SELAMAT DATANG Para Pencari Cinta Sejati,Tanpa Membenci,Tanpa Menyalahkan,Tanpa Kesombongan,Tanpa Membedakan,Semoga Engkau Mendapat Rahmat Alloh~Raden Bagus Langlang Jagat

road to sufi

road to sufi

Monday, November 11, 2019

Suluk Abdul Jalil ~ Syekh Siti Jenar
( Bag 4 sd 6 ) 

 

 ~ Bag 4. Menyeberangi Samudera

Dibanding Dermayu, Muara Jati hanyalah pelabuhan kecil, namun dari sinilah orang memasok beras, gula aren, garam, dan terutama terasi. Pada paro tengah abad ke-15, Muara Jati merupakan pelabuhan penunjang bagi keramaian Dermayu.

Dipandang dari laut, Muara Jati tampak seperti kumpulan kampung nelayan dengan puluhan perahu kecil ditambatkan di tonggak-tonggak kayu. Sebuah geladak sepanjang lima puluh meter yang menjorok ke laut hanya digunakan untuk memunggah muatan dari dan ke atas perahu. Sejumlah rumah bambu beratap rumbia berderet kecoklatan di bawah garis hijau pepohonan yang melatarbelakanginya. Barang empat buah rumah besar bercat merah yang tegak perkasa di pinggir jalan ke arah geladak adalah rumah orang-orang Cina Muslim yang umumnya tengkulak beras. Sementara sebuah bangunan besar dengan pendapa yang berdiri menghadap laut adalah kediaman tandha, yakni pejabat bawahan Raja Galuh yang bertugas memungut pajak lalu lintas hasil bumi dan perikanan yang keluar dan masuk pelabuhan Muara Jati.

Nun Jauh di selatan Muara Jati, terpampang gunung Ciremai yang membiru diselimuti halimun, yang menurut cerita adalah tempat persemayaman dewa-dewa.

Di ujung geladak di atas riak gelombang pantai, San Ali berdiri tegak memandangi hamparan lembah, gunung, dan rimbunan pohon yang hijau kebiruan di balut kabut tipis: hamparan bumi Caruban, tanah kelahiran yang mengukir jiwa dan raganya. Ia memejamkan mata dan memanjatkan doa mohon agar jiwanya dikuatkan untuk meninggalkan rangkaian kenangan indah yang mengukir ingatannya.

San Ali menantikan perahu yang akan membawanya ke tengah samudera, meninggalkan tanah kelahiran tempat ia mendapat limpahan cinta kasih. Ia merasakan kepedihan mencekam jiwanya. Dari dalam hatinya terungkap suara jiwa yang mengharu biru kebulatan tekadnya. “O San Ali, akankah engkau tinggalkan tempat yang telah memberikan kedamaian bagi kehidupanmu? Akankah engkau tinggalkan orang-orang yang selama ini memberikan kasih sayang yang memaknai pembentukan jiwamu? Akankah engkau tinggalkan keceriaan penghuni padepokan yang senantiasa mengumandangkan nyanyian pepujian kebesaran Ilahi? Akankah engkau lupakan orang-orang desa yang dengan senyum tulus menyapamu dalam setiap perjumpaan?”

San Ali menarik napas panjang dan berat. Ia sadar bahwa hatinya berat meninggalkan rentangan kenangan yang sudah berurat dan berakar di jiwanya. Itu sebabnya, dengan menguatkan hati ia berbisik kepada ungkapan suara jiwanya.

“Adakah kehidupan yang mengalir tanpa perpisahan dan kesedihan? Air memancar dari mata air kemudian meninggalkan sumbernya untuk menuju ke sungai hingga ke muara dan memasuki samudera raya. Manusia lahir dari kandungan ibundanya kemudian tumbuh dewasa dan akhirnya mati meninggalkan segala yang melekat pada dirinya. Dunia beserta segala isinya dan alam semesta pun pada akhirnya mengalir ke suatu masa yang disebut Yaumul Akhir. Jadi, perpisahan dan kesedihan adalah bagian dari hidup. Sesungguhnya tidak ada yang langgeng di permukaan bumi ini.”

“Dengarlah, wahai suara hatiku, bahwa aku seperti juga engkau memiliki kenangan dengan kehidupan di Caruban yang indah yang membentang di kaki gunung Ciremai yang dilingkari ombak samudera, yang diwarnai gemericik air sungai dan kicau burung menyambut mentari pagi. Tetapi, wahai suara hatiku, ketahuilah bahwa segala keindahan itu telah berubah menjadi terali bagi ‘aku’-ku, karena aku sekarang bagai rajawali terkungkung dalam sangkar besi yang selalu merana setiap kali melihat burung lain terbang di angkasa, mereguk kebebasan jiwa dengan membentangkan sayap kehidupan.”

Ketika San Ali sedang bergulat dengan suara jiwanya, perahu yang bakal membawanya pergi dari bumi Caruban datang. Pemilik perahu itu bernama Tahrimah, laki-laki setengah umur dengan tubuh tegap dan otot-otot tangan kukuh. Wajahnya yang keras menunjukkan bahwa dia adalah orang yang tabah melintasi kerasnya kehidupan. Dan sorot matanya yang berbinar-binar menunjukkan betapa teguhnya laki-laki itu memegang prinsip. Sementara kulitnya yang coklat kehitaman terbakar sinar matahari mencerminkan semangat hidup yang tak luntur terkena hujan dan tak lekang terkena panas.

Setelah cukup lama menunggu reaksi San Ali, Tahrimah menanyakan tujuan perjalanannya meninggalkan Muara Jati. “Apakah Yang Mulia San Ali, putera Kuwu Caruban, akan menuju pelabuhan Kalapa atau hanya ke Dermayu?”

“Engkau lebih tahu akan tujuanku, o Paman, sebab pemegang kemudi perahu ini adalah engkau. Apalah arti maksud dan tujuan kuucapkan jika di tengah laut engkau nantinya akan menenggelamkan perahumu. Dengan menumpang perahumu, o Paman, sudah kubulatkan tekadku untuk mengorbankan diriku dalam mencapai tujuanku yang sejati,” ujar San Ali.

“Tidak adakah lagi syak di hati Yang Mulia?” Tahrimah menguji.

“Sudah kubulatkan tekadku, seperti kuucapkan takbir saat kumulai sembahyang menghadap Dia,” ujar San Ali mantap.

“Jika demikian, naiklah o Anak ke atas perahuku. Dan ingat-ingatlah selalu, selama perjalanan di laut jangan sekali-kali Anak melakukan perbuatan lain yang membahayakan perahu ini. Dan berdoalah agar kita selamat melintasi lautan yang kadang-kadang mengamuk.”

San Ali tersenyum dan menganggukkan kepala.

Tahrimah ternyata orang yang memiliki pengetahuan luas tentang kehidupan. Ketika masih muda, dia pernah menjadi awak kapal dagang yang mengarungi tujuh samudera dan menyinggahi berbagai pelabuhan besar tempat kapal-kapal dari berbagai negeri berlabuh. Kini, setelah usia makin menua, dia hanya menjadi pengemudi perahu yang khusus mengantarkan orang-orang tertentu ke tujuan yang dikehendaki.

San Ali sangat terkesan mendengar kisah hidup Tahrimah. Itu sebabnya, ia bertanya banyak hal tentang berbagai peristiwa yang sedang dialaminya saat ini. “Bagaimanakah perasaan Paman saat pertama kali berlayar meninggalkan tanah kelahiran tercinta?”

“Semula berat dan menyedihkan, o Anak,” kata Tahrimah. “Tetapi, bersama menggelindingnya waktu kusadari bahwa menjadi kewajiban mendasar dari kita untuk meninggalkan segala sesuatu yang sebenarnya bukan milik kita.”

“Maksud Paman?” tanya San Ali belum paham.

“Sebelumnya aku sempat berpikir bahwa bumi Caruban, anak, istri, rumah, orang tua, sahabat, guru, dan segala apa yang kucintai adalah milikku. Pada akhirnya kusadari bahwa semua itu bukan apa-apaku, apalagi milikku. Tubuh dan jiwaku pun pada hakikatnya bukanlah milikku.”

“Kalau begitu, Paman adalah seorang zahid,” ujar San Ali.

“Seorang zahid yang melakukan hidup zuhud adalah dia yang meninggalkan segala sesuatu yang menjadi miliknya. Zahid adalah dia yang meninggalkan segala apa yang bisa ditinggalkannya. Sedangkan ‘aku’ pada kenyataannya tidak memiliki apa pun yang bisa kutinggalkan. Semua merupakan milik-Nya: Kebesaran, Keagungan, Keindahan, Kekuasaan, Kehendak, Kemuliaan, Puji-pujian, dan Kemutlakan.”

“Engkau orang yang telah tercerahkan, o Paman,” kata San Ali dengan mata membinarkan rasa takjub, “Ajarkanlah kepadaku tentang jalanmu menuju-Nya!”

“Engkau memiliki jalanmu sendiri, o Anak,” kata Tahrimah datar. “Jalan yang telah kulalui akan berbeda dengan jalan yang harus engkau lalui.”

“Itu aku tahu, Paman,” San Ali memohon, “tetapi berikanlah kepadaku barang satu atau dua patah nasihat yang akan kujadikan bekal perjalananku.”

“Jika itu keinginanmu, aku akan memberimu dua nasihat yang boleh engkau ikuti dan boleh pula engkau abaikan.”

“Saya akan berjuang menjalankan nasihatmu, o Paman.”

“Pertama, lakukan Taubat, yakni engkau harus berpaling dari segala sesuatu kecuali Allah. Maksudnya, jika sebelum ini engkau pernah berbalik dari-Nya maka sekarang engkau wajib menghadapkan jiwa dan pikiranmu hanya kepada-Nya. Kedua, lakukan Dzikir, yakni ingatlah selalu Allah jika engkau lupa. Maksudnya, jika engkau selalu berusaha berada dalam keadaan melupakan segala sesuatu yang bukan Allah maka saat itulah engkau mengingat Allah.”

Di Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran, kehidupan berlangsung sangat lamban dan jauh berbeda dengan Muara Jati, apalagi dibandingkan Dermayu yang hingar- bingar dipenuhi kesibukan. Satu-satunya tempat orang terlihat lalu lalang hanya di dermaga Kedunghalang, tempat perahu hilir-mudik dari dan ke pelabuhan Kalapa. Di situ tak henti-hentinya orang mengangkuti barang-barang dengan pikulan, gerobak, dan pedati yang ditarik kerbau. Selebihnya, hampir di seluruh sudut kotaraja Pakuan dilintasi orang-orang yang akan pergi ke pura dan sanggar pamujan. Hampir di setiap tepian jalan terlihat anjing bertubuh kurus duduk atau tiduran menikmati hangat matahari.

San Ali yang mengenakan jubah dan surban putih sebagai pertanda bahwa ia pemeluk Islam sejak menginjakkan kaki di pelabuhan Kalapa sudah menjadi perhatian orang. Ketika ia menuju ke kotaraja Pakuan dengan perahu yang melayari sungai Ciliwung, orang makin memandangnya dengan penuh curiga. Hanya bekal surat pengantar dari Ki Samadullah yang membuatnya lolos dari pos-pos pemeriksaan keamanan.

Sesuai pesan Ki Samadullah, San Ali harus menemui Samsitawratah, seorang rsi yang memiliki asrama bagi para brahmana muda pencari kebenaran. Menurut Ki Samadullah, hanya Rsi Samsitawratah di tlatah Pajajaran ini yang mampu mengupas hakikat kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya, Maharaja Majapahit. Ki Samadullah sendiri sejauh ini membahas kitab itu bersama Ki Danusela hanya sebatas pada penafsiran demi penafsiran yang belum tentu benar pada tataran penerapannya.

Ketika San Ali mendekati pintu asrama, tampaklah seorang tua dengan hanya mengenakan cawat melintas di hadapannya. Sekalipun renta dan kurus kering, ada semacam kekuatan gaib melingkupinya. Meski hanya bercawat, orang merasakan getaran kuat setiap kali memandangnya. Setelah berdiam sejurus, dengan suara penuh wibawa orang tua yang ternyata Rsi Samsitawratah itu berkata, “Apakah yang engkau cari, o Anak Muda, hingga engkau menyeret tubuhmu ke sini?”

“Kucari hakikat ‘aku’ agar kutemukan ‘Aku’ sebagai sumberku,” jawab San Ali.

“Bagaimana engkau menemukan ‘Aku’ jika engkau masih meng-‘aku’?”

“Kepadamulah, o Yang Tercerahkan, kuharap pelajaran menuju ‘Aku’,” kata San Ali sambil mengeluarkan kitab rontal Catuh Viphala. “Karena, kudengar hanya Andhika Yang Tercerahkan yang mampu menguak makna kitab ini.”

“Lepaskan jubah dan surbanmu! Lepaskan segala milikmu! Tanpa perjuangan keras mengosongkan diri dari keakuan, jangan harap engkau bisa menangkap intisari kitab Catur Viphala dan mencapai tujuanmu.”

San Ali tercekat mendengar permintaan Rsi Samsitawratah. Bagaimana mungkin ia melepaskan jubah dan surbannya untuk kemudian bercawat seperti orang tua di hadapannya itu? Apakah maksud melepaskan segala milik berarti melepas segala atribut keislaman dengan meninggalkan sembahyang dan hukum syarak? Apakah pengosongan diri menjadi syarat mutlak bagi perjuangan menuju ‘Aku’?

Tanpa dapat dicegah benak San Ali dijejali oleh kilasan bayangan api neraka yang berkobar-kobar menelan dirinya manakala ia tanggalkan jubah dan surban dan hukum syarak. Namun, secepat itu di benaknya terbayang tentang perjalanan mencari hakikat ‘Aku’ sebagai pangkal segala ‘aku’. Mengapa ‘aku’-ku harus takut terhadap ‘aku’ neraka? Bukankah ‘aku’ neraka juga seperti ‘aku’-ku, yaitu berasal dari ‘Aku’ semesta?

Rsi Samsitawratah tampaknya menangkap keraguan San Ali. Itu sebabnya, dengan acuh tak acuh dia berkata seolah kepada dirinya sendiri. “Akal dan pikiran, keakuan, keinginan-keinginan, bentuk-bentuk, status, identitas diri, dan keanekaragaman citra diri adalah tirai yang memisahkan ‘aku’ dari ‘Aku’. Sebab, semua itu masih meng-‘aku’, belum ‘Aku’ yang sesungguhnya. Karena itu, jubah, surban, mahkota, keragaman adalah tirai yang wajib dibuka jika kita ingin menyatu dengan-Nya.”

Akhirnya, tanpa banyak bicara San Ali melepas jubah dan surbannya. Kemudian dengan hanya bercawat ia bergabung dengan para brahmin yang tinggal di asrama.

