukan karena warna kulit, keturunan, dan kekayaan, melainkan karena semata-mata memang sudah dikehendaki Allah. Tidakkah engkau ingat kisah paman Muhammad Saw. yang juga leluhur kita, Abu Thalib, yang sangat beliau cintai? Allah menentukan bahwa Abu Thalib tidak diberi hidayah-Nya menjadi pemegang Perjanjian Salam. Sementara budak hitam bernama Bilal bin Rabah justru dianugerahi kemuliaan dengan dilimpahi cahaya hidayah oleh Allah sehingga menjadi muadzin Muhammad al-Mushthafa Saw.. Dan jika kita diminta untuk menjawab dengan jujur, manakah yang lebih mulia di hadapan Allah antara Bilal bin Rabah yang berkulit hitam dan leluhur kita Abu Thalib. Tentu kita harus mengatakan bahwa Bilal bin Rabah adalah yang lebih mulia.” “

Namun, yang paling penting, Cucuku,” sahut Abdul Malik Israil, “rahasiakanlah segala apa yang telah aku uraikan ini kepada mereka yang tidak berhak mengetahuinya karena ini adalah rahasia-Nya.” “

Kakek,” kata Syarif Hidayat meminta penegasan, “kenapa Bani Israil menolak kerasulan Rasulallah Saw.? Bukankah telah jelas bagi mereka mana yang haqq dan mana yang batil?” “

Itu semua adalah kehendak-Nya juga, Cucuku.” Kata Abdul Malik Israil. “Dengan dilahirkannya Perjanjian Salam bukan berarti seluruh umat manusia di dunia harus menjadi pemegang perjanjian itu. Karena, keagungan dan kemuliaan Allah justru akan engkau dapati di atas semua keanekaragaman. Dengan demikian, adanya agama Islam, Yahudi, Nasrani, Majusi, Budha, Hindu, dan berbagai kepercayaan, pada hakikatnya adalah kehendak-nya semata. Dan karena itu, engkau harus memiliki pandangan yang luas bahwa semua agama adalah baik bagi pengikut-pengikutnya masing-masing. Sebab, orang menjadi Muslim, Nasrani, Majusi, Yahudi, Hindu, atau Budha pada hakikatnya bukanlah atas kemauannya sendiri, melainkan karena memang telah ditentukan oleh-Nya.” 

~ Bag 17. Tarekat al-Akmaliyyah

Menjelang perempat akhir abad ke-15, kawasan pantai barat Hindustan berada di bawah pemerintahan kaum Muslim dari dinasti Bahmani. Namun, kerajaan yang sudah tegak hampir satu setengah abad itu mulai terancam perpecahan. Raja-raja kecil yang semula tunduk di bawah kekuasaan dinasti Bahmani mulai menunjukkan gejala melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Di antara raja-raja kecil yang makin lama makin kuat kedudukannya adalah raja Bijapur. Dan cepat atau lambat, kekuasaan raja Bijapur akan dapat menggantikan kekuasaan dinasti Bahmani.

Di bawah kekuasaan dinasti Bahmani, dakwah Islam dilakukan orang dengan sangat bebas. Para penduduk pantai barat Hindustan banyak yang memeluk Islam atas kesadaran sendiri karena mereka melihat keteladanan-keteladanan hidup orang-orang Muslim. Para penduduk Muslim menunjukkan toleransi yang sangat tinggi. Itu sebabnya, di Bijapur dan sekitarnya pemeluk Hindu masih cukup besar.

Ketika Abdul Jalil dan Syarif Hidayatullah meninggalkan kota Satara menuju Goa dengan melewati Belgaum, mereka menyaksikan pemukim-pemukim keturunan Arab-Hindustan yang memeluk agama Islam hidup di pinggiran kota-kota. Bahkan hampir separo penduduk kota Belgaum adalah para pemukim keturunan Arab-Hindustan. Sedangkan pemukim-pemukim di kawasan pedesaan umumnya beragama Hindu, utamanya dari kalangan berkasta rendah yang hidup sengsara dan menderita.

Abdul Malik Israil yang memberi petunjuk agar Abdul Jalil berangkat ke negeri Jawa melalui pelabuhan Goa, telah berangkat lebih dulu ke kota pelabuhan tersebut. Dia berjanji akan menemui mereka di pinggiran kota Goa dari arah Belgaum setelah menemui beberapa orang kenalannya di kota tersebut.

Sementara itu, begitu tiba di Belgaum, tanpa istirahat untuk makan atau melepas lelah, Abdul Jalil langsung mengajak Syarif Hidayat shalat di sebuah masjid yang dibangun oleh para mualaf di bawah bimbingan Sayyid Makhdum Gisudaraz, seorang kekasih Allah yang berasal dari Gulbarga. Syarif Hidayat yang patuh dan tabah tanpa mengeluh sedikit pun mengikuti Abdul Jalil, meski tubuhnya terasa sangat letih.

Usai shalat, secara sepintas Abdul Jalil menuturkan betapa berat dan susah payahnya para mualaf membangun masjid tersebut. “Bayangkan, untuk makan saja mereka sudah kekurangan. Namun, semangat mereka membangun rumah Allah telah mengalahkan segala keterbatasan mereka. Itulah jihat besar yang telah mereka lakukan, yaitu menaklukkan kepentingan pribadi demi kemenangan mengabdi kepada-Nya,” ujar Abdul Jalil.

“Bagaimana Paman bisa tahu masjid ini dibangun oleh para pengikut Sayyid Makhdum Gisudaraz dengan susah payah?” tanya Syarif Hidayat heran. “Bukankah tadi Paman mengatakan baru sekali ini ke Belgaum.”

“Di pintu masuk kota tadi,” kata Abdul Jalil tenang, “Sayyid Makhdum Gisudaraz menjemputku dan memintaku shalat di masjid yang dibangun oleh para pengikutnya. Dia memintaku berdoa bagi keberkahan warga Belgaum dan keturunan mereka agar tetap diberikan cahaya kebenaran hidayah oleh-Nya.”

“Tapi Paman,” sahut Syarif Hidayat heran, “bukankah sejak tadi Paman bersama saya? Bukankah kita tidak bertemu siapa-siapa?”

“Sayyid Makhdum Gisudaraz memang sudah wafat lima puluh tahun silam,” Abdul Jalil menjelaskan, “karena itu engkau tidak bisa menyaksikan kehadirannya. Namun, suatu saat nanti jika engkau setia mengikuti jalan-Nya dan tetap istiqamah mengarahkan kiblat hati dan pikiranmu hanya kepada-Nya, maka engkau akan dikaruniai pengetahuan yang tak dimiliki manusia seumumnya.”

Syarif Hidayat diam. Ada semacam kebanggaan merayap di hatinya. Rupanya, cerita kakeknya tentang seorang kekasih Allah yang bakal diikutinya telah terbukti. Itu sebabnya, dia bangga dan bahagia karena telah mengenal kekasih Allah yang menurutnya memiliki berbagai karomah menakjubkan.

Abdul Jalil yang melihat Syarif Hidayat terdiam kemudian berkata, “Namun, hendaknya engkau ingat bahwa pengetahuan yang dikaruniakan oleh Allah itu bukanlah tujuan utama. Sebab, jika engkau setia mengikuti jalan-Nya dan istiqamah mengarahkan kiblat hati dan pikiranmu hanya kepada-Nya, semata-mata ingin memperoleh karomah atau ingin menjadi seorang aulia, maka tidak akan pernah kesampaian apa yang engkau harapkan itu. Sebab, kesetiaan pada jalan-Nya dan keistiqamahan mengarahkan kiblat hati dan pikiran hanya kepada-Nya pada hakikatnya adalah semata-mata untuk-Nya. Tidak ada pamrih. Tidak ada harapan di baliknya.”

“Saya akan selalu ingat petunjuk Paman,” kata Syarif Hidayat takjub karena Abdul Jalil seolah-olah dapat membaca apa yang terlintas di hati dan pikirannya.

“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, kekasih Allah,” kata Abdul Jalil menegaskan, “maka janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab, saat seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly.”

“Paman,” kata Syarif Hidayat menukas, “kakek pernah mengungkapkan sebuah hadits Qudsi yang isinya menegaskan bahwa jika Allah sudah mencintai hamba-Nya maka Dia akan menjadi ucapannya ketika hamba itu berkata-kata. Allah akan menjadi penglihatannya ketika hamba itu melihat. Allah menjadi pendengarannya ketika hamba itu mendengar. Allah menjadi tangannya ketika hamba itu memukul. Dan Allah menjadi kakinya ketika hamba itu berjalan. Sekarang saya menjadi paham, Paman.”

“Tapi, jangan keliru menafsirkan bahwa Allah meraga jiwa ke dalam tubuh sang wali. Sama sekali bukan seperti itu. Justru saat seperti itu sang wali telah kehilangan kesadaran diri dan tenggelam ke dalam al-Waly,” ujar Abdul Jalil.

“Berarti kewalian tidak bersifat terus-menerus, Paman?”

“Kewalian bersifat terus-menerus, o Anakku,” kata Abdul Jalil menepuk-nepuk bahu Syarif Hidayat. “Hanya saja saat sang wali tenggelam ke dalam al-Waly, berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang tak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karomah itu sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula yang dinamakan karomah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya. Mutlak.”

Syarif Hidayat termangu-mangu mendengar uraian Abdul Jalil. Dia benar-benar merasa sangat beruntung telah mengenal dan bahkan dibimbing oleh seorang kekasih Allah. Namun, saat kebanggaan dan kebahagiaan menguasai dirinya, tiba-tiba Abdul Jalil berkata, “Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia berada di kejauhan, kelihatan sekali terangnya. Namun, jika cahaya itu diletakkan ke mata kita akan silau dan tidak bisa melihatnya dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu ke mata maka kita akan semakin buta tidak bisa melihatnya.”

“Apakah maksudnya, Paman?” tanya Syarif Hidayat heran.

“Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang yang jauh darimu. Namun, engkau tidak bisa melihat cahaya kewalian yang memancar dari diri kakekmu, Abdul Malik Israil dan Abdullah Kahfi al-Mishri.”

“Kakek-kakek saya itu aulia?” seru Syarif Hidayat terkejut luar biasa.

Abdul Jalil tertawa dan tidak menjawab. Namun, sejenak sesudah itu ia berkata dengan nada dingin, “Dengan mengetahui kewalian kakek, ayah, saudara, atau leluhur hendaknya tidak menjadikan seseorang menjadi bangga apalagi takabur. Sebab, anugerah kewalian bukanlah jabatan yang bisa diwariskan turun-temurun. Allah memilih wali-Nya sesuai kehendak-Nya. Dan hal itu tidak ditentukan oleh nasab, warna kulit, dan bahasa.”

“Saya paham, Paman,” kata Syarif Hidayat, “Karena itu saya mohon agar paman tidak bosan membimbing saya.”

Setelah tinggal selama tiga hari di Belgaum, Abdul Jalil dan Syarif Hidayat melanjutkan perjalanan ke barat, menuju bandar Goa. Sepanjang perjalanan itulah mereka menyaksikan kehidupan orang-orang dari kasta rendah yang dililit kesengsaraan dan kehinaan. Panasnya matahari dan semburan debu yang meliputi permukaan bumi yang kering menghamparkan pemandangan menyedihkan tentang anak-anak manusia yang hidup sengsara tanpa harapan.

Setelah berjalan di tengah sengatan terik matahari dan tiupan angin kering, mereka berteduh di bawah pohon Tintira (asam) yang tumbuh di tepi jalan. Saat itulah Abdul Jalil berkenalan dengan mubalig asal Gujarat bernama Fadillah Ahmad. Fadillah Ahmad menuturkan bahwa dia telah menjalankan dakwah Islam di daerah itu, terutama di kalangan masyarakat berkasta rendah. Sebagian di antara dakwahnya disambut baik, namun bagian terbesar masyarakat berkasta rendah itu masih melihatnya dengan sebelah mata. “Mereka seolah-olah sudah putus asa dengan keberadaannya sebagai bagian paling nista dari kehidupan masyarakat. Mereka seolah-olah yakin bahwa kehinaan yang mereka alami itu memang sudah kehendak Dewata,” ujar Fadillah Ahmad. “

Tuan jangan mundur menghadapi mereka,” sahut Abdul Jalil, “sebab Tuan bukanlah orang yang bertugas mengislamkan manusia. Tuan sekedar menyampaikan. Ingatlah: Tuan hanya menyampaikan kebenaran Islam! Tidak lebih! Karena itu, jika Tuan belum berhasil dengan tugas Tuan maka hendaknya Tuan mengubah cara penyampaian yang sesuai dengan pemahaman mereka.”

“Tapi, cara bagaimana lagi saya harus manyampaikan kepada manusia-manusia yang sesatnya melebihi hewan. Saya katakan hewan karena mereka adalah manusia-manusia yang membolehkan perempuan bersuami sampai sepuluh orang. Mereka adalah manusia-manusia yang pada saat paceklik selalu menjual anak-anaknya untuk dijadikan budak. Mereka adalah manusia-manusia yang menyukai kenajisan dan pemuja berhala!” sergah Fadillah Ahmad berapi-api.

“Tuan hendaknya tetap sabar dan jangan sekali-kali menilai keberadaan mereka dari pandangan Tuan sendiri. Sebab, segala sesuatu yang terhampar di alam semesta ini pada hakikatnya adalah kehendak-Nya semata. Jadi, kehinaan dan kenistaan yang ditimpakan kepada mereka bukanlah kehendak mereka, melainkan kehendak-Nya jua. Karena itu, sebagai mubalig yang menyampaikan kebenaran Islam, Tuan hendaknya memohon agar Dia mengubah kehendak-Nya atas masyarakat yang Tuan anggap hina dan nista itu,” kata Abdul Jalil.

“Saya sudah bertahun-tahun berdoa terutama dalam shalat malam. Namun, sampai saat ini belum ada tanda-tanda bahwa doa saya dikabulkan-Nya,” ujar Fadillah Ahmad kecewa.

“Itu bukan berarti doa Tuan tidak dijawab oleh-Nya,” sahut Abdul Jalil tenang. “Mungkin saja Tuan terlalu mendikte Dia dengan kemauan Tuan sendiri. Tuan berdoa kepada-Nya dengan harapan Dia mengabulkan permohonan Tuan sesuai dengan yang Tuan bayangkan dalam benak Tuan. Padahal, Dia sering kali mengabulkan permohonan hamba-Nya dengan bentuk yang tidak sesuai dengan kehendak yang dibayangkan hamba-Nya. Selain itu, manusia pada umumnya cenderung menginginkan segala sesuatu yang berkaitan dengan permohonan dan pekerjaan yang dijalankannya dapat terwujud dalam waktu cepat.”

“Tuan Syaikh,” sahut Fadillah Ahmad dengan hati bergetar, “Tuan sepertinya dapat membaca apa yang tersembunyi di dalam hati dan apa yang telah saya alami selama ini. Apakah Tuan seorang aulia?”

Abdul Jalil tertawa mendengar pertanyaan polos Fadillah Ahmad. Kemudian dengan suara tenang dan mantap ia berkata, “Jika Tuan mempelajari kecenderungan-kecenderungan manusia, sebenarnya Tuan dapat membaca jalan pikiran orang dan menerka-nerka isi hatinya. Jadi, apa yang saya ungkapkan tadi bukanlah karena saya seorang aulia yang dapat membaca jalan pikiran dan hati seseorang. Saya hanya membaca apa yang ada di dalam benak Tuan dan apa yang tersembunyi di hati Tuan. Hal itu mampu saya lakukan karena saya telah lama mempelajari kecenderungan-kecenderungan manusia.”

“Tuan Syaikh,” sergah Fadillah Ahmad, “pastilah Tuan bukan manusia sembarangan. Saat pertama kali melihat Tuan, saya merasakan semacam kewibawaan mahadahsyat memancar dari diri Tuan. Dan setiap kali hendak berbicara kepada Tuan, saya selalu merasakan kegentaran dan rasa aneh yang tidak bisa saya ungkapkan.”

“Tuan jangan melebih-lebihkan sesuatu,” ujar Abdul Jalil datar. “Saya manusia biasa yang tidak jauh berbeda dengan Tuan. Karena itu, ketika terik matahari membakar kepala maka saya bernaung di bawah pohon ini. Dan Tuan bisa melihat sendiri bagaimana pakaianku ini kotor dilekati debu.”

“Tuan Syaikh,” Fadillah Ahmad berkata dengan suara merendah, “sebenarnya kedatangan saya ke daerah ini adalah atas petunjuk yang saya peroleh dalam mimpi di makam Syaikh Sayyid Abdul Malik al-Qozam kira-kira lima tahun silam. Saat itu saya seperti mendengar suara tanpa rupa yang memerintahkan agar saya menyampaikan dakwah kebenaran Islam di wilayah ini. Suara itu juga menitahkan agar saya menunggu kehadiran seorang Syaikh dari negeri Jawy di mana saya dititahkan untuk berguru kepadanya. Namun, sampai saat ini tidak saya jumpai satu pun syaikh dari negeri Jawy.”

