Suluk Abdul Jalil ~ Syekh Siti Jenar
( Bag 1 sd 3 )
~ Bag 1. Yang Dikutuk yang Dipuji
Langit hitam dipadati gumpalan awan kelabu.
Nusa Jawa yang terapung di permukaan laut bergetar dalam selimut kabut ketakutan, kegelisahan, keresahan, dan kecurigaan yang menebar di segenap penjuru hingga sudut-sudutnya. Terang matahari dan cahaya rembulan purnama tidak mampu lagi mengusir kabut tebal yang menerkam ujung terdalam jiwa manusia yang hidup di atasnya. Bagaikan gembala memelihara ternak di tepi hutan yang banyak harimau dan serigala, demikian para penghuni Nusa Jawa saling melirik dan mencuri pandang dengan sorot mata penuh curiga, seolah-olah menghadapi ancaman hewan buas.
Seiring melesatnya waktu, langit pun terang tanpa awan. Biru.
Berbeda dengan langit biru terang tanpa awan. Di permukaan Nusa Jawa, kabut masih kuat dan pekat menutupi seluruh penjuru kehidupan para penghuninya. Bayangan-bayangan hewan buas dan hantu-hantu yang mengerikan berkeliaran di tengah gumpalan kabut: menyeringai, meraung, melolong, melenguh, dan menggeram bagai makhluk haus darah mengintai mangsa. Gerangan apakah yang terjadi di negeri subur dan makmur berkelimpah padi, buah-buahan, susu, dan madu itu?
Lebih sewindu lalu, menurut cerita burung yang menyebar dari mulut ke mulut, terjadi prahara yang mengerikan dan menabur kebinasaan di Nusa Jawa. Prahara itu akibat benturan dahsyat dua angin berkekuatan besar yang membadai; yang satu adalah badai merah yang datang dari arah barat, sedang yang lain adalah badai putih yang datang dari timur. Padahal, kedua badai itu pada awalnya sama, yakni angin sejuk dan segar yang berembus sepoi-sepoi membasahi pepohonan, rerumputan, serta bebatuan.
Penyebutan nama badai merah yang berembus dari barat dinisbatkan kepada sang penebar badai, Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar (Tanah Merah), yang digolongkan sebagai pembangkang. Lantaran itu, para pengikutnya disebut golongan Abangan yang memiliki makna pengikut Syaikh Siti Jenar. Dengan adanya sebutan Abangan maka kesukaan orang Jawa untuk menyama-nyamakan dan mengaitkan satu hal dengan hal lain pada gilirannya memunculkan sebutan golongan Putihan, yang selain dihubungkan dengan pakaian mereka yang serba putih juga dikaitkan dengan kata patuh (bahasa Arab = Muthi’an).
Munculnya sebutan golongan Putihan membawa perkembangan yang lain lagi. Jika sebelumnya golongan Abangan dinisbatkan sebagai pengikut Syaikh Siti Jenar maka dengan pemaknaan patuh bagi golongan Putihan menimbulkan asumsi tidak patuh alias membangkang pada golongan Abangan. Demikianlah, para pengikut Syaikh Siti Jenar dicap sebagai golongan pembangkang, bahkan murtad.
Menurut cerita, benturan dua badai berlawanan arah itu puncaknya terjadi di Kesultanan Demak, pusat kekuasaan Islam yang paling awal di Nusa Jawa. Tragisnya, prahara yang merupakan bagian dari drama di atas panggung kehidupan itu adalah benturan antara angin Islam dan angin Islam sendiri. Tragedi anak manusia apakah yang sedang berlangsung di zaman itu?
Pada perempat awal abad ke-16 Masehi, angin sejuk Islam yang dibawa oleh para penyebarnya sedang berembus kencang dan membadai di pantai utara Nusa Jawa. Bagaikan tiupan dari tengah samudera melanda gugusan pantai, demikianlah angin hijau yang semula sepoi-sepoi membasahi kegersangan jiwa para penghuni negeri yang telah letih dipanggang hingar-bingar tungku peperangan itu, berangsur-angsur menjadi badai yang menggetarkan. Hal itu berlangsung ketika menara gading Majapahit yang pernah menebarkan zaman keemasan di segenap penjuru negeri telah tak berdaya lagi. Padam. Terpuruk menjadi reruntuhan puing yang dihuni tikus, anjing geladak, burung gagak, rayap, dan kuman penyakit.
Di tengah meredupnya cahaya kekuatan Majapahit itulah angin sejuk Islam secara bergelombang mulai bertiup di pesisir utara Nusa Jawa. Bermula dari Gresik, Tuban, Ampel Denta, dan Bintara, angin sejuk itu menumbuhkan benih-benih kehidupan di reruntuhan negeri yang gersang. Bagaikan angin penggiring awan yang menurunkan rinai hujan, begitulah ia membasahi kegersangan jiwa penghuni negeri dengan siraman air ruhaniah. Setapak demi setapak, tunas-tunas kehidupan ruhani mulai tumbuh menghijau di tanah kerontang. Dan gumpalan awan pembawa hujan semakin berarak ke segenap penjuru negeri.
Pada saat yang hampir bersamaan, di bagian barat Nusa Jawa, tepatnya di Lemah Abang, di tlatah nagari Caruban, bertiuplah angin sejuk Islam yang membawa gumpalan kabut. Menerobos dan menembus hutan, lembah, gunung, bukit, jurang, dan persawahan yang kering dicekik kemarau panjang. Gumpalan kabut yang memuat butir-butir air itu membasahi setapak demi setapak hamparan lembah, bukit, gunung, ngarai, dan jurang kemanusiaan yang sudah gersang tanpa makna. Menara gading Galuh dan Pajajaran yang pernah memancarkan warna keemasan telah tidak berdaya kini; terpuruk menjadi reruntuhan puing kemanusiaan yang menyedihkan.
Embusan angin sejuk Islam yang bertiup makin kencang dari dua arah yang berlawanan itu ternyata tunduk pada hukum alam. Saat mereka bertemu pada satu pusaran tiba-tiba berubah menjadi puting beliung berkekuatan raksasa yang berpusar dahsyat melanda dan membinasakan segala yang diterjangnya. Keduanya bertumbuk. Dorong-mendorong pun berlangsung seru. Namun, kekuatan dahsyat angin dari timur terbukti memenangkan pergulatan sehingga angin prahara Islam yang membawa gumpalan kabut itu terdorong ke arah barat.
Bagaikan al-Maut menggiring wadyabala, begitulah prahara kemanusiaan itu tanpa kenal ampun melanda pedesaan; meluluhlantakkan rumah, sawah, pasar, kebun, kandang hewan, hutan, lembah, bukit, dan gunung. Dan di tempat-tempat di mana angin itu menderu, terhamparlah citra kebinasaan al-Maut; kepala terpisah dari tubuh, luka menganga, darah mengalir, air mata membanjir, derita menggenang, kegelisahan mencakar, keresahan menerkam, ketakutan mencekik, kepanikan merajalela, dan kematian mengintai di setiap sudut kehidupan.
Kebinasaan tampaknya belum cukup mengukir tragedi kehidupan anak manusia. Iblis, anasir kegelapan yang terlaknat dan terusir, beserta wadyabala bagaikan kawanan gagak pemakan bangkai yang memencar ke segala penjuru negeri seusai badai berlalu. Demikianlah, kawanan gagak hitam perwujudan iblis itu beterbangan sambil berkaok-kaok mengerikan. Menebar fitnah. Memangsa siapa saja yang ditemuinya. Memunguti serpihan daging dari mayat-mayat yang bergelimpangan.
Langit biru terang tanpa awan. Badai telah berlalu.
Terangnya langit biru dan berlalunya angin prahara yang menebar kebinasaan ternyata tidak serta merta mengusir gumpalan kabut dari Nusa Jawa. Sejauh mata memandang dari ufuk timur ke barat, hanya ada puing-puing reruntuhan jiwa manusia yang berserakan tanpa daya. Kesunyian menghampar. Kesenyapan tergelar. Hanya tangisan bocah-bocah yang menjadi yatim yang sayup-sayup terdengar memecah hening.