Kehadiran San Ali di lingkungan brahmin mendapat perhatian serius dari Rsi Samsitawratah. Ini setidaknya terlihat dari kehendak Rsi Samsitawratah memberikan pelajaran khusus bagi San Ali, terutama dalam kaitan dengan kitab rontal Catur Viphala. Mula-mula, Rsi Samsitawratah menjelaskan urut-urutan Viphala yang berjumlah empat: nihsprha, nirbana, niskala, nirasraya.

“Ketahuilah bahwa yang dimaksud nihsprha adalah keadaan di mana tidak ada lagi sesuatu yang ingin dicapai manusia,” Rsi Samsitawratah menguraikan. “Nirbana berarti seseorang tidak lagi memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Niskala adalah bersatu dengan Dia Yang Hampa, Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Dalam keadaan itulah, ‘aku’ menyatu dengan ‘Aku’. Dan kesudahan dari niskala adalah nirasraya, yakni keadaan di mana jiwa meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika, yakni dimensi tertinggi yang bebas dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri, dan mengatasi ‘Aku’.”

Apa yang tercantum di dalam kitab rontal Catur Viphala merupakan hal yang gampang diuraikan, namun berat dijalankan. Hanya mereka yang benar-benar bertekad bulat menuju ‘Aku’ yang akan melaksanakannya. Demikianlah, seperti brahmin yang lain, San Ali melakukan latihan ruhani dengan ketat menuju Catur Viphala. Ia berpuasa selama berhari-hari. Seluruh waktunya dilewati dengan latihan meniadakan diri dan samadi. Daging mulai menyusut dari pipinya. Kelopak matanya cekung. Rambut awut-awutan. Bayangan aneh mulai sering memasuki mimpinya. Bahkan di tengah terik matahari, ia membiarkan tubuhnya terpanggang oleh kesakitan dan kehausan. Semuanya untuk menghilangkan keakuan di dalam dirinya.

San Ali dibimbing langsung oleh Rsi Samsitawratah dalam melatih samadi dan pengingkaran diri. Ia juga diajarkan bagaimana harus meniadakan diri dan berlatih menyatukan keakuan dirinya dengan alam sekitar: dengan pohon, kayu, batu, air, hewan, ikan, burung, bahkan awan. Dalam tempo singkat ia dapat mengingkari keakuan dirinya untuk menyatu dengan keakuan alam sekitarnya.

Rsi Samsitawratah mengajarkan pula bagaimana seorang brahmin tidur dengan mula-mula mengatur pernapasan dan menutup kelopak matanya hingga berangsur-angsur seluruh jiwanya padam. Jika jiwa telah padam, begitu uraian Catur Viphala, maka orang akan tidur tanpa mimpi dan tanpa perasaan. Sebaliknya, orang yang tidak memahami ajaran itu akan terperangkap ke dalam cakrabhawa, yakni terseret oleh mimpi-mimpi dan igauan di dalam tidur. Dan mereka yang terperangkap ke dalam cakrabhawa dengan sendirinya jiwanya akan jatuh ke neraka.

Berbagai latihan jiwa telah dilakukan San Ali, baik puasa, samadi, makanan dan minuman yang baik, tidur, hingga yoga. Dengan bimbingan langsung dari Rsi Samsitawratah, ia mengalami kemajuan pesat terutama dalam perjuangan meniadakan diri. Namun, ujung dari semua itu ia merasa betapa setelah keakuan dirinya mengembara ke berbagai perwujudan pada akhirnya akan kembali lagi pada keakuan diri. San Ali merasa pengembaraan jiwanya itu seperti pelarian diri yang tak diketahui ujungnya. Ia merasa seperti melanglang jagad untuk meninggalkan tubuhnya yang menyembunyikan ‘aku’, namun pelarian itu ternyata hanya sementara waktu. Ia merasa tidak menjadi lebih bijaksana dari sebelumnya. Ia tidak merasa telah beroleh pencerahan sejati.

San Ali tidak sadar bahwa dengan menjalani hidup sebagai brahmin yang begitu ketat melakukan latihan samadi dan menolak diri, ia telah memperoleh berbagai kekuatan. Ini baru diketahuinya ketika ia bersama sejumlah brahmin muda mencari kayu di hutan. Saat itu, tanpa diketahui muncul seekor harimau besar yang kelaparan dan siap menerkam salah satu di antara mereka. Para brahmin yang ketakutan jatuh bangun melarikan diri.

San Ali sadar ia tidak sempat lagi menyelamatkan diri. Itu sebabnya, ia memutuskan untuk memusatkan pikiran dan perasaannya. Menolak keakuan dirinya untuk bersembunyi di balik keakuan harimau. Sebuah peristiwa adikodrati terjadi. Harimau itu mendadak tercengang dan kemudian merunduk seolah-olah mengikuti kehendak San Ali. Kemudian seperti hewan jinak, dengan gerak lamban dia melangkah mendekat, lalu menggesek-gesekkan kepalanya ke tubuh San Ali. Sesudah itu, dia membalikkan badan dan pergi.

Peristiwa menakjubkan itu dengan segera menyebar di asrama dan menimbulkan iri hati di antara para brahmin yang lebih lama bermukim tetapi belum memiliki kelebihan seperti San Ali. Dalam tempo singkat ada kasak-kusuk yang menyatakan bahwa San Ali adalah telik sandhi orang-orang Islam yang disusupkan ke asrama, dengan tujuan utama menghancurkan kekuatan Pajajaran dari dalam. Peristiwa menakjubkan itu seolah-olah pamer kekuatan dan merupakan tantangan kepada Rsi Samsitawratah. Kasak-kusuk terus bergulir. Dan San Ali merasa betapa seluruh penghuni asrama seolah-olah mengamati segala gerak-geriknya dengan penuh curiga.

Bagi San Ali, peristiwa di hutan itu justru telah menyadarkan dirinya bahwa apa yang selama ini dipelajarinya di asrama bukanlah tujuan akhir yang hendak dicapainya. Ia merasa bahwa ‘jalan keselamatan’ menuju ‘Aku’ akan sulit dijangkau dengan cara yang selama ini dipelajarinya di asrama. Ia menangkap sasmita bahwa apa yang dijalankannya dengan latihan-latihan ketat selama ini justru tidak sesuai dengan intisari maknawi dari kitab rontal Catur Viphala.

Tampaknya gejolak pikiran San Ali itu ditangkap oleh Rsi Samsitawratah. Itu sebabnya, ketika ia menghadap, guru para brahmin itu memberikan kitab rontal Catur Viphala sambil berkata, “Ketahuilah, o Anak Muda, bahwa asrama ini hanya persinggahanmu sementara dalam menuju ‘Aku’. Sebab, ada sesuatu di dalam dirimu yang tak gampang ditundukkan oleh sekadar latihan penolakan diri dan samadi. Jalan yang engkau lintasi masih sangat panjang. Karena itu, o Anak Muda, pergilah engkau mengikuti garis hidupmu seperti air mengikuti aliran sungai. Hanya pesanku, janganlah engkau berbalik arah dan putus asa dalam mencapai tujuan.”

“Ampun seribu ampun, o Guru Agung,” San Ali mengiba, “Hamba berharap dengan mengikuti jalan Brahmin melalui arahan kitab Catur Viphala maka kehausan jiwa hamba segera terobati. Tetapi, ternyata tidak. Semakin hamba berlatih semakin kuat kehausan itu mencekik hidup hamba.”

“Jalan pembebasan memang rumit dan berliku-liku. Karena itu, o Anak Muda, lihatlah para brahmin di asrama ini. Mereka yang sudah berusia lanjut pun tidak dijamin meraih kebebasan sempurna. Lantaran itu, o Anak Muda, pergilah ke muaramu. Ikuti liku-liku aliran yang membawamu ke samudera pembebasan. Semoga engkau dapat meraih tujuan yang mulia itu.”

“Hamba mohon restu, o Guru Agung,” San Ali menghatur sembah.

“Pergilah menuju muaramu, o jiwa yang dicekam rindu.”

Dengan hati dibakar kehausan akan pengetahuan sejati, San Ali meninggalkan asrama. Saat ia melangkahkan kaki meninggalkan pintu, beberapa brahmin muda yang bersamanya sewaktu di hutan, menghadang. Dengan berbagai rayuan mereka menginginkan San Ali bersedia tinggal lebih lama. “Jika engkau berkenan tinggal barang setahun di sini, kami yakin engkau akan bisa belajar terbang ke angkasa, berjalan di atas air, kebal senjata tajam, menembus tembok, dan bahkan menghilang.”

“Itu semua bukanlah keinginanku,” San Ali tersenyum. “Yang Mulia Guru Agung Samsitawratah lebih mengetahui tentang apa yang menjadi keinginan utamaku. Karena itu, o kawan-kawan tercinta, beliau menghendaki aku pergi dari asrama ini untuk mencari muara yang bakal mengantarku ke samudera kebebasanku.”

Melalui pelabuhan Kalapa, San Ali memulai pengembaraannya melintasi samudera dengan menumpang jung milik seorang Cina Muslim bernama Haji Nasuhah yang bernama asli Thio Bun Cai. Usianya sekitar tujuh puluh tahun, namun dia terlihat sepuluh tahun lebih muda. Otot-otot di tubuhnya – terutama di kedua lengannya – masih kukuh dan perkasa.

Sekalipun Haji Nasuhah orang Cina asli dan bermata sipit, kehidupan yang keras laut telah mengubah warna kulitnya menjadi coklat kemerahan. Alisnya tebal dan berbentuk pedang, mencerminkan betapa keras watak nakhoda berkepala gundul yang selalu ditutupi kopiah putih itu. Untaian tasbih yang selalu berputar menunjukkan betapa kukuh dia mengingat Tuhan di tengah kesibukannya mengatur arah kapal. Sementara di balik senyuman yang selalu menghiasi bibirnya itu terungkap keteguhan jiwa dari seorang tua yang sudah teruji mengarungi samudera kehidupan.

Penampilan Haji Nasuhah yang mencerminkan citra keramahan seorang Muslim itu sebenarnya baru terlihat sekitar dua dasawarsa silam. Sebelum masa itu, dia bukanlah Muslim bahkan bukan manusia dari golongan baik. Thio Bun Cai merupakan bajak laut yang sangat ditakuti di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Para saudagar Cina menjulukinya Lamhai Lomo (Iblis dari Selatan). Sebagai bajak laut bekas pengikut Liang Tau Ming, Thio Bun Cai memiliki pangkalan di Ku Kang (Palembang) dan sewaktu-waktu dapat menggerakkan armadanya dengan cepat. Nama Lamhai Lomo sebagai bajak laut yang telengas dan tak kenal ampun, membuat siapa saja yang melintasi Selat Malaka atau Laut Cina Selatan dicekam ketakutan.

Roda kehidupan berputar mengikuti takdirnya, kadang di atas kadang di bawah, kadang mengubah kedudukan orang dari kaya ke miskin, dari jahat ke baik, dari durhaka ke saleh, dari kejam ke welas asih. Roda kehidupan Thio Bun Cai pun berubah ketika bertemu dengan Syaikh Ibrahim as-Samarkandy (ayahanda Raden Ali Rahmatullah) yang menjadi tamu Adipati Palembang, Ario Damar.

Pertemuan itu terjadi secara tidak sengaja. Ketika itu, kapal yang ditumpangi ulama asal negeri Samarkand itu dirampok oleh Thio Bun Cai di sekitar kepulauan Anambas. Syaikh Ibrahim saat itu sedang dalam perjalanan dari Pandurangga di negeri Campa ke Palembang untuk mengunjungi kemenakan tiri istrinya yang menjadi Adipati Palembang. Dalam peristiwa itu, Thio Bun Cai menyaksikan keajaiban pada diri Syaikh Ibrahim. Ceritanya, saat kapal dari Campa itu dikepung, terjadi kepanikan di antara para penumpangnya. Bahkan dalam kepanikan itu seorang penumpang anak-anak berusia lima tahun jatuh ke laut dan hilang ditelan ombak. Saat itulah, seorang penumpang yang kemudian dikenal bernama Syaikh Ibrahim as-Samarkandy melompat ke laut. Ajaib, tubuhnya tidak tenggelam. Sebaliknya dengan tenang ia berdiri di atas hamparan air laut. Kemudian ia membungkuk dan tangannya menggapai ke bawah. Lalu dalam sekejap terlihatlah anak kecil yang sebelumnya sudah tenggelam itu. Dan seperti gerakan rajawali, Syaikh Ibrahim menggendong anak itu dan membawanya melompat ke atas kapal.

Thio Bun Cai dan anak buahnya terkesima menyaksikan pemandangan menakjubkan itu. Melalui ketakjuban itulah Thio Bun Cai akhirnya melepas mangsanya. Bahkan seperti terpesona oleh sesuatu yang ada di dalam diri Syaikh Ibrahim, Thio Bun Cai mengikuti ke mana pun ia pergi. Sejak pertemuan itu terjadi perubahan besar di dalam hidupnya. Dia yang sebelumnya telengas dan kejam tiba-tiba berubah menjadi penyabar dan penyayang. Dia yang sebelumnya sangat berkuasa tiba-tiba selalu mengalah dalam setiap persoalan. Dia yang sebelumnya memiliki bukit harta hasil rampokan tiba-tiba membagikan seluruh kekayaannya kepada orang-orang miskin tanpa sisa. Bahkan puncak dari perubahan itu terlihat ketika dia mengikrarkan diri sebagai Muslim dan menunaikan ibadah haji ke tanah suci dengan menggunakan jung, satu-satunya miliknya yang tersisa.

Sepulang haji, Thio Bun Cai mendapat nama baru: Haji Nasuhah. Karena, dia telah berikrar untuk melakukan taubatan nashuhah, yakni tidak akan mengulangi kesalahan dan kekeliruannya di masa lampau. Dan sejak itu, perkumpulan bajak laut yang dipimpinnya dibubarkan. Atas jasa baik Syaikh Ibrahim, para bekas anak buahnya dijadikan pengawal samudera Adipati Palembang. Thio Bun Cai yang sudah menjadi Haji Nasuhah menghabiskan sisa hidupnya dengan memperbanyak ibadah. Kalau pun dia dituntut untuk bekerja maka hal itu dilakukan hanya sebatas mengantarkan orang-orang yang butuh tenaga dan keterampilannya mengarungi samudera.

Putaran roda kehidupan Haji Nasuhah sangat menarik hati San Ali. Itu sebabnya, sepanjang perjalanan mengarungi laut, ia terus bertanya berbagai hal, terutama tentang Syaikh Ibrahim as-Samarkandy yang memiliki kelebihan karomah. Haji Nasuhah, entah kenapa, didesak oleh semacam keharusan untuk menjawab semua pertanyaan San Ali. Lantaran itu, hampir seluruh waktu senggang mereka gunakan untuk berbicara berbagai hal, terutama yang bersangkut-paut dengan perjuangan menuju ‘Aku’ yang dilingkari berlapis-lapis hijab.