Abdul Jalil tersenyum mendengar cerita Fadillah Ahmad. Namun, sebelum ia berkata sesuatu tiba-tiba saja Syarif Hidayat berkata dengan suara keras kepada Fadillah Ahmad, “Tuan, tidakkah Tuan tahu bahwa Paman saya ini asalnya dari negeri Jawy? Tidakkah Tuan tahu bahwa nama Paman saya adalah Syaikh Datuk Abdul Jalil al-Jawy? Tidakkah Tuan tahu bahwa kami berdua sedang dalam perjalanan menuju negeri Jawy?”

Bagaikan disambar kilatan halilintar, Fadillah Ahmad terperangah seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Setelah tertegun bagai tugu batu beberapa jenak, dia berlutut dan bersujud merangkul kaki Abdul Jalil sambil bercucuran air mata, “Tuan Syaikh, Tuanlah pir yang kami tunggu dengan segenap kerinduan dan pengharapan. Bimbinglah kami yang telah didera penderitaan selama menanti kedatangan Tuan. Bimbinglah kami agar kami dapat beroleh limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya.”

“Berdirilah Tuan!” kata Abdul Jalil menarik bahu Fadillah Ahmad ke atas, “Tidak boleh bersujud kepada sesama manusia.”

“Tapi Tuan Syaikh,” kata Fadillah Ahmad gemetar, “kami memohon agar Tuan Syaikh berkenan menjadi pembimbing kami. Kami memohon agar Tuan Syaikh berkenan menjadi pir kami.”

Akhirnya Abdul Jalil tidak dapat menolak keinginan Fadillah Ahmad untuk menjadi muridnya. Namun, sebelum itu ia menjelaskan tentang makna ajaran yang bakal disampaikannya, “Jika Tuan berhasrat kuat untuk mengikuti jalan kami maka yang wajib Tuan sadari pertama-tama adalah kenyataan yang berkait dengan ‘cara’ (thariq) kami yang berbeda dengan ‘cara’ yang umum dianut manusia. Maksudku, tarekat yang kami anut tidak mengenal adanya pir atau mursyid. Karena, yang disebut pir atau mursyid, menurut ‘cara’ kami, berada di dalam diri manusia sendiri. Sementara keberadaan guru hanya terbatas sebagai petunjuk untuk menuntun langkah awal seorang salik dalam mencari guru sejati.” “

Dengan penjelasan ini hendaknya Tuan pahami bahwa pada ‘cara’ kami tidak mengenal adanya wasilah maupun rabithah yang berwujud manusia. Satu-satunya wasilah dan rabithah adalah Nur Muhammad, yang ada di dalam diri setiap manusia. Lewat Nur Muhammad itulah manusia akan mencapai Sumber Segala Sumber.” “

Kami paham, Tuan Syaikh,” sahut Fadillah Ahmad takzim. “Namun, apakah nama ‘cara’ yang Tuan Syaikh ajarkan?” “

Tuan boleh menamai ‘cara’ ini sesuka hati Tuan,” sahut Abdul Jalil. “Namun, hendaknya Tuan ketahui bahwa Nabi Muhammad al-Mushthafa Saw telah mewariskan dua ‘cara’ kepada manusia. ‘Cara’ yang pertama adalah Tarekat al-Akmaliyyah yang diwariskan lewat hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq. ‘Cara’ yang kedua adalah Tarekat al-Anfusiyyah yang diwariskan melalui hadhrat Ali bin Abu Thalib. Tarekat yang akan Tuan pelajari dariku adalah Tarekat al-Akmaliyyah.” “

Apakah perbedaan antara Tarekat al-Akmaliyyah dengan Tarekat al-Anfusiyyah?” tanya Fadillah Ahmad minta penjelasan. “

Sebagaimana yang telah kujelaskan sebelumnya bahwa pertama-tama Tarekat al-Akmaliyyah tidak mengenal pir atau mursyid dalam wujud manusia karena pada hakikatnya sudah ada pada diri tiap manusia. Kedua, pir atau mursyid di dalam diri manusia itulah yang disebut Nur Muhammad, yang akan menjadi penuntun sang salik di dalam menuju Dia. Karena itu, Tarekat al-Akmaliyyah tidak mengenal wasilah dan rabithah dalam bentuk manusia. Wasilah dan rabithah dalam Tarekat al-Akmaliyyah adalah Nur Muhammad. Dengan demikian, di dalam Tarekat al-Akmaliyyah tidak dikenal adanya silsilah pir atau mursyid berdasar asas keturunan.” “

Ketiga, para salik yang berjalan melewati Tarekat al-Akmaliyyah wajib berkeyakinan bahwa segala sesuatu termasuk tarekat ini adalah milik Allah. Itu berarti, keberadaan tarekat beserta seluruh pengikutnya adalah semata-mata karena kehendak Allah. Dengan demikian, para pengikut tarekat ini hendaknya tidak membanggakan diri sebagai pendiri atau penguasa tarekat. Tuan tentu pernah mendengar kisah Syaikh Hussein bin Mansyur al-Hallaj yang dihukum cincang dan mayatnya dibakar oleh al-Muqtadir? Dia adalah pengamal ajaran Tarekat al-Akmaliyyah. Namun, murid-muridnya kemudian mendirikan Tarekat dengan nama Hallajiyyah. Itu boleh dan sah-sah saja, walaupun pada akhirnya Hallajiyyah tenggelam karena pengikut-pengikutnya membentuk lembaga baru dengan susunan hierarki kepemimpinan ruhani atas dasar seorang manusia. Sementara Tarekat al-Akmaliyyah tetap lestari hingga sekarang.” “

Apa persamaan antara Tarekat al-Akmaliyyah dan Tarekat al-Anfusiyyah?” tanya Fadillah Ahmad. “

Hakikatnya sama, hanya nama saja yang berbeda,” ujar Abdul Jalil. “Karena, Akmaliyyah berasal dari al-kamal, yakni pengejawantahan dari al-Kamal yang dibentuk oleh al-Jalal dan al-Jamal. Al-kamal itulah Adam Ma’rifat yang kepadanya ditiupkan ruh-Nya, yakni Ruh al-Haqq di mana tersembunyi al-Haqq. Al-kamal atau Adam Ma’rifat itulah yang disebut al-Insan al-Kamil.” “

Sementara itu, Anfusiyyah berasal dari al-anfus, an-nafs al-wahidah, yakni pengejawantahan an-Nafs al-Ilahiyyah. An-nafs al-wahidah itulah Adam Ma’rifat yang kepadanya ditiupkan ruh-Nya, yakni Ruh al-Haqq di mana tersembunyi al-Haqq. An-nafs al-wahidah atau Adam Ma’rifat itulah yang disebut al-Insan al-Kamil.” “

Mana yang lebih benar, Tuan Syaikh?” tanya Fadillah Ahmad. “

Semuanya benar,” sahut Abdul Jalil, “Hanya nama dan ‘cara’-nya saja yang berbeda. Justru ‘cara’ itu menjadi salah dan sesat ketika sang salik menilai terlalu tinggi ‘cara’ yang diikutinya hingga menafikan ‘cara’ yang lain. Sebab, dengan itu sebenarnya sang salik telah memuliakan, mengagungkan, dan membenarkan keakuannya yang kerdil. Berarti, sang salik pada saat itu telah merampas hak Allah. Karena, kemuliaan, keagungan, dan kebenaran hanyalah milik-Nya. Itulah sebabnya, dalil awal yang wajib dipatuhi oleh seorang salik Akmaliyyah adalah meyakini bahwa ‘jalan lurus’ (sabil huda) yang digelar oleh Allah kepada hamba-hamba yang mencari-Nya tidaklah tunggal (wa al-ladzina jahadu finalanahdiyanahum subulana).” “

Hal yang paling penting Tuan pahami lagi adalah Tarekat al-Akmaliyyah ini hanyalah suatu ‘cara’ untuk melewati ‘jalan lurus’. Jadi, jangan beranggapan bahwa ‘cara’ ini adalah segala-galanya. Artinya, jangan menganggap bahwa siapa saja yang mengamalkan ‘cara’ ini dan mengikuti ‘jalan lurus’ yang ada di dalamnya pasti akan selamat sampai kepada-Nya. Sebab, keputusan akhir ada di tangan-Nya juga. Artinya, sangat terbuka kemungkinan pengamal ‘cara’ ini justru akan sesat jalan, jika Dia menghendaki demikian.” “

Saya akan selalu mengingat petunjuk Tuan Syaikh,” kata Fadillah Ahmad takzim. “Namun, saya mohon agar Tuan Syaikh memberi saya pedoman untuk melintasi ‘jalan lurus’ dengan ‘cara’ Akmaliyyah.” “

Pertama-tama yang harus Tuan pahami,” kata Abdul Jalil menguraikan, “bahwa Allah, tujuan akhir kita, adalah bukan makhluk dan tidak dapat dibayang-bayangkan apalagi dibanding-bandingkan dengan sesuatu bentuk apa pun (laisa kamitslihi syaiun). Karena itu, merupakan suatu keharusan fundamental bahwa untuk menuju Dia, seorang salik harus mengarahkan kiblat hati dan pikirannya hanya kepada-Nya. Artinya, seorang salik harus berjuang keras meninggalkan rasa kepemilikan, ketergantungan, kecintaan, keterikatan, dan keterkaitan dengan segala sesuatu selain Dia.” “

Semakin seorang salik berhasil meninggalkan rasa kepemilikan, ketergantungan, kecintaan, keterikatan, dan keterkaitan dengan segala sesuatu selain Dia maka akan semakin dekatlah ia dengan-Nya. Sebaliknya, jika sang salik tidak mampu maka ia pun akan semakin jauh dari-Nya dan semakin sesat jalannya.” “

Apakah itu bermakna bahwa sang salik harus menanggalkan kehidupan duniawi dan tinggal sebagai pertapa?” tanya Fadillah Ahmad. “

Sama sekali keliru pemahaman itu,” ujar Abdul Jalil, “justru sang salik harus menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai medan perjuangan dalam menuju Dia. Bahkan setelah berhasil mencapai-Nya, ia memiliki kewajiban fundamental untuk kembali ke tengah kehidupan manusia biasa sebagaimana hal itu diteladankan oleh Muhammad al-Mushthafa Saw..” “

Dengan demikian, hendaknya sejak awal Tuan sadari bahwa yang dimaksud meninggalkan segala sesuatu selain Dia bukanlah bermakna meninggalkan hidup keduniawian secara mutlak. Karena, yang dimaksud meninggalkan itu berkaitan dengan suasana batin. Jadi, boleh saja seorang salik menjadi raja besar seperti Daud dan Sulaiman, namun kiblat hati dan pikiran tetap hanya mengarah kepada-Nya.” “

Hendaknya Tuan sadari bahwa perjalanan menuju Dia, Subhanahu wa Ta’ala, bukanlah perjalanan ajaib yang berlangsung secara gampang dalam tempo satu hari atau satu pekan. Perjalanan menuju Dia sangatlah sulit dan penuh jebakan. Karena harus melampaui tujuh rintangan besar, yaitu tujuh Lembah Kasal, tujuh jurang Futur, tujuh Gurun Malal, tujuh Gunung Riya’, tujuh Rimba Sum’ah, tujuh Samudera ‘Ujub, dan tujuh Benteng Hajbun.” “

Kenapa semua rintangan itu berjumlah tujuh, o Tuan Syaikh?” tanya Fadillah Ahmad minta penegasan. “

Karena, kita adalah makhluk yang hidup di atas permukaan bumi,” Abdul Jalil menjelaskan. “Allah membentangkan tujuh lapis langit yang kokoh di atas kita (QS an-Naba’: 12) sebagaimana bumi pun berlapis tujuh (QS ath-Thalaq: 12) dan samudera pun berlapis tujuh (QS Luqman: 27). Bahkan neraka bertingkat tujuh (QS al-Hijr: 44). Tidakkah Tuan ketahui bahwa surga pun berjumlah tujuh, yakni Firdaus, Aden, Ma’wah, Na’im, Darussalam, Khuldy, dan Qaar. Tidakkah Tuan ketahui bahwa dalam beribadah kepada-Nya manusia telah diberi piranti tujuh ayat yang diulang-ulang dari Al-Qur’an (QS al-Hijr: 87) untuk berhubungan dengan-Nya? Tidakkah Tuan sadari bahwa saat Tuan sujud maka tujuh anggota badan Tuan yang menjadi tumpuan?” “

Namun, di antara tujuh hal yang terkait dengan alam semesta ini, yang paling penting Tuan sadari adalah tujuh lapis hal yang berhubungan dengan keberadaan manusia yang diberi tujuh tahap usia, yakni radhi’, fathim, shabiy, ghulam, syabb, kuhl, dan syaikh; yang berkait dengan tujuh nafsu manusia, yakni musawwilah, hayawaniyyah, ammarrah, lawwammah, mulhamah, muthma’innah,dan wahidah. Sebab, dengan menyadari adanya tujuh nafsu maka Tuan akan memahami adanya tujuh martabat yang wajib Tuan lampaui untuk menuju kepada-Nya. Dan sekali lagi ingat-ingatlah bahwa perjalanan ruhani bukan perjalanan ajaib yang bisa tercapai dalam waktu singkat. Rasulallah sendiri membutuhkan waktu lima belas tahun berkhalwat untuk mencapai tahap bertemu Jibril a.s. di gua Hira. Dan perjalanan itu masih terus beliau laksanakan dengan tekun dan istiqamah hingga beliau mengalami peristiwa Isra’ Mi’raj: menghadap ke hadirat al-Khaliq.” “

Saya akan patuhi petunjuk Tuan Syaikh,” kata Fadillah Ahmad.

Setelah menguraikan tentang peta “jalan lurus” yang akan dilewati seorang salik, Abdul Jalil memaparkan “cara” yang merupakan wahana untuk melewati “jalan lurus” tersebut,yang meliputi empat hal, yakni asrar al-istighfar, salawat, tahlil, dan nafs al-haqq. abdul Jalil mengakhiri wejangannya dengan uraian rahasia tentang jati diri Muhammad al-Mushthafa Saw. sebagai nabi, rasul, Nur Muhammad, “pintu” (bab), “kunci” (miftah), Haqiqah al-Muhammadiyyah, dan bahkan sebagai pengejawantahan Allah dalam Af’al, Asma’, Shifat, dan Dzat.

Ketika matahari bergeser ke barat, terbentang sisa cahaya kuning kemerahan pada tirai langit yang menghiasi lekuk-liku pegunungan Ghats Barat. Abdul Jalil berdiri di hadapan sekitar seratus penghuni pinggiran kota Goa yang menjadi pengikut Fadillah Ahmad. Bersama mereka hadir pula sekitar tujuh puluh mualaf dari desa-desa yang tersebar antara Belgaum dan Goa. Sore itu, ia didampingi pula oleh Abdul Malik Israil.

Fadillah Ahmad membuka pertemuan itu dengan puja dan puji kepada Allah dan salawat kepada Rasulallah Saw, kemudian memperkenalkan Abdul Jalil kepada para pengikutnya sebagai guru ruhani yang telah ditunggunya selama limat tahun lebih. Itu sebabnya, Fadillah Ahmad berharap Abdul Jalil berkenan memberikan fatwa.

Abdul Jalil yang tak menduga bakal didaulat untuk memberikan fatwa di hadapan pengikut Fadillah Ahmad, tidak dapat mengelak. Ia menunduk diam sambil memejamkan mata. Sejenak kemudian dengan mata menatap jauh ke gugusan langit, ia mulai berkata dengan suara lantang. “Aku beritakan kepadamu, o manusia beriman yang dikasihi Allah, bahwa tidak lama lagi akan datang Dajjal, sang Penyesat, beserta bala tentaranya yang disebut Ya’juj wa Ma’juj ke segenap penjuru dunia. Tugas utama Dajjal beserta bala tentaranya itu adalah menjadi penyesat bagi kaum beriman.” “

Jika Dajjal dan bala tentaranya sudah muncul di hadapanmu maka hendaklah engkau sekalian bergegas-gegas menyucikan hati dan pikiran dari semua noda kebendaan dan pamrih pribadi. Kemudian arahkan kiblat hati dan pikiran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun, hal itu bukanlah pekerjaan ringan karena Dajjal beserta bala tentaranya akan menggoda dan menguji iman kalian dengan keindahan harta duniawi. Dan telah jelaslah bagi kalian semua bahwa mereka yang tidak teguh iman akan menjadi pengikut Dajjal. Mereka juga bakal menjadi penghuni neraka Jahanam.” “

Ingat-ingatlah, wahai kaum beriman yang dikasihani Allah, bahwa panutan kita Nabi Muhammad Saw telah memberi peringatan tentang kehadiran Dajjal penyesat beserta ciri dan tengara kerusakan yang bakal ditimbulkannya. Pertama, jika Dajjal menampakkan diri maka rupanya putih. Mata kanannya buta. Mata kirinya bersinar seperti bintang gemerlapan (hadits Bukhari). Kedua, pada kening Dajjal akan tertera tulisan ‘kafir’, yakni yang ingkar dan terhijab dari kebenaran, di mana setiap Muslim akan dapat membacanya (hadits Ahmad). Ketiga, jika Dajjal berjalan di atas permukaan bumi maka langkahnya sangat cepat bagai awan terbawa angin (hadits Abu Dawud).” “

Keempat, Dajjal membawa air dan api. Namun, api itulah yang sebenarnya air dan air itulah yang sebenarnya api (hadits Bukhari). Kelima, Dajjal membawa bukit roti dan sungai yang ada airnya (hadits Bukhari). Keenam, sebelum kiamat akan lahir beberapa Dajjal yang pandai berdusta, hampir sebanyak 30 orang, dan semuanya mengaku-aku sebagai utusan Allah (hadits Bukhari). Yang ketujuh, bala tentara Dajjal akan memenuhi permukaan bumi bagaikan kawanan hewan buas yang membuat kerusakan di mana-mana.”