Syaikh Siti Jenar, sang penebar badai, konon mati di tengah amukan prahara itu. Tak seorang pun tahu di mana kuburnya. Menurut cerita, ada orang yang menyaksikan mayat Syaikh Siti Jenar berubah menjadi bangkai anjing. Sebagian menyatakan bangkai itu dihanyutkan ke sungai. Sebagian lagi menyatakan bangkai itu dikubur di Mantingan. Sedang menurut kesaksian yang lain, bangkai anjing jelmaan Syaikh Siti Jenar dimakamkan di belakang mihrab Masjid Agung Demak. Aneh, bangkai anjing dikubur di belakang mihrab masjid. Lebih aneh lagi ada yang menyaksikan bangkai Syaikh Siti Jenar menebarkan bau wangi semerbak.
Para pengikut setia Syaikh Lemah Abang, seperti Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Tingkir Banyubiru, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, Sunan Panggung, dan Ki Lonthang dari waktu ke waktu mengalami nasib tak jauh dari gurunya, terhempas oleh pusaran angin prahara. Tidak satu pun di antara mereka pernah diketahui kuburnya. Dan bagi pengikut-pengikut dari kalangan kawula alit, tidak ada yang tersisa dari prahara dahsyat itu kecuali rasa takut, resah, gelisah, dan curiga yang menerkam jiwa.
Ketakutan, kegelisahan, keresahan, dan kecurigaan yang melanda kawula alit pengikut Syaikh Siti Jenar atau mereka yang dianggap berhubungan karena ikatan darah maupun perkawanan, pada dasarnya bersumber pada fitnah dahsyat yang disebarkan oleh kawanan gagak jelmaan iblis. Bagaikan ulat menggeragoti daging, demikianlah fitnah itu ditebar, memisahkan daging dari tulang. Daging-daging yang dianggap busuk hendaknya dikelupas dari tulang dan dibakar demi memelihara kesucian. Demikianlah, para pengikut Syaikh Siti Jenar tidak saja digolongkan sebagai daging busuk yang membahayakan kesucian tulang, tetapi dianggap bukan bagian dari tulang. Para pengikut Syaikh Siti Jenar dianggap telah murtad dari kebenaran Agama Rasulallah. Kawula alit yang terkena cap sebagai wong Abangan dianggap sebagai bukan bagian dari umat Islam dan darah mereka halal ditumpahkan.
Akibat yang ditimbulkan oleh fitnah itu sangat memilukan. Begitu kelam. Pekat. Gelap. Dan semua itu akibat ketidakmampuan manusia mengendalikan serigala nafsu duniawinya, sehingga terjadilah tragedi: manusia memakan sesamanya.
Kisah-kisah dramatis tentang manusia memakan sesamanya ini dengan cepat meluas di kalangan kawula alit. Bagaikan cerita menakutkan tentang hantu-hantu yang bergentayangan, hati mereka diliputi rasa takut, gelisah, resah, dan curiga mendengarkan betapa mengerikan kisah orang-orang tak bersalah yang binasa akibat dituduh menjadi pengikut Syaikh Siti Jenar. Ada kisah tentang orang-orang kaya yang binasa dan hartanya dijadikan jarahan. Ada pula kisah tentang orang-orang beristri cantik yang dimakan fitnah sebagai wong Abangan kemudian istri-istri mereka dijadikan rebutan. Atau tentang para nayakapraja yang kehilangan jabatan akibat fitnah dari kawan-kawan yang mengincar kedudukan mereka.
Hari dan pekan berlalu. Bulan dan tahun pun berganti. Namun rasa takut, gelisah, resah, dan curiga yang mencekam relung-relung jiwa para penghuni Nusa Jawa masih tetap bercokol kuat. Sebab kawanan gagak jelmaan iblis masih terus beterbangan menebar fitnah. Mereka selalu mengikuti ke arah mana serigala-serigala haus darah mencari mangsa. Dan saat kawanan serigala meninggalkan sisa-sisa daging mangsanya, datanglah kawanan gagak yang dengan kerakusan tiada tara memunguti serpih-serpih daging yang sudah basah oleh liur. Itulah upah mereka sebagai penebar fitnah.
Giri Amparan Jati, sebuah pesantren yang terletak di lereng gunung Sembung, di tlatah Kasunanan Cirebon Girang. Pada paro pertama abad ke-16 Giri Amparan Jati merupakan pusat pendidikan Islam yang menjadi tujuan bagi para musafir penuntut ilmu dari berbagai penjuru negeri. Tidak berbeda dengan tempat-tempat lain di Nusa Jawa, di pesantren yang telah berusia hampir satu abad itu para penghuninya tak luput dari intaian rasa takut, gelisah, resah, dan curiga akibat hempasan angin prahara yang menebar malapetaka. Bahkan di sana berlaku peraturan aneh yang dikenakan kepada para santri dan seluruh warga pesantren, yakni larangan untuk menanyakan segala sesuatu yang berkaitan dengan santri-santri generasi pertama yang diasuh oleh almarhum Syaikh Datuk Kahfi, pendiri pesantren.
Karena yang menetapkan larangan itu adalah Syaikh Maulana Jati, Syarif Hidayatullah, pengasuh pesantren Giri Amparan Jati yang juga Susuhunan Cirebon Girang, maka peraturan yang aneh itu dipatuhi begitu saja selama bertahun-tahun tanpa ada yang berani menanyakan alasannya. Bahkan di kalangan nayaka dan abdi Kasunanan Cirebon Girang pun tidak ada yang berani bertanya ini dan itu tentang peraturan aneh tersebut. Mereka seolah sepaham bahwa melanggar peraturan berarti mendatangkan laknat dan malapetaka.
Manusia adalah manusia. Semakin ia dilarang akan semakin kuat ia melanggar. Seperti kisah Nabi Adam dan istrinya, Hawa, keturunan mereka pun cenderung melanggar sesuatu yang dilarang. Itu sebabnya, meski dipatuhi di permukaan, di belakang justru dilanggar. Para santri Giri Amparan Jati, misalnya, dengan mencuri-curi berusaha mencari tahu latar di balik peraturan itu. Diam-diam mereka menjadikan peraturan itu sebagai bahan pembicaraan kasak-kusuk, terutama ketika sedang melakukan pekerjaan di luar waktu belajar. Di sela-sela kegiatan mengambil air untuk mengisi bak mandi, beristirahat usai berlatih silat, mencari kayu bakar, bahkan menjelang tidur.
Bertolak dari pembicaraan di lingkungan pesantren yang diikuti oleh nayaka dan abdi di Kasunanan Cirebon Girang, beredarlah kisah-kisah menakutkan yang terkait dengan para santri dari generasi pertama. Dan di antara semua cerita yang simpang-siur itu hampir semuanya terpusat pada satu tokoh utama bernama Syaikh Datuk Abdul Jalil yang juga disebut Syaikh Siti Jenar alias Syaikh Lemah Abang. Ternyata dari peraturan aneh itu muncul keanehan pula, di mana berbagai kisah buruk dan nista bergumul dengan berbagai kisah terpuji dan mulia tentang tokoh utama yang merupakan santri generasi pertama itu.
Pada satu sisi banyak beredar cerita kelam dan hitam tentang Syaikh Datuk Abdul Jalil. Misalnya, ada kisah yang menuturkan bahwa ia semula merupakan santri taat yang berubah menjadi jahat dan murtad karena mengikuti ajaran sesat setelah tinggal di Baghdad. Konon, di sana ia berguru kepada raja jin. Ada pula kisah yang menyatakan bahwa ia sesat karena mempelajari ilmu dari para tukang sihir Baghdad. Kisah sejenis yang lain lagi menuturkan bahwa santri pertama itu adalah anak yang durhaka terhadap orang tuanya sehingga diusir dan hidup dalam kesesatan. Ada lagi yang menyebutnya sebagai anak seorang rsi yang masuk Islam, namun kemudian memilih jalan sesat hingga murtad kembali. Bahkan muncul pula kasak-kusuk yang mengatakan bahwa Syaikh Datuk Abdul Jalil sebenarnya bukan dari golongan manusia. Ia adalah jelmaan cacing menjijikkan. Karena itu, kemuliaan Islam tak membawa manfaat apa-apa baginya kecuali kesesatan yang menuju ke kenistaan dan kehinaan. Bukti bahwa ia bukan manusia adalah saat mati mayatnya menjelma menjadi anjing.