Lewat perbincangan dan membanding-bandingkan pengalaman masing-masing, San Ali menangkap kesamaan dalam tataran amaliah ketika seseorang melakukan taubatan nashuhah – menghadapkan pikiran dan perasaan hanya kepada Allah – untuk menuju hakikat ‘Aku’. Kesamaan itu meliputi ‘kewajiban’ meninggalkan segala sesuatu, baik sukarela atau terpaksa, kecuali Allah. Meski menangkap adanya kesamaan, San Ali tetap menginginkan kepastian dari simpulannya itu dengan menanyakan langsung kepada Haji Nasuhah. “Apakah orang-orang yang menuju ke Dia memang ‘wajib’ meninggalkan segala sesuatu yang bukan Dia?”

“Aku kira engkau sudah mengalami peristiwa itu. Aku kira engkau pun sudah merasakan betapa pahitnya harus melepas segala yang pernah engkau miliki. Dan kita masing-masing akan mengalami tingkat kepahitan sesuai tingkat kepemilikan kita. Semakin kuat perasaan dan pikiran kita mencintai segala yang kita anggap milik kita maka semakin kuat pula tingkat kepahitan yang harus kita telan,” kata Haji Nasuhah.

“Apakah pada awalnya Tuan Haji merasa pahit ketika harus membagi-bagikan harta benda yang Tuan miliki kepada orang lain?” tanya San Ali.

“Soal membagi-bagi harta malah kulakukan dengan sukarela seolah-olah orang memikul yang berusaha melepas beban,” kata Haji Nasuhah datar.

“Jikalau begitu, peristiwa pelepasan apa yang menurut Tuan Haji sangat pahit dan menyakitkan?” San Ali memburu.

“Ketika aku harus kehilangan anak dan istri yang kutinggalkan di pulau Lingga. Ketika istriku meninggal akibat terkena sampar, anak lelakiku satu-satunya, Thio Ban Tong, yang berusia sembilan tahun menghilang tak diketahui rimbanya. Orang-orang kepercayaanku yang kutugaskan menjaganya ternyata tidak mengetahui ke mana anak tunggal penyambung kehidupan leluhurku itu pergi.”

“Istri mati mungkin masih bisa aku mencari ganti. Tetapi, kalau anak lelaki hilang tak tentu rimba ke mana pula harus kucari ganti? Karena itu, o Anak Muda, waktu itu kulewati dengan segala kepanikan. Kuancam bunuh semua orang kepercayaanku jika mereka tidak menemukan anak yang kuamanatkan penjagaannya kepada mereka. Kusekap anak-anak mereka untuk memaksa agar mereka benar-benar mencari anakku.”

“Di saat kepanikanku memuncak, tiba-tiba Syaikh Ibrahim datang. Dengan nasihat dan uraiannya tentang hukum kehidupan dan orang-orang yang ‘dipanggil’ oleh Allah maka sadarlah aku bahwa segala apa yang kualami itu adalah bagian dari cobaan Allah untuk menguji tekadku bertaubat. Setelah itu, seluruh sisa harta milikku kubagi-bagikan dan aku menunaikan haji ke tanah suci. Persoalan hilangnya Thio Ban Tong kuserahkan kepada-Nya. Dia yang memberi Dia pula yang berhak meminta kembali.”

“Kemarahanku pun akhirnya pudar. Kumaafkan mereka dan kukembalikan anak-anak mereka. Kukatakan kepada mereka bahwa betapa pun ketat anakku dijaga, bahkan ketika kujaga sendiri, kalau Dia telah berkehendak meminta maka tidak ada satu pun makhluk yang bisa menghalangi. Dan akhirnya aku sendiri menyadari, betapa sebenarnya diriku tidak memiliki apa-apa di dunia ini; nama besar, kekayaan, istri, anak, tubuh, nyawa, dan ruhku sendiri; semua milik Allah,” papar Haji Nasuhah.

“Berarti Tuan Haji sekarang ini sebatangkara seperti saya?”

“Bagi mereka yang sudah ‘bangun’, seluruh manusia pada dasarnya sebatangkara di dunia ini. Itu sebabnya, bagi mereka yang sudah ‘bangun’ tidak dikenal kebanggaan atas ras, suku bangsa, marga, keluarga, nama besar, atau apa saja yang bersifat kelompok. Dan bagi mereka yang sudah ‘bangun’, menjadi suatu ‘kewajiban’ untuk menggantungkan kesebatangkaraannya kepada Dia Yang Mahatunggal; Dia Yang Mahasebatangkara, yang tidak memiliki istri, anak, keluarga, dan kerabat; kepada Dia jua kita, orang-orang sebatangkara ini, wajib mengarahkan harapan dan tujuan.”

“Kalau jalan menuju Dia harus dilalui dengan meninggalkan segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia, kenapa Dia menciptakan dunia?” tanya San Ali.

“Tidakkah engkau ketahui bahwa dunia ini diciptakan sebagai penjara bagi kita?”

“Penjara?” sergah San Ali heran.

“Ketahuilah, o Anak Muda, bahwa dunia ini adalah tempat leluhur kita, Bapa Adam dan Ibu Hawa, menjalani hukuman setelah melanggar perintah Allah. Jadi, hakikat dunia ini sebenarnya adalah penjara bagi Bapa Adam dan Ibu Hawa beserta keturunannya. Dan seperti makna ad-dunya sendiri yang berarti dekat atau singkat, maka kehidupan di dunia ini sungguh hanya persinggahan singkat belaka bagi anak cucu Adam dan Hawa yang memikul hukuman di penjara bernama dunia ini. Karena itu, bagi mereka yang sudah ‘bangun’ akan memandang bahwa tidak pantas dan sangat keliru jika manusia sebagai keturunan Adam dan Hawa menjadikan dunia ini sebagai hunian yang menyenangkan, apalagi sampai membangun mahligai kekuasaan dan kekayaan turun-temurun, seolah-olah dunia ini hunian abadi.”

“Jika demikian, kenapa kita harus bekerja mencari nafkah jika pada akhirnya kita harus menganggap dunia ini penjara yang tidak menyenangkan?”

“Karena tubuh kita adalah bagian dari jazad maddi (materi) maka tubuh kita pun membutuhkan makanan dan minuman bersifat maddi (materi). Karena itulah, agama mengajarkan agar kita, manusia, keturunan Adam dan Hawa, tidak berlebihan dalam memanfaatkan dunia apalagi sampai mencintainya.”

“Ada kisah menarik tentang pemanfaatan dunia yang kuperoleh dari guru agungku, Syaikh Ibrahim, melalui cerita pemburu kera,” lanjut Haji Nasuhah.

Pemburu itu tahu bahwa kera sangat suka buah ceri. Ia sangat paham cara berpikir kera. Itu sebabnya, ia menempatkan buah-buah ceri ke dalam botol gelas bening yang berleher sempit. Kemudian ia letakkan botol gelas itu di tempat kera-kera biasanya berkeliaran.

Tak lama, pemburu itu melihat seekor kera datang. Kera itu memasukkan tangannya ke dalam botol dan mengambil buah ceri dalam jumlah banyak. Tetapi, dia kemudian sadar bahwa tangannya yang menggenggam buah ceri tidak bisa ditarik keluar.

Kera menjerit-jerit panik. Tangannya tidak bisa lepas dari botol karena dia tetap menggenggam erat buah ceri. Sang pemburu kemudian datang. Kera ketakutan dan berusaha melarikan diri, namun karena tangannya membawa botol maka dia tidak dapat berlari kencang. Setelah tertangkap, pemburu itu memukul siku kera sehingga genggamannya atas buah-buah ceri itu mengendor. Tangan kera itu memang bisa lepas dari botol, tetapi ia telah tertangkap.

“Aku segera menyadari bahwa kera yang dimaksud di dalam kisah itu adalah aku. Betapa kusadari bahwa selama itu aku terlalu menggenggam erat-erat harta duniawi sehingga aku tidak bisa melepaskan diri dari jeratan botol duniawi. Kematian istri dan kehilangan anak kesayangan kuanggap sebagai pukulan ‘Sang Pemburu’ ke sikuku. Nah, sekarang ini aku merasa sebagai kera yang bebas dari jeratan botol, tetapi harus patuh dan setia kepada ‘Sang Pemburu’ yang memeliharaku dengan baik. Aku tidak perlu lagi mencari buah ceri karena Dia telah menyediakan semua kebutuhanku.”

~ Bab 5. Cahaya Iman

Bulan purnama bercahaya terang di hamparan permadani langit yang membiru. Cahayanya menyinari permukaan bumi Palembang yang sudah tua dan terlalu kenyang mengenyam pahit dan getir kehidupan penghuninya. Lebih dari seribu tahun, bergantian kapal, jung, perahu, dan sampan melintas dan berlabuh. Dari ratu, bangsawan, saudagar, pendeta, perampok, hingga gelandangan pernah tinggal di pangkuan bumi Palembang sejak kekuasaan Sriwijaya ditegakkan di sana.

Kemakmuran Palembang sebagai bandar perniagaan menarik hasrat siapa pun untuk bisa menguasai pusat kenikmatan duniawi yang terletak di tengah hamparan samudera itu. Wangsa Ming yang berkuasa di daratan Cina pun tergiur oleh kemolekan dan kecantikan Palembang. Itu sebabnya, ketika utusan dari Palembang – yang merupakan bagian dari Majapahit – menghadap Kaisar Cina, ia disambut dengan penuh kemuliaan seolah-olah duta sebuah negeri merdeka.

Hayam Wuruk, Maharaja Majapahit, sangat murka dengan tindakan Kaisar Cina yang menerima dan memperlakukan utusan Palembang seperti seorang duta. Ia kemudian menggerakkan armada Majapahit meluluhlantakkan bandar Palembang. Setelah peristiwa itu, ia menunjuk salah seorang saudara tirinya – putera Prabu Kertawarddhana dari istri selir, adik dari Singhawarddhana – yang bernama Parameswara menjadi Adipati Palembang.

Tetapi, pesona bandar Palembang telah menggoyahkan kesetiaan Parameswara tak lama setelah Hayam Wuruk mangkat. Parameswara menyatakan Palembang sebagai negara merdeka. Wikramawarddhana, yang masih kemenakan Parameswara, menolak pernyataan sepihak Adipati Palembang itu. Armada Majapahit sekali lagi dikerahkan untuk menghancurkan Palembang. Parameswara melarikan diri dan akhirnya mendirikan Kerajaan Malaka.

Sementara itu, usai pemberontakan Parameswara, kekacauan dan kerusuhan meluas di Palembang. Sejarah kemudian mencatat, di dalam kekacauan itu telah muncul seorang bajak laut bernama Liang Tau Ming. Dengan seluruh kekejaman dan kebrutalannya, dia menancapkan cakar kekuasaannya di bandar Palembang. Liang Tau Ming tidak membawa kemakmuran apa pun, kecuali makin meningkatnya kekacauan dan ketidakseimbangan hidup rakyat Palembang. Dan Palembang yang saat itu disebut Ku Kang pun tenggelam dalam kegetiran yang menyakitkan.

Bukan hanya penghuni bandar Palembang yang merasakan kegetiran di bawah kekuasaan Liang Tau Ming, saudagar-saudagar Cina pun merasakan kepahitan serupa sehingga mereka beramai-ramai melapor kepada Kaisar. Liang Tau Ming kemudian dieksekusi. Sebagai gantinya, tampillah Cheng Po Ko yang selalu mengirim upeti sebagai bukti bahwa bandar itu tunduk di bawah kekuasaan Kaisar Cina.

Kerajaan Majapahit yang makin melemah kekuatannya tidak mengambil tindakan apa pun terhadap kebijakan Kaisar Cina yang telah menjadikan Palembang sebagai bagian dari kekuasaannya. Majapahit terus disibukkan dengan pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri. Namun, saat Prabu Kertawijaya naik takhta dengan gelar Sri Prabu Kertawijaya Wijaya Parakramawarddhana yang lazim disebut Brawijaya V, masalah Palembang mulai menjadi perhatian penting. Ia mengirimkan seorang puteranya yang bernama Ario Damar sebagai Adipati Palembang dengan tugas utama mengembalikan bandar tua itu ke pangkuan Majapahit.

Ario Damar adalah ksatria tangguh yang telah teruji kecerdasan dan kesaktiannya dalam menumpas pemberontak maupun memperbaiki, menata, dan membangun kembali negeri-negeri yang rusak akibat peperangan. Ia dikenal sebagai negarawan ulung. Ario Damar sejak kecil diasuh oleh uwaknya – kakak kandung ibundanya – seorang pendeta Bhirawatantra bernama Ki Kumbharawa (Jawa Kuno: matahari di dalam tempayan) yang tinggal di hutan Wanasalam di selatan ibu kota Majapahit. Ibunda Ario Damar yang bernama Endang Sasmitapura adalah pengamal ajaran Bhirawatantra. Itu sebabnya saat hamil tua ia diusir oleh suaminya, Prabu Kertawijaya, dari istana Bhre Tumapel, karena kedapatan melakukan pancamakara, yaitu upacara minum darah dan memakan daging manusia.

Oleh didikan Ki Kumbharawa dan Ibundanya, Ario Damar tumbuh sebagai pemuda yang memiliki berbagai kesaktian dan kedigdayaan luar biasa. Itu sebabnya, saat mengabdi ke Majapahit ia dapat menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Bahkan di antara penganut ajaran Bhirawatantra kala itu, Ario Damar dianggap sebagai salah seorang tokoh yang paling sempurna ilmunya sehingga ia disegani baik oleh kawan maupun lawan.

Dengan kemampuannya yang luar biasa itu, Ario Damar berhasil mengembalikan Palembang ke pangkuan Majapahit. Ia mampu menciptakan suasana aman dan tenteram, juga memakmurkan rakyat Palembang. Palembang yang sudah terpuruk ke jurang kebinasaan itu ternyata bisa bangkit lagi.

Untuk menunjukkan kekuasaan Majapahit atas kekuasaan masyarakat Cina yang selama itu tunduk kepada Kaisar Cina, Prabu Kertawijaya menganugerahkan salah seorang selirnya yang bernama Retno Subanci kepada Ario Damar. Retno Subanci adalah puteri saudagar Cina muslim bernama Encik Ban Chun, asal nagari Gresik. Saat dianugerahkan kepada Ario Damar, ia sedang hamil tua dan mengandung anak Prabu Kertawijaya.

Keberhasilan Ario Damar dalam merebut dan membangun bandar Palembang ternyata berlanjut dengan keberhasilan dirinya membangun nilai-nilai baru yang bersumber pada ajaran Islam. Ario Damar yang sejak kecil akrab dengan ajaran Bhirawatantra, tanpa pernah ada yang menduga sebelumnya, telah memperoleh hidayah cahaya iman dari Allah melalui perantaraan Syaikh Ibrahim as-Samarkandy, saudara ipar Ratu Darawati, istri Prabu Kertawijaya yang berasal dari negeri Campa.

Berita itu menggemparkan para pejabat dan rakyat Palembang, bahkan Dyah Suraprabhawa, maharaja Majapahit, saudara tiri Ario Damar, mengirim utusan untuk mempertanyakan kesetiaannya kepada Majapahit. Ario Damar dengan tegas menyatakan bahwa persoalan ia memeluk Islam adalah persoalan pribadi yang tidak bisa dikait-kaitkan dengan kesetiaannya kepada Majapahit. Kepada utusan itu Ario Damar memberikan keris pusaka Kyai Kala Canggah yang ujungnya bercabang dua serta upeti berupa emas dan permata sebagai bukti bahwa ia tetap setia kepada Majapahit, meski telah berpindah agama.