Para hadirin termasuk Fadillah Ahmad dan Syarif Hidayat tercengang keheranan mendengar uraian Abdul Jalil. Ada rasa takut merayapi hati mereka.

Abdul Jalil dengan ketenangan luar biasa menatap mata orang di sekitarnya satu demi satu. Ia dapati betapa pada kedalaman mata mereka tersembunyi kegalauan, meski mulut mereka terkatup rapat. Sesaat kemudian, ia melanjutkan penjelasannya. “

Ketahuilah, o manusia beriman yang dikasihi Allah, bahwa yang disebut Dajjal adalah manusia-manusia yang terhijab dari kebenaran Allah karena Dajjal berasal dari kata Dajala yang bermakna ‘dia yang tertutup’. Itu berarti, baik Dajjal maupun pengikutnya akan menolak hal-hal gaib atau yang bersifat ruhani karena hati dan pikiran mereka telah terhijab dari kebenaran Ilahi. Mereka sangat menakjubkan dan menarik hati jika berbicara tentang kehidupan duniawi. Namun, merekalah perusak dan pembinasa kehidupan duniawi yang sebenarnya. Bahkan jika mereka berbicara dengan mengatasnamakan agama sekalipun maka apa yang mereka bicarakan tidak akan jauh dari kepentingan duniawi.” “

Adapun tentang Ya’juj wa Ma’juj yang berasal dari kata ajij dalam bentuk yaf’ul dan maf’ul, yang bermakna ‘semburan api’, adalah pengikut-pengikut setia Dajjal yang di setiap tempat di permukaan bumi akan menyemburkan api untuk membinasakan manusia-manusia yang melawan mereka, guna membinasakan kehidupan di permukaan bumi. Ya’juj wa Ma’juj, sebagaimana Dajjal, jika berjalan sangat cepat. Karena, Ya’juj wa Ma’juj bisa dimaknai dari kata ajja yang berarti asra’a, yakni ‘berjalan cepat’.” “

Jika engkau sekalian, o manusia beriman yang dikasihi Allah, menyaksikan kehadiran Dajjal beserta bala tentaranya maka larilah engkau sekalian kepada Allah. Fafirru ila Allah! Sebab, kalau hati dan pikiranmu masih terikat pada sesuatu tentang duniawi dan pamrih pribadi maka saat itulah engkau sekalian akan gampang disesatkan oleh Dajjal dan bala tentaranya.”

Seorang pemuda bernama Ghulam Chinibas yang bekerja sebagai pedagang keliling kelihatannya tidak dapat menahan hasrat untuk bertanya lebih jelas tentang Dajjal dan Ya’juj wa Ma’juj. Saat Abdul Jalil berhenti bicara dan menunggu tanggapan para pendengarnya, dia berseru keras, “Terangkan kepada kami tentang Dajjal dan bala tentaranya secara lebih tegas, o Tuan Syaikh! Biarlah kami mengetahui kehadiran mereka agar kami tidak menjadi pengikut mereka.”

Abdul Jalil diam. Ia menunduk sambil memejamkan mata. Sesaat kemudian, ia berkata, “Dajjal dan bala tentaranya adalah manusia-manusia berkulit putih. Mereka datang dari arah lautan dengan menggunakan kapal-kapal yang sangat cepat. Kemudian dengan membawa meriam-meriam penyembur api, mereka akan naik ke daratan dan menebarkan kerusakan. Mereka akan menggiring orang-orang yang lemah iman untuk dijadikan budaknya. Mereka juga akan merampas harta kekayaan di antara manusia-manusia yang lemah iman.” “

Apakah kami boleh melawan mereka, o Tuan Syaikh?” tanya Ghulam Chinibas. “

Jika engkau cinta kepada Allah maka wajib bagimu untuk menantang Dajjal dan bala tentaranya sekuat daya dan kemampuanmu. Namun, jika engkau masih mencintai dirimu, keluargamu, harta bendamu, perdaganganmu, dan keuntunganmu maka janganlah sekali-kali engkau melawan mereka. Niscaya engkau akan dikalahkan dengan mudah,” kata Abdul Jalil menegaskan.

Suara gaduh bagai dengungan ribuan lebah pun terdengar. Mereka berkata ini dan itu seolah-olah mereka akan menghadapi melapetaka yang sangat dahsyat. Mereka seolah-olah tidak berdaya menghadapi serbuan Dajjal beserta tentaranya. Menyaksikan reaksi pembicaraannya yang sangat menggemparkan pendengarnya itu, Abdul Jalil menangkap tengara kegentaran merayapi hati orang-orang yang umumnya masih sangat mencintai kehidupan duniawi. Itu sebabnya, dengan langkah mantap ia mendekati Ghulam Chinibas. Kemudian dengan suara lantang ia berkata. “Wahai engkau, Penjaja Keliling, jadilah engkau penyebar berita tentang kedatangan Dajjal beserta bala tentaranya ke berbagai penjuru negeri. Beritakanlah kepada manusia-manusia pecinta dunia bahwa bakal datang azab Allah untuk mereka dalam bentuk kehadiran Dajjal penyesat beserta bala tentaranya. Kabarkanlah kepada para pecinta dunia bahwa mereka harus melepas baju agar punggung-punggung mereka terbuka untuk dihajar oleh cambuk Dajjal dan bala tentaranya. Kabarkanlah kepada pecinta dunia bahwa mereka harus mengumpulkan harta benda dan kekayaan yang mereka miliki untuk dijadikan barang pampasan oleh Dajjal beserta bala tentaranya. Kabarkanlah kepada para pecinta dunia bahwa mereka harus bersiap siaga menjadi pemeluk agama najis, yaitu penyembah Dajjal. Dan kabarkanlah kepada para pecinta dunia bahwa pintu neraka telah menunggu mereka!”

Seorang mualaf tua bernama Shadgap Dewadatta dengan tertatih-tatih melangkah ke depan. Kemudian dengan suara bergetar dia bertanya, “Tuan Syaikh, kenapa Allah menimpakan malapetaka tak tertahankan ini kepada kami? Apakah kesalahan yang telah kami lakukan? Bukankah kami setia memuja dan menyembah-Nya? Bukankah kami patuhi semua perintah-Nya?” “

Wahai Bapa, hamba Allah yang dikasihi-Nya,” kata Abdul Jalil dengan suara menggeletar, “jangan engkau tanyakan hal itu kepadaku. Karena aku hanyalah orang asing belaka di negeri ini. Sebaliknya, tanyalah kepada penguasa-penguasa yang menjadi pemimpinmu! Tanyakan kepada mereka, apakah mereka telah menjalankan kekuasaan yang diamanatkan kepadanya sesuai ketentuan yang diteladankan oleh Rasulallah Saw dan keempat khalifah penggantinya?” “

Tanyakan kepada para raja (al-malik) penguasa negerimu! Sudahkah mereka mewakili pengejawantahan al-Malik? Tanyakan kepada para wazir yang membantu tugas-tugas rajamu! Sudahkah mereka menjalankan tugas sebagai pembantu raja (tawazzara li al-malik) dengan sebenar-benarnya? Sudahkah menteri kehakiman (wizarah al-haqqaniyyah) dan hakim-hakim bawahannya mencerminkan pengejawantahan al-Haqq – al-Hakim – al’Adl? Apakah menteri keuangan (wizarrah al-maliyyah) orang yang zuhud dan jujur? Apakah menteri wakaf (wizarrah al-auqaf) orang yang amanah dan qana’ah?” “

Apakah engkau pernah menyaksikan pada wajah rajamu bekas tikar yang dipakainya tidur? Apakah engkau pernah menyaksikan kesederhanaan rajamu sebagaimana yang diteladankan Rasulallah Saw dan keempat khalifah penggantinya? Apakah menurut pengetahuanmu, raja-raja yang memimpinmu hidup dalam kesederhanaan, kedermawanan, kezuhudan, dan kecintaan kepada para janda tua, yatim piatu, dan orang hina papa?” “

Namun, Tuan Syaikh,” seru Shadgap Dewadatta berapi-api, “jika kesalahan dan dosa besar telah dilakukan oleh pemimpin-pemimpin kami, kenapa pula kai yang tidak tahu-menahu ikut memikul akibatnya? Di manakah letak keadilan Allah?” “

Dengarlah cerita tentang seorang raja tua bangka yang sudah pikun di tengah pengawal dan budak-budaknya,” kata Abdul Jalil. “Pekerjaan raja tua bangka itu sehari-harinya mengantuk di atas singgasana. Tidak ada yang dilakukannya kecuali duduk, makan, dipijat, dikipasi, dan tidur mendengkur. Sementara para wazir, qadhi, kepala daerah, dan aparat kerajaan bekerja dengan sesuka hati mereka. Pekerjaan mereka adalah memeras dan menipu rakyat untuk memperkaya diri sendiri.” “

Satu siang seusai duduk, makan, dipijit, dan dikipasi, seperti biasa sang raja tidur mendengkur di atas singgasana. Begitu lelapnya sehingga mahkota sang raja terjatuh ke lantai. Para budak yang berada di sekitarnya berebut mengambil dan memahkotakan kembali. Padahal, salah seorang pengawal raja tua bangka itu sempat membayangkan seandainya sang raja tetap tidur dan mahkotanya tetap dibiarkan tergeletak di lantai. Bahkan ia sempat berpikir betapa mudah sebenarnya membanting tubuh renta itu ke lantai hingga remuk tulang-belulangnya. Bukankah dengan sekali banting saja raja tua itu akan mati? Namun, kilasan pikiran pengawal itu hanya sampai pada bentangan angan-angan dan gambaran-gambaran khayal belaka. Para pengawal – apalagi para budak – tidak ada yang berani mengganggu sang raja rua bangka yang makin lama makin lapuk digeragoti zaman.” “

Nah, Bapa Tua, menurutmu apakah kejahatan yang dilakukan para wazir, qadhi, kepala daerah, dan aparat kerajaan itu semata-mata kesalahan mereka yang memanfaatkan rajanya yang pikun? Apakah para pengawal dan budak-budak yang setia kepada raja tua bangka yang pikun itu tidak ikut bersalah?”

Shadgap Dewadatta manggut-manggut mendengar uraian perlambang yang dikemukakan Abdul Jalil. Dia menyadari bahwa suatu peristiwa pada hakikatnya saling mengait dengan peristiwa lain.

Abdul Jalil kemudian berkata lantang. “Dan kepada engkau, o Bapa Tua, apakah engkau sudah berbuat adil dan mencintai orang-orang berkasta rendah di sekitarmu, golongan dari mana engkau berasal, yakni mereka yang hidup dalam kesengsaraan dan kepapan? Sudahkah engkau bagikan sebagian harta dan makananmu kepada mereka yang sering merasakan kelaparan di sekitarmu? Sudahkah engkau ulurkan tanganmu untuk membantu tetangga-tetanggamu yang oleh kaumnya dibenamkan sebagai manusia berkasta rendah? Sudahkah engkau mencintai mereka? Sudahkah engkau mampu mewujudkan dirimu sebagai pengikut Muhammad Saw, rahmatan li al-‘alamin?” “

Sepanjang perjalananku dari Ahmadabad hingga Goa, telah aku saksikan betapa kaum Muslimin hidup dalam kemakmuran dan kelimpahan rezeki. Mereka hidup tidak kurang satu apa pun. Namun sungguh menyedihkan, pandangan hidup kaum Muslimin yang kutemui hampir menyerupai kaum berkasta tinggi yang memandang hina kepada orang-orang berkasta rendah. Itu sebabnya, aku saksikan orang-orang Muslim membeli anak-anak kaum berkasta rendah pada masa paceklik. Aku saksikan pula betapa kaum berkasta rendah itu hidup penuh kekurangan, sementara tetangganya yang Muslim hidup berkelimpahan. Sungguh keliru jika kalian beranggapan bahwa bantuan hanya layak diberikan kepada kaum Muslim. Padahal kalian semua tahu bahwa orang menjadi Muslim atau tidak adalah mutlak kewenangan Allah.” “

Karena itu, o saudara-saudaraku kaum beriman, hendaknya kalian datangi saudara-saudaramu dari kaum berkasta rendah yang dibenamkan oleh kaumnya untuk menjadi cacing tanah. Angkat mereka dari dalam kubangan lumpur kehinaan. Bersihkan hati dan pikiran mereka dari lumpur kerendahan diri dengan cinta kasih, kedermawanan, persaudaraan, dan kesetaraan. Rangkullah mereka dengan harkat dan martabat kemanusiaan yang asasi, yakni sebagai anak cucu Adam. Teladanilah Rasulallah beserta sahabat-sahabatnya yang gemar membebaskan budak, menyantuni janda tua, yatim piatu, orang papa, dan mengikat persaudaraan. Teladanilah kesederhanaan Rasulallah beserta para sahabat yang senantiasa saling membantu. Teladanilah Rasulallah beserta sahabat-sahabatnya yang zuhud, yang tidak pernah membangun istana dan rumah mewah. Teladanilah beliau yang hidupnya benar-benar menjadi rahmat bagi yang lain!”

Pada awal abad ke 10 Hijriah, kota pelabuhan Goa telah menjadi pusat perniagaan bagi wilayah Deccan yang diperintah oleh dinasti Bahmani. Jika sebelumnya Goa tak pernah diperhitungkan maka sejak Zafar Khan Bahmani memisahkan wilayahnya dari Kesultanan Delhi dan dinasti Tughlak pada pertengahan abad ke 9 Hijriah, Goa perlahan-lahan menemui makna pentingnya sebagai pelabuhan di wilayah Deccan. Sekalipun pada tahun 905 Hijriah wilayah Berar memisahkan diri, disusul pemberontakan Adil Shahi yang menginginkan wilayah Bijapur yang dikuasainya lepas dari Deccan; dinasti Bahmani tetap mempertahankan Goa sebagai pelabuhan utama Deccan.

Warga Goa yang kebanyakan merupakan keturunan Arab-Hindi telah memberikan citra kota pelabuhan itu sebagai wilayah perdagangan antarbangsa yang sangat ramai. Berbagai saudagar berkebangsaan Arab, Persia, Keling, Malayu, dan bahkan Cina terlihat berdagang dengan bebas di kota tersebut. Rumah, kedai, gudang, dan barak besar milik para pedagang yang dibangun tak jauh dari pelabuhan telah membuat Goa menjadi kota yang makmur.

Terik matahari, embusan angin laut, dan taburan debu yang meliputi permukaan bumi Goa seolah tidak dipedulikan oleh para saudagar, nahkoda, kuli pelabuhan, penarik kereta, dan budak yang terlihat hilir-mudik di tengah kesibukan yang bagai tak kenal istirahat. Mereka seolah-olah larut dalam lingkaran kesibukan duniawi yang bagai tak ada ujung. Mereka seolah telah menjadi bagian dari hiruk-pikuk kehidupan manusia yang bagai tak memiliki tepi.

Suatu siang ketika matahari bersinar terik dan debu beterbangan ditiup angin, Abdul Jalil, Abdul Malik Israil, Syarif Hidayat, dan Fadillah Ahmad berjalan beriringan memasuki daerah pelabuhan. Mereka menanyakan tujuan dan jadwal keberangkatan kapal-kapal yang berlabuh di Goa. Abdul Malik Israil, lewat seorang kenalannya, telah memesan tumpangan bagi Abdul Jalil dan Syarif Hidayat untuk jurusan Malaka. Walaupun sebenarnya Abdul Jalil ingin menumpang kapal milik Ahmad at-Tawallud yang memiliki tujuan ke Pasai (Aceh).

Ketika mereka sampai di sebuah pertigaan jalan yang menuju ke arah pasar ikan dan pelabuhan, tiba-tiba Abdul Jalil menghentikan langkah di teras sebuah rumah saudagar Keling. Setelah termangu sejenak, ia berkata kepada Fadillah Ahmad, “Jika engkau nanti benar-benar telah menjadi pengamal Tarekat al-Akmaliyyah, seperti yang aku ajarkan, maka engkau akan menganggap brahmin kotor yang duduk di ujung jalan itu sebagai saudaramu.”