Sementara pada sisi lain muncul pula kisah yang menempatkannya sebagai orang yang terpuji dan mulia. Ada satu kisah memaparkan bahwa ia adalah adik sepupu Syaikh Datuk Kahfi. Syaikh Datuk Abdul Jalil dikenal sebagai seorang alim yang berilmu luas bagai samudera. Ia lama tinggal di Baghdad dan menjadi syaikh besar di sana. Ada pula yang menuturkan bahwa ia merupakan seorang wali Allah yang keramat yang tanpa kenal pamrih menyebarkan Islam di bumi Pasundan dan Jawa. Bahkan beredar pula kisah yang berisi bahwa Syaikh Maulana Jati, Syarif Hidayatullah, adalah putera menantunya. Karena, istri ketiga beliau, Nyai Rara Baghdad, adalah puteri Syaikh Datuk Abdul Jalil.
Pembicaraan kasak-kusuk yang bertentangan itu membuat para santri turut merasakan getar ketakutan, kegelisahan, keresahan, dan kecurigaan ketika mereka sampa pada berita-berita yang menyatakan bahwa orang-orang yang menjadi pengikut atau diduga menjadi pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil dikucilkan dan dibenci masyarakat. Bahkan beredar pula kisah bahwa mereka dibunuh oleh orang-orang tak dikenal. Para santri tidak pernah bertanya apakah peristiwa-peristiwa itu terjadi di tlatah Cirebon Girang atau di tempat lain. Mereka hanya meyakini begitu saja berita-berita itu sebagai kebenaran yang menakutkan.
Berbagai kisah simpang-siur tentang Syaikh Datuk Abdul Jalil, yang semula hanya menjadi bahan pembicaraan kasak-kusuk, berubah menjadi persoalan serius ketika di Pesantren Giri Amparan Jati hadir seorang santri baru yang dihormati: Raden Ketib.
Raden Ketib adalah putera Pangeran Surodirejo, Adipati Palembang. Pangeran Surodirejo merupakan putera Raden Kusen, Adipati Terung. Raden Kusen adalah putera Ario Damar, Adipati Palembang terdahulu. Jadi, Raden Kusen adalah saudara tiri Adipati Demak Bintara, Raden Fatah. Dengan demikian, santri baru bernama Raden Ketib itu adalah putera saudara sepupu Sultan Demak, karena ayahandanya merupakan sepupu Sultan Tranggana.
Ihwal kehadiran Raden Ketib ke Giri Amparan Jati pada mulanya bukan sepenuhnya untuk menuntut ilmu keislaman kepada Syaikh Maulana Jati. Sebab, ayahanda Raden Ketib mengirimnya ke Giri Amparan Jati atas permintaan kakeknya, Raden Kusen.
Ceritanya, setelah Majapahit runtuh oleh serangan pasukan tombak yang dipimpin Susuhunan Kudus dan Pangeran Pancawati, Raden Kusen yang menjadi panglima perang Majapahit ditawan. Namun, karena Raden Kusen adalah paman Sultan Tranggana maka dia kemudian dibawa ke Demak. Setelah beberapa waktu tinggal di sana, Raden Kusen dipindahkan ke Kudus. Kepindahan ini ada kaitannya dengan hubungan keluarga antara Raden Kusen dan Susuhunan Kudus. Sebab, puteri Raden Kusen adalah istri Susuhunan Kudus. Selanjutnya, panglima tua itu dibawa ke Cirebon Girang dan tinggal di sana dengan menggunakan nama Pangeran Pamelekaran. Dia diambil menantu oleh Susuhunan Cirebon Girang, Syaikh Maulana Jati, dengan menikahi puterinya yang bernama Nyai Mertasari.
Meski didampingi istri yang cantik dan muda, jiwa Pangeran Pamelekaran tetap hampa. Sebab bagi orang setua dia, kehadiran cucu yang bisa mendengarkan dengan bangga kisah-kisah keperwiraan dan kebesarannya di masa lampau adalah daya hidup yang dahsyat baginya. Itu sebabnya, dia meminta Pangeran Surodirejo agar mengirimkan salah satu puteranya untuk menuntut ilmu di Giri Amparan Jati sekaligus akan diasuh dan dididik sendiri di ndalem Pamelekaran.
Menyadari bahwa ayahandanya adalah perwira unggul yang selalu jaya di medan tempur dan dikenal sebagai ahli tata praja sehingga menduduki jabatan Pecat Tandha (pejabat yang mengurus pajak dan bea cukai) di Terung, maka Pangeran Surodirejo pun mengirimkan putera sulungnya, Raden Ketib. Ia mengharapkan Raden Ketib kelak menjadi penggantinya sebagai Adipati Palembang. Pangeran Surodirejo yakin di bawah asuhan dan didikan kakeknya, Raden Ketib akan menjadi pemimpin yang ulet, tegas, teguh pendirian, dermawan, adil, dan dicintai rakyat.
Saat dikirim ke Giri Amparan Jati, Raden Ketib adalah pemuda berusia enam belas tahun. Sedikitpun ia tidak pernah mengetahui maksud lain ayahandanya mengirim dirinya ke Pesantren Giri Amparan Jati. Ia mengira kehadirannya di pesantren itu semata-mata untuk menuntut ilmu atas petunjuk kakeknya. Itu sebabnya, meski keluarga pesantren sangat menghormatinya sebagai cucu Pangeran Pamelekaran, ia berusaha menjadi santri yang tidak menginginkan keistimewaan apa pun. Bersama-sama dengan santri yang lain, ia mencari kayu bakar, mengisi bak mandi, berlatih silat, dan tidur beramai-ramai di gubuk bambu beratap daun tal.
Usai mengerjakan tugas-tugasnya sebagai santri, biasanya di malam hari, Raden Ketib, sesuai pesan ayahandanya, datang ke ndalem Pemelekaran untuk menimba berbagai ilmu pengetahuan dari kakeknya, terutama ilmu keprajuritan dan tata praja. Namun berbeda dengan harapan ayahandanya, Raden Ketib ternyata tidak tertarik dengan ilmu keprajuritan dan tata praja. Ia lebih suka mendengarkan cerita tentang pengalaman kakeknya mengarungi samudera kehidupan. Dan Pangeran Pamelekaran yang sudah tua itu tampaknya lebih suka bercerita tentang berbagai pengalamannya daripada mengajari cucunya dengan ilmu keprajuritan dan tata praja.
Raden Ketib merupakan pemuda yang rendah hati. Itu tampak dari kegemarannya mengajak kawan-kawannya sesama santri untuk berkunjung ke ndalem Pamelekaran mendengarkan cerita-cerita menakjubkan yang pernah dialami kakeknya. Ia juga dikenal dermawan sehingga tak jarang uang saku yang diperoleh dari kakeknya habis dibagi-bagikan untuk kawan-kawannya. Sering juga ia ikut berkunjung ke rumah salah seorang kawannya yang ayahnya hanya seorang gedeng atau malah kuwu.
Bermula dari keakraban dengan kawan-kawan sesama santri, ia mengetahui tentang peraturan aneh serta kasak-kusuk itu. Raden Ketib tidak pernah menduga bahwa cerita yang pernah ia dengar tentang Syaikh Siti Jenar yang sesat dan murtad dari guru mengajinya itu ternyata berasal dari pesantren di mana ia menimba ilmu sekarang ini. Namun berbeda dengan kisah-kisah yang pernah ia dengar selama di Palembang, ternyata di Giri Amparan Jati ada beberapa kisah yang menggambarkan syaikh murtad itu sebagai orang yang terpuji dan mulia. Bahkan yang membuat keningnya berkerut adalah bisik-bisik yang menyatakan bahwa istri Syaikh Maulana Jati adalah puteri Syaikh Siti Jenar.