Keislaman Ario Damar ternyata tidak hanya berpengaruh pada perubahan suasana kehidupan pribadi dan isi kadipaten, tetapi juga meluas sampai keluar Palembang. Ia mengganti namanya menjadi Ario Abdillah. Putera tirinya diberi nama Raden Kasan, kelak menjadi Arya Sumangsang alias Raden Patah, adipati Demak. Putera sulungnya dari Retno Subanci diberi nama Raden Kusen – kelak menjadi Pecat Tandha dan adipati Terung.

Ketika usianya makin merambat senja, Ario Abdillah meninggalkan kadipaten. Ia digantikan oleh adipati Karang Widara yang bernama Pangeran Surodirejo, yang tidak lain adalah putera Raden Kusen. Ario Abdillah kemudian memilih tinggal di rumah sederhana di kampung yang dinamakan Pedamaran (artinya: kediaman Ario Damar). Dari Pedamaran itulah ia memberitakan kebenaran ajaran Islam. Mula-mula ia menyiarkan kepada penduduk di sekitar Pedamaran. Dulu penduduk di sana terkenal sangat menentang ajaran Islam yang disebarkan oleh Syarif Husin Hidayatullah, bangsawan Arab yang menjadi pemimpin di daerah Usang Sekampung. Namun, di bawah bimbingan Ario Abdillah, penduduk dengan sukarela berkenan memeluk Islam. Begitulah, daerah-daerah kafir seperti Talang Lindung Bunyian, Lebak Teluk Rasau, Lebak Air Hitam, dan Lebak Segalauh telah menjadi perkampungan muslim.

Menurut cerita, tak lama setelah memeluk Islam, Ario Abdillah menikahi puteri Syarif Husin Hidayatullah. Dari pernikahan itu lahirlah Raden Sahun yang diberi gelar Pangeran Pandanarang – kelak menjadi adipati Samarang dan puteranya menjadi Sunan Tembayat. Melalui ikatan perkawinan inilah ia dapat menyiarkan Islam sampai ke daerah Siguntang, Prabumulih, dan Meranjat. Syarif Husin Hidayatullah diangkat menjadi Menak (bangsawan) Palembang.

Begitu turun dari perahu, San Ali langsung menuju ke Pedamaran. Sesampainya di sana, didapatinya Ario Abdillah sedang mengais-ngais tanah di halaman rumah panggungnya. Rupanya, tokoh besar yang berusia hampir delapan puluh tahun itu sedang mencari akar-akaran untuk obat. Meski usianya sudah sangat tua, sisa kegagahan tetap terpahat pada otot-otot tubuhnya yang kukuh. Ketenangan jiwa terpancar dari wajahnya yang teduh.

Sekalipun mata Ario Abdillah lebih bulat dan lebih lebar dibanding Raden Kusen, San Ali mendapati betapa bentuk hidung, mulut, kening, bahkan dagu keduanya sangat mirip. Rambut, alis, kumis dan janggut Ario Abdillah yang memutih tidak menjadikannya manusia renta tanpa daya. Wibawa tetap memancar dari tubuh tua itu. Bahkan siapa saja yang kebetulan melihat sorot matanya, pasti akan merasakan kegentaran menerkam jiwa.

Ketika San Ali mendekat, Ario Abdillah dengan tanpa menoleh dan tangan tetap mencabuti akar-akaran mendendangkan lagu, “Engkau adalah hijab bagi dirimu sendiri, o manusia, maka keluarlah engkau dari padanya. Pengembaraan adalah pematangan bagi jiwa yang mentah. Jika engkau sudah keluar dari hijabmu maka akan engkau temukan alam semesta di dalam dirimu, ibarat lautan engkau temukan di dalam perahu.”

San Ali tercekat. Ia menangkap sasmita tentang kedalaman ajaran di dalam syair lagu itu. Dengan kobaran rasa ingin tahu yang menggelora, ia mendekat dan berkata penuh harap, “O Tuan Manusia Besar yang sudah tercerahkan, berkenankah Tuan mengajari hamba jalan menuju Dia?”

“Aku?” gumam Ario Abdillah terperanjat. “Aku mengajarimu jalan menuju Dia?”

“Besar harapan hamba, Tuan mengabulkan keinginan hamba.”

“Tidak ada yang bisa mengajari manusia menuju jalan-Nya kecuali Dia sendiri, dengan jalan-jalan yang ditentukan-Nya.”

“Tapi, Tuan?”

“Siapakah engkau dan dari manakah asalmu, o Anak Muda?”

“Hamba San Ali, putera angkat Ki Danusela, Kuwu Caruban.”

“Kalau begitu, engkau masih kemenakanku sendiri karena Ki Danusela adalah saudara tiriku,” Ario Abdillah mengangkat alis kanannya ke atas.

“Benar Tuanku, hamba bahkan telah berjumpa dengan Pamanda Raden Kusen, putera Tuanku di Caruban,” San Ali menjelaskan.

Ario Abdillah menunduk. Diam. Sejenak kemudian dia berkata, “Apa yang bisa kuajarkan kepadamu, o Anak, jika engkau memiliki jalan sendiri menuju Dia?”

“Itu benar, o Tuanku. Tetapi, Tuan bisa menceritakan perjalanan Tuan sehingga hamba bisa mengambil hikmah di balik cerita Tuan. Hal itu akan hamba jadikan pedoman dalam perjalanan hamba menuju Dia.”

“Ada banyak orang berkata tentang aku, namun apa yang mereka katakan itu pada hakikatnya tidak tepat sebagaimana aku mengatakan tentang diriku. Akhirnya, akupun bingung tentang siapa yang paling benar mengatakan tentang aku. Lantaran itu, o Anak, kutinggalkan segala perkataan tentang aku, karena itu semua semakin membingungkan ‘aku’-ku. Dan ketahuilah, o Anak, ketika engkau berkata tentang jalanku maka saat itulah engkau telah memunculkan keakuan, baik keakuanmu maupun keakuanku; yang ujung dari semua itu adalah sia-sia.”

“Apakah engkau melihat guna dan manfaat ketika kuceritakan bagaimana kegagahan dan keperkasaanku menghancurkan musuh di medan laga, kalau pada dasarnya justru kepahitan yang kudapati dari cerita itu? Adakah guna dan manfaat ketika kuceritakan kepiawaian dan kebijaksanaanku mengatur negeri, kalau pada dasarnya justru kegetiran yang kurasakan? Adakah guna dan manfaat ketika kuceritakan bagaimana seharusnya aku merasakan kepuasan karena keturunanku menjadi penguasa negeri, kalau akhirnya yang kudapatkanjustru kekecewaan?”

“Ketahuilah, o Anak, bahwa keperkasaan, kegagahan, kepintaran, kabajikan, kebijakan, kepuasan diri dan segala macam penilaian yang mengarah pada pepujian diri adalah hampa semata dengan tepi kepedihan yang menyiksa. Sebab, saat engkau terperangkap pada penilaian baik atau buruk tentang sesuatu mengenai ‘aku’-mu atau ‘aku’-ku atau ‘aku’-siapa saja, maka saat itulah telah terjadi pengakuan terhadap sesuatu yang bukan haknya. Dan mengaku yang bukan hak adalah kepedihan tanpa tepi.”

“Segala sesuatu yang tergelar di alam semesta adalah milik-Nya tanpa kecuali; bumi, bulan, matahari, hewan, manusia, tumbuhan, jin, setan, iblis, malaikat, surga, dan neraka. Puji-pujian, kemuliaan, kebesaran, keagungan, dan segala sesuatu sekecil apa pun adalah milik-Nya. Bahkan keimanan sekecil tungau pun adalah milik-Nya. Engkau tak memiliki apa pun baik kekayaan duniawi, keluarga, tubuh, nyawa, ruh, dan bahkan iman sekalipun; semua milik-Nya.”

“Kenangkanlah liku-liku jalan yang pernah kulewati sejak aku dilahirkan dari rahim ibundaku, di mana ajaran kebenaran yang kukenal awal sekali ketika aku masih kecil adalah Bhirawatantra yang penuh lumuran darah dan kematian. Saat itu, sangat kuyakini kebenaran ajaran dari leluhurku itu sebagai jalan menuju-Nya. Berbagai kesulitan yang kuhadapi dapat kuatasi dengan ilmu-ilmu yang kupelajari dari ajaran itu. Tetapi, disaat aku berada di puncak kemenangan tiba-tiba Dia memberikan cahaya iman ke dalam jiwaku. Dan kutinggalkan segala apa yang pernah kuraih sebagai kebanggaan masa mudaku itu.”

“Dengan pengalaman hidup yang kulewati ini, o Anak, aku makin sadar bahwa segala sesuatu tanpa kecuali adalah milik-Nya. Karena itu, hari-hariku sekarang ini kuhabiskan untuk menunggu dia mengambil kembali milik-Nya yang kini telah lapuk dan renta dimakan zaman. Dan lantaran itu, kutinggalkan segala sesuatu yang pernah kuanggap sebagai milikku di dunia ini. Kuhadapkan pikiran dan perasaanku hanya kepada-Nya, agar saat Dia mengambilku, seutuhnya diriku kembali kepada-Nya tanpa beban apa pun dari dunia yang pernah kutinggali ini.”

“Jika Tuan ingin kembali hanya kepada-Nya, hamba yakin itu akan terjadi. Tetapi, mohon Tuan jelaskan kepada hamba bagaimana dengan nasib uwak dan ibunda Tuan yang tetap tinggal di dalam kegelapan ajaran najis itu?” kata San Ali.

“O Anak,” sahut Ario Abdillah dengan suara berat. “Engkau tidak bisa menilai sesuatu ajaran sebagai sesuatu yang najis atau suci. Sebab, semua itu berasal dari-Nya. Semua milik-Nya. Perbedaan yang engkau lihat sebenarnya hanya pada tingkat penampakan indrawi belaka; hakikatnya adalah sama, yakni menuju hanya kepada-Nya. Yang gelap maupun yang terang, semua menuju kepada-Nya.”

“Hamba kurang paham dengan penjelasan itu, o Tuan.” San Ali penasaran.

“Ketahuilah, o Anak, bahwa Dia bukan hanya pemilik segala sesuatu yang tergelar di alam semesta. Dia menata dan mengatur semuanya. Jika engkau sekarang ini berada di dalam golongan muslim yang dianugerahi iman maka sesungguhnya engkau berada dalam golongan yang tercerahkan oleh cahaya salah satu nama indah-Nya, yakni al-Hadi (Yang Memberi Petunjuk) yang dari-Nya mengalir para malaikat, nabi, rasul, wali, dan orang-orang saleh.”

“Sementara jika engkau berada di dalam golongan di luar penganut ajaran Islam yang engkau nilai najis karena berlumur darah, maka sesungguhnya engkau berada di dalam golongan yang terbimbing oleh salah satu nama indah-Nya yakni al-Mudhill (Yang Menyesatkan) yang dari-Nya mengalir iblis, setan, penyembah berhala, pemuja kegelapan, dan pengorban darah. Tetapi, semua itu bersumber dari-Nya dan bermuara kepada-Nya. Dialah Yang Tunggal, yang memiliki kekuasaan mutlak menggolongkan orang kepada masing-masing nama-Nya. Dia pula yang berkuasa mutlak membimbing orang ke jalan terang atau menyesatkan orang ke jalan gelap, tanpa ada yang bisa mengganggu gugat.”

“Sudah tertulis di dalam dalil: nurun ‘ala nurin yahdi Allahu linurihi man yasya’u (Cahaya di atas cahaya, Dia membimbing dengan cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki). Tertulis pula dalil: man yahdi Allahu fala mudhilla lahu wa man yudhlilhu fala hadiya lahu (Siapa yang ditunjuki Allah, engkau tak bisa menyesatkannya; dan siapa yang disesatkan Allah, tak bisa engkau menunjukinya). Jadi, jalan terang atau jalan gelap, pada hakikatnya tergantung mutlak pada kehendak-Nya.”

“Engkau anggap suci ajaran agamamu karena engkau berada di dalam pandangan agamamu yang menganggap ajaran lain sesat dan najis. Namun, jika engkau berada di dalam ajaran lain maka ajaran yang lain itu akan menilai sesat dan najis agamamu. Dia memang menempatkan sudut pandang yang berbeda bagi tiap-tiap umat untuk memandang kenyataan yang tergelar di hadapannya. Dengan sudut pandang itulah masing-masing manusia memiliki perbedaan dalam memandang kebenaran agama yang dianutnya. Semuanya, terutama yang awam, memiliki penilaian bahwa agama yang dianutnya itulah yang paling baik.”

“Ketahuilah, o Anak,” lanjut Ario Abdillah, “bahwa orang menjadi Muslim atau menjadi penganut ajaran Bhairawatantra pada hakikatnya bukanlah keinginan pribadinya. Semua yang menentukan adalah Dia. Tidakkah engkau ingat kisah paman Nabi Muhammad yang bernama Abu Thalib? Kenapa lelaki berhati mulia yang sampai akhir hayat membela Nabi Muhammad itu tidak mati dalam keadaan Muslim? Kenapa saat Nabi Muhammad mendoakannya agar menjadi Muslim justru ditegur oleh Allah bahwa beliau hanya sekadar menyampaikan seruan Islam, sedang yang menentukan orang menjadi Muslim atau tidak adalah Allah?”

“Dengan memahami hakikat ketunggalan-Nya, o Anak, engkau tidak akan terperangkap lagi ke dalam batasan-batasan yang telah dibuat-Nya untuk menghijab ciptaan-Nya dari Dia. Untuk itu, o Anak, jika engkau ingin menuju hanya kepada-Nya maka engkau wajib menyingsingkan tiap-tiap hijab yang membungkus kesadaran sejatimu sehingga engkau memahami bahwa seluruh makhluk di alam semesta ini, mulai dari malaikat, bidadari, manusia, hewan, tumbuhan, jin, setan, bahkan iblis adalah penyembah dan pemuja Dia, meski dengan sebutan dan tata cara yang berbeda. Sesungguhnya Dia itu Esa. Tidak ada sesuatu yang menyamai apalagi menyaingi Dia. Sebab, telah tertulis dalam dalil: kana Allahu wa lam yakun ma’ahu syai’un (Dia ada. Tidak ada sesuatu bersama Dia).

Bumi manusia kediaman anak cucu Nabi Adam pada dasarnya tidak hanya dihuni oleh makhluk-makhluk yang kasatmata. Berbagai makhluk tidak kasatmata pun menjadi penghuni bumi. Bahkan di antara mereka adalah generasi pelanjut makhluk sebelum Nabi Adam menghuni bumi. Mereka berakal dan berbangsa-bangsa. Berbudaya. Berkembang biak. Namun, bentuk fisik mereka tidak padat seperti manusia yang terdiri atas darah, daging, dan tulang. Karenanya, mereka tidak kasatmata.