“Brahmin itu, Tuan Syaikh?” seru Fadillah Ahmad sambil menatap brahmin yang dimaksudkan oleh Abdul Jalil.

Brahmin yang duduk bersila di ujung pertigaan jalan itu secara jasmaniah benar-benar kotor. Rambutnya yang disanggul secara serampangan tampak kusam dipenuhi debu. Sementara badannya hanya dibungkus kain putih mirip cawat yang kusam, kumal, dan kelihatan coklat kehitaman.

Fadillah Ahmad dan Syarif Hidayat tak kurang herannya dengan ucapan Abdul Jalil. Bagaimana mungkin seorang muslim ber-maqam wali seperti Abdul Jalil bisa mengatakan bahwa brahmin kotor itu sebagai saudara? Namun, sebelum keheranan mereka terjawab, Abdul Jalil telah menunjuk seorang saudagar yang duduk di atas kereta, “Dan jika engkau nanti benar-benar meresapi Tarekat al-Akmaliyyah maka engkau akan menganggap saudagar itu sebagai bukan golonganmu.”

“Bagaimana bisa begitu, Tuan Syaikh?” tanya Fadillah heran bukan kepalang, “bukankah brahmin itu jelas-jelas kafir? Dan bukankah saudagar itu jelas-jelas Muslim?”

Abdul Jalil tersenyum. Sesaat kemudian ia berkata, “Maukah engkau mendengar ceritaku tentang kisah manusia-manusia aneh yang tidak bisa dinilai berdasarkan pandangan mata indriawi kita yang terbatas ini?”

“Saya sangat ingin tahu, Tuan Syaikh.”

Kira-kira dua puluh lima tahun silam di sebuah hutan di lereng pegunungan Nilgiri, hiduplah seorang brahmin muda di tengah kesunyian. Sebenarnya, dia adalah putera Raja Vijayanagar. Dia, atas kemauannya sendiri, meninggalkan takhta dan kemuliaan yang bakal menjadi miliknya untuk digantikan dengan kesunyian hutan. Bertahun-tahun pemuda itu mengakrabi kesunyian dengan tujuan utama memasrahkan seluruh hidupnya kepada Sang Pencipta. Berbagai upaya yang dilakukan oleh keluarganya agar dia membatalkan tekadnya tidak mendapatkan hasil apa-apa, kecuali kepedihan.

Ibu pemuda itu diam-diam menitahkan beberapa pengawal untuk mengawasi dan menjaga keselamatan putera kandungnya. Setiap bulan, para pengawal kembali ke istana dan memberi laporan yang isinya selalu berisi berita menyedihkan: badan sang pemuda makin kurus, rambutnya terurai panjang tak terurus, makanan sehari-hari umbu-umbian, samadi di tengah malam dingin, dan pelbagai tindak penyiksaan tubuh yang tak pantas dilakukan oleh putera raja.

Berita-berita menyedihkan itu akhirnya mencapai puncak manakala suatu pagi para pengawal menyaksikan pondok tempat kediaman sang pemuda telah kosong. Mereka mencari berkeliling namun tidak menemukan bayangannya. Maka, para pengawal pun melaporkan kepada sang ibu bahwa sang putera telah mencapai apa yang diinginkan dan dicita-citakannya, yakni moksha. Sang ibu, meski merasa pedih, tak urung sedikit lega mendengar betapa puteranya telah moksha, menyatu dengan Sang Pencipta.

Namun, hati ibu tetaplah hati ibu yang tak bisa ditipu. Diam-diam, sang ibu tetap yakin bahwa sang putera belumlah mati apalagi moksha. Itu sebabnya, diam-diam ia mulai berkeliling dari satu kota ke kota lain untuk menelusuri di mana sang putera berada. Bahkan ia menyebar pengawal lain ke berbagai pertapaan untuk mencari tahu berita sang putera.

Usaha keras sang ibu tidak sia-sia. Ceritanya, ketika sang ibu melakukan perjalanan ke kota Dwarasamudra, tanpa sengaja ia menyaksikan seorang brahmin yang kotor dan lusuh sedang duduk di pinggir jalan. Sebagai ibu yang telah mengandung dan melahirkan, ia tidak syak lagi bahwa brahmin itu adalah puteranya tercinta. Dengan penuh cinta kasih, sang ibu memeluk dan menciumi sang putera yang telah mencapai pencerahan itu.

Berbagai usaha dilakukan sang ibu agar puteranya berkenan kembali ke istana dan menjadi raja menggantikan ayahandanya. Namun, tidak membawa hasil apa-apa. Sang putera telah menjadi manusia yang berbeda. Sang putera telah menjadi manusia yang tidak memiliki apa-apa dan tidak dimiliki oleh siapa-siapa, kecuali Sang Pencipta. Dari waktu ke waktu, putera raja itu hidup sebagai brahmin gelandangan yang dihina dan dinista orang yang tidak mengetahui siapa dia sebenarnya. “Dan brahmin kotor yang engkau saksikan duduk di ujung jalan itulah sang Brahmin, putera Raja Vijayanagar, Pangeran Bharatchandra Jagaddhatri” ujar Abdul Jalil.

“Dia putera Raja Vijayanagar?” tanya Syarif Hidayat terheran-heran.

“Tanyakan kebenarannya kepada kakekmu yang sudah mengenalnya,” kata Abdul Jalil yang disambut anggukan kepala Abdul Malik Israil.

“Dia yang menukar kerajaan dan kemuliaan dengan kesengsaraan dan penderitaan, tentu memiliki pamrih yang lebih besar dari kerajaan dan kemuliaan duniawi,” ujar Fadillah Ahmad.

“Dia benar,” sahut Abdul Jalil. “Karena, lebih memilih Sang Raja dan Sang Pemilik Kemuliaan Abadi.”

“Tetapi, Tuan Syaikh,” tanya Fadillah Ahmad, “bagaimana dengan saudagar di atas kereta itu? Mengapa Tuan Syaikh menganggap dia bukan golongan Tuan?”

“Dalam pandangan mata indriawi, dia memang Muslim yang sudah membaca dua kalimat syahadat. Namun, dalam pandangan bashirah yang hakiki, dia adalah musrik yang memuja kebendaan di luar batas kemestian. Tahukah engkau apakah pekerjaan manusia pemuja dunia itu?” tanya Abdul Jalil.

“Saya tidak tahu, Tuan Syaikh,” jawab Fadillah Ahmad.

“Dia adalah pedagang budak yang memperlakukan budak-budaknya lebih buruk daripada hewan. Dia tidak peduli apakah budak-budaknya itu adalah saudaranya sesama Muslim atau bukan, yang utama baginya adalah soal harga. Dia itulah yang menyebar kaki tangan ke berbagai desa untuk membeli anak-anak mereka yang berkasta rendah. Dia membeli anak-anak itu dengan harga murah. Bahkan anak-anak yang sudah dididik sebagai Muslim pun tetap diperbudaknya.”

“Hari-hari yang dilewati laki-laki celaka itu tidak pernah beranjak dari lingkaran kehidupan duniawi beserta benda-bendanya yang menyesatkan. Jika engkau mengamati perilakunya sehari-hari, engkau tentu akan sering melihatnya menghitung uang, marah-marah, menganiaya budak, menyuap pejabat kerajaan, memuaskan nafsu syahwat dengan budak-budaknya yang cantik, menyedot hashis, dan tidur mendengkur dengan liur menetes. Bahkan jika engkau mendapati ia shalat berjama’ah dengan saudagar-saudagar pelanggannya maka akan engkau dapati pikiran dan hatinya tidak berkiblat kepada Allah, melainkan berputar-putar memikirkan ini dan itu yang berkait dengan barang dagangannya. Bahkan akan engkau dapati betapa dia tidak peduli kepada janda-janda tua, anak yatim, dan orang-orang fakir yang hidup tertindas. Dia tidak segan mempermainkan nilai hitung zakat dengan bersekongkol dengan petugas dari kementerian waqaf.”

“Bagi manusia tengik seperti saudagar budak itu, persoalan agama dan iman hanyalah dianggap sebagai suatu kemestian untuk meraih keberhasilan hidup dalam masyarakat. Bagi manusia seperti dia, Allah hanyalah semacam dongeng yang keberadaannya tidak bisa dibuktikan sehingga dengan leluasa dia melakukan kejahatan dan kekejian tanpa pernah digetari rasa takut. Dia adalah orang yang sudah tebal hijabnya. Hatinya sudah berkarat. Dan lantaran itu, aku katakan bahwa dia bukanlah dari golonganku,” ujar Abdul Jalil.

Fadillah Ahmad dan Syarif Hidayat termangu-mangu takjub dengan uraian Abdul Jalil mengenai dua sosok manusia yang berbeda dalam penampilan dan hakikat itu. Beberapa saat kemudian Fadillah Ahmad bertanya, “Tuan Syaikh, apakah hikmah di balik peristiwa aneh ini?”

“Aku dan Tuan Syaikh Abdul Malik Israil hendak memberi tahu sekaligus mengajarkan kepada kalian berdua tentang pandangan dan prinsip hidup yang kami anut. Tegasnya, bagi kami, yang kami anggap saudara adalah manusia-manusia pecinta Allah yang kiblat hati dan pikirannya diarahkan hanya kepada Allah. Kami tidak peduli apakah agama yang mereka anut Islam, Hindu, Budha, Yahudi, Nasrani, atau Majusi; asal mereka sama dengan kami maka mereka adalah saudara kami. Sebaliknya, manusia-manusia yang kiblat hati da pikirannya hanya ke arah duniawi bukanlah golongan kami, apalagi saudara kami. Mereka adalah pengikut Dajjal. Mereka akan menjadi bagian dari Ya’juj wa Ma’juj. Sekalipun agama mereka Islam, tetaplah tidak bisa kami golongkan sebagai golongan kami, apalagi saudara kami,” ujar Abdul Jalil.

“Tetapi Tuan Syaikh,” sergah Fadillah Ahmad meminta penegasan, “jika kami mengikuti pandangan seperti Tuan Syaikh, apakah kami tidak dianggap aneh dan sesat oleh kaum Muslim seumumnya?”

“Itu jika engkau kemukakan pandanganmu secara terang-terangan kepada masyarakat umum. Itu sebabnya, ajaran Tarekat al-Akmaliyyah adalah ajaran rahasia yang tidak boleh diungkapkan kepada semua orang secara terbuka.”

“Saya paham, Tuan Syaikh.”

“Karena itu,” lanjut Abdul Jalil, “Setelah aku berangkat ke negeri Jawy nanti, kembalilah engkau ke Ahmadabad di Gujarat. Temuilah Syaikh Abdul Ghafur Mufarridun al-Gujarati, ambillah baiat Tarekat asy-Syatariyyah dari saudara kakekku, Syaikh Sayyid Jamaluddin Husein.

“Jika Syaikh Sayyid Jamaluddin Husein adalah saudara kakek Tuan Syaikh,” kata Fadillah Ahmad terperangah heran, “berarti Tuan Syaikh adalah keturunan Syaikh Sayyid Abdul Malik al-Qozam yang makamnya di Ahmadabad.”

“Benar begitu,” kata Abdul Jalil, “sebab ayahandaku, Syaikh Datuk Sholeh, adalah putera Syaikh Datuk Isa Malaka. Dan kakekku itu adalah putera Syaikh Sayyid Ahmadsyah Jalaluddin bin Abdullah Amir Khan bin Abdul Malik al-Qozam.”

“Saya paham sekarang, Tuan Syaikh,” kata Fadillah Ahmad dengan suara bergetar, “kenapa di dalam mimpi saya lima tahun silam, Syaikh Sayyid Abdul Malik al-Qozam memerintahkan saya untuk menunggu Tuan Syaikh di Belgaum. Rupanya, Tuan Syaikh adalah keturunan beliau.”

Abdul Jalil diam. “

Tapi Tuan Syaikh,” Fadillah Ahmad melanjutkan, “bagaimana mungkin saya bisa menjalankan dua tarekat yang berbeda?” “

Tarekat al-Akmaliyyah untuk dirimu pribadi, sedang Tarekat asy-Syatariyyah untuk engkau ajarkan kepada khalayak ramai. Wajib engkau ingat-ingat bahwa apa yang disebut tarekat itu pada hakikatnya memiliki tujuan yang sama, meski nama dan caranya seolah-olah berbeda. Itu sebabnya, jika engkau teliti benar keberadaan semua tarekat maka akan engkau dapati ‘jalan lurus’ dan ‘cara’ yang mirip satu dengan yang lain.” “

Di dalam berbagai tarekat, misalnya, akan engkau dapati pemaknaan inti dari hakikat istigfar, salawat, tahlil, dan nafs al-haqq yang sering dipilah-pilah sebagai dzikir jahr dan dzikir sirri. Semua tarekat pasti mengajarkan istighfar, salawat, tahlil, dan nafs al-haqq. Semua tarekat pasti mengajarkan rahasia Muhammad sebagai ‘pintu’ dan ‘kunci’ untuk membuka hijab-Nya,” ujar Abdul Jalil. “

Tuan Syaikh,” kata Fadillah Ahmad minta penjelasan, “kenapa tidak Tarekat al-Akmaliyyah saja yang disebarluaskan kepada khalayak ramai? Bukankah hal itu lebih afdol dibanding mengajarkan Tarekat asy-Syatariyyah?” “

Ketahuilah, o Salik, bahwa Tarekat al-Akmaliyyah sejak semula memang tidak untuk diajarkan kepada khalayak ramai. Tidakkah engkau ketahui kisah Syaikh Abu al-Mughits al-Husain bin Mansyur bin Muhammad al-Baidawi al-Hallaj yang menimbulkan kekacauan ketika mengungkapkan pandangan dan pahamnya kepada khalayak ramai? Tidakkah semua orang saat itu tidak mampu memahami ucapan-ucapannya? Tidakkah hanya kesalahpahaman yang justru ditimbulkannya?” “

Pahamilah, o Salik, bahwa apa yang menjadi dasar dari Tarekat al-Akmaliyyah adalah kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan, Pencipta yang tak bisa dibayangkan dan tidak pula bisa dibandingkan dengan sesuatu. Singkatnya, dasar utama dari Tarekat al-Akmaliyyah adalah perjalanan kembali ke asal: Inna li Allahi wa inna ilaihi raji’un! Kembali kepada Yang Mahagaib. Mahakosong. Mahahampa. Maha Tak Terbandingkan.” “

Bagaimana engkau menjelaskan kepada khalayak ramai tentang Dia (Huwa) yang tak bisa digambarkan dan dibayangkan serta tak terbandingkan? Bagaimana cara engkau meminta khalayak ramai untuk mengikuti jalanmu jika engkau tidak bisa menjelaskan kepada mereka tentang kenikmatan, kelezatan, keindahan, kemuliaan, dan keagungan yang bakal engkau capai? Bagaimana engkau bisa menyadarkan khalayak ramai bahwa mereka tidaklah kembali ke surga yang penuh nikmat dan lezat, melainkan kembali kepada Dia yang tak bisa digambarkan?” “

Dengan uraian ini bukan berarti aku menempatkan Tarekat al-Akmaliyyah sebagai Tarekat yang khusus, apalagi lebih tinggi nilainya daripada Tarekat asy-Syatariyyah. Sekali-kali tidak demikian. Sepengetahuanku, Tarekat al-Akmaliyyah memang tidak pernah diajarkan secara terbuka, kecuali pada masa Husain bin Mansyur bin Muhammad al-Baidhawi al-Hallaj. Entah jika satu saat nanti Allah menghendaki-Nya,” ujar Abdul Jalil menjelaskan. “

Tapi Tuan Syaikh, bagaimana kami memberikan kemanfaatan Tarekat al-Akmaliyyah kepada khalayak ramai? Bukankah Tuan Syaikh telah mengajarkan kepada kami bahwa seorang salik yang telah mencapai tujuannya tetaplah harus meneladani Muhammad Saw, yakni tetap hidup di tengah masyarakat?” tanya Fadillah Ahmad. “

Ketahuilah, o Salik,” kata Abdul Jalil menguraikan, “bahwa menurut pemahaman Tarekat al-Akmaliyyah, dalam perjalanan ruhani menuju Dia pada hakikatnya terdapat empat tahapan. Pertama, perjalanan al-insan menuju al-Haqq (as-safar min al-insan ila al-Haqq). kedua, perjalanan di dalam al-Haqq (as-safar fi al-Haqq). ketiga, perjalanan kembali dari al-Haqq menuju al-insan bersama al-Haqq (as-safar min al-Haqq ila al-insan bi al-Haqq). keempat, perjalanan al-insan di tengah ciptaan bersama al-Haqq (safar al-insan fi al-khalq bi al-Haqq).” “

Dengan uraian ini, o Salik, jangan sekali-kali engkau bertanya soal manfaat dan kegunaan. Sebab, telah jelas pada paham ini bahwa barang siapa yang di dalam perjalanannya telah sampai kepada al-Haqq maka dia akan kehilangan keakuannya yang kerdil dan sempit. Itu berarti, dia tidak akan lagi berbicara tentang manfaat, keuntungan, kenikmatan, kelezatan, dan kemuliaan menurut akal pikiran dan hasrat hatinya. Artinya, dia yang telah sampai akan berada pada tingkatan tertinggi dari kepasrahan kepada-Nya. Wama tasya’una illa an yasya’a Allahu rabbu al-‘alamin!”