Kesimpangsiuran itu menumbuhkan rasa ingin tahu Raden Ketib. Cerita-cerita itu begitu menakjubkan. Ia sangat ingin menyingkap kabut yang menyelimuti kehidupan santri Giri Amparan Jati generasi pertama itu. Benarkah Syaikh Datuk Abdul Jalil sesat dan murtad? Benarkah dia berguru kepada tukang sihir Baghdad? Benarkah dia anak durhaka? Benarkah dia bukan manusia, melainkan seekor cacing tanpa ayah dan ibu? Benarkah dia ayahanda Nyai Rara Baghdad? Benarkah dia adik sepupu Syaikh Datuk Kahfi, Sunan Jati Purba, pendiri pesantren Giri Amparan Jati? Benarkah dia wali Allah yang menyebarkan Islam tanpa pamrih di nagari Galuh, Kretabhumi, Sumedanglarang, Sadawarna, Subang, Luragung, Bantarkawung, Demak, Majenang, Pasir, Mataram, hingga Pengging?
Kecamuk tanda tanya yang berjejal-jejal di kepala Raden Ketib menjadi bara api penasaran yang membakar hati dan benaknya, terutama setelah ia menghadapi jalan buntu ketika berusaha menguak lebih dalam tentang keberadaan Syaikh Datuk Abdul Jalil yang membingungkan itu. Jalan buntu itu bermula dari kecurigaan yang mencuat dari setiap orang yang ditanyainya. Santri Giri Amparan Jati, nayaka, dan abdi Kasunanan Cirebon Girang tampaknya sama-sama memahami bahwa Raden Ketib adalah cucu Pangeran Pamelekaran. Ia juga kemenakan Sultan Demak. Itu sebabnya, mereka diam-diam menaruh curiga bahwa sangat mungkin Raden Ketib dikirim ke Giri Amparan Jati dan Kasunanan Cirebon Girang dilatari tujuan untuk mencari sisik-melik yang berkaitan dengan ajaran sesat Syaikh Datuk Abdul Jalil.
Menghadapi jalan buntu itu sempat terbersit di benak Raden Ketib niat untuk menanyakan langsung hal tersebut kepada ramanda gurunya, Syaikh Maulana Jati. Namun, sebagai seorang yang sejak kecil dididik di lingkungan Kadipaten Palembang yang menanamkan nilai-nilai penghormatan dan pemuliaan terhadap guru, maka niat itu dibatalkannya. Apalagi dalam hal itu ada kasak-kusuk yang menyatakan bahwa ramanda gurunya adalah menantu Syaikh Datuk Abdul Jalil. Tentunya hal itu sangat kurang ajar dan tidak mengenal tata krama bagi seorang santri yang wajib memuliakan gurunya.
Ketika mendengarkan cerita-cerita kakeknya, sempat pula terbersit keinginan di benak Raden Ketib untuk menanyakan tentang kisah Syaikh Datuk Abdul Jalil. Namun, keinginan itu lagi-lagi terpaksa ditahan. Raden Ketib sadar bahwa kakeknya menetap di Cirebon Girang baru beberapa tahun saja. Sementara Syaikh Datuk Abdul Jalil saat tinggal di Cirebon Girang sudah puluhan tahun silam. Di samping itu, ia tidak ingin menyinggung perasaan kakeknya karena bagaimanapun Sultan Demak yang mendiamkan saja pembunuhan Syaikh Abdul Jalil oleh Sunan Kudus itu adalah kemenakannya. Terlebih lagi, Sunan Kudus sendiri adalah menantunya.
Keinginan kuat Raden Ketib untuk menguak rahasia Syaikh Datuk Abdul Jalil ternyata makin meningkatkan kecurigaan para santri, nayaka, dan abdi Kasunanan Cirebon Girang. Dengan cara terang-terangan atau samar, mereka berusaha menghindar setiap kali didekati Raden Ketib. Sebagai orang yang tanggap dengan keadaan, ia cepat menyadari bahwa dirinya diam-diam telah dikucilkan dari kehidupan pesantren maupun kasunanan.
Menyadari bahwa dirinya tidak melihat kemungkinan memperoleh sesuatu dari pesantren maupun kasunanan maka dengan semangat tetap membara ia berusaha mencari penjelasan dari tempat lain. Diam-diam pada waktu senggang ia berkeliling ke desa-desa di sekitar Giri Amparan Jati. Berangkat dari pengalaman di pesantren dan kasunanan, Raden Ketib tidak menanyakan langsung segala sesuatu yang berkait dengan Syaikh Datuk Abdul Jalil. Ia biasanya memulai pembicaraan dengan menanyakan ihwal keberadaan desa yang disinggahinya, baik berkait dengan nama desa, pendiri, asal-usul surau, dan berbagai hal yang menyangkut desa tersebut.
Hari dan pekan berlalu. Perjuangan gigih Raden Ketib untuk menguak rahasia kebenaran di balik cerita-cerita tentang Syaikh Datuk Abdul Jalil mendatangkan hasil juga, meski berserakan dan tidak utuh. Misalnya saja, ia memperoleh penjelasan bahwa pada awal didirikan oleh Syaikh Datuk Kahfi, Giri Amparan Jati dinamakan padepokan. Sebutan pesantren baru dilakukan oleh seorang santri dari generasi keempat bernama Raden Sahid asal Tuban yang bergelar Syaikh Malaya, setelah Syaikh Datuk Kahfi wafat. Dia menyarankan kepada Syaikh Maulana Jati agar nama padepokan diganti menjadi pesantren.
Lain dari itu, Raden Ketib beroleh pula penjelasan tentang siapa saja di antara santri-santri Giri Amparan Jati generasi pertama yang kemudian menjadi pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil. Di antara mereka itu, menurut cerita yang didengar Raden Ketib, adalah Ki Gedeng Pasambangan, cucu Ki Gedeng Tapa, Ki Gedeng Tegal Alang-Alang, Ki Gedeng Babadan, Ki Gedeng Surantaka dan Ki Gedeng Singapura. Mereka itu adalah kawan-kawan akrab Syaikh Datuk Abdul Jalil sejak usia lima tahunan di bawah asuhan Syaikh Datuk Kahfi. Mereka tumbuh bersama di lingkungan yang sama hingga dewasa. Itu sebabnya, mereka mengetahui benar kelebihan-kelebihan sekaligus kekurangan sahabat yang akhirnya menjadi guru ruhani mereka.
Manusia boleh berencana dan berusaha, namun Tuhanlah penentu keputusan akhir. Rencana dan usaha Raden Ketib untuk menguak jati diri Syaikh Datuk Abdul Jalil ternyata harus terhenti di tengah jalan. Para santri Giri Amparan Jati generasi pertama yang diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang cerita-cerita sahabat mereka ternyata telah banyak yang meninggal dunia. Hanya Ki Gedeng Pasambangan yang masih hidup. Sayangnya, dia telah pergi ke Banten Girang dan tidak diketahui kapan kembalinya.
Bagi pemuda remaja yang haus pengetahuan dan ingin beroleh kebenaran, menelusuri jejak-jejak kehidupan Syaikh Datuk Abdul Jalil yang penuh liku-liku merupakan tantangan yang memesona. Bagai orang kehausan meminum air laut, begitulah Raden Ketib terus berusaha mencari titik terang tentang tokoh aneh yang dikutuk sekaligus dipuji itu. Dan semakin ditelusuri semakin ditemukan keanehan-keanehan dari jejak-jejak yang ditinggalkan oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil. Para sahabat karibnya yang sudah meninggal dunia, misalnya, tidak ada satu pun yang diketahuhi di mana kuburnya. Pihak keluarga yang ditanya tentang ketidaklaziman itu umumnya hanya memberi penjelasan bahwa para sahabat dan murid Syaikh Datuk Abdul Jalil jika akan meninggal dunia selalu meninggalkan wasiat yang menyatakan bahwa kubur mereka hendaknya tidak diberi batu nisan atau tanda apa pun. Alasannya, mereka tidak mau diberhalakan oleh anak dan cucunya.
Kenyataan ini benar-benar membingungkan Raden Ketib. Selama hidup di Kadipaten Palembang, ia terbiasa membaca surat yasin, tahlil, dan kenduri untuk memperingati orang yang meninggal dunia. Ternyata upacara itu tidak satu pun dilakukan oleh sahabat-sahabat dan murid-murid Syaikh Datuk Abdul Jalil. Padahal, sejak ia tinggal di Giri Amparan Jati, kebiasaan semacam itu juga dilakukan orang. Kenyataan ini, pikir Raden Ketib, sungguh teramat aneh.