Kenyataan tentang makhluk tidak kasatmata itu diketahui San Ali saat ia diajak berkelana memasuki matra lain dari bumi manusia untuk menyaksikan Keagungan dan Ketidakterbatasan Kuasa Ilahi. San Ali tidak mengetahui ilmu apa yang digunakan Ario Abdillah untuk menembus matra demi matra yang menyelubungi bumi. Ia hanya merasakan saat Ario Abdillah memerintahkannya duduk berhadapan sambil memejamkan mata berkonsentrasi, tiba-tiba tubuhnya merosot ke bawah. Sesaat sesudah itu, ketika membuka mata ia mendapati dirinya berada di sebuah rongga besar dan luas di bawah tanah. Ario Abdillah dilihatnya berdiri di depannya sambil bersidekap menyilangkan kedua tangan di dada.

Sebelum San Ali bertanya tiba-tiba Ario Abdillah menjelaskan bahwa mereka berada sekitar tujuh puluh depa dari permukaan tanah. “Ini merupakan lapisan pertama dari kediaman anak cucu makhluk-makhluk penghuni bumi sebelum Nabi Adam diturunkan. Mereka adalah keturunan Banu al-Jaan. Mereka mendiami dasar bumi hingga lapis yang ke tujuh.

“Tuanku, apakah mereka itu disebut jin?” tanya San Ali takjub.

“Kita, umat Islam, menyebutnya seperti itu. Sebenarnya mereka beraneka macam. Bentuk mereka mirip manusia dengan satu kepala, dua tangan, dan dua kaki. Sebagian di antara mereka ada yang memiliki sayap seperti kelelawar dan burung, namun sebagian besar tidak bersayap.”

“Apakah mereka hidup dalam puak-puak masyarakat?” San Ali mendecakkan mulut kagum.

“Seperti layaknya manusia, mereka hidup dalam kota-kota dan benteng-benteng. Kendaraan yang mereka gunakan berjalan sangat cepat tanpa perlu ditarik kuda. Bahkan mereka memiliki kereta perang yang bisa terbang seperti milik dewa-dewa. Berbeda dengan kendaraan manusia, kendaraan makhluk-makhluk itu menimbulkan suara gemuruh yang menggetarkan dada dan memekakkan telinga,” Ario Abdillah menguraikan.

“Apakah Tuanku akan mengajak hamba mengunjungi kota-kota mereka?” tanya San Ali dengan rasa ingin tahu yang berkobar-kobar. “Apakah mereka tidak menyerang kita?”

“Sebelum engkau mengenal mereka, o Anak, kata Ario Damar datar, “engkau harus tahu tentang mereka sehingga engkau tidak terperosok ke jurang kesesatan seperti sebagian manusia yang mengenal mereka.”

“Hamba menunggu petunjuk dan akan patuh Tuan.”

Ario Damar diam sesaat. Sejenak sesudah itu dengan suara berat dan penuh keseriusan dia mulai menguraikan tentang makhluk-makhluk penghuni dasar bumi. Menurut Ario Damar, leluhur makhluk-makhluk itu pada zaman dahulu kala menghuni permukaan bumi selayaknya manusia. Namun, mereka sangat sombong dan membanggakan ilmu pengetahuannya. Akhirnya, terperangkaplah mereka ke dalam kebiasaan menumpahkan darah sesamanya. Dengan kereta perang yang bisa terbang, mereka menembus langit menuju ke bintang-bintang tempat kediaman para malaikat, makhluk yang dicipta Allah dari cahaya.

Kesombongan makhluk-makhluk itu menimbulkan kerusakan di permukaan bumi. Tidak hanya makhluk-makhluk itu saja yang binasa dalam setiap peperangan, tetapi makhluk lain pun ikut menjadi korban. Hewan-hewan raksasa, pepohonan, gunung-gunung, dan hutan-hutan luluh lantak karena senjata mereka yang dahsyat. Kematian tersebar dimana-mana. Jika tidak segera dicegah maka dipastikan bumi akan binasa.

Gusti Allah memerintahkan para malaikat untuk membinasakan makhluk-makhluk yang ingkar kepada nikmat-Nya dan membanggakan kesombongan dirinya itu. Gusti Allah akan menggantikan makhluk-makhluk sombong itu dengan makhluk baru, yakni manusia. Demikianlah, para malaikat beramai-ramai turun ke bumi. Kota-kota dan benteng-benteng mereka yang kokoh dan perkasa diluluhlantakkan. Mereka dibinasakan oleh senjata-senjata malaikat yang lebih dahsyat daripada milik mereka. Sebagian besar di antara mereka binasa. Sisanya melarikan diri dari daratan menuju pulau-pulau di tengah samudera. Sebagian lagi bersembunyi di dasar bumi.

Berpuluh, beratus, bahkan beribu tahun makhluk-makhluk sombong yang selamat itu hidup dalam kegelapan dasar bumi. Allah pun menganugerahi mereka dan keturunannya untuk bisa melihat di dalam gelap. Makanan utama mereka adalah saripati tulang belulang. Tetapi, naluri leluhur mereka yang haus darah tidak juga bisa hilang dari keturunan mereka. Makhluk-makhluk itu tetap gemar minum darah manusia.

“Tuanku,” San Ali berkata setelah melihat Ario Abdillah berdiam diri agak lama, “guru agung hamba, Syaikh Datuk Kahfi, pernah membawakan riwayat hadits yang menjelaskan bahwa sebelum Nabi Adam, bumi ini dihuni makhluk dari bangsa jin. Menjelang Nabi Adam turun ke bumi, makhluk-makhluk dari bangsa Jin itu dihalau ke pulau-pulau di samudera. Tetapi, itu semua hanya penuturan beliau, Tuanku. Hamba belum menyaksikan sendiri.”

Ario tidak berkata sepatah pun. Namun, beberapa jenak kemudian tangannya menyambar tangan San Ali. Dan seperti berlari di atas padang rumput yang luas, begitulah Ario Abdillah mengajak San Ali menembusi lorong-lorong bawah tanah yang berliku-liku. Ario Abdillah baru menghentikan langkah ketika mereka sampai di sebuah danau berair jernih yang dilingkari pepohinan rindang.

“Tahukah engkau, o Anak,” gumam Ario Abdillah dengan suara ditekan, “dimanakah kita berada?”

“Hamba tidak tahu, Tuanku,” sahut San Ali.

“ketahuilah bahwa kita berada di Jawadwipa, tepatnya di bawah Gunung Anjasmoro.”

“Di Jawadwipa?” seru San Ali heran. “Kenapa kita tidak melewati laut?”

“Kita tidak melewati laut karena kita berada di dasar bumi,” Ario Abdillah menjelaskan. “Dan ketahuilah bahwa bentangan pulau-pulau di Nusantara pada hakikatnya satu kesatuan ikatan. Adanya laut yang memisahkan pulau satu dengan pulau yang lain bersifat permukaan belaka.”

“Luar biasa,” gumam San Ali sambil menyapukan pandangan ke sekitarnya dengan penuh ketakjuban.

San Ali yang masih diliputi rasa takjub hanya termangu-mangu keheranan ketika menyaksikan kerumunan orang dengan tubuh cabol dengan kepala besar dan tangan menjuntai ke bawah lutut di sekitar danau tak jauh dari tempatnya berdiri. Salah satunya memiliki janggut memanjang hingga ke dada. Rupanya dialah pemimpin mereka. Dengan celoteh yang tak jelas, dia mendekati Ario Abdillah. Kemudian dengan gerakan menghormat, dia merangkul kaki Ario Abdillah.

Ario Abdillah memperkenalkan orang cebol berjanggut panjang itu kepada San Ali dengan nama Kala Hiwang (Jawa Kuno: waktu menyimpang) yang sering dipanggil Buyut Kelewang, Kala Hiwang adalah sahabat yang banyak membantu saat dia masih menggeluti ajaran Bhirawatantra.

Ario Abdillah membaca semacam mantra. Sesaat sesudah itu keanehan terjadi. Tiba-tiba terdengar suara embusan angin bersuit-suit yang diikuti gemuruh bagai halilintar. Kemudian muncul gumpalan asap yang diikuti sesosok makhluk bertubuh raksasa dengan kulit hitam legam dan kepala gundul. Ia tidak berkumis, tetapi janggutnya terjuntai sampai ke perut. Begitu muncul, makhluk itu merunduk dan merangkul kaki Ario Abdillah, seperti Kala Hiwang. Menurut Ario Abdillah, makhluk itu adalah sahabat karibnya yang lain. Ia bernama Kala Hingsa (Jawa Kuno: pembunuh waktu), namun sering disebut Buyut Kelungsu (artinya, isi buah asam yang hitam dan keras).

Ario Abdillah berbicara dengan Kala Hiwang dan Kala Hingsa dengan bahasa yang tidak dimengerti San Ali. Namun, dari nada bicara dan gerak tubuh mereka, ia menangkap makna bahwa mereka bertiga sudah sangat lama tidak berjumpa. Bahkan dalam perbincangan itu, San Ali menangkap isyarat betapa Kala Hiwang dan Kala Hingsa terperangkap ke dalam kesedihan. Ario Abdillah terlihat beberapa kali menarik napas berat seolah-olah melepaskan beban yang menggumpal di dada.

Setelah cukup lama berbincang-bincang akhirnya Ario Abdillah mengajak San Ali meninggalkan tempat itu. Kali ini, San Ali merasakan perjalanannya cepat laksana kilat. Keduanya berhenti di suatu kota yang terang benderang dan berarsitektur aneh. Rumah-rumah dibangun bersusun-susun. Orang-orang berlalu-lalang dengan pakaian aneka warna. Kendaraan-kendaraan aneh tanpa hewan penarik berseliweran dengan suara gemuruh. Yang ajaib lagi, lampu-lampu yang menerangi kota tidak menggunakan nyala api.

Ario Abdillah menjelaskan bahwa kota itu terletak di lapis bumi ketujuh, lapisan yang paling dekat dengan tungku bumi. Para penghuninya berperadaban lebih maju dibanding penghuni di lapisan lain. Meski mereka maju, naluri suka menghirup darah manusia tetap belum hilang. Pada saat-saat tertentu, ketika bumi diliputi kegelapan, terutama saat terjadi gerhana, para penghuni lapis ketujuh itu beramai-ramai keluar dari kediaman mereka melalui kawah gunung berapi dan gua-gua. Mereka beriringan mencari mangsa untuk dijadikan jamuan pesta besar di bumi utara yang tenggelam dalam kegelapan selama lima bulan.

San Ali sangat terkesan dengan pengalaman menakjubkan mengenal makhluk-makhluk penghuni bumi selain manusia. Dalam berbagai kesempatan ia terus bertanya dan Ario Abdillah berusaha menjawab semua pertanyaannya. Jika dia tidak bisa menjelaskan tentang peradaban dan hasil budaya mereka maka tidak segan-segan dia mengajak San Ali mengunjungi kediaman mereka.

Suatu malam, Ario Abdillah mengajak San Ali mengunjungi bangsa Jin yang tinggal di bintang-bintang. Ia takjub ketika menginjakkan kaki di buntang az-Zuhal. Rembulan yang mengambang di langit berjumlah sepuluh. Makhluk-makhluk yang tinggal di sana wujudnya mirip manusia, namun kulit mereka sangat putih. Begitu putih sehingga urat-urat yang melingkar di wajah mereka terlihat jelas. Yang laki-laki sangat tampan. Yang perempuan sangat cantik. Semua berhidung mancung. Mata mereka biru bening bagai kristal. Rambut mereka putih agak kelabu. Anehnya, segala sesuatu yang ada di tempat itu berwarna putih. Batu-batuan. Tanah. Gunung. Bangunan. Pepohonan. Bahkan kendaraan-kendaraan aneh yang terbang dengan suara bergemuruh.

Ario Abdillah menjelaskan tentang adanya ruh-ruh manusia bumi yang menikah dan tinggal di alam Jin, sedangkan tubuh wadag-nya tetap di bumi. “Badan wadag tanpa ruh itu hidup tanpa kesadaran utuh. Jika ruhnya berbicara denagn siapa saja di alam Jin maka badan wadag-nya akan berbicara juga. Lantara itu, orang tersebut dianggap gila oleh orang-orang di bumi.”

“Jika ruhnya diajak balik ke badan wadag-nya?” tanya San Ali, “apakah orang tersebut akan sembuh dari gila?”

“Tentu saja, o Anak,” kata Ario Abdillah, “tetapi untuk membawa kembali ruh bukan pekerjaan gampang. Alam makhluk-makhluk itu sangat luas. Bisa saja ia tinggal di dasar bumi atau di bintang az-Zuhal, az-Zuhra, al-Utarid, al-Musytari, al-Murikh, bintang Soma, Bhrihaspati, Sukra, bahkan bintang Buda. Lagi pula, belum tentu ruh itu mau balik ke badan wadag-nya di bumi.”

Ketakjuban San Ali terhadap kehidupan makhluk-makhluk gaib itu nyaris membawanya ke lingkaran ciptaan Ilahi yang tidak diketahui batas akhirnya. Ia seolah-olah melupakan tujuan utamanya mencari Dia Yang Tak Terjangkau dan Tak Bisa Dibayangkan. Andaikan Ario Abdillah tidak menegurnya dengan keras dan mengusirnya, ia tentu akan terus berkutat dengan tumpukan tanda tanya tentang makhluk-makhluk ciptaan Gusti Allah tersebut. San Ali menyadari kekalahannya. Kemudian dengan penuh takzim ia berpamitan.

“Tuanku,” katanya seraya bersimpuh di depan Ario Abdillah, “Jika pada akhirnya tuanku menghendaki hamba melanjutkan perjalanan menuju Dia, kenapa selama ini Tuanku memperkenalkan hamba kepada makhluk-makhluk gaib itu? Bukankah lebih baik jika Tuanku mangajarkan hamba cara tersingkat menjalin hubungan dengan Dia?”

“Aku adalah aku. Engkau adalah engkau!” kata Ario Abdillah dengan suara tinggi. “Aku memiliki jalan sendiri. Engkau pun memiliki jalan sendiri. Karena itu engkau harus mencari jalanmu sendiri, o Anak.”

“Jika demikian, mengapa Tuanku memperkenalkan hamba pada kehidupan makhluk-makhluk gaib?” tanya San Ali penasaran.

“Jalan ini memang harus engkau lalui, o Anak, agar terpatri di dalam jiwa dan pikiranmu bahwa Gusti Allah itu Mahaagung, Mahakuasa, dan Mahapencipta. Keagungan-Nya tanpa batas. Kekuasaan-Nya tanpa batas. Ciptaan-Nya juga tak diketahui batasnya. Artinya dalam pencarian mengenal Dia, hendaknya cakrawala pikiranmu menjadi luas seperti hamparan langit. Dia bukan hanya Gusti Allah yang disembah umat Islam, melainkan Dia adalah Tuhan yang disembah seluruh umat manusia, hewan, tumbuhan, jin, malaikat, setan, iblis, bulan, bintang, matahari, dan berbagai makhluk ciptaan-Nya yang tak diketahui. Makhluk-makhluk itu hanyalah sebagian kecil saja dari ciptaan-Nya.”