~ Bag 18. Warisan Bani Adam

Sejak awal manusia diciptakan dan dikaruniai kemuliaan yang kepadanya malaikat diperintahkan bersujud, Allah telah menempatkan musuh utama baginya, yakni iblis. Dengan musuh itulah manusia setiap saat dapat terancam jatuh ke jurang kenistaan sebagai makhluk yang sederajat dengan iblis. Dan Adam, manusia pertama yang mulia yang disujudi malaikat, ternyata jatuh ke dalam lingkaran tipu daya iblis yang menyebabkannya terdepak dari kemuliaan surgawi ke kenistaan duniawi.

Fitrah Adam yang dicipta sesuai gambar Allah (khalaq al-insan ‘ala shurah ar-Rahman) sebagai makhluk sempurna (al-kamal), yang kepadanya ditiupkan ruh ilahiah (ruh al-haqq) dan dikaruniai kemuliaan untuk disujudi malaikat, ternyata hanya pencitraan yang bersifat nisbi. Artinya, saat iblis muncul dan berhasil memperdayanya maka citra ar-Rahman, al-Kamal, al-Haqq, al-Jalal, al-Jamal, dan berbagai kemuliaan-Nya yang melekat pada Adam terserap kembali kepada-Nya.

Keberadaan Adam beserta keturunannya tidaklah dimaksudkan lain, kecuali sebagai bukti kemuliaan dan kebesaran Allah, Azza wa Jalla, yang memiliki kehendak untuk diketahui keberadaan-Nya. Itu sebabnya, penciptaan Adam di antara berbagai makhluk tidaklah dimaksudkan untuk menandingi Allah, tetapi lebih sebagai citra Esa dari keberadaan diri-Nya. Karena itu, Adam beserta keturunannya hanya berhak menyandang gelar wakil Allah (khalifah Allah) yang kepadanya seluruh makhluk mengenal Kasih (ar-Rahman), Kemuliaan (al-Aziz), Keagungan (al-Jalal), Keindahan (al-Jamal), Kesempurnaan (al-Kamal), dan Kebenaran (al-Haqq) Sang Pencipta.

Jika Allah dilukiskan bersabda kepada malaikat tentang ciptaan-Nya yang paling mulia dan sempurna, Adam, maka kira-kira Dia akan bersabda:

“Ketahuilah, o malaikat-malaikat ciptaan-Ku, telah Aku ciptakan wakil-Ku (khalif) yang jasadnya terbuat dari bahan tanah. Jasad itu diolah oleh kedua belah tangan-Ku (al-Jalal dan al-Jamal). Setelah jasadnya terwujud sempurna (al-Kamal) seperti gambar-Ku (Shurah ar-Rahman) maka Aku tiupkan ruh-Ku ke dalam jasad wakil-Ku itu (QS al-Baqarah:30 Shad:71-72).”

“Ketahuilah, o malaikat-malaikat ciptaan-Ku, bahwa wakil yang kepadanya telah Aku tiupkan ruh-Ku itu akan mewarisi secara nisbi sebagian dari Nama (Asma’) dan Sifat (Shifat) serta perbuatan-Ku (Af’al). Wakil-Ku itu akan mewarisi Nama-Ku (Asma’), yaitu Yang Melihat (al-Bashir), Yang Mendengar (as-Sami’), Yang Mengetahui (al-Alim), Yang Merajai (al-Malik), Yang Agung (al-Jalal), Yang Indah (al-Jamal), Yang Sempurna (al-Kamal), dan Yang Benar (al-Haqq). Wakil-Ku itu juga mewarisi sifat kasih (ar-Rahman), sayang (ar-Rahim), mulia (al-Aziz), mengampuni (al-Ghaffar), dermawan (al-Bari’), bijaksana (al-Hakim), melindungi (al-Waly), dan sabar (ash-Shabur). Oleh karena itu, o malaikat-malaikat ciptaan-Ku, sujudlah engkau sekalian kepada wakil-Ku itu! Karena, sesungguhnya engkau sekalian tidak sujud kepada segumpal tanah yang aku bentuk dengan kedua belah tangan-Ku, melainkan engkau sekalian bersujud memuliakan Aku yang telah meniupkan ruh-Ku kepada segupal tanah itu. Adam itulah citra-Ku yang bisa engkau kenal. Dan engkau sekalian tidak akan mampu mengenal apalagi melihat hakikat Aku yang sesungguhnya.”

“Iblis pun tidaklah Aku cipta kecuali untuk meneguhkan keesaan Aku dalam Af’al, Asma’, Shifat, dan Dzat. Sungguh, iblis Aku cipta sebagai bukti bahwa wakil-Ku, Adam, hanyalah pewaris sebagian kecil Asma’, Shifat, dan Af’al-Ku. Dan lewat iblis jua sekalian makhluk ciptaan-Ku akan mengetahui bahwa wakil-Ku itu, Adam, adalah makhluk yang tidak sempurna, namun diliputi kesempurnaan. Lewat iblis, sekalian makhluk ciptaan-Ku mengetahui bahwa segala sesuatu yang Aku limpahkan kepada Adam adalah nisbi. Sungguh hanya Aku Yang Esa dan Mutlak.”

Dengan memahami keberadaan Adam dan iblis maka menjadi jelaslah bahwa iblis tidak boleh hanya dipandang sebagai musuh bebuyutan bagi Adam beserta keturunannya. Sebab, yang lebih mendasar untuk lebih dipahami dari keberadaan iblis adalah sebagai pengingat bahwa sebenar-benar ar-Rahman, ar-Rahim, al-Aziz, al-Ghaffar, al-Bari’, al-Waly, al-Hakim, ash-Shabur, al-Jalal, al-Jamal, al-Kamal, dan al-Haqq hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemuliaan hanyalah milik Allah. Yang wajib mutlak disujudi hanyalah Allah. Dan lantaran hanya sebagai wakil maka keturunan Adam hanya berhak menggunakan nama Abdur Rahman, Abdur Rahim, Abdul Aziz, Abdul Ghaffar, Abdul Bari’, atau Abdul Hakim.

Manusia sebagai keturunan Adam pada hakikatnya hanyalah sebatas citra kemuliaan yang semata-mata merupakan piranti untuk memuliakan dan mengagungkan-Nya; yang tinggi tidak akan ada jika yang rendah tidak ada. Dengan demikian, manusia bukanlah yang tertinggi, meski malaikat-malaikat diperintahkan sujud kepadanya.

Untuk memelihara kelestarian penauhidan terhadap Allah dan pembatasan terhadap Adam beserta keturunannya agar tidak memuliakan, mengagungkan, meninggikan, dan meyucikan dirinya sebagai pengejawantahan Allah, maka keberadaan iblis pun menjadi keharusan fundamental bagi kehidupan Adam beserta keturunannya. Maksudnya, kemuliaan dan keagungan yang tercurah kepada Adam beserta keturunannya senantiasa diikuti oleh kemunculan iblis dalam berbagai manifestasi. Iblis dalam berbagai bentuknya seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari kemuliaan dan keagungan Adam beserta keturunannya.

Kisah tergelincirnya Adam dari kemuliaan dan keagungan akibat tipu daya iblis adalah bagian yang terus-menerus menjadi citra kehidupan keturunannya. Habil yang terkasih dan terpuji harus tersingkir oleh Qabil yang mengejawantahkan sifat iri hati dan dendam kesumat iblis. Kematian Habil bukanlah pertanda bagi kemenangan daya dan kekuatan iblis, melainkan semata-mata untuk meneguhkan keesaan Allah. Citra Habil sebagai anak Adam yang terkasih dan terpuji harus terhapus dari hati ayah, ibunda, dan saudara-saudarinya; hanya Allah saja Yang Mahakasih (Ar-Rahman) dan Maha Terpuji (al-Hamid).

Tak jauh berbeda dengan apa yang telah diwarisi Habil dan Qabil dari ayahanda mereka, Adam, yang kemuliaannya senantiasa terancam intaian kenistaan iblis, Abdul Jalil pun dalam meniti jalan kesempurnaan ruhani ternyata diintai oleh iblis yang mewujud dalam bentuk Ali Anshar at-Tabrizi. Laki-laki yang dikenalnya di Baghdad dan kemudian diketahui sebagai pengikut Syaikh Abdul Malik al-Baghdady itu ternyata memiliki aliran nasib yang tak jauh berbeda dengan Qabil. Bagaikan mengulang sejarah, Ali Anshar pun tanpa sadar telah terperosok ke dalam lingkaran kuasa iblis.

Sebagaiman peristiwa Qabil dan Habil, perseteruan antara Ali Anshar dan Abdul Jalil diawali dengan keberuntungan dan kemuliaan yang diperoleh Abdul Jalil menyunting Fatimah, puteri Syaikh Abdul Malik al-Baghdady. Pernikahan yang sebelumnya tak pernah dibayangkan itu ternyata telah menumbuhkan benih-benih kekecewaan di dalam hati Ali Anshar.

Benih kekecewaan yang tumbuh di hati Ali Anshar semestinya akakn kering dan mati jika ia memiliki kebesaran jiwa dan iman yang kuat untuk memasrahkan segala urusan yang menimpanya kepada Allah. Namun, Ali Anshar ternyata tidak mampu menerima kekecewaan. Dia seolah-olah lupa bahwa segala yang terjadi di alam semesta baik yang menyenangkan maupun yang mengecewakan adalah semata-mata kehendak Allah.

Berawal dari kekecewaan ini, Ali Anshar pun pada gilirannya terjerat oleh jaring-jaring ilusi yang ditebar iblis. Tanpa disadari dan tanpa dipikir lagi secara jernih, jaring-jaring ilusi iblis di dalam dirinya telah memerangkap kesadarannya untuk memasuki lorong gelap yang membawanya ke hamparan jiwa berwujud tanah berlumpur yang dilingkari sumur api.

Di tengah hamparan itu Ali Anshar mengalami peristiwa yang aneh dan menakjubkan, terutama yang terkait dengan Abdul Jalil. Entah bagaimana awalnya, setiap kali dia menangkap citra diri Abdul Jalil di cakrawala ingatannya maka seluruh sumur di hamparan jiwanya mengobarkan api yang luar biasa dahsyat. Seiring kobaran api dahsyat itu, ikut terbakarlah seluruh hamparan dan lorong-lorong jiwanya.

Keberadaan Abdul Jalil yang semula hanya berupa lintasan ilusi yang tidak menyenangkan, karena ia merupakan pangkal dari segala kekecewaan Ali Anshar, secara berangsur-angsur berubah menjadi benih tumbuhan aneh yang mengerikan. Pada awalnya Ali Anshar hanya menganggap bahwa tanpa kehadiran Abdul Jalil, tentulah ia tidak akan menuai kekecewaan yang sedemikian rupa pahitnya. Namun, lama-kelamaan benih tanaman aneh itu tumbuh berwujud pohon iri hati dengan cabang-cabang kebencian, ranting-ranting kedengkian, daun-daun ‘ujub, bunga-bunga takabur, dan buah dendam kesumat.

Sebagai pengikut Syi’ah yang mendukung gerakan Safawy dan selama bertahun-tahun setia kepada Syaikh Abdul Malik al-Baghdady, Ali Anshar yang dikenal ramah, santun, berpengetahuan luas, dan memiliki wawasan yang mendalam tentang kehidupan tiba-tiba berubah menjadi sosok menakutkan. Kekecewaan, iri hati, benci, dengki, ‘ujub, takabur, dan dendam kesumat telah mengubahnya menjadi makhluk jahat yang mungkin tidak dikenali bahkan oleh dirinya sendiri.

Jika pada awalnya dia hanya merasa betapa semua harapannya untuk memiliki Fatimah dan menjadi bagian keluarga mulia Syaikh Abdul Malik al-Baghdady telah pupus, maka berikutnya dia merasa harga diri dan kehormatannya telah diinjak-injak dan dihinakan. Namun, dia tidak berani menuduh bahwa Syaikh Abdul Malik al-Baghdadylah sumber petaka itu. Sebaliknya, dia menduga Abdul Jalil telah menipu dan bahkan mungkin menggunakan sihir untuk mempengaruhi Syaikh Abdul Malik al-Baghdady.

Bagaimana mungkin Abdul Jalil yang tidak jelas galur nasabnya itu tiba-tiba bisa masuk ke dalam keluarga Syaikh Abdul Malik? Bagaimana mungkin Abdul Jalil yang sebelumnya tak pernah dikenal itu mendadak bisa menjadi menantu Syaikh Abdul Malik yang terhormat? Jika tanpa tipuan atau pengaruh ilmu sihir mana mungkin ia bisa menipu Syaikh Abdul Malik?

Berangkat dari rasa penasaran, iri hati, benci, dan dendam kesumat, Ali Anshar tidak lagi menyadari apa yang sedang dialaminya. Dia hanya merasakan betapa seluruh aliran darahnya terbakar hebat setiap kali melihat Abdul Jalil. Dadanya terasa sesak. Matanya pedih. Giginya bergemerutuk. Seolah-olah melihat dirinya terkapar bagai bangkai anjing najis yang tidak berharga. Saat seperti itu dia hanya melihat satu kemungkinan untuk mengubah keadaan dirinya yang terhinakan itu, yakni membuat Abdul Jalil celaka dan sengsara melebihi dirinya. Bahkan tidak cukup sampai di situ, dia menginginkan Abdul Jalil lenyap dari muka bumi dan tenggelam ke dasar neraka jahanam.

Ali Anshar benar-benar menjelma sebagai iblis berwujud manusia. Tidak ada hari yang terlewatkan tanpa membayangkan Abdul Jalil. Benaknya seolah penuh berisi sosok Abdul Jalil dalam berbagai keadaan yang hina dan nista. Malah dalam doa-doanya tak pernah luput nama Abdul Jalil disebut dengan getar kebencian tanpa tepi. Dalam amalan-amalan hizb yang dibacanya senantiasa tersangkut nama Abdul Jalil sebagai sasaran bidik yang harus binasa. Singkatnya, seolah-olah mewarisi permusuhan Qabil dan Habil, dia telah membulatkan tekad untuk menjadikan Abdul Jalil sebagai satu-satunya musuh terbesar yang wajib dibinasakan.

Sebenarnya, ayahanda mertua Abdul Jalil telah mengetahui bara api yang berkobar di hati Ali Anshar karena hasrat cintanya kepada Fatimah tidak kesampaian. Sebagai seorang wali Allah, Syaikh Abdul Malik al-Baghdady paham benar betapa berbahayanya jiwa Ali Anshar yang sudah dikuasai nafsu setani. Itu sebabnya, dengan penuh kebijakan dia perintahkan Abdul Jalil secepatnya pergi dari Baghdad ke negeri Jawy.

Abdul Jalil sendiri baru menangkap upaya bijak mertuanya yang ingin menghindarkannya dari api dendam Ali Anshar setelah berbincang-bincang dengan Ahmad at-Tawallud. Sahabatnya itu bahkan dengan tegas mengingatkannya pada bahaya Ali Anshar.

Sekalipun demikian, Abdul Jalil tidak pernah menghiraukan apalagi memberi kesempatan bagi pikirannya untuk menilai sepak terjang Ali Anshar. Ia tidak ingin membiarkan pikirannya terbawa oleh kumparan kecurigaan dan prasangka-prasangka. Ia tidak mau hati dan pikirannya disemayami bayangan manusia bernama Ali Anshar. Ia pasrahkan semua yang berkenaan dengan keberadaan dirinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Ali Anshar sendiri tampaknya sudah tidak mampu mengendalikan iri hati, benci, dan dendamnya. Itu sebabnya, saat Abdul Jalil meninggalkan Baghdad, diam-diam dia mengikuti ke mana pun musuh besarnya itu pergi. Bagaikan memiliki penglihatan batin yang tajam, dia seolah-olah mengetahui di mana pun Abdul Jalil berada. Dan lantaran itu, saat Abdul Jalil menikahi Shafa binti Adamji Muhammad, dia menyambutnya dengan penuh sukacita. Kemudian lewat seorang pendukung Safawy yang akan ke Baghdad, dia menitipkan pesan agar berita pernikahan Abdul Jalil disebarluaskan di lingkungan keluarga Syaikh Abdul Malik al-Baghdady.