Tanpa terasa, telah tiga tahun Raden Ketib tinggal sebagai santri di Giri Amparan Jati. Tanpa terasa pula usianya bertambah. Keakraban antara Raden Ketib dan kakeknya makin erat manakala Nyai Mertasari, istri kakeknya, melahirkan putera yang diberi nama Raden Santri. Raden Ketib yang hampir dua puluh usianya itu harus memanggil ‘paman’ kepada bayi yang baru lahir. Aneh sekali rasanya seorang pemuda memanggil bayi dengan sebutan paman.
Sebenarnya, jika ditelusuri lebih jauh, hal yang dialami oleh Raden Ketib itu tidak aneh dibanding silsilah kakeknya. Pangeran Pamelekaran yang bernama Raden Kusen itu kedudukannya adalah adik tiri sekaligus kemenakan Raden Fatah, Adipati Demak Bintara. Bagaimana hal rumit itu bisa terjadi?
Ceritanya, Raden Kusen adalah putera Ario Damar. Ario Damar sendiri adalah putera Prabu Kertawijaya Wijaya Parakramawarddhana, Maharaja Majapahit. Ario Damar kemudian dianugerahi seorang perempuan Cina bernama Retno Subanci oleh ayahandanya. Saat itu Retno Subanci adalah salah seorang selir ayahandanya yang sedang hamil muda. Ario Damar diwanti-wanti agar tidak menyentuh Retno Subanci sebelum bayi yang dikandungnya lahir. Tak lama kemudian lahirlah bayi laki-laki yang diberi nama Raden Fatah. Kemudian, Retno Subanci dinikah oleh Ario Damar. Lalu lahirlah Raden Kusen yang menurunkan beberapa putera dan puteri, di antaranya Pangeran Surodirejo, ayahanda Raden Ketib.
Berawal dari mempertanyakan keanehan-keanehan silsilah keluarganya itulah Raden Ketib tanpa pernah direncanakan sebelumnya, tiba-tiba menyinggung hal ihwal keanehan cerita-cerita yang menyangkut Syaikh Datuk Abdul Jalil. Dan satu hal yang tak pernah diduga oleh Raden Ketib, ternyata kakeknya pernah bertemu dengan Syaikh Datuk Abdul Jalil meski sangat singkat. “Dia memanggil aku dengan sebutan paman karena dia putera angkat Ki Danusela, putera Eyang Prabu Kertawijaya. Dia mengira aku adalah adik dari Rakanda Raden Fatah. Itu tidak salah, tetapi dia sebenarnya juga bisa menyebutku rakanda karena aku adalah kemenakan Ki Danusela,” katanya sambil tertawa.
Merasa bahwa kakeknya hanya kenal sepintas saja dengan Syaikh Datuk Abdul Jalil, Raden Ketib kemudian menuturkan betapa selama ini ia berusaha mencari tahu tentang tokoh aneh itu. Pangeran Pamelekaran mengerutkan kening mendengar penuturan cucunya. Tetapi, sesaat kemudian dia menyatakan akan memanggil Ki Gedeng Pasambangan, putera Ki Gedeng Tapa, yang merupakan kawan Syaikh Datuk Abdul Jalil. “Biarlah Ki Gedeng Pasambangan menuturkan segala sesuatu yang diketahuinya kepadamu,” kata Pangeran Pamelekaran datar.
“Tapi Eyang,” sahut Raden Ketib takzim, “bagaimana jika cerita Ki Gedeng Pasambangan nanti menyinggung perasaan Eyang?”
“Menyinggung perasaanku?” Pangeran Pamelekaran mengernyitkan kening.
“Iya, Eyang,” sahut Raden Ketib, “sebab menurut cerita-cerita yang saya dengar, yang berperan penting dalam kematian Syaikh Datuk Abdul Jalil adalah Susuhunan Kudus, yaitu menantu Eyang. Kemudian, sultan yang mendiamkan saja pembunuhan itu adalah kemenakan Eyang.”
“Ha…ha…ha,” Pangeran Pamelekaran terbahak. Setelah itu dengan suara serius dia berkata, “Kebenaran harus diungkap apa adanya. Itu prinsipku. Aku tak pernah tersinggung. Bahkan engkau harus tahu bagaimana sikapku terhadap Susuhunan Kudus, menantuku itu. Ketahuilah, saat penyerbuan awal pasukan Demak ke Majapahit yang dipimpin Susuhunan Ngudung, ayahanda Susuhunan Kudus, yang tak lain adalah besanku, akulah yang menjadi manggalayuddha Majapahit. Dalam pertempuran itu, aku harus berhadapan dengan dia selaku panglima Demak. Aku tikam lehernya dengan keris. Meski dia sudah mengenakan pusaka kutang antakusuma, toh mati juga ia di tanganku. Itulah kenyataan, Ngger. Aku tidak akan tersinggung jika diungkap bahwa aku telah tega membunuh besanku demi mempertahankan kerajaan kafir Majapahit.”
“Dalam peristiwa itu banyak orang menyalahkan aku. Namun, aku tidak peduli. Karena, aku sudah berkali-kali mengingatkan bahwa aku adalah murid yang setia dan teguh memegang amanat guru. Telah berkali-kali kukatakan bahwa aku tetap memegang amanat guruku, Raden Ali Rahmatullah, Susuhunan Ampel Denta, yang menitahkan aku agar mengabdi pada Majapahit apa pun yang terjadi, demi melindungi pemeluk-pemeluk Islam di pedalaman. Tetapi, mereka tidak peduli. Mereka tidak menghargai prinsip hidupku. Dan mereka baru sadar setelah semuanya terjadi.”
Raden Ketib menarik napas dalam-dalam mendengar kisah kakeknya. Namun terlepas dari keberpihakannya kepada Pangeran Pamelekaran, Raden Ketib menangkap sasmita bahwa kakeknya itu berpendirian teguh dan tidak mudah menyerah. Itu sebabnya, kakeknya hanya bisa disejajarkan dengan tokoh Bisma dalam cerita Mahabarata, yakni berani menanggung risiko apa pun demi memegang teguh prinsip yang diyakini kebenarannya.
Janji Pangeran Pamelekaran untuk mengundang Ki Gedeng Pasambangan ternyata dipenuhi kira-kira sehari setelah sahabat Syaikh Datuk Abdul Jalil itu kembali dari Banten Girang. Raden Ketib yang tidak menduga bakal secepat itu bertemu dengan Ki Gedeng Pasambangan, tak bisa berkata-kata ketika tiba di ndalem Pamelekaran, kecuali mencium takzim lutut kakeknya dengan hati berbunga-bunga. Dan bagi Pangeran Pamelekaran sendiri merupakan suatu kebahagiaan tak terhingga jika dia bisa memenuhi hasrat dan keinginan cucunya.
Malam itu, setelah memperkenalkan Raden Ketib sebagai cucu tercintanya, Pangeran Pamelekaran mengajak Ki Gedeng Pasambangan untuk mengingat saat-saat menegangkan ketika mereka menyerbu Pakuwuan Caruban dan kemudian menghadang pasukan Pajajaran yang dipimpin Terong Peot di pantai Muara Jati. Ki Gedeng Pasambangan yang saat itu merupakan santri Giri Amparan Jati tentu masih mengingat peristiwa itu dengan jelas. Dia kemudian menuturkan kepada Raden Ketib betapa gagah dan beraninya Pangeran Pamelekaran ketika itu. Namun, saat menyinggung nama San Ali, yakni nama kecil Syaikh Datuk Abdul Jalil, Ki Gedeng Pasambangan tampak sekali berusaha menghindar.
Sebagai orang yang sudah kenyang menelan pahit dan getir kehidupan, Pangeran Pamelekaran memahami kecanggungan Ki Gedeng Pasambangan ketika menyinggung hal sahabat dan guru tercintanya. Itu sebabnya, dia langsung meminta Ki Gedeng Pasambangan untuk menuturkan apa adanya segala sesuatu yang diketahuinya tentang Syaikh Datuk Abdul Jalil. “Engkau tak perlu ragu dan curiga, Ki. Engkau mestinya telah tahu betapa aku memiliki prinsip yang sama dengan Abdul Jalil tentang penyerangan ke Majapahit. Engkau juga tentu tahu bahwa di tanganku ini pula besanku Susuhunan Ngudung melayang jiwanya. Karena itu, Ki, ceritakan apa adanya tentang San Ali, kemenakanku itu. Cucuku sangat besar hasratnya untuk mengetahui kisah San Ali yang sampai kini simpang siur,” kata Pangeran Pamelekaran dengan suara berat.