San Ali tertunduk diam. Kata-kata yang diucapkan Ario Abdillah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan penjelasan guru agungnya. Namun, kenyataan tentang makhluk-makhluk selain manusia benar-benar mencengangkannya dan hampir membuatnya tergelincir dari tujuan semula.

Ario Abdillah akhirnya berterus terang bahwa tujuannya bertemu dengan Kala Hiwang dan Kala Hingsa di dasar bumi itu sebenarnya hendak berpamitan. “Usiaku sudah lanjut. Sudah saatnya aku kembali kepada-Nya.”

“Bukankah Tuanku masih kuat dan sehat?” tanya San Ali. “Hamba tak yakin barang sepuluh atau lima belas tahun lagi Tuanku bakal meninggal dunia.”

“Tidak,” sahut Ario Abdillah, “usiaku tinggal sepekan lagi. Pada tanggal kesembilan, hari Soma Manis (Senin Legi), bulan Waishaka, saat pecat sawet (pukul 10:00), yakni lima hari lagi, itulah saatku meninggalkan dunia ini. Karena itu, cepat-capetlah engkau pergi dari sini karena aku tidak ingin menyisakan sesuatu di hati dan pikiranku selain Dia.”

“Tuanku,” sergah San Ali heran, “bagaimana Tuanku bisa tahu dengan sangat jelas saat kematian Tuan?”

“Tidak perlu kujelaskan, tetapi jika engkau teguh pada tekadmu dan setia pada jalanmu maka engkau akan dianugerahi-Nya pengetahuan seperti itu,” sahut Ario Abdillah sambil menutup mata dan mulai mengatur napas serta melafalkan dzikir.

“Hamba mohon doa restu, Tuanku,” kata San Ali mencium kaki Ario Abdillah. Ia rasakan ada rongga kosong di dadanya, seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga, meskitidak tahu gerangan apa yang hilang itu. Dan sesaat ia merasa kehangatan membasahi pipinya. Sadarlah ia bahwa diam-diam titik-titik air bening telah menetes dari kelopak matanya.

~ Bag 6. Mereka Yang Terhijab

Mengikuti petunjuk Ario Abdillah, sesampainya di bandar Malaka, San Ali langsung mengunjungi Syaikh Abul Mahjuubin, seorang ulama terhormat keturunan Tamil-Melayu, penasihat ruhani kerajaan. Meski dikenal sebagai ulama yang alim, kehidupan Syaikh Abul Mahjuubin penuh kemewahan duniawi. Dia memiliki tidak kurang dari dua puluh kedai perniagaan yang tersebar dari bandar Malaka, Kandang, Umbar, Parit, Bunga, hingga Muar.

Sebagai ulama, Syaikh Abul Mahjuubin jarang terlihat keluar rumah. Dia selalu berada di dalam kamar. Tak seorang pun diperkenankan masuk. Jika ada yang bertanya apa yang dikerjakan Syaikh Abul Mahjuubin, murid-murid dan keluarganya akan mengatakan dia sedang menghitung tasbih. Meski kenyataan menunjukkan setiap hari sejumlah kotak berisi uang dari kedai-kedai perniagaan dibawa masuk ke kamar tersebut.

Karena kesibukannya ‘menghitung tasbih’ itu tak kenal waktu maka untuk menemui ulama tersebut bukan hal yang gampang. Beberapa muridnya menyeleksi benar siapa orang yang ingin bertemu Tuan Syaikh yang alim itu. Satu-satunya waktu luang Tuan Syaikh, kata murid-muridnya, hari Jum’at, meski San Ali menyaksikan sendiri bagaimana Tuan Syaikh itu di hari-hari lain menerima tamu-tamu penting, di antaranya pejabat-pejabat kerajaan. Pada hari itu, lanjut murid-muridnya, Tuan Syaikh berangkat ke masjid sambil menebarkan sedekah kepada gembel-gembel yang menunggu di pintu gerbang. Dan usai shalat Jum’at itulah San Ali dipersilakan duduk di ruang tamu, menunggu Tuan Syaikh datang.

Setelah menunggu barang satu jam, Syaikh Abul Mahjuubin kelihatan berjalan dengan kepala mendongak ke atas. Tanpa mengucap salam, ia masuk ke ruang tamu. Setelah bersalaman, Abul Mahjuubin duduk bersila di atas permadani tebal sambil menarik napas berat dan mata memandang penuh curiga ke sekujur tubuh San Ali mulai ujung rambut hingga ujung kaki.

Sebenarnya Syaikh Abul Mahjuubin adalah orang yang ramah dan pandai berbicara untuk menghangatkan suasana. Dengan usia barang enam puluh tahun, dia sepintas tampak bagaikan guru yang bijak. Namun, jika diamati lebih mendalam akan segera terasa bahwa dia bukanlah orang yang tulus dalam segala hal.

“Mamad, pelayanku, sudah menyampaikan hal awak datang kemari,” kata Abul Mahjuubin membuka pembicaraan.

“Juga keinginan saya menjadi murid Tuan?” tanya San Ali.

“Iya,” sahut Abul Mahjuubin pendek. “Dan aku heran, kenapa awak memilih berguru kepada aku?”

“Yang Mulia Ario Abdillah, Yang Dipertuan Palembang, menyarankan saya jika ingin mencari ‘Aku’ hendaknya berguru kepada Tuan,” ujar San Ali apa adanya.

“Masih hidupkah dia?” Abul Mahjuubin mengangkat alis kanannya ke atas.

“Tiga pekan lalu saya menjumpai beliau di kediamannya di Pedamaran. Namun, beliau sempat berkata kepada saya bahwa sepekan lagi beliau akan wafat.”

“Aneh-aneh saha bicara si Tua Bangka itu. Tapi apa maksud dia menyuruh awak berguru kepada aku?” tanya Abul Mahjuubin mengertak gigi tanda tak senang.

San Ali mengangkat bahu sambil menggumam, “Saya tidak tahu, Tuan.”

“Apa yang awak punya untuk bekal berguru kepada aku?” tanya Abul Mahjuubin mengangkat wajahnya ke atas.

“Saya tidak punya apa-apa, o Tuan Guru,” kata San Ali datar,” sebab kita sesungguhnya tidak memiliki apa-apa. Hanya Allah yang memiliki segala.”

“Awak bicara seperti itu sebagai apa?” sahut Abul Mahjuubin sinis. “Sebagai orang zuhud? Atau sebagai orang miskin yang menutupi kemiskinannya dengan alasan yang dibuat-buat? Atau si Tua Bangka itu yang mengajar awak bicara begitu?”

“Terserah Tuan menilai apa,” kata San Ali geli. “Sebab, kenyataannya saya memang tidak memiliki apa-apa. Jangankan uang, harta dan kekayaan lain, tubuh dan nyawa saya ini pun bukanlah milik saya.”

“Bagus jika itu yang awak mau,” Abul Mahjuubin berkata dengan suara ditekan. “Mulai sekarang, awak boleh ikut aku. Tapi ingat, awak harus sabar dan tawakal. Awak harus bisa membuktikan jika awak benar-benar orang zuhud yang tidak terpengaruh oleh gemerlap duniawi.”

“Terima kasih, Tuan.”

Abul Mahjuubin menerima San Ali di rumahnya. Namun, tidak seperti yang diharapkan, Abul Mahjuubin justru menempatkan San Ali di sebuah kedai perniagaan yang terletak di sekitar pelabuhan Malaka. Tidak main-main, San Ali dijadikan saudagar yang berkuasa penuh atas kedai tersebut.

Karena didudukkan sebagai saudagar pengelola kedai maka pakaian yang harus dikenakan San Ali haruslah pakaian yang pantas bagi saudagar. Ia harus memakai pakaian-pakaian yang terbuat dari sutera dengan hiasan benang emas. Terompahnya dari kulit. Dan seikat cincin emas bertahtakan intan menghiasi jari manisnya. “Awak harus bisa membawakan diri sebagai saudagar yang jujur dan terhormat,” Abul Mahjuubin mewanti-wanti.

Sebenarnya, ia hendak menolak dijadikan saudagar karena menurut pikirannya hal itu sangat tidak sesuai dengan jalan yang seyogyanya ditempuh dalam mencari ‘Aku’. Namun mengingat pesan Ario Abdillah, dengan berat hati ia menerima peran sementara menjadi saudagar sebagaimana dikehendaki Abul Mahjuubin. Siapa tahu ini adalah salah satu jalan menuju ‘Aku’, pikirnya.

Sekalipun menyadari bahwa dirinya tidak memiliki bakat berniaga dan sama sekali tidak menyukai pekerjaan berniaga, ia berkemauan keras menjalankan tugas dari Abul Mahjuubin dengan sebaik-baiknya. Ia ingin membuktikan bahwa sedalam apa pun ia menekuni perniagaan, namun hasrat hatinya tidaklah cenderung terhadap kekayaan duniawi yang diburu oleh para saudagar itu.

Entah ujian Tuhan atau keberuntungan sedang berpihak kepada San Ali. Dalam beberapa pekan ia sudah mengeruk keuntungan besar dan mendapatkan pelanggan baru. Dengan kejujuran, kesederhanaan, kepolosan, dan bahkan kenaifannya dalam berniaga, telah menjadikannya mengenal banyak orang, mulai dari saudagar besar, nahkoda, pelaut, tukang perahu, pedagang pasar, sampai kuli pelabuhan.

Perkenalan dengan berbagai kalangan itu membuka cakrawala pemahamannya terhadap keberadaan manusia yang memiliki keragaman sifat dan sikap. Di antara beragam manusia yang dikenalnya, ada seorang yang bernama Abul Maisir, anak sulung Syaikh Abul Mahjuubin.

Berbeda dengan ayahnya yang menjadi guru ruhani, Abul Maisir justru hidup seperti benalu yang berkembang biak di dahan dan ranting pohon keluarganya. Dikatakan benalu karena pekerjaan sehari-hari Abul Maisir adalah datang secara bergilir dari kedai satu ke kedai lain milik ayahnya untuk meminta setoran. Setoaran itu kemudian dibawanya ke meja judi. Seperti menggarami air samudera, begitulah uang yang dibawanya selalu ludes dalam tempo sekejap. Dari meja judi ke meja judi yang lain, dia bergulat dengan waktu untuk memenangkan pertaruhan, seibarat musafir mengejar fatamorgana di tengah gurun pasir. Makin dikejar makin jauh tak terjangkau.

Semula San Ali tidak mengetahui perilaku buruk Abul Maisir. Itu sebabnya, selama beberapa waktu ia selalu menyisihkan uang keuntungan kedai untuk diambil oleh Abul Maisir. Namun, bersama dengan bergulirnya waktu, terutama setelah ia ditanya oleh Abul Mahjuubin tentang hasil keuntungan dari kedai yang dikelolanya, barulah ia sadar bahwa Abul Maisir adalah orang yang keranjingan judi.

Tanpa ditutup-tutupi Abul Mahjuubin menuturkan tentang perilaku anak sulungnya yang memalukan itu. Dia menceritakan betapa Abul Maisir dengan kegemaran berjudinya itu telah menguras kekayaan keluarga lebih dari sepuluh juta ringgit. Abul Mahjuubin mengaku putus asa menghadapi Abul Maisir.

Setelah mendengar penjelasan Abul Mahjuubin, San Ali mengamati lebih cermat kehidupan Abul Maisir. Setelah mengamati selama beberapa waktu, tahulah ia bahwa hari-hari dari hidup Abul Maisir semata-mata memang diabdikan pada perjudian. Tidak ada waktu yang terlewatkan tanpa berjudi. Berapa pun uang yang dimilikinya, selalu tandas di meja judi. Abul Maisir benar-benar lupa daratan.

Jika Abul Maisir sedang kalah judi, begitu yang diketahui San Ali, dia akan marah-marah dan kemudian meminta uang kepada istrinya. Jika tidak ada uang dia akan meminta perhiasan atau barang apa pun yang bisa dijual. Jika tidak dipenuhi dia tidak segan-segan menghajar anak-anak dan istrinya. Abul maisir selalu bermata gelap. San Ali menilai betapa Abul Maisir sebenarnya sudah tidak waras. Jika sedang berjudi, bukan hanya anak dan istri yang dia lupakan, bahkan untuk mandi dan berganti pakaian pun dia seperti tidak ingat. Itu sebabnya, dia selalu tampil kuyu, kumal, dan tengik.

“Aku sebenarnya malu punya anak macam itu,” kata Syaikh Abul Mahjuubin suatu hari dengan wajah penuh duka. “Tetapi, bagaimana lagi? Dia anak sulung yang aku cintai. Dia itu tumpuan harapan aku. Karena itu, aku senantiasa berharap moga-moga dia bisa sadar.”

“Apa Tuan Guru tidak pernah menegurnya?” tanya San Ali ingin tahu.

“Sudah berulang-ulang aku menegurnya.” Syaikh Abul Mahjuubin menarik napas berat, “Namun, anak itu tidak pernah patuh akan nasihat aku.”

“Tuan tidak pernah bertindak kasar untuk mencegahnya berbuat maksiat?”

“Itulah kesulitan aku,” Syaikh Abul Mahjuubin menunduk. “Sejak kecil, dia anak yang aku sayang. Saat aku menderita dalam kemelaratan, dia ikut menghirup penderitaan. Saat aku dan istri hidup di gubuk beratap ijuk yang bocor, dia tidur kedinginan tanpa selimut kecuali sarung yang aku bebatkan ke tubuhnya. Rangkaian kisah sedih pada masa lalu yang aku alami bersama dia itulah yang membuat aku selalu merasa iba dan kasihan terhadap dia. Saat dia sakit demam aku berikrar bahwa andaikan dia sembuh maka segala keinginannya akan aku penuhi.”

Syaikh Abul Mahjuubin melanjutkan kisahnya. “Ikrar aku itulah yang sering dia jadikan senjata untuk memukul balik aku. Dia selalu mengatakan, sesuai ikrar aku dulu, bahwa aku hendaknya mengikuti keinginannya untuk berjudi. Dia mengatakan bahwa di dunia ini dia tidak ingin sesuatu yang berlebihan, istana, istri cantik, rumah mewah, perhiasan emas dan permata, kebun yang luas, atau kuda tunggangan yang mahal. Dia mengaku keinginannya sangat sederhana: berjudi.”

Berangkat dari peristiwa Abul Maisir, dengan cermat dan penuh kehati-hatian San Ali mulai mengamati perilaku anak sulung Syaikh Abul Mahjuubin dan teman-temannya sesama penjudi. Ia terutama memperhatikan sifat-sifat mereka. Apa sebenarnya yang mendorong orang-orang seperti Abul Maisir sampai lupa daratan jika sudah berjudi?