Tidak cukup mengawasi semua gerak-gerik Abdul Jalil selama di Gujarat, dia juga telah menebarkan fitnah di kalangan kaum Ismailiyyah Gujarat. Dikatakannya bahwa Abdul Jalil adalah nawasib (pemberontak) yang berasal dari golongan Khawarij yang ditugaskan menyusup ke kalangan penganut Syi’ah untuk memecah-belah golongan Alawiyyin dari dalam. Lantaran fitnah itu maka ke mana pun Abdul Jalil pergi menyampaikan risalah kebenaran Islam di Gujarat, ia senantiasa di kuntit oleh pengikut Ismailiyyah. Dan melihat isi dari khotbah yang disampaikan Abdul Jalil, yang intisarinya mengungkapkan kesadaran bahwa setiap manusia pada dasarnya adalah sama dan sederajat sebagai Bani Adam; tidak boleh ada manusia atau kelompok yang meninggikan diri dan merendahkan manusia atau kelompok lain; seluruh manusia berhak menjadi Adam Ma’rifat, al-Insan al-Kamil; dan pengakuan terhadap keabsahan kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali; maka kaum Ismailiyyah pun makin yakin dengan kebenaran fitnah Ali Anshar.

Sebenarnya, beberapa pengikut Ismailiyyah di Gujarat telah merencanakan pembunuhan terhadap Abdul Jalil. Namun tanpa diduga, beberapa hari setelah putera Abdul Jalil lahir ke dunia, ia pergi meninggalkan Gujarat. Rencana pembunuhan itu pun tertunda karena Abdul Jalil diketahui memasuki wilayah Deccan yang sedang bergolak akibat Adil Shahi, Raja Bijapur yang menganut paham Syi’ah Isna Asyariyah, berusaha memisahkan wilayahnya dari Deccan. Namun, Ali Anshar tidak surut langkah. Dia terus mengintai dan mengikuti ke mana pun Abdul Jalil pergi.

Ketika Abdul Jalil tiba di wilayah Deccan, Ali Anshar menghubungi sejumlah pengikut Syi’ah Isna Asyariyah yang dikenalnya. Kepada mereka, dia mengatakan bahwa Abdul Jalil adalah seorang Alamutiah sisa-sisa pengikut Hasan bin Muhammad Sabbah al-Himyari. Abdul Jalil, menurut fitnah itu, merupakan malahidah (ateis) yang bersembunyi di belakang paham Ghalliah (Syi’ah Ghullat) yang mengajarkan kepercayaan tentang penitisan, Muhammad adalah penjelmaan Allah, dan menyesuaikan doktrin tritunggal Nasrani menjadi pancatunggal (Muhammad – Ali – Fatimah – Hasan – Husain). Kehadiran Abdul Jalil di wilayah Deccan semata-mata untuk merusak tata kehidupan masyarakat pecinta Ahlul Bait.

Selain fitnah, dia juga menyebarkan berita buruk tentang Abdul Jalil kepada sejumlah pejabat Deccan yang setia kepada Brahmani. Dikatakannya bahwa Abdul Jalil adalah pengikut Sultan Umar Syaikh Mirza, penguasa kerajaan Farghana. Abdul Jalil membawa misi sultan keturunan Timur I Lenk itu untuk memecah-belah kekuasaan raja-raja Muslim di selatan, termasuk Deccan.

Ali Anshar yang memiliki pengetahuan luas dengan mudah meyakinkan pejabat-pejabat Deccan dengan mengajukan bukti-bukti tentang adanya tengara bahwa Adil Shahi ingin memisahkan diri dari Deccan untuk menjadi raja Bijapur. Jika hal itu dibiarkan maka kekuasaan dinasti Bahmani akan hancur dalam tempo lima belas tahun mendatang. “Setelah Berar dan Bijapur lepas, bagaimana jika Golkunda, Ahmadnagar, Bidar, Gulbarga, dan Raicur ikut-ikutan memisahkan diri? Bukankah itu akan membuat dinasti Bahmani hancur berkeping-keping karena semuanya ingin menjadi raja sendiri-sendiri di wilayahnya?”

Untuk membuktikan kebenaran informasi yang disampaikan Ali Anshar, pejabat-pejabat Deccan mengirimkan beberapa kurir untuk mengawasi gerak-gerik Abdul Jalil dan pandangan-pandangannya yang dianggap membahayakan kerajaan. Dan keterangan yang disampaikan oleh Ali Anshar benar-benar ditangkap sebagai kebenaran oleh para pejabat Deccan setelah mereka mendapat laporan dari para kurir. “

Kepada kaum Muslimin, mualaf, dan dari kalangan berkasta rendah, Abdul Jalil jelas-jelas telah membakar semangat perlawanan mereka terhadap raja. Ia bercerita tentang raja tua bangka yang tetap dipertahankan menduduki takhtanya karena para pelayan dan pengawal raja tua bangka itu bermental budak. Itu yang saya ketahui tentang pengacau bernama Abdul Jalil, Tuanku,” kata kurir itu menjelaskan.

Bagi sebuah dinasti yang berusia hampir satu setengah abad, kekuasaan Bahmani atas wilayah Deccan memang semakin merosot. Korupsi di kalangan pejabat berlangsung semena-mena. Keamanaan rakyat tidak terjamin. Kemakmuran makin jauh. Pada saat seperti itu, fitnah dan adu domba berlangsung sangat mengerikan karena bermuara pada terciptanya kerusuhan yang berujung pada kematian dan kerusakan. Pihak kerajaan sendiri tidak mampu lagi bersikap arif dalam mengatasi perubahan-perubahan. Yang terjadi justru sebaliknya, pihak kerajaan menjadi sangat sensitif dan penuh curiga terhadap berita dan laporan yang acap kali hanya didasarkan pada prasangka-prasangka dan bahkan fitnah.

Abdul Jalil harus menghadapi ancaman bencana yang sewaktu-waktu dapat merenggut nyawanya. Ali Anshar yang mewarisi naluri leluhurnya, Qabil, telah memasang perangkap yang mematikan. Jika Qabil membunuh saudaranya, Habil, dengan kedua tangannya sendiri, maka Ali Anshar akan membunuh Abdul Jalil melalui kecerdikan akalnya dengan menggunakan tangan orang lain, yakni tangan kekuasaan penguasa Deccan.

Angin laut berhembus di antara rumah-rumah yang berdiri di pelabuhan Goa ketika seseorang memacu kudanya menembusi keremangan malam. Di tengah kelengangan suasana, kemunculan penunggang kuda itu menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. Saat sampai di depan sebuah rumah besar yang berdiri di pertigaan jalan ke arah pelabuhan dan pasar, penunggang kuda itu berhenti dan melompat turun dengan sigap. Tanpa menambatkan kudanya, dia langsung bergegas masuk lewat pintu belakang.

Ramchandra Gauranga, saudagar asal Khozikode (Calicut), pemilik rumah, saat itu sedang berbincang-bincang dengan tamunya ketika pelayannya memberi tahu kedatangan sang penunggang kuda yang tidak lain adalah kurirnya. “Suruh dia menunggu sebentar,” perintahnya.

Setelah berpamitan pada tamunya, ia bergegas ke belakang. Namun, tak lama kemudian ia tergopoh-gopoh menemui tamunya sambil berkata, “Celaka Tuan Abdul Malik, pasukan kerajaan baru saja masuk ke gerbang utara kota Goa. Kata kurir saya, mereka mancari Tuan Abdul Jalil yang dituduh bersekongkol dengan gerakan pemberontakan Yang Mulia Adil Shahi. Celakanya lagi, mereka tahu bahwa Tuan Abdul Jalil besok pagi akan menumpang kapal saya ke Malaka.”

Abdul Malik Israil, tamu Ramchandra Gauranga, menegrutkan kening sambil menggumam, “Dari mana mereka tahu Abdul Jalil akan naik kapal Tuan?”

“Itulah persoalannya, Tuan,” kata Ramchandra Gauranga dengan kening dipenuhi keringat dingin. “Pasukan itu pasti akan mengobrak-abrik seluruh tempat di Goa, termasuk kapal-kapal yang akan berangkat besok pagi, utamanya kapal saya.”

“Jikalau demikian, keberangkatan sahabat saya, Abdul Jalil, dan cucu saya harus dibatalkan. Saya tidak mau Tuan menerima akibat dari sesuatu yang tidak Tuan lakukan. Saya tidak ingin Tuan kecewa karena iktikad baik Tuan ternyata berbuah kesusahan,” ujar Abdul Malik Israil.

“Tuan dan sahabat serta cucu Tuan dapat berlindung di rumah saya di Bijapur. Di sana pasukan kerajaan tidak akan berani masuk karena seluruh warga Bijapur sydah memihak kepada Yang Mulia Adil Shahi. Biar nanti kurir saya yang mengantarkan Tuan ke sana,” tawar Ramchandra Gauranga.

“Terima kasih atas kebaikan hati Tuan,” kata Abdul Mailk Israil, “namun saya akan menemui sahabat dan cucu saya lebih dulu. Sekali lagi, terima kasih atas kebeikan Tuan yang sangat peduli kepada kami.”

“Itu sudah kewajiban saya sebagai kawan,” kata Ramchandra Gauranga sambil memeluk dan menepuk-nepuk bahu Abdul Malik Israil.

Setelah berpamitan, Abdul Malik Israil bergegas keluar rumah. Seorang pelayan mengantarkannya sampai ke pintu belakang. Kemudian dengan langkah cepat dia bergerak ke arah selatan, menembus keremangan malam.

Setelah beberapa jenak berjalan, tepat di tikungan dekat pasar dia bertemu dengan Abdul Jalil, Syarif Hidayat, dan Fadillah Ahmad. Rupanya, saat Abdul Malik Israil bertamu ke rumah Ramchandra Gauranga untuk menegaskan keberangkatan mereka ke Malaka esok pagi, ketiganya menunggu di pinggir jalan. Abdul Jalil tampaknya sudah menangkap gelagat tidak baik jika ia juga ikut bertamu. Itu sebabnya, ia memilih menunggu di luar.

Berita yang dibawa Abdul Malik Israil bahwa pasukan dari Deccan telah masuk ke gerbang utara kota Goa untuk mencari Abdul Jalil diterima dengan tarikan napas berat. Setelah berdiam beberapa jenak, ia kemudian berkata dengan suara datar, “Andaikata aku ikut ke rumah Ramchandra, kenalan saudaraku Malik Israil, tentulah dia akan menerima musibah dari kehadiranku. Dia akan celakan oleh sesuatu yang dianggapnya baik, yaitu menolong orang yang membutuhkan bantuannya. Namun, Allah Maha Mengatur semuanya.”

“Ramchandra tadi menawari aku untuk berlindung di rumahnya di Bijapur,” kata Abdul Malik Israil. “Menurutnya, pasukan kerajaan tidak berani melakukan tidakan apa-apa di wilayah kekuasaan Adil Shahi.”

“Ramchandra memang orang baik,” kata Abdul Jalil. “Namun, demi kebaikan bersama maka kita harus menolak tawarannya. Sebab, jika kita menerima kebaikannya itu, tidak ada yang menjamin bahwa Ramchandra tidak bakal menemui kesulitan dengan kaki tangan Adil Shahi.”

“Aku juga berpikir demikian,” sahut Abdul Malik Israil, “karena bagaimana pun, Ramchandra adalah saudagar asal Calicut. Dia warga Wijayanagar dan beragama Hindu. Selama ini ia tinggal di Goa karena mendapat perintah dari permaisuri untuk mengawasi Pangeran Bharatchandra Jagaddhatri, putera Maharaja Wijayanagar, yang meninggalkan istana dan menjalani hidup sebagai brahmin gelandangan.”

Ketika Abdul Malik Israil hendak melanjutkan kata-kata, tiba-tiba dari arah utara terdengar hingar-bingar memecah kegelapan. Makin lama suara itu makin mendekat.

“Itu pasti suara pasukan kuda kerajaan,” kata Abdul Jalil.

“Ya, itu suara derap ladam kuda,” kata Abdul Malik Israil.

“Tuan Syaikh,” Fadillah Ahmad menyela dengan suara bergetar, “kita harus pergi dari sini sebelum pasukan kerajaan menemukan Tuan.”

Abdul Jalil diam seolah tidak menghiraukan ucapan Fadillah Ahmad. Sebaliknya, ia bersujud ke hamparan jalan berdebu sambil menggumam lirih, “Ya Allah, jika Engkau hendak menguji hamba dengan rasa takut maka hamba memohon kepada-Mu agar hamba senantiasa dikuatkan dan diteguhkan dalam keberanian. Sungguh, hanya Engkau yang hamba takuti. Hamba yakin pasukan-pasukan berkuda itu hanya ‘alat’ yang Engkau jadikan sarana untuk menguji iman hamba.”

Beberapa jenak bersujud, Abdul Jalil lantas berdiri. Ia menyaksikan Fadillah Ahmad tegak di depannya dengan wajah pucat dan tangan gemetar. Abdul Jalil tersenyum. Kemudian dengan suara mantap ia menyitir ayat-ayat Al-Qur’an, “Sungguh Allah akan memberikan ujian kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, dan jiwa ....... Sampaikan kabar gembira bagi mereka yang sabar, yaitu mereka yang jika ditimpa musibah mengucapkan inna li Allahi wa inna ilaihi raji’un (QS al-Baqarah:155-156). Bagaimana manusia bisa digolongkan sebagai orang sabar sehingga dapat bersama-sama dengan ash-Shabur, jika kiblat hati dan pikirannya berubah arah hanya dikarenakan munculnya manusia-manusia penunggang kuda yang mencari orang di dekatnya?”

“Tuan Syaikh, maafkan saya,” kata Fadillah Ahmad dengan bibir bergetar dan suara terbata-bata, “Saya paham bahwa Tuan Syaikh telah mengenal Allah lebih dari saya. Tuan Syaikh telah membuktikan keberadaan Allah. Karenaitu, kiblat hati dan pikiran Tuan tidak berubah arah ketika Tuan menghadapi ujian yang berat dari-Nya. Tetapi saya, Tuan Syaikh, saya hanya kenal Allah dari cerita ayah, ibu, guru mengaji, kawan-kawan, dan dari Tuan Syaikh sendiri. Jujur saja saya katakan bahwa saya masih sering ragu dan melupakan keberadaan Allah. Saya masih terpengaruh oleh segala sesuatu di sekitar saya yang bisa ditangkap indera. Sementara Allah, hanya saya kenal dari dalil-dalil kitab yang saya baca. Itu sebabnya, o Tuan Syaikh, sekarang ini saya benar-benar takut mendengar kabar bahwa pasukan kerajaan sedang mencari Tuan. Maafkan saya, Tuan Syaikh.”

Badul Jalil tersenyum mendengar kepolosan Fadillah Ahmad. Tanpa berkomentar apa pun, kembali ia menyitir ayat-ayat Al-Qur’an, “Sungguh engkau akan diuji dengan harta dan jiwamu (QS Ali Imran:186). Jika Allah menghendaki, niscaya Allah akan menghancurkan mereka, namun Allah hendak menguji sebagian engkau dengan sebagian yang lain (QS Muhammad:4). Janganlah engkau takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku agar Aku sempurnakan nikmat-Ku atasmu dan agar engkau mendapat petunjuk (QS al-Baqarah:150).”

“Janganlah rasa takut terhadap sesuatu selain Allah membuatmu kehilangan keyakinanmu kepada-Nya. Janganlah engkau mengikuti jejak murid Nabi Isa yang karena rasa takutnya tak terkendali ketika pasukan kerajaan mencari gurunya maka sebelum ayam berkokok dia telah mengingkari gurunya tiga kali. Sebaliknya, ikutilah jejak sahabat Abu Thalhah yang menyediakan dadanya untuk melindungi Rasulullah Saw. dari panah musuh saat perang Uhud. Ikuti juga jejak Abu Dujanah yang melindungi Rasulullah Saw. dengan menyediakan punggungnya sebagai perisai untuk panah-panah yang dibidikkan musuh!”

“Tapi, dengan cara bagaimana saya mengatasi rasa takut ini, o Tuan Syaikh?” Fadillah Ahmad terbata-bata.

“Duduklah!” kata Abdul Jalil menekan bahu Fadillah Ahmad ke bawah.

Fadillah Ahmad yang tertekan bahunya langsung duduk bersila dengan dada turun naik menahan gejolak perasaan.

“Pejamkan matamu!” kata Abdul Jalildengan suara ditekan. “Atur napasmu! Tutup telinga inderamu dari mendengar sesuatu di sekitarmu! Arahkan kiblat kesadaran hati dan pikiranmu ke cahaya di antara kedua matamu sebagaimana yang telah aku ajarkan!”

Fadillah Ahmad mengikuti perintah Abdul Jalil.

Setelah melihat Fadillah Ahmad tenggelam dalam konsentrasi, Abdul Jalil mendekati Syarif Hidayat dan berkata, “Apakah engkau tidak takut, Anakku?”

“Saya tadi sempat takut, Paman,” kata Syarif Hidayat polos, “namun sekarang tidak lagi. Rasa takut saya sudah hilang.”

“Kenapa?” tanya Abdul Jalil.

“Karena saya segera sadar bahwa saya sekarang ini bersama Paman dan Kakek saya, yaitu orang-orang yang dicintai Allah. Jadi, saya sangat yakin Allah pasti akan menolong Paman dan Kakek saya,” kata Syarif Hidayat.

Abdul Jalil tertawa. Abdul Malik Israil juga tertawa.