“Abdi akan laksanakan titah Yang Mulia,” kata Ki Gedeng Pasambangan takzim.
Beberapa jenak setelah Pangeran Pamelekaran berpamitan hendak beristirahat, Ki Gedeng Pasambangan yang duduk berdua berhadap-hadapan dengan Raden Ketib memulai ceritanya. Dia bercerita berdasarkan kesaksian pribadi, penuturan Syaikh Datuk Abdul Jalil, fatwa dan kisah dari Syaikh Datuk Kahfi, cerita dari kawan-kawannya sesama santri, penuturan kakeknya, yaitu Ki Gedeng Tapa, dan cerita dari Haji Abdullah Iman, yakni Pangeran Walangsungsang Cakrabuwana, Kepala Nagari Cirebon, yang tak lain adalah saudara sepupunya.
Berdasar cerita-cerita itu, Ki Gedeng Pasambangan menuturkan kisah kehidupan Syaikh Datuk Abdul Jalil secara luas dan mendalam sejak awal kelahiran, pengembaraan, silsilah keluarga, pandangan-pandangan, ajaran-ajaran, hingga ke masa memilukan saat ia terhempas angin prahara fitnah yang mengerikan.
~ Bag 2. Anak Yatim Piatu
Dalam bayangan pohon Kalpa, di bawah pancaran sinar matahari di pinggiran sungai kecil berair deras, di lingkaran rimbunan hutan dan belukar tak jauh dari Padepokan Giri Amparan Jati, di lereng Gunung Sembung, tlatah nagari Caruban, San Ali, putera Ki Danusela sang Kuwu Caruban, menuntut ilmu agama bersama-sama sahabat-sahabatnya di bawah asuhan Syaikh Datuk Kahfi. Laksana permata manikam memancarkan gemerlap keindahan, begitulah San Ali menjadi perhiasan padepokan karena kecerdasan, kesetiaan, dan kecintaannya yang tulus.
Sebagai penghuni padepokan sejak usia lima tahun, ia tumbuh menjadi pemuda yang sangat akrab dengan lingkaran keprihatinan: membersihkan padepokan, mengisi bak mandi dan tempat wudhu, memasak dan mencuci pakaian, mencari kayu di hutan; menghafal pelajaran, manandai pelajaran dengan sah-sahan, mengkaji kitab; berpuasa, menjalankan riyadhoh, iktikaf, berdzikir, bersalawat; berlatih pencak silat, olah kanuragan, menghafal hizb-hizb, dan mengamalkan aurad.
Berbeda dengan murid-murid padepokan yang lain, bila ada waktu senggang ia gemar menjelajahi desa-desa di sekitar Gunung Sembung, memasuki hutan, melintasi pegunungan, menyusur sungai, menerobos hutan bakau, ke muara, dan menyusur pantai. Sepanjang perjalanan ia menyaksikan berbagai pemandangan yang menggugah ketenangan jiwanya. Hiruk pikuk pasar desa, petani yang bekerja di sawah, nelayan yang melaut mencari ikan, orang berkelahi, orang berjudi, lintah darat memeras penduduk desa, petani-petani membawa hasil bumi ke padepokan, pendeta menyiapkan sesaji di pura, brahmin bersamadi di sanggar pamujan, orang menderita sakit, dan orang mati baik yang dikubur maupun dibakar.
Semua pemandangan selama mengikuti langkah kakinya itu telah menerbitkan gumpalan awan tanda tanya di cakrawala pemikirannya yang belum dewasa. Ketika tanda tanya itu tak terjawab, gumpalan awan itu semakin memadati cakrawala di benaknya.
Ketika ia memberanikan diri untuk menanyakan pelbagai macam kehidupan manusia kepada Guru Agung Syaikh datuk Kahfi, sering kali tanda tanya justru semakin berjejal-jejal menggumpali isi kepalanya. Memang, jika murid-murid yang lain selalu mengiyakan penjelasan guru agung tentang kehidupan manusia yang bermuara ke alam akhirat, yakni neraka dan surga, maka San Ali kebalikannya. Ia tidak gampang puas dengan jawaban-jawaban yang lazimnya diberikan kepada anak-anak seusianya.
Misalnya tentang perbedaan antara kehidupan orang-orang durhaka dan celaka, seperti penjudi, pemabuk, pencuri, perampok, pelacur, penipu, pembunuh, pezina, dan pemuja berhala yang bakal menempati neraka; dan orang-orang saleh dan beruntung yang bakal menghuni surga. San Ali melihat persoalan ini hanya masalah penundaan waktu belaka. Intinya, keduanya sama ditinjau dari aspek amaliah. Maksudnya, jika di surga nanti orang bisa memenuhi semua keinginannya – termasuk hal-hal yang ketika di dunia diharamkan – maka pada hakikatnya orang durhaka tidak berbeda dengan orang saleh, kecuali dalam hal waktu pelaksanaannya. Kalau orang durhaka bisa sesuka hati menenggak minuman keras, mabuk, mencuri, merampok, dan menikmati berbagai kelezatan dunia, maka orang-orang saleh pun ketika di surga bisa menenggak khamr sampai mabuk, mandi di kolam susu dan madu, bersenang-senang, dan berbagai kelezatan surgawi lain. Bedanya, yang pertama dilampiaskan di dunia, sedang yang kedua menunggu di akhirat.
Tanda tanya yang berjejalan yang tak sederhana jawabannya itu membuat San Ali terjebak pada kebiasaan merenung untuk mencari sendiri jawaban dari pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Itu sebabnya, dalam setiap penjelajahan ia sering terlihat merenung di bawah pohon, di puncak bukit, di hamparan pasir pantai, dan bahkan di tengah hening malam ketika makhluk hidup tertidur dibuai mimpi. Dengan merenung, ia seperti menikmati kesendiriannya dan mengungkapkan gairah jiwanya yang berkobar-kobar. Di tengah hening malam ia sering merenungkan bintang-bintang yang memenuhi langit dengan kilau cahayanya yang laksana permata.
Benarkah bintang-bintang yang berkilauan memenuhi langit itu jika pagi menjelang bersembunyi di lautan dan menyinari dunia bawah? Kenapa bintang tidak pernah berada satu langit dengan matahari? Benarkah malaikat hanya turun ke bumi pada malam hari untuk memberkati dan melimpahi rezeki bagi orang-orang yang tekun menjalankan sembahyang malam? Di bintang-bintang itukah para malaikat tinggal? Apakah Arsy, singgasana Allah, terletak di salah satu bintang di langit?
Setelah semalaman merenung-renung tentang langit, bintang, rembulan, malaikat, dan Tuhan, San Ali biasanya turun ke desa-desa dan berbicara dengan orang-orang yang bekerja di sawah atau dengan para brahmin yang melakukan upacara bhakti di sanggar pamujan. Apakah dewa-dewa yang dipuja brahmin itu sama dengan Gusti Allah yang disembahnya? Kenapa Gusti Allah yang disembahnya tidak diwujudkan dalam bentuk-bentuk? Kenapa pula Gusti Allah tidak membutuhkan sesaji apa pun? Dan yang paling mengherankan, kenapa Syaikh Datuk Kahfi dengan sangat keras melarangnya membayang-bayangkan, membanding-bandingkan, dan memikirkan Gusti Allah? Bagaimana orang bisa mengenal Gusti Allah jika tidak boleh membayangkan, membandingkan, dan memikirkan-Nya?
Suatu kali sekeluarnya dari hutan, ia menjumpai seorang brahmin tua mempersembahkan sesaji di altar dewa. Saat itu terlintas di benaknya bahwa sangat mustahil arca dewa bisa memakan sesaji persembahan sang brahmin. Namun, selintas juga terbentang di benaknya tentang ibadah qurban di dalam agama Islam: bukankah Gusti Allah Yang Tak Terpikirkan dan Tak Terjangkau Pancaindera itu sesungguhnya tidak butuh darah dan daging domba? Namun, kenapa tiap hari raya Idul Adha orang harus menyembelih domba?