Melalui perenungan mendalam, San Ali beroleh hikmah kenapa syari’at melarang perbuatan judi. Karena, perbuatan itu ternyata mengarahkan dan membiasakan manusia untuk berwatak egois dan mau menang sendiri. Contoh sederhana, para penjudi pada dasarnya tidak memiliki sahabat dan saudara. Bayangkan, meskipun berkawan karib, jika sudah berada di dalam arena judi wajib dikalahkan dan dirampas miliknya. Watak penjudi jelas watak eksploitatif yang merugikan dan mengakibatkan ketidakseimbangan kehidupan bermasyarakat. Dan yang paling pokok adalah penjudi cenderung melupakan Tuhan karena dari waktu ke waktu yang diingat hanyalah kemenangan dan bagaimana cara mengalahkan lawan.

Ada sebuah peristiwa yang melukai jiwa San Ali, setidaknya yang berkenaan dengan kisah pedih para penjudi. Suatu saat, ia mendapati seorang saudagar Cina bernama Sian Coa, kawan judi Abul Maisir, tega menggadaikan istrinya gara-gara kalah berjudi. Betapa bodoh Sian Coa. Sudah seluruh miliknya ludes, istrinya pun tergadai. Bagi San Ali, kasus Sian Coa benar-benar kebodohan yang tak bisa diampuni. Sementara di kalangan kuli pelabuhan, beberapa kali terjadi perkelahian yang berakhir dengan pembunuhan. Bahkan yang sering terjadi, para kuli pelabuhan itu tertangkap mencuri uang gara-gara tak kuat menahan hasrat untuk berjudi.

Lain Abul Maisir lain pula Abul Khamrun, anak kedua Syaikh Abul Mahjuubin. Beda dengan kakaknya, Abul Khamrun gemar sekali mabuk-mabukan. Namun, perbedaan itu hanya pada tingkat kegemaran. Intinya keduanya adalah benalu. Karena, Abul Khamrun pun suka meminta uang kepada para pengelola kedai ayahnya. Lebih parah lagi, dia sering mengganggu orang lain jika sedang mabuk. Abul Khamrun dikenal sebagai pemabuk yang suka berkelahi.

Anak kedua Syaikh Abul Mahjuubin itu juga terseret melakukan perzinaan ke rumah-rumah pelacuran. Jika sudah mabuk dia melupakan anak-anak dan istrinya. Pekerjaan sehari-hari dia abaikan. Satu-satunya pekerjaan rutin Abul Khamrun adalah menunggu datangnya sore hari, ketika orang usai bekerja. Saat itulah, dia bersama-sama kawan-kawannya menikmati minuman keras di lepau tuak; sambil bernyanyi, tertawa-tawa, menari-nari, menantang-nantang, memaki-maki, dan sering berujung dengan perkelahian antara sesama pemabuk.

Di antara anak-anak Syaikh Abul Mahjuubin, yang paling menjengkelkan San Ali adalah Abul Kadzib, si bungsu. Hari-hari dari kehidupan Abul Kadzib dilalui dengan pekerjaan utama sebagai penipu ulung. Entah belajar dari mana Abul Kadzib ini sehingga dia sangat pandai bermanis tutur dan kata, sopan santun, ramah tamah, dan penuh janji indah sehingga setiap orang yang diajaknya berbicara selalu mempercayainya. Dan ujung dari perilaku Abul Kadzib adalah sumpah serapah dari orang-orang yang menjadi korban tipuannya.

Beberapa kali San Ali menyaksikan Abul Kadzib terpojok karena kepergok dengan orang-orang yang pernah ditipunya. Namun, sungguh ajaib, dengan tutur kata yang begitu santun dan penuh janji-janji, dia berhasil meloloskan diri. Bahkan San Ali sempat mengingatkan orang-orang yang pernah ditipu Abul Kadzib agar tidak mempercayai lagi omongannya. Anehnya, orang-orang yang sudah pernah tertipu itu masih juga percaya pada janji-janji Abul Kadzib dan mereka tertipu lagi.

Setelah mengamati dengan cermat, San Ali merasa sangat heran ketika mengetahui kehidupan nyata Abul Kadzib. Bayangkan, Abul Kadzib bukanlah penjudi dan pemabuk. Dia adalah penipu yang tiap saat berhasil mengeruk keuntungan. Anehnya, uang yang diperolehnya dari menipu itu ternyata selalu ludes tanpa sisa.

Setelah diamati lebih dalam, San Ali beroleh penjelasan bahwa Abul Kadzib ternyata sering mengeluarkan uang untuk membiayai anak-anak, istri, atau mertuanya yang sakit. Dia juga sering menyuap petugas yang menangkapnya. Bahkan yang mengherankan, karena susah diterima akal, Abul Kadzib yang kampiun menipu itu sering kehilangan uang karena dicuri, dirampok, dan bahkan ditipu orang.

Uang yang dikumpulkan anak ketiga Syaikh Abul Mahjuubin itu banyak dikeluarkan untuk membeli barang-barang mewah. Hampir tiap pekan Abul Kadzib selalu membeli pakaian bersulam benang emas dan berhias manik-manik. Tidak itu saja, dia melengkapi dirinya dengan keris-keris bergagang emas dengan bertahtakan intan dan permata. Cincin-cincin yang dikenakannya selalu dihiasi permata yang langka.

Bagi yang belum kenal dekat dengan Abul Kadzib, selalu muncul kesan bahwa anak bungsu Syaikh Abul Mahjuubin itu adalah salah seorang pangeran di antara putera-putera sultan. Kesan itu timbul karena penampilannya memang selalu mewah dan mengesankan gerak-gerik kebangsawanan. Namun, bagi yang sudah kenal dekat apalagi sudah pernah ditipu, tentu akan segera mafhum. Dia berpenampilan seperti itu untuk menipu calon korbannya.

Semakin dalam San Ali mempelajari perikehidupan manusia yang dikenalnya, terutama keluarga Syaikh Abul Mahjuubin, ia semakin dapat membaca dan memahami sifat dan kecenderungan-kecenderungan manusia yang berpangkal dari dorongan nafsu lawwammah, su’iyyah, dan ammarrah yang tak terkendali. Maksudnya, dalam memandang contoh perilaku keluarga Syaikh Mahjuubin, ia tidak lagi sebagai perilaku individu, tetapi sebagai sebuah kemestian dari sifat dan perbuatan manusia akibat dorongan ketiga nafsu buruk yang tak terkendali.

Dengan kecerdasan pikiran dan ketajaman mata hatinya, ia menangkap bagaimana citra diri manusia-manusia yang hidupnya dikendalikan oleh ketiga nafsu: lawwammah, su’iyyah, dan ammarrah, melahirkan sifat-sifat buruk, seperti takabbur, kibr, ujub, riya’, ghadhab, tafakhkhur, bukhl, hubbul mal, ghibah, dan namimah; yang berujung pada munculnya perselisihan.

Dengan pemahaman seperti itu, ia menyimpulkan betapa andaikata Allah tidak menurunkan syari’at agama ke permukaan bumi niscaya kehancuranlah yang akan menimpa manusia. Sebab, sifat-sifat yang muncul dari ketiga nafsu itu bermuara kebinasaan. Masing-masing ingin menguasai yang lain. Dan dalam keadaan tercekam oleh pengaruh nafsu tersebut maka kesadaran manusia akan terhijab dari cahaya kebenaran. Maksudnya, semakin kuat seseorang hidup dalam lingkaran nafsu maka akan semakin tebal dinding hijab yang menutupinya dari cahaya kebenaran.

Bagi San Ali, persoalan sifat dan perbuatan manusia yang terkungkung oleh kuatnya hawa nafsu itu hanya bagian dari persoalan yang lebih besar, yakni tentang takdir Ilahi yang berkaitan dengan orang-orang beruntung yang bakal menjadi penghuni surga dan orang-orang sial yang akan menghuni neraka. Kenapa Allah membagi manusia beruntung dan manusia sial? Betapa kasihannya orang-orang yang ditakdirkan bernasib sial?

San Ali berkenalan dengan seorang saudagar muda bernama Datuk Musa, yang tidak lain dan tidak bukan adalah putera Syaikh Datuk Ahmad. Sedang Syaikh Datuk Ahmad kakak kandung Syaikh Datuk Sholeh, ayah kandung San Ali. Allah Maha Mengatur. Dan bermula dari pertemuan dengan Syaikh Datuk Ahmad inilah, ia mengetahui dengan agak jelas garis keturunan leluhurnya.

Dari penjelasan Datuk Musa, tahulah ia bahwa baik Syaikh Datuk Sholeh maupun Syaikh Datuk Ahmad tidak disukai penguasa. Mereka hidup dalam keprihatinan karena segala gerak-geriknya diawasi oleh kaki tangan penguasa.

Syaikh Datuk Ahmad mencari nafkah dengan membuka kedai kecil yang cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Sore hari, lanjut Datuk Musa, ayahandanya hanya diperbolehkan mengajar anak-anak mengaji Al-Qur’an. Tidak satu pun orang dewasa diperbolehkan menimba ilmu kepada Syaikh Datuk Ahmad karena dikhawatirkan akan menggalang kekuatan antipemerintah.

Cerita Datuk Musa itu tentu saja dapat dipahami San Ali. Sepengetahuannya, ayahanda dan guru agungnya sampai tinggal di negeri Caruban pun pada dasarnya karena sultan keturunan Tamil yang berkuasa saat itu mengancam hidup mereka. Jadi, cerita Datuk Musa tentang keprihatinan hidup keluarga ayahandanya merupakan hal yang wajar bagi dirinya. Apa pun keadaannya, ia sangat ingin menemui Syaikh Datuk Ahmad.

Akhirnya, pada suatu malam, dengan penuh kehati-hatian San Ali diantar Datuk Musa menjumpai Syaikh Datuk Ahmad yang tinggal di sebuah rumah sederhana di pinggiran bandar Muar. Di depan rumah itu ada kedai kecil. Agak ke samping kiri ada surau untuk anak-anak mengaji. Meski hidup dalam kesederhanaan, tampak sekali kesan bahwa Syaikh Datuk Ahmad adalah orang yang disegani. Ada pancaran wibawa dari rumah sederhana yang dihuninya. Seekor harimau, begitu pikir San Ali, tetaplah harimau meski dimasukkan ke kandang kambing.

Pertemuan antara San Ali dan Syaikh Datuk Ahmad berlangsung dengan penuh rasa haru. Syaikh Datuk Ahmad dengan bercucuran air mata memeluk tubuh San Ali erat-erat seolah-olah tak ingin melepasnya. San Ali merasakan sesak memenuhi dadanya. Ia dekap tubuh renta kakak kandung ayahanda yang tak pernah ia ketahui wajahnya itu. Ia membayangkan Syaikh Datuk Ahmad adalah ayahandanya yang ia rindukan selama bertahun-tahun.

“Sudah sebulan ini,” kata Syaikh Datuk Ahmad terisak, “aku selalu bermimpi didatangi si Sholeh. Tidak tahunya awak sudah sampai kemari. Meski Sholeh sudah meninggal, awak adalah bagian dari jiwanya yang tetap hidup. Awak harus bisa meneruskan perjuangan keluarga kita di dalam menegakkan kebenaran di muka bumi. Awak adalah harapan keluarga besar kita. Aku berharap moga-moga awak memiliki semangat juang seperti si Sholeh yang tak mau tunduk kepada siapa pun dalam menegakkan kebenaran Ilahi.”

“Guru agung saya, Syaikh Datuk Kahfi,” sahut San Ali, “Selalu menanamkan itu kepada saya. Beliau selalu menekankan bahwa di setiap kesempatan apa pun saya harus tetap berjuang membawa kebenaran. Di setiap keadaan saya harus bisa menjadi cahaya penerang bagi mereka yang kegelapan. Dan beliau selalu berwasiat agar saya tak kenal menyerah menghadapi tantangan seberat apa pun.”

“Ah . . . ah, aku tidak menyangka jika anak aku, si Kahfi, berhasil menjadi orang besar di rantau,” kata Syaikh Datuk Ahmad mengusap air mata. “Alhamdulillah, Ya Allah, Engkau angkat derajat kami melalui anak kami. Alhamdulillah, Ya Allah!”

“Uwak,” tanya San Ali dengan kening berkerut, “benarkah Syaikh Datuk Kahfi adalah putera Uwak?”

“Ya, dia, si Kahfi, anak sulungku,” sahut Syaikh Datuk Ahmad masih bercucuran air mata. “Dia kakak si Bayan dan si Musa. Si Bayan sekarang tinggal di Makah. Sudah dua puluh tahun lebih ia di sana. Menurut berita, ia menjadi guru dan disebut orang dengan nama Syaikh Datuk Bayanullah. Sedang si Kahfi, aku tak mengira kalau dia juga jadi guru.”

“Jadi,” gumam San Ali bingung, “Syaikh Datuk Kahfi adalah saudara sepupu saya? Kenapa selama ini beliau mengaku adik sepupu ayahandaku?”

“Si Kahfi selalu punya alasan jika melakukan sesuatu hal,” Syaikh Datuk Ahmad menarik napas berat. “Bisa saja dia mengatakan itu karena tahu engkau dilahirkan dalam keadaan yatim dan kemudian piatu. Sehingga, sebagai satu-satu keluarga, si Kahfi ingin mendudukkan dirinya sebagai pengganti orang tuamu. Sebab, bagi seorang anak yatim dan piatu, kawan sebaya mudah dicari, namun yang bersikap seperti orang tua sangat sulit didapat.

Dari beberapa surat yang dia kirim tidak pernah berkisah kalau dia sudah menjadi orang besar di negeri orang. Dia selalu bercerita kehidupannya dilindungi Allah. Rupanya, anak itu tidak ingin keluarganya di sini mendapat masalah besar jika tahu salah seorang di antara kami ada yang jadi orang besar di rantau.”

San Ali termangu-mangu mendengar penuturan Syaikh Datuk Ahmad. Gambaran-gambaran kasih sayang guru agungnya, yang bagai seorang bapak, berkelebat memasuki benaknya. Saat itu juga ia sadar, betapa bijaksana dan arif guru agungnya itu. Betapa dalam pemahaman guru agungnya atas jiwa manusia. Dan hal yang tak pernah diduganya adalah Syaikh Datuk Kahfi memiliki saudara kandung yang mengajar ilmu agama di Makah. Ini berarti, pikirnya, di dalam darahnya mengalir darah para ulama agung penyebar ajaran Rasulallah Saw.

Menyadari dirinya memiliki darah ulama, San Ali langsung bertanya tentang asal usul leluhurnya, “Apakah para leluhur kita adalah ulama besar? Siapa sajakah para leluhur kita itu, o Uwak Yang Mulia?”