Sementara itu, pasukan berkuda kerajaan yang telah sampai di pertigaan jalan berpencar menjadi dua kelompok. Kelompok pertama bergerak ke arah pelabuhan. Kelompok kedua bergerak menuju pasar.

Syarif Hidayat, yang melihat betapa pasukan berkuda itu bergerak ke arah mereka, segera berseru, “Paman! Kakek! Orang-orang berkuda itu ke sini!”

Abdul Malik Israil menoleh ke arah pertigaan jalan. Dengan cepat dia menggandeng tangan Syarif Hidayat dan mengajaknya ke lorong yang memisahkan deretan rumah dengan pasar. Sementara Abdul Jalil dengan tenang menunduk sambil menepuk bahu Fadillah Ahmad dan menggumam, “Bangunlah!”

Fadillah Ahmad membuka mata sambil berkata, “Rasa takut saya sudah agak berkurang, Tuan Syaikh.”

“Kalau begitu, ikuti aku!” kata Abdul Jalil menarik tangan Fadillah Ahmad dan mengajaknya berjalan ke arah lorong mengikuti jejak Abdul Malik Israil dan Syarif Hidayat.

Dari dalam lorong yang gelap, dengan jelas mereka menyaksikan pasukan berkuda itu bergerak di jalan yang jaraknya hanya tujuh tombak dari persembunyian mereka. Saat itulah Fadillah Ahmad menyaksikan pedagang budak, yang kemarin dilihatnya duduk di kereta, ada bersama para penunggang kuda.

“Bukankah itu pedagang budak yang Tuan Syaikh tunjukkan kepada saya?” gumamnya dengan kening berkerut bercampur terkejut.

Abdul Jalil mengangguk sambil memberi isyarat agar diam. Fadillah Ahmad terdiam. Namun, dalam hati dia membenarkan ucapan guru ruhaninya itu, betapa pedagang budak itu pada hakikatnya memang bukan saudara sesama pemuja Allah. Entah untuk alasan duniawi apa sehingga pedagang budak itu ikut bersama pasukan kerajaan mencari gurunya.

Ketika sedang memikirkan kebenaran demi kebenaran yang telah diungkapkan oleh Abdul Jalil, tiba-tiba saja ia merasakan denyut jantungnya lenyap tatkala pasukan berkuda itu berhenti tepat di depan pasar dekat dengan tempat persembunyian mereka. Darahnya serasa berhenti mengalir. Dadanya bagai lautan diaduk gelombang yang mengguncangkan jiwa. Namun, cepat-cepat ia menarik napas untuk meneguhkan keberanian. Ia berusaha membulatkan tekad untuk menghadapi bahaya apa pun bersama dengan gurunya.

Beberapa jenak setelah pasukan berkuda itu berhenti, tiba-tiba pemimpin pasukan yang berada di barisan paling depan mengangkat pedangnya ke atas. Kemudian dengan teriakan keras dan tudingan ke arah depan, menghamburlah pasukan berkuda ke arah pasar dan rumah-rumah di sekitarnya. Bagaikan kawanan pemburu mengejar mangsa yang tersembunyi di semak-semak belukar, mereka mengobrak-abrik seluruh isi pasar dan dengan beringas menggedor setiap pintu rumah.

Di tengah hujaman rasa takut dan gentar, tanpa sadar Fadillah Ahmad memejamkan mata dengan perasaan panik ketika dia melihat beberapa penunggang kuda bergerak ke arah lorong. Dia genggam lengan Abdul Jalil erat-erat dan menahan napas ketika telinganya mendengar detak ladam kuda makin mendekat. Kelebatan bayangan prajurit-prajurit ganas yang mengerikan memasuki benaknya ganti-berganti, makin membuatnya tegang dan panik.

Ketika jarak mereka tinggal satu tombak, terdengar salah seorang prajurit berseru keras, “Itu dia yang kita cari. Tangkap! Tangkap!”

Dalam sekejap para penunggang kuda berhamburan. Bukan ke arah lorong, melainkan ke arah pasar. Mereka berteriak-teriak keras. Abdul Jalil dengan sigap menutup mulut Fadillah Ahmad yang hendak memekik dengan tangan kanannya. Suara caci maki dan detak ladam kuda sahut-menyahut dan sela-menyela, membelah keheningan malam.

“Seret dia kemari!”

“Cari kawannya!”

“Pancung saja kepalanya!”

“Gantung di gerbang kota biar jadi contoh yang lain.”

“Ayo menyebar! Cari kawan-kawannya!”

Fadillah Ahmad yang masih memejamkan mata sudah membayangkan bagaimana guru yang dimuliakannya itu ditangkap dan diseret beramai-ramai oleh orang-orang berkuda. Dia bayangkan betapa dengan keganasan tiada tara gurunya dihajar dan dicambuk hingga tersungkur ke tanah. Diterkam oleh lintasan-lintasan bayangan yang berkelebatan memasuki benaknya dia pun nekat membela gurunya. Namun, saat dia meronta dan membuka matanya, sadarlah dia bahwa guru mulia yang dihormatinya itu masih berada di sisinya. Dia baru sadar jika tangannya menggenggam erat-erat lengan gurunya.

“Siapakah yang ditangkap, Tuan Syaikh?” kata Fadillah gemetar.

“Dia berteriak-teriak, mengaku pencuri,” sahut Abdul Jalil.

Fadillah Ahmad menarik napas lega. Namun, sedetik sesudah itu ketegangan kembali merayapi aliran darahnya ketika seorang penunggang kuda menuju ke arah lorong persembunyiannya sambil berteriak-teriak. Tidak bisa tidak, serunya dalam hati, dia pasti akan menemukan kami karena lorong ini satu arah.

Saat penunggang kuda sudah berada di ujung lorong, muncul bayangan manusia berkelebat. Sekejap kemudian, di antara keremangan, tampaklah sosok Brahmin yang dengan tegar berdiri menghadang penunggang kuda. Samar-samar terlihat brahmin itu menggerak-gerakkan tangannya seolah-olah menyuruh penunggang kuda berbalik arah. Anehnya, bagai tersihir, penunggang kuda itu menarik kendali kudanya, tidak jadi masuk ke lorong.

Beberapa jenak setelah berdiri di ujung lorong, Brahmin itu membalikkan badan dan melangkah ke dalam. Dengan sikap tidak peduli dia berjalan dengan langkah lebar. Ketika malewati Abdul Jalil, brahmin itu berkata dengan suara dingin, “Ikutilah saya jika Tuan-Tuan ingin selamat dari terkaman hewan-hewan pemangsa yang buas itu.”

Dengan beriringan mereka mengikuti langkah Brahmin yang berjalan cepat menembusi kegelapan lorong. Ketika sampai di ujung lorong yang mengarah ke pantai, dia menghentikan langkah. Kemudian dengan isyarat tangan, dia memerintahkan agar semuanya merunduk. Rupanya, empat orang penunggang kuda sedang melintas di depan jalan.

Ketika penunggang kuda paling belakang sudah berlalu, Brahmin dengan cepat berlari ke seberang jalan sambil tangannya memberi isyarat agar mereka mengikutinya. Abdul Jalil dan yang lainnya bergegas mengikuti Brahmin yang begitu sampai di seberang jalan, bayangannya langsung menghilang. Ternyata di sana terdapat parit kering yang menuju ke arah laut. Melalui parit itulah mereka sampai di pantai selatan pelabuhan Goa.

Setelah sekitar seperempat jam berjalan, sampailah mereka di suatu tempat yang ditumbuhi pohon-pohon Chatka dan Saptaparna. Di tempat itu telah menunggu tiga laki-laki berkulit legam yang membawa lima ekor kuda. Ketiga orang itu rupanya adalah pengikut Brahmin. Itu terlihat dari sikap mereka yang sangat hormat kepadanya.

Brahmin yang kemudian dikenali oleh Abdul Jalil dan Abdul Malik Israil sebagai Pangeran Bharatchandra Jagaddhatri, tanpa berkata sesuatu mempersilakan mereka menaiki kuda. Namun, Abdul Jalil tidak segera naik, sebaliknya ia melangkah mendekat sambil berkata lirih, “Saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan Pangeran Bharatchandra Jagaddhatri yang telah menolong kami.”

“Tuan mengenal saya?” tanya Brahmin mengerutkan kening. “Apakah Tuan diberi tahu oleh Ramchandra Gauranga?”

“Sejak pertama kali melihat Tuan duduk di pertigaan jalan, saya telah mengenali siapa Tuan sebenarnya,” kata Abdul Jalil menjabat tangan Brahmin, “yaitu, seorang manusia yang jauh lebih agung dan lebih mulia daripada takhta yang ditinggalkannya. Bahkan saat Tuan barusan tadi menyebut penunggang kuda itu dengan sebutan hewan pemangsa yang buas, saya makin yakin bahwa Tuan benar-benar telah melihat kenyataan bahwa para penunggang kuda itu adalah manusia-manusia yang mengerikan karena mereka membawa hewan buas pemangsa di dalam diri mereka. Tuan telah “terbangun” dari tidur sesaat di dunia ini dan menyaksikan kenyataan yang sebenarnya dari kehidupan ini.”

Brahmin tercengang makna-makna di balik pembicaraan Abdul Jalil. Itu sebabnya, dengan pandangan tajam dia menatap mata Abdul Jalil seolah ingin mengukur kedalaman jiwanya. Namun, setelah beberapa jenak dia tertawa terkekeh-kekeh dan merangkul erat-erat Abdul Jalil sambil menggumam, “Pantas saja hati saya tergerak untuk menolong Tuan, ternyata Tuan bukanlah orang lain, melainkan diri saya sendiri yang terpisah karena kehendak-Nya.”

Fadillah Ahmad, Syarif Hidayat, dan ketiga orang berkulit hitam itu tercengang keheranan melihat adegan aneh itu. Mereka benar-benar tidak bisa memahami apa yang sebenarnya telah terjadi, terutama ketika mendengar isi pembicaraan keduanya. Bahkan yang paling takjub adalah ketiga orang berkulit hitam yang sepanjang hidupnya belum pernah melihat junjungannya itu tersenyum apalagi tertawa. Lantaran itu, mereka bertiga merasakan seolah-olah sedang bermimpi.

Pembicaraan yang akrab dan aneh antara Abdul Jalil dan Bharatchandra Jagaddhatri ternyata tak berlangsung lama. Sebab, dari arah utara terdengar suara hingar-bingar suara derap kaki kuda dan jeritan sahut menyahut dari para penunggangnya.

“Perahunya di mana, Tamrej?” seru Brahmin kepada salah seorang lelaki berkulit hitam yang bertubuh paling tinggi.

“Di pantai Karwar, Yang Mulia,” sahut Tamrej takzim.

“jauh sekali.”

“Tero, teman hamba, tidak berani berlabuh dekat Goa,” kata Tamrej.

“Jika begitu, larilah engkau dan kawan-kawanmu ke arah pantai. Biar aku akan mengalihkan perhatian mereka,” kata Bharatchandra Jagaddhatri tegas.

Dengan penuh takzim Tamrej dan kedua kawannya melakukan anjali (menghormat dengan dua tangan seperti menyembah) kepada Bharatchandra Jagaddhatri. Kemudian bagaikan terbang, mereka melesat ke arah pantai yang menuju Karwar. Dalam tempo singkat, mereka telah hilang ditelan kegelapan malam.

“Saudaraku,” seru Bharatchandra Jagaddhatri kepada Abdul Jalil, “cepatlah berpacu ke arah selatan dengan menyisir pantai. Perahu yang akan membawamu ke Calicut sudah menunggu di sana. Cepatlah! Tero sudah menunggumu!”

Abdul Jalil menarik napas berat sambil menatap dalam-dalam mata Bharatchandra Jagaddhatri. Ada semacam rasa berat menggelayuti hatinya. Namun, dengan terpaksa ia menaiki kudanya.

Saat ia baru saja duduk di atas pelana, tiba-tiba Bharatchandra Jagaddhatri menepuk keras pantat kuda yang ditungganginya. Merasa kaget, kuda Abdul Jalil melonjak dan meringkik, kemudian melesat ke arah selatan dengan membawa penunggangnya. Abdul Malik Israil, Syarif Hidayat, dan Fadillah Ahmad yang sudah menunggu, secara serentak memacu kudanya mengikuti Abdul Jalil.

Bharatchandra Jagaddhatri ternyata tidak kehilangan kemampuannya menunggang kuda, meski dia telah bertahun-tahun hidup sebagai brahmin. Dengan gesit dia melompat ke atas punggung kuda dan kemudian memacunya dengan gerakan melingkar dan berputar-putar. Bharatchandra Jagaddhatri seolah-olah menunggu kehadiran pasukan pemburu Abdul Jalil.

Beberapa jenak menunggu, dia melihat bayangan tujuh ekor kuda beserta penunggangnya bergerak cepat ke arahnya. Makin lama makin dekat. Debu mengepul. Dengan tenang, Bharatchandra menghadapkan kudanya ke arah datangnya ketujuh penunggang. Kemudian dia membungkukkan badan seolah-olah hendak merangkul leher kudanya.

Ketika bayangan tujuh ekor kuda itu makin dekat, tampaklah para penunggangnya mengacungkan pedang sambil berteriak-teriak. Bharatchandra bergeming dan tetap membungkukkan badan. Penunggang kuda paling depan mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, hendak diayun menebas ke arah depan. Bharatchandra tetap menunggu.

Saat jarak mereka tinggal sekitar dua tombak, tiba-tiba penunggang kuda terdepan menebaskan pedangnya tepat ke arah kepala Bharatchandra. Angin maut berdesir. Bharatchandra menjatuhkan tubuhnya ke samping kiri lambung kuda tunggangannya dengan kaki masih melekat di pijakan pelana.

Tebasan pedang mengenai angin kosong. Kemudian bagai didorong kekuatan raksasa, penunggang kuda itu melesat ke selatan diikuti oleh kawan-kawannya. Bharatchandra tegak kembali di atas kudanya. Sedetik kemudian dia sudah melesat ke arah utara menuju pasar.

Ketujuh penunggang kuda itu berteriak-teriak marah. Mereka berbalik arah. Kemudian sambil mencaci-maki, mereka memburu Bharatchandra. Namun, arah utara yang dituju Bharatchandra ternyata hanya siasat. Setelah berlari cepat sejauh tujuh puluh tombak, tiba-tiba dia membelokkan kudanya ke timur. Bagaikan hendak mengejek para pemburunya, Bharatchandra sengaja memperlambat lari kudanya.

Ketujuh penunggang kuda yang sudah dirasuk amarah itu dengan sumpah serapah yang kasar terus memburu ke mana pun Bharatchandra memacu kudanya. Dada mereka bahkan hendak meledak ketika melihat Bharatchandra mempermainkan irama lari kudanya. Kadang lambat dan kadang cepat. Mereka terus memburu Bharatchandra hingga tidak sadar telah masuk ke kawasan selatan Belgaum yang dikuasai oleh para pengikut Adil Shahi.

Sementara itu, tanpa menemui kesulitan berarti rombingan Abdul Jalil telah mencapai pantai Karwar. Tero, pemilik perahu, sudah gelisah menunggu kehadiran junjungannya yang sampai larut malam belum juga datang. Dia merasa lega ketika melihat bayangan empat orang dari arah utara. Namun, betapa kecewanya Tero saat mengetahui bahwa junjungannya tidak ikut bersama mereka.

Tero hampir tidak mempercayai bahwa Abdul Jalil adalah kawan Bharatchandra, junjungannya. Dia baru yakin setelah Tamrej beserta kedua kawannya menyusul ke tempat itu dan menjelaskan bahwa Abdul Jalil dan kawan-kawan adalah sahabat junjungannya. Meski demikian, tak urung hatinya diamuk gelisah tak bertepi.

Sebenarnya, bukan hanya Tero yang gelisah menunggu kehadiran Bharatchandra. Mereka semua malihat ke arah utara dengan hati berdebar-debar. Waktu berjalan begitu lambat dan menyiksa.

Ketika kabut mulai turun menyelimuti bumi, pertanda dinihari, tiba-tiba Abdul Jalil menangkap sasmita bahwa sesuatu yang tidak diharapkan telah terjadi pada diri Bharatchandra. Itu sebabnya, ia bangkit dari duduk dan melangkah ke arah kuda tunggangannya. Ia memutuskan menyusul Bharatchandra apa pun resiko yang bakal dihadapinya.

“Tuan Syaikh mau kemana?” tanya Fadillah Ahmad.

“Aku hendak menyusul saudaraku, Bharatchandra Jagaddhatri. Aku merasa ada sesuatu yang tidak kita harapkan telah terjadi padanya. Aku akan menjemputnya apa pun resiko yang akan aku hadapi.”

“Tuan,” seru Tamrej menyela, “Tuan jangan pergi. Yang Mulia Bharatchandra Jagaddhatri telah mewanti-wanti kami agar membawa Tuan ke Calicut, apa pun yang terjadi dengan kami. Karena itu, Tuan, biarlah kami saja yang menyusul junjungan kami. Biarlah Tuan menunggu di sini.”