Ia sering pula menemukan berbagai perilaku yang menurut pandangan penghuni padepokan digolongkan sebagai ahli maksiat. Kenapa orang bisa begitu tergila-gila berjudi sabung ayam? Mengapa orang bisa sangat menggemari minuman keras hingga mabuk? Kenapa orang suka membunuh sesamanya? Kenapa orang suka mencuri dan merampok, sementara ia dan kawan-kawannya di padepokan justru diwajibkan hidup menjauhi segala kebiasaan buruk itu?
Saat persoalan yang mengganjal pikirannya itu disampaikan kepada guru agung, ia sering memperoleh penjelasan yang kurang memuaskan. Penjelasan-penjelasan yang didasarkan pada dalil dari kitab-kitab itu seperti mengulang-ulang penjelasan lama tentang kehidupan orang-orang yang bakal menjadi penghuni neraka dan surga. Para ahli maksiat yang celaka itu, demikian Syaikh Datuk Kahfi mengulang-ulang, akan menjadi ahli neraka. Sedang penghuni padepokan yang saleh akan menjadi penghuni surga. Penjelasan ini tentu saja sangat tidak memuaskan pemuda secerdas San Ali, terutama ketika berbicara tentang keyakinan bahwa takdir baik dan buruk sepenuhnya di tangan Allah. Atas pertimbangan apa Gusti Allah menggolongkan orang sebagai manusia celaka yang bakal menjadi penghuni neraka, dan atas pertimbangan apa pula Gusti Allah menentukan orang menjadi penghuni surga.
Makin sering merenung, menelaah, mempersoalkan jawaban-jawaban atas pertanyaannya, dan menalar berbagai hal yang disaksikannya, ia merasakan betapa kerisauan makin kuat menerkam jiwanya. Ia merasa ada sesuatu di dalam dirinya yang sulit diajak berdamai dengan sekedar penjelasan sederhana. Kerisauan itu sering kali hanya bisa ditenangkan dengan perjalanan keluar padepokan. Namun, manakala menyaksikan berbagai kenyataan hidup manusia, ia merasa benaknya pepat digumpali tanda tanya yang berjejal-jejal dan berkumpar-kumpar bagai lingkaran setan.
Kebiasaannya menjelajahi daerah-daerah di sekitar padepokan telah membuatnya dikenal dan dicintai banyak orang. Penduduk di sekitar gunung Sembung, terutama para brahmin, cepat sekali mengenali kehadirannya. Tubuhnya jangkung, tegap, dan berotot. Kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Alis matanya tebal. Matanya setajam elang. Senyumnya selalu terkembang. Jalannya mantap dan gesit. Bicaranya terbuka dan berapi-api. Bagi para brahmin, semua yang ada pada diri San Ali adalah citra kehidupan anak yang ‘bangun’ di antara anak-anak yang ‘tidur’ dininabobokkan zaman.
San Ali! Begitu aneh nama itu untuk zamannya. Namun, keanehan itu menjadi keakraban bagi mereka yang telah mengenalnya. Dan bagaikan orang yang mengenal rajanya, begitulah orang di sekitar gunung Sembung dan Pakuwuan Caruban mengenal nama San Ali, sosok aneh tetapi akrab di mata, telinga, dan hati. Sebuah citra yang diharapkan bakal menjadi pemimpin besar di negeri kelahirannya.
San Ali sebenarnya nama yang kurang lazim digunakan orang baik di Jawa maupun di tanah Pasundan. Namun nama itu pemberian ayahandanya, Ki Danusela, Kuwu Caruban. Ceritanya, tiga bulan menjelang kelahiran putera sulungnya, penguasa Pakuwuan Caruban itu memperoleh impian menakjubkan tentang sembilan ekor kumbang hitam yang terbang mengitari tlatah Majapahit dan Pajajaran yang sedang dilanda bencana serbuan jutaan tikus yang merusak sawah dan ladang. Kesembilan ekor kumbang hitam itu dengan ajaib menyemburkan cairan hijau dari tubuh mereka. Cairan itu terbawa aliran sungai yang mengairi sawah dan ladang sehingga tikus-tikus perusak itu binasa. Kemudian secara ajaib pula kesembilan ekor kumbang itu menyemburkan air suci Amrtha yang membuat padi dan tanaman lain tumbuh subur seperti sediakala. Orang-orang yang semula bersedih dan putus asa kini bersorak-sorai meluapkan kegembiraan. Kehidupan kembali menjadi tenteram, aman, sentosa, dan kertaraharja.
Mimpi menakjubkan yang dialami Ki Danusela itu terulang sampai tiga kali dalam tempo sebulan. Lantaran pengaruh impian itu sangat kuat mencekam jiwanya maka ia berjanji jika anak pertamanya lahir laki-laki akan dinamakan San Ali, yang dalam bahasa Jawa kuno berarti sembilan ekor kumbang hitam. Ki Danusela berharap puteranya kelak dapat menjadi salah satu dari ke sembilan kumbang yang menyemburkan Amrtha, yang membawa kesuburan dan kemakmuran bagi negerinya. Begitulah, nama San Ali benar-benar diberikan ketika bayi laki-laki itu lahir ke dunia.
Sebagai tanda sukacita dan gantungan harapannya terhadap bayi San Ali, Ki Danusela menyelenggarakan pesta besar selama tiga hari tiga malam. Kepada para tamu undangan dia menyatakan bahwa putera sulungnya itu kelak akan menjadi penggantinya sebagai Kuwu Caruban.
Kuwu Caruban adalah jabatan yang sangat penting di antara kuwu-kuwu yang ada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Karena, Pakuwuan Caruban berkembang lebih pesat dibanding pakuwuan lain. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, Pakuwuan Caruban terdiri atas beberapa pakuwuan yang tergabung di bawah kekuasaan Ki Danusela. Meski wilayah teritorial Kuwu Caruban sudah hampir manyamai wilayah nagari, Ki Danusela yang rendah hati itu tetap menyebut dirinya sebagai kuwu. Dan wilayah kekuasaannya tetap dia namakan pakuwuan. Itu sebabnya, San Ali yang kelak menggantikan ayahandanya akan memiliki kekuasaan penting di wilayah Galuh.
Sebenarnya, di balik kemuliaan yang dilimpahkan kepada bayi San Ali, tak banyak yang tahu bahwa Ki Danusela bukanlah ayahanda kandung dari bayi yang diakui sebagai putera sulung itu. Menurut cerita kalangan dalam pakuwuan, ayahanda kandung bayi San Ali adalah seorang ulama asal Malaka yang masih tergolong bangsawan kerajaan. Namanya Syaikh Datuk Sholeh, peranakan Melayu-Gujarat. Ibundanya perempuan Melayu.
Menurut cerita, saat Sultan Muzaffar Syah naik ke tangga kekuasaan Kesultanan Malaka menggantikan saudaranya yang terbunuh, terjadi perselisihan antara pejabat-pejabat keturunan Tamil yang dipimpin Tun Ali dan bangsawan-bangsawan Melayu yang dipimpin Seri Wak Raja I. ibunda Sultan Muzaffar Syah sendiri adalah keturunan Tamil dan sesaudara dengan Tun Ali. Demikianlah, golongan Tamil yang dipimpin Tun Ali menang dan bangsawan-bangsawan Melayu tersingkir dari lingkaran kekuasaan. Di antara bangsawan yang tersingkir itu tersebutlah nama Syaikh Datuk Sholeh.
Kepergian Syaikh Datuk Sholeh meninggalkan Malaka dilatarai usaha penyelamatan diri. Karena, Tun Ali merancang persekongkolan politik sehingga sejumlah pejabat Melayu tewas terbunuh, termasuk Seri Wak Raja II putera Seri Wak Raja I. Demikianlah, Syaikh Datuk Sholeh diikuti istrinya yang hamil muda meninggalkan Malaka untuk berniaga sambil mendakwahkan agama.