Syaikh Datuk Ahmad terdiam beberapa jenak. Sesudah itu dia menjelaskan, “Ayahanda aku bernama Syaikh Datuk Isa. Dialah yang pertama tinggal di negeri Malaka ini. Kakekku bernama Amir Ahmadsyah Jalaluddin. Dia adalah Kepala Negeri Surat, Gujarat. Beliau menggantikan kedudukan ayahandanya, Amir Abdullah Khanuddin. Sedang ayahanda Amir Abdullah Khanuddin adalah Syaikh Sayyid Abdul Malik al-Qozam, beliau adalah ulama besar di Surat. Ayahanda Syaikh Sayyid Abdul Malik adalah Sayyid Alawi. Sayyid Alawi merupakan putera Sayyid Muhammad Shohibul Marbath. Sayyid Muhammad Shohibul Marbath putera Sayyid Ali Khaliq al-Qozam. Sayyid Ali Khaliq al-Qozam putera Sayyid Alawi Amir al-Faqih. Sayyid Alawi al-Faqih putera Sayyid Muhammad. Sayyid Muhammad adalah putera Sayyid Alawi. Dan Sayyid Alawi merupakan putera Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad al-Muhajir.”

“Siapakah ayahanda dari neneknda Sayyid Ahmad al-Muhajir?” tanya San Ali.

“Ayah aku tidak jelas menyebutkan nama ayahanda Sayyid Ahmad al-Muhajir. Beliau hanya menyatakan bahwa leluhur kami adalah para ulama Alawiyyin keturunan Sayyidina Husein. Menurut ayah aku, sejak masa Sayyid Ahmad al-Muhajir itulah keturunan Sayyidina Husein bertebaran di bumi Allah menyiarkan api kebenaran Agama Rasulallah. Leluhur kita yang awal sekali menyiarkan Agama Rasulallah Saw. di negeri Gujarat adalah Sayyid Ubaidillah, putera Sayyid Ahmad al-Muhajir. Jadi, di dalam darah kita sesungguhnya mengalir darah para sayyid keturunan Sayyidina Husein bin Ali bin Abu Thalib.”

Ketika San Ali terperangkap ke dalam perenungan, tiba-tiba Syaikh Datuk Ahmad memecah keheningan dengan bertanya, “Anak aku, bolehkah Uwak bertanya sesuatu kepada engkau?”

“Gerangan apakah yang akan Uwak tanyakan?”

“Anak aku, kenapa awak sekarang ini justru menjadi saudagar kaya? Kenapa awak bukannya menjadi seorang guru agama seperti leluhur-leluhur awak?”

San Ali menjelaskan ihwal perjalanan ruhaninya mencari kesejatian ‘Aku’ yang akhirnya membawanya kepada Syaikh Abul Mahjuubin. “Semula saya berpikir hal itu sangat tidak sesuai dengan tujuan saya. Namun, saya terima juga peran itu hingga salah satu hikmahnya adalah pertemuan di antara kita ini, Uwak. Menjadi saudagar bukanlah kehendak saya pribadi, melainkan hanya sebagai salah satu bagian dari perjalanan panjang saya mencari ‘Aku’. Jadi, Uwak, jika saya merasa telah tiba saat saya harus mengakhiri kehidupan sebagai saudagar, tidak pelak lagi akan segera saya tinggalkan semua. Ini bukanlah jalan saya yang sebenarnya, Uwak.”

Syaikh Datuk Ahmad tersenyum dengan air mata terus bercucuran. Dia benar-benar bangga bahwa di antara keluarganya bakal muncul cahaya baru pembawa tugas mulia yang akan menerangi kehidupan umat manusia. Dia bangga, meski kebesaran nama keluarganya hanya dicapai di negeri yang jauh. Syaikh Datuk Ahmad sadar anak-anak kandungnya sendiri tidakklah mungkin mengembangkan diri di bidang dakwah agama di negeri Malaka ini. Pemerintah sudah terlanjur mencurigai keluarganya. Sejak Sultan Muzzafar Syah berkuasa hingga Sultan Mansyur Syah, kebijakan mencurigai keluarganya tak pernah berubah. Dan akibatnya, Datuk Musa, anaknya, yang sebenarnya berilmu agama luas, harus hidup sebagai saudagar. Lantaran itu, Datuk Musa tidak berhak menggunakan gelar kebesaran Syaikh Datuk, ia hanya bisa menyandang gelar Datuk saja.

“Anak saudara aku,” kata Syaikh Datuk Ahmad, “sebenarnya keluarga kita sangat banyak, tetapi kita tidak tahu di mana mereka sekarang berada. Menurut ayah aku, beliau memiliki saudara tiga orang, yaitu Syaikh Sayyid Jamaluddin Husein, Syaikh Sayyid Malik Ibrahim, dan Syaikh Datuk Imam Wardah. Syaikh Sayyid Jamaluddin Husein, menurut ayah aku, tinggal di Samarkand dan menjadi guru agung di sana. Syaikh Sayyid Malik Ibrahim menjadi guru agung di Jawa. Sedang Syaikh Datuk Imam Wardah menjadi imam bagi jama’ah Muslim di negeri Kedah. Gelaran Syaikh Datuk bagi ayah aku dan saudaranya, Imam Wardah, didapat dari Sultan Pasai, yakni Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah, dan kemudian dikukuhkan lagi oleh Sultan Malaka, yaitu Sultan Megat Iskandar Syah.”

“Berarti kita masih punya keluarga di Samarkand, Kedah, dan Jawa?”

“Yang di Kedah sudah tidak ada,” kata Syaikh Datuk Ahmad. “Sebab, paman aku itu ketika wafat tidak memiliki keturunan. Beliau dimakamkan di Pasai. Sedang yang di Samarkand dan Jawa dikabarkan menjadi ulama besar. Salah satu putera Syaikh Sayyid Jamaluddin Husein yang bernama Sayyid Ibrahim, kata ayah aku, pernah tinggal di Gujarat dan bertemu dengan ayah aku di sana. Sayyid Ibrahim ingin ke Kedah dan Jawa untuk menemui paman-pamannya. Tetapi, sesudah itu ayah aku tidak pernah lagi terdengar berita.”

Mendengar uraian uwaknya, San Ali merasakan daya hidup memancar dari kedalaman jiwanya. Ia seperti menemukan harta karun tak ternilai. Harta karun itu adalah keluarga. Ia ternyata tidak sebatangkara, tanpa sanak dan keluarga. Dan yang paling menggembirakan, keluarganya lahir dari lingkungan sayyid keturunan Sayyidina Husein, cucu Rasulallah Saw.

“Anak saudara aku,” kata Syaikh Datuk Ahmad dengan tangan gemetar memegangi kedua bahu San Ali, “sekarang harapan aku dan harapan seluruh keluarga kita hanya ditujukan kepada awak, maka sejak saat ini awak harus menggunakan gelar kebesaran keluarga kita. Awak akan aku beri nama baru dengan gelar kebesaran keluarga kita. Apakah awak bersedia?”

“Apa pun yang Uwak berikan akan saya terima,” kata San Ali memegangi kedua tangan Syaikh Datuk Ahmad. “Hanya doa, berkah, dan restu dari Uwak yang selalu saya harapkan. Semoga saya kuasa menjalankan pesan-pesan dan amanat keluarga kita.”

“Ingat-ingatlah, o Anak Saudara aku,” kata Syaikh Datuk Ahmad bersemangat, “sejak kini awak akan disebut orang dengan nama Datuk Abdul Jalil. Jika awak nanti menjadi guru agama yang arif dan bijak, awak berhak menggunakan gelaran nama Syaikh Datuk Abdul Jalil. Semoga Allah senantiasa merahmati awak. Semoga awak bisa mencapai cita-cita awak dan senantiasa menjadi hamba dari Robbul Jalil yang sejati.”

“Amin!”

Nama baru itu tanpa diduga membawa perubahan besar pada kehidupan San Ali. Gerak-geriknya mulai diamati oleh para pembantunya yang mendapat tugas khusus dari Syaikh Abul Mahjuubin. Beberapa pejabat kerajaan rupanya telah memberi tahu Syaikh Abul Mahjuubin tentang kemunculan keluarga Syaikh Datuk Sholeh dalam wujud Datuk Abdul Jalil, yakni saudagar kepercayaannya yang mengenalkan diri dengan nama San Ali.

Syaikh Abul Mahjuubin menyadari benar bahaya yang bakal dialaminya jika terus memiliki kaitan dengan Datuk Abdul Jalil. Dia lantas mencari jalan agar saudagar kepercayaannya itu terlepas sama sekali dari lingkaran kehidupannya. Meski perniagaannya maju pesat dan untung berlimpah, dia tetap mengutamakan keselamatan diri dan keluarganya. Apa pun yang terjadi, San Ali alias Datuk Abdul Jalil harus terpisah dari kehidupannya, begitu pikir Syaikh Abul Mahjuubin.

Setelah berpikir keras, akhirnya dia menemukan titik lemah Abdul Jalil, yakni kebiasaannya membelanjakan uang keuntungan usaha. Abdul Jalil selalu menyisihkan separo dari keuntungan yang diperolehnya untuk dibagi-bagikan kepada para kuli atau gelandangan yang berkeliaran di pelabuhan.

Kegemaran Abdul Jalil itu oleh Abul Mahjuubin dijadikan alasan untuk marah besar. Satu pagi, dengan lagak bersungut-sungut, dia mendamprat Abdul Jalil. Dia menilai Abdul Jalil telah melakukan kemubaziran dengan membuang-buang uang tanpa guna dan manfaat.

Abdul Jalil yang sejak awal tidak sedikit pun tertarik menjadi saudagar, dengan tenang menjawab semua dampratan Abul Mahjuubin sambil tertawa. “Tuan Guru tak perlu marah! Karena, saya tidak merugikan Tuan dengan apa yang telah saya lakukan ini. Apa yang sudah saya lakukan itu adalah tuntutan agama kita.”

“Bagaimana awak bisa bilang tak merugikan? Bagaimana awak bilang perbuatan mubazir itu tuntutan agama kita?” kata Abul Mahjuubin dengan wajah memerah. “Berapa besar wang yang sudah awak hamburkan? Tidakkah awak pernah menghitungnya?”

“Bukankah itu hanya separo dari keuntungan?” Abdul Jalil mengerutkan kening, “Bukankah Tuan Guru tidak rugi apa-apa?”

“Tapi andaikata tidak awak ambil separo, keuntungan itu kan masih utuh? Apakah awak tidak merasa aneh dengan tindakan membagi-bagi wang itu? Tanyakan kepada seluruh saudagar di Malaka dan di seluruh dunia, adakah mereka yang berbuat seperti awak?” Abul Mahjuubin marah sambil mengertak gigi.

“Tuan Guru,” kata Abdul Jalil tertawa dengan nada mengejek, “apakah Tuan menghendaki saya sebagai orang upahan? Berapa Tuan membayar upah saya? Maksud saya, jika Tuan Guru tidak berkenan dengan apa yang telah saya lakukan maka anggaplah bahwa uang yang saya bagi-bagikan itu sebagai upah saya. Hak saya.”

“Awak adalah murid aku,” sergah Abul Mahjuubin. “Awak aku jadikan saudagar bukanlah sebagai pegawai aku, melainkan sebagai murid aku. Awak aku latih sekaligus aku uji; apakah hati awak terpaut dengan kekayaan duniawi atau tidak. Jadi, awak jangan berbicara tentang upah.”

“Apakah Tuan Guru menganggap saya sebagai budak?” tanya Abdul Jalil tegas.

“Aku tidak pernah menilai begitu. Itu adalah anggapan awak sendiri yang tidak memahami bagaimana maksud aku sebenarnya,” kata Abul Mahjuubin datar.

“Tuan Guru,” sergah Abdul Jalil dengan wajah mengeras, “Tuan telah melihat sendiri bahwa sampai sejauh ini hati saya tetap tidak terpaut dengan harta benda duniawi. Bahkan Tuan Guru tahu bahwa uang dari kedai ini lebih banyak dihamburkan oleh Abul Maisir, Abul Khamrun, dan Abul Kadzib, anak-anak Tuan Guru terkasih daripada oleh saya. Sebab itu, o Tuan Guru, izinkanlah saya meninggalkan pekerjaan ini. Terbukti sudah bahwa hati dan pikiran saya tetap tidak terpengaruh bisikan duniawi sampai kapan pun saya bekerja sebagai saudagar.”

“Tetapi bukankah dengan tetap menjadi saudagar, awak dapat terus mempertahankan kebersihan hati dan pikiran awak dari bisikan duniawi?” Abul Mahjuubin mencoba memancing.

“Tuan Guru,” kata Abdul Jalil mendesah, “jika sebongkah batu hitam ditetesi setitik air terus-menerus maka satu saat batu itu akan berlubang. Begitu juga jika saya menggeluti pekerjaan sebagai saudagar, satu saat kelak hati dan pikiran saya akan berhasil dilubangi oleh setan yang bakal menjerumuskan saya ke jurang kecintaan duniawi. Bagaimana mungkin saya bisa menemukan ‘Aku’ jika setiap hari yang saya kerjakan hanya menghitung ‘aku’ demi ‘aku’ kerdil, yaitu benda-benda duniawi yang ditutupi hijab berlapis-lapis dari ‘Aku’ sejati?”

Akhirnya, Abul Mahjuubin dengan berpura-pura berat hati melepas kepergian Abdul Jalil. Dia merasa ada kekosongan bersimaharajalela di dadanya. Dia merasa pedih menyaksikan tekad Abdul Jalil yang begitu kokoh menghadapi berbagai ujian berat. Andaikata dia yang harus mengalami nasib serupa: mengelola kedai perniagaan selama hampir tiga tahun dan saat mendapat untung besar kedai itu harus ditinggalkan begitu saja tanpa membawa apa-apa; tentu dia merasa berat hati.

Lepas dari kelegaan akibat hidupnya terbebas dari Abdul Jalil yang dicurigai penguasa, Syaikh Abul Mahjuubin merasakan betapa jauh di dalam relung-relung jiwanya dia memendam seberkas penyesalan atas jalan hidupnya yang penuh liku-liku kesulitan; melintasi samudera, gunung, lembah, jurang, dan ngarai bendawi yang tak bertepi. Dia sadar bahwa keberadaann ‘aku’ dirinya sudah terhijab oleh berlapis-lapis tirai bendari dari ‘Aku’. Dia sadar, lantaran keterhijaban itu maka ketiga anaknya terperosok ke dalam lingkaran kemaksiatan yang bakal membawanya ke tungku neraka.

Sebagai guru ruhani, Syaikh Abul Mahjuubin sebenarnya mengetahui bahwa kehidupannya yang dilingkari kemewahan duniawi adalah kehidupan yang jauh dari kebenaran Ilahi. Dia sadar telah terjebak dalam lingkaran kemunafikan, yakni berkata-kata dengan nasihat dan fatwa-fatwa agama, tetapi pada kenyataannya malah melanggar segala yang ditetapkan agama. Ketika mulutnya berkata tentang cinta dan ketaatan kepada Allah maka hati dan perbuatannya menunjukkan cinta dan ketaatan kepada selain Allah. Bahkan anak-anak yang diharapkannya saleh, ternyata menjadi ahli maksiat. “Tetapi, bukankah segala apa yang aku jalani sekarang ini adalah kehendak-Nya juga?” gumamnya menghibur diri.