Namun, belum lagi Tamrej melanjutkan kata-katanya, Abdul Jalil melihat bayangan kuda hitam berjalan dari arah utara. Tanpa menunggu waktu, ia langsung berlari ke arah kuda yang berjalan sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dan ternyata, di atas punggung kuda itu telah terkulai tubuh Bharatchandra Jagaddhatri dengan posisi tertelungkup. Di punggungnya tertancap sebatang anak panah.

“Saudaraku, apa yang terjadi?” seru Abdul Jalil sambil menurunkan Bharatchandra.

Bharatchandra adalah manusia yang memiliki daya tahan luar biasa dan kuat menahan rasa sakit. Dia hanya tersenyum sambil menggumam, “Aku terkena panah nyasar. Namun, tujuh orang penunggang kuda yang memburuku mati semua dihabisi orang-orang Adil Shahi.”

Angin pagi berembus kering menerpa daun-daun kelapa yang berjajar di sepanjang pantai barat Wijayanagar. Di bawah bayangan pohon kelapa di utara pelabuhan Calicut, Abdul Jalil berdiri tegak memandang ke arah laut yang menggelora. Di samping kirinya berdiri Syarif Hidayat dan Fadillah Ahmad. Di samping kanannya berdiri Bharatchandra Jagaddhatri.

Bagaikan melihat bentangan gambar kehidupannya tergelar di hamparan lautan, ia merasakan dirinya bagai seorang anak yang akan pergi bermain ke tengah lautan. Ia bayangkan dirinya berlari-lari di atas gelombang. Dan saat itu, ia merasakan sentuhan lembut menyentuh kedalaman jiwanya seiring kelebatan bayangan orang-orang yang dicintainya, yang tertinggal nun jauh di dalam selimut halimun kenangan indahnya.

Ia teringat saat kali pertama meninggalkan tanah kelahiran tercinta, Caruban Girang. Saat itu, ia merasa sedih dan pilu menyayat jiwanya. Ia rasakan kehampaan memenuhi dadanya. Ia benar-benar merasakan sentakan pedih ketika harus melepaskan diri dari orang-orang yang dicintainya. Namun, kini, setelah peristiwa itu berlalu puluhan tahun silam, ia tidak merasakan kepedihan dan kepiluan apa-apa dari kepergiannya meninggalkan mereka yang dekat dengannya. Ia justru merasakan dirinya seperti anak-anak yang sedang bermain penuh kegembiraan.

Ketika pandang matanya diarahkan ke utara, ia saksikan kapal yang bakal dinaikinya diliputi kesibukan luar biasa. Sebagian awak ada yang mengatur tali-temali, menata layar, mengikat peti-peti, dan ada beberapa yang naik ke anjungan.

Menyaksikan kesibukan di atas kapal, ia tahu bahwa beberapa saat lagi ia akan berangkat merenangi lautan menuju Malaka. Itu berarti ia akan mengalami babak baru kehidupan sebagai bagian dari alur cerita yang ditentukan-Nya. Itu sebabnya, sebelum menaiki kapal, ia memberi amanat kepada Fadillah Ahmad untuk secepatnya kembali ke Ahmadabad dan mengambil baiat kepada Syaikh Abdul Ghafur Muffaridun al-Gujarati.

“Engkau lebih dibutuhkan di Ahmadabad,” ujar Abdul Jalil.

“Tapi Tuan Syaikh,” ujar Fadillah Ahmad, “Bolehkah saya bertanya sesuatu tentang Tarekat asy-Syatariyyah yang Tuan suruh saya berbaiat kepadanya?”

“Apa yang engkau tanyakan?”

“Saat di Belgaum, Tuan Syaikh meminta saya untuk berbaiat Tarekat asy-Suatariyyah. Saya merasa heran karena saya yang tinggal di Ahmadabad bertahun-tahun belum sedikit pun pernah mendengar nama tarekat seperti itu. Bahkan saat saya renung-renungkan, sepanjang pengetahuan saya tidak ada tarekat seperti itu di Ahmadabad. Apakah Tarekat asy-Syatariyyah itu sama rahasianya dengan Tarekat al-Akmaliyyah?” tanya Fadillah Ahmad.

Abdul Jalil tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala mendengar pertanyaan Fadillah Ahmad. Ia sadar bahwa apa yang disampaikannya itu memang tidak lazim. Itu sebabnya, ia segera memberi penjelasan, “Aku telah keliru menyebutkan istilah asy-Syatariyyah kepadamu. Karena, engkau cari sampai ke ujung dunia pun, engkau tidak akan mendapati Tarekat asy-Syatariyyah.”

“Ketahuilah, o salik, bahwa Tarekat asy-Syatariyyah adalah sebutan rahasia bagi tarekat yang diajarkan oleh kalangan Alawiyyin, khususnya dari keturunan Syaikh Abdul Malik al-Qozam. Sebutan tarekat itu sendiri adalah ajaran rahasia yang diajarkan turun-temurun dari kalangan Ahlul Bait Rasulullah Saw., yaitu dari Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husein, Imam Ali Zainal Abidin, Imam al-Baqir, Imam Ja’far Shadiq, dan seterusnya hingga akhir zaman nanti. Tarekat itu ada yang menyebut dengan nama Ja’fariyyah yang dibangsakan (dinisbatkan)kepada Imam Ja’far Shadiq. Namun, ada juga yang menggunakan sebutan lain.”

“Tarekat asy-Syatariyyah adalah sebutan yang diberikan oleh kakek buyutku Syaikh Sayyid Amir Abdullah Khanuddin. Aku sendiri semula tidak tahu kenapa beliau menamakan tarekat yang diajarkannya demikian. Namun, belakangan baru aku tahu bahwa hal itu terkait dengan rahasia-Nya. Jadi, kupesankan kepadamu, o Salik, bahwa mulai saat ini jangan sekali-kali engkau secara terbuka menyebut Tarekat asy-Syatariyyah di mana pun dan kepada siapa pun. Karena, sekali engkau menyebut-nyebutnya berarti engkau telah membuka rahasia-Nya.”

“Kenapa demikian, o Tuan Syaikh?” Fadillah Ahmad heran.

“Karena, Tarekat asy-Syatariyyah baru diajarkan secara terbuka barang seratus tahun lagi dari sekarang. Saat ini, tarekat ini diajarkan sangat tertutup kepada kalangan terbatas, terutama di kalangan Alawiyyin. Karena itu, meskipun diam-diam banyak orang mengamalkan tarekat ini, diharamkan bagi mereka untuk menyebutkan secara terbuka nama Syatariyyah. Itu sebabnya, sekarang ini tidak akan engkau dapati sebutan Syatariyyah di mana pun di negeri Gujarat. Sebab, dia yang akan mengajarkan Tarekat asy-Syatariyyah secara terbuka, hidupnya sezaman dengan cucuku. Jadi, aku pun tidak akan bertemu dia,” ujar Abdul Jalil.

Fadillah Ahmad termangu sambil mengangguk-angguk takjub. Sungguh dia nyaris tidak bisa memahami bagaimana mungkin ajaran yang bakal lahir seratus tahun lagi sudah bisa diketahui saat ini. Namun, selama mendampingi Abdul Jalil sejak di Belgaum, Fadillah Ahmad yakin sekali bahwa Tuan Syaikhnya itu adalah kekasih Allah yang diliputi barokah dan karomah pengetahuan ilahiah yang penuh keajaiban. Karena itu, tak perlu lagi ada yang ditanyakan terhadap uraiannya tentang Tarekat asy-Syatariyyah. Bahkan diam-diam ia bangga karena akan berbaiat suatu tarekat yang baru dikenal orang seratus tahun lagi.

Ketika layar-layar kapal mulai dibentangkan, Abdul Jalil memegang erat tangan Bharatchandra Jagaddhatri, Brahmin yang telah begitu berkesan dalam jiwanya, meski dipertemukan dalam tempo singkat. Ia pandangi matanya yang teduh bagai telaga. Ia saksikan getar-getar ilahiah yang memancar dari keteduhan jiwanya. Dan bagaikan hendak berpisah dengan dirinya sendiri, ia merasakan jiwanya menyentak-nyentak kesadarannya.

Tak berbeda dengan Abdul Jalil, Bharatchandra Jagaddhatri pun merasakan semacam kehilangan merajalela di jiwanya. Namun, secepat itu dia sadar bahwa keterikatan antara dia dan Abdul Jalil adalah keterikatan jiwa yang satu, yang sudah tersingkap selubungnya. Itu sebabnya, sambil menarik napas berat dia kemudian menggumam, “Bagaikan anak-anak berlari di pantai, kita akan bermain penuh kegembiraan. Namun, jika sore menjelang kita akan pulang ke rumah kita yang sejati. Kapankah kita akan bertemu lagi di pantai yang lain?”

“Saudaraku, di mana pun pantai adalah sama, meski namanya berbeda. Tapi, satu hal yang hendak kutanyakan kepadamu, o Saudaraku,” kata Abdul Jalil.

“Tentang apa?”

“Apakah engkau tetap dengan tekadmu untuk pergi dari kerajaan dan menyerahkan takhta kepada adikmu?” tanya Abdul Jalil.

Bharatchandra Jagaddhatri mengangguk sambil tersenyum.

Abdul Jalil tersenyum lebar dan kemudian merangkul Bharatchandra Jagaddhatri sambil berbisik lirih, “Dia yang meninggalkan kerajaan dan kemuliaan duniawi tentu lebih mulia dari kerajaan dan kemuliaan duniawi.”

Sayap malam yang terbentang menutupi permukaan bumi telah terangkat ketika cahaya merah sang surya mulai membias tipis di ufuk timur. Angin berdesau di pepohonan menghamburkan hawa dingin di antara tetes-tetes embun pagi. Di kejauhan terdengar pukulan bedug ditabuh bertalu-talu pertanda waktu subuh datang menjelang.

Di pendapa ndalem Pemelekaran, di bawah pancaran cahaya pelita yang bergoyang-goyang, Ki Gedeng Pasambangan duduk bersila dengan punggung disandarkan pada tiang saka, dengan mata menatap ke depan seolah-olah melihat keremangan pagi yang diliputi kabut. Setelah bercerita semalaman, dia kelihatan lelah. Itu sebabnya, setelah berhenti sesaat dan menarik napas dalam-dalam, dengan senyum mengembang dalam mata tuanya, dia melanjutkan ceritanya. “Setelah Syaikh Datuk Abdul Jalil berangkat dari Calicut dan kapal yang ditumpanginya berlabuh di Pasai, ia tinggal selama sebulan di situ, di kediaman sahabat yang dikenalnya sewaktu haji, Husein bin Amir Muhammad. Di Pasai, dalam waktu singkat ia telah memiliki tiga pengikut dari antara pembesar Pasai, yakni Orang Kaya Kenayan, Abdullah Kandang, dan Abdurrahman Singkel. Namun, suasana perang yang terjadi antara Sultan Zainal Abidin dan adiknya yang berlarut-larut, telah menyebabkan ia harus cepat-cepat meninggalkan Pasai menuju Malaka. Di Malaka, dia mendapati uwaknya, Syaikh Datuk Ahmad, telah wafat. Maka, ia pun segera bertolak ke Palembang untuk berziarah ke makam Ario Abdillah di Pedamaran. Sesudah itu, ia pergi ke Caruban.” “

Begitulah Raden, kisah sahabat dan guru Aki, Syaikh Datuk Abdul Jalil. Cerita Aki disudahi dulu sampai di sini. Soalnya, tidak terasa sudah semalam suntuk Aki bercerita. Sekarang waktu subuh sudah datang.” “

Ah, maafkan saya karena telah menyusahkan Aki,” ujar Raden Ketib merendah. “Namun, sungguh saya tidak sadar telah semalam suntuk mendengar cerita Aki yang begitu menarik dan memukau. Saya merasakan seperti sedang bermimpi ketika mendengar cerita Aki tentang liku-liku perjalanan Syaikh Datuk Abdul Jalil dalam mencari Kebenaran Sejati.” “

Sebelumnya Aki mohon maaf, Raden, jika dalam bercerita ada hal-hal yang tidak sengaja atau sengaja Aki tambah-tambahi tentang sahabat dan guru Aki itu. Namun, itulah garis besar perjalanannya di dalam mencari Kebenaran Sejati. Apakah Raden menganggap dia orang sesat atau tidak, itu terserah sepenuhnya kepada Raden,” Ki Gedeng Pasambangan tertawa hangat. “

Setelah mendengar cerita Aki, mana mungkin saya berani gegabah menuduh ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil sebagai ajaran sesat. Namun, yang saya herankan kenapa beliau sampai mengalami nasib begitu memilukan? Karena itu, saya mohon agar Aki berkenan menceritakan kepada saya kelanjutan kisah Syaikh Datuk Abdul Jalil sampai tuntas,” kata Raden Ketib berharap.

Ki Gedeng Pasambangan mengangguk sambil tertawa hangat. Setelah itu, dia berdiri dan melangkah menuju ke masjid diikuti oleh Raden Ketib.

Usai shalat subuh dan keduanya hendak berpisah, Raden Ketib dengan agak ragu-ragu bertanya, “Sebelum kita berpisah, apakah Aki membpunyai warisan berharga dari Syaikh Datuk Abdul Jalil yang bisa Aki ajarkan kepada saya?”

Ki Gedeng Pasambangan tersenyum hangat memandangi Raden Ketib dengan tenang dan damai. Raden Ketib, memandang Ki Gedeng Pasambangan dengan pandangan penuh harapan.

Beberapa jenak terdiam, Ki Gedeng Pasambangan tersenyum hangat mengulurkan tangan kanannya sambil berbisik lirih, “Jabatlah tanganku! Mendekatlah kemari! Dan pejamkan matamu!”

Dengan keheranan dan benak diliputi tanda tanya, Raden Ketib menjabat tangan kanan Ki Gedeng Pasambangan dan mendekatkan tubuhnya. Ia memajamkan matanya. Tangan kiri Ki Gedeng Pasambangan kemudian memegang bahunya. Beberapa jenak Raden Ketib merasakan keheningan meliputi dirinya. Dan saat itulah dengan suara lirih Ki Gedeng Pasambangan membisikkan sesuatu ke telinga kirinya.

Raden Ketib tersentak kaget mendengar bisikan Ki Gedeng Pasambangan. Di tengah kekagetannya itu ia merasakan bisikan Ki Gedeng Pasambangan mengalir deras ke kedalaman jiwanya bagaikan cahaya. Ia biarkan bisikan itu meluncur terus menembus relung-relung jiwanya hingga cakrawala kesadaran di hamparan jiwanya yang ditutupi lapisan-lapisan hijab tersingkap bagai tirai disibakkan. Raden Ketib merasakan matahari kesadarannya bersinar kilau-kemilau menerangi jiwa.

Ketika sedang meresapi perubahan yang dialaminya itu, sesuatu yang menakjubkan terjadi padanya. Selagi membuka matanya tiba-tiba ia mendapati dirinya seperti sebongkah batu di dalam sungai dangkal yang sangat jernih. Ia bisa melihat dan merasakan aliran sungai kehidupan yang sambung-menyambung dan susul-menyusul dalam satu rangkaian tak berkesudahan. Dia bisa melihat matahari menyinari bumi, namun sekaligus merasakan hangatnya yang menimpa permukaan air dan mengalir ke pedalaman. Langit biru lazuardi yang membentang di atasnya, terbias bayangannya bagai cermin di permukaan air dan terserap ke dalamnya. Awan-gemawan yang putih berarak dalam bentuk-bentuk yang terus berubah membias di permukaan air dan terserap ke dalamnya. Burung-burung beterbangan dengan aneka bulu dan kicaunya pun membayang di permukaan air dan tembus ke dalamnya.

Tercengang oleh peristiwa itu, Raden Ketib memandang wajah Ki Gedeng Pasambangan yang hanya tiga empat jengkal di depannya. Namun, betapa terperanjatnya ia ketika menyaksikan wajah Ki Gedeng Pasambangan berubah-ubah secara ajaib. Wajah tua itu tiba-tiba menjadi muda dan berubah lagi seperti bayi. Dan wajah itu berangsur-angsur berganda dan berderet-deret panjang bagaikan aliran sungai sambung-menyambung dan susul-menyusul.

Dalam ketakjuban luar biasa, ia terus melihat wajah itu berjajar-jajar dalam rangkaian panjang, berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu-ribu, berjuta-juta wajah. Secara ajaib kemudian mewujud dalam bentuk pohon-pohon, rerumputan, bebatuan, gunung, lembah, tebing, bukit, awan, langit, matahari, hewan-hewan, ikan, burung, serangga, dan manusia. Makna apakah di balik yang tergelar di hadapanku ini, tanya Raden Ketib dalam hati. Antara sadar dan tidak, antara lantang dan samar-samar, antara hingar-bingar dan hening, jauh di kedalaman jiwanya, ia menangkap getaran suara dalam bahasa perlambang, yang maknanya kira-kira berbunyi: “Ke mana pun engkau menghadap, di situ wajah Allah” (QS al-Baqarah: 115).