Tempat awal yang didatangi Syaikh Datuk Sholeh adalah pelabuhan Palembang. Namun, ia tidak dapat tinggal lama di daerah itu sebab banyak saudagar Tamil berniaga di sana. Lantaran itu, ia bertolak dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain hingga tiba di pelabuhan Dermayu (sekarang Indramayu), Caruban, yang termasuk wilayah Kerajaan Galuh di tanah Pasundan.
Di bandar Dermayu itulah Syaikh Datuk Sholeh tinggal dan berdagang sambil menyiarkan agama Islam. Tempat itu, menurutnya, dianggap tepat karena tidak seorang pun saudagar Tamil dijumpai di sana. Syaikh Datuk Sholeh dengan cepat menjalin keakraban dengan penduduk bandar Dermayu yang umumnya terdiri atas orang-orang Cina Muslim, Melayu Muslim, Melayu Bengali, Jawa, dan Sunda yang masih beragama Hindu-Budha.
Sebagai saudagar sekaligus penyiar agama Islam, Syaikh Datuk Sholeh dikenal pandai, lurus hati, dermawan, santun, dan pintar bergaul. Ia disukai orang-orang. Dalam waktu singkat ia dikenal sampai ke Caruban. Di antara sejumlah orang yang dikenalnya dengan baik adalah Ki Danusela. Meski Ki Danusela beragama Hindu-Budha, hubungan mereka sangat akrab. Sering mereka berdua kelihatan berbicara soal kehidupan masyarakat, tata pemerintahan, dan bahkan falsafah hidup.
Hubungan Syaikh Datuk Sholeh dan Ki Danusela berlanjut ke jalinan kekeluargaan. Ceritanya, saat kemenakan Syaikh Datuk Sholeh yang bernama Syaikh Datuk Kahfi menyusul ke Caruban, Ki Danusela sangat tertarik dan simpati terhadap kecerdasan, keluasan ilmu, kebijaksanaan, dan kesantunannya. Berangkat dari ketertarikan dan rasa simpati itulah Ki Danusela kemudian menikahkannya dengan adik ipar perempuannya yang bernama Nyi Rara Anjung. Dengan demikian, Syaikh Datuk Kahfi dan Syaikh Datuk Sholeh secara langsung telah masuk ke dalam lingkungan Kuwu Caruban.
Ki Danusela adalah keturunan Prabu Kertawijaya, Maharaja Majapahit. Dia menikahi Ratu Inten Dewi, puteri Prabu Surawisesa Ratu Sanghiang, Ratu Aji di Pakuan, keturunan Sri Baduga Maharaja, yakni Maharaja Pajajaran yang gugur dalam peristiwa Bubat. Oleh Prabu Surawisesa mertuanya, Ki Danusela diangkat sebagai kuwu di Caruban dengan tugas utama emmantau Kerajaan Galuh yang merupakan bawahan Kerajaan Pajajaran.
Dalam menjalankan tugas sebagai kuwu, Ki Danusela dibantu oleh seorang pangraksabhumi, pejabat yang mengurusi pertanian dan perikanan, beragama Islam yang bernama Ki Samadullah. Ki Samadullah yang memiliki nama asal Raden Walangsungsang masih langsung keturunan Raja Galuh. Ayahandanya adalah Raden Pamanah Rasa, putera Prabu Anggalarang, Raja Galuh. Ibundanya bernama Nyi Subanglarang, puteri Ki Gedeng Tapa, Mangkubumi Singapura, yang tidak lain dan tidak bukan adalah adik Prabu Anggalarang. Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dan Nyi Subanglarang ini melahirkan Raden Walangsungsang, Nyi Rara Santang, dan Raden Sangara.
Nasib buruk menimpa Raden Walangsungsang dan adik-adiknya saat mereka menginjak dewasa. Tiba-tiba ibunda mereka terkena pageblug dan meninggal dunia. Raden Walangsungsang dan adik-adiknya kemudian meninggalkan istana Galuh dan menetap di rumah seorang pengikut Budha bernama Ki Gedeng Danuwarsih. Dia kemudian diambil menantu oleh Ki Gedeng Danuwarsih, dikawinkan dengan Nyi Indang Geulis, puterinya.
Melalui Ki Gedeng Danuwarsih, yang tak lain adalah sahabat Ki Danusela, Raden Walangsungsang bekerja di Pakuwuan Caruban. Bahkan ia diberi kepercayaan besar menduduki jabatan pangraksabhumi menggantikan Ki Danusela. Melalui Raden Walangsungsang inilah Ki Danusela mengetahui perkembangan Kerajaan Galuh, dimana kesetiaan kerajaan itu terhadap Pajajaran masih sangat kuat. Melalui Raden Walangsungsang juga Ki Danusela mengetahui perkembangan agama Islam di pesisir utara Nusa Jawa, terutama di Dermayu.
Selama menjabat sebagai pangraksabhumi, Raden Walangsungsang berkenalan dengan Syaikh Datuk Kahfi dan Syaikh Datuk Sholeh. Ia kemudian berguru agama Islam kepada Syaikh Datuk Kahfi. Setelah mengetahui keluasan ilmu gurunya, ia memohon agar Syaikh Datuk Kahfi membuka sebuah padepokan untuk mendidik masyarakat.
Atas upaya Raden Walangsungsang, kakeknya, Ki Gedeng Tapa, memberikan sebidang tanah di lereng gunung Sembung kepada Syaikh Datuk Kahfi sebagai shima (perdikan), yang bebas pajak. Di tanah itulah Syaikh Datuk Kahfi membangun padepokan yang kemudian dikenal dengan nama Giri Amparan Jati (Gunung Tempat Menggelar Kebenaran). Syaikh Datuk Kahfi kemudian memberi nama baru untuk Raden Walangsungsang, yakni Samadullah. Dan sejak itu, orang mengenal pangraksabhumi Caruban dengan nama Ki Samadullah.
Meski berbeda agama, antara Ki Danusela dan Ki Samadullah terjalin kecocokan terutama tentang hal-hal yang bersifat ruhani. Mereka sering terlihat berdua di pendapa sepanjang malam membahas pengalaman ruhani masing-masing. Bahkan sebuah kitab rontal milik Ki Danusela warisan Maharaja Majapahit yang dikenal dengan nama Catur Viphala, mereka jadikan bahasan mendalam.
Hubungan Ki Samadullah, Syaikh Datuk Sholeh, Syaikh Datuk Kahfi, dan Ki Danusela berlangsung sangat akrab. Itu sebabnya, ketika Syaikh Datuk Sholeh wafat terkena pageblug, Ki Danusela yang belum dikaruniai putera itu meminta agar diperkenankan mengangkat bayi yatim yang ada di dalam kandungan istri Syaikh Datuk Sholeh. Baik Syaikh Datuk Kahfi maupun Ki Samadullah tidak keberatan, meski mereka tahu Ki Danusela beragama Hindu-Budha. Begitulah, putera Syaikh Datuk Sholeh diangkat anak oleh Ki Danusela. Bahkan atas dasar mimpinya yang menakjubkan, Ki Danusela kemudian menamakan bayi itu San Ali.
Merasa prihatin dengan nasib bayi San Ali, Ki Samadullah diam-diam ikut mengasuh dan mengamati perkembangannya dengan penuh kasih sayang. Apalagi Ki Samadullah juga belum dikaruniai putera. Namun, belum lama San Ali merasakan belaian kasih ibunda kandungnya, tiba-tiba ia ditinggal pergi selama-lamanya. Ketika itu usia San Ali menginjak tiga bulan, ibundanya secara mendadak tertular pageblug yang sedang melanda tlatah Caruban. Lantaran peristiwa menyedihkan itu, Ki Samadullah dan istri menumpahkan seluruh kasih dan sayang mereka kepada bayi San Ali yang kini yatim piatu.
Peristiwa menyedihkan yang menimpa San Ali berkembang menjadi fitnah keji yang membahayakan keselamatan jiwa bayi tanpa dosa itu. Ceritanya, beberapa saat setelah ibundanya meninggal, tersebar berita bahwa bayi berusia tiga bulan itu adalah pangkal dari malapetaka yang bakal menimpa Kuwu Caruban. Bayi itu harus disingkirkan jauh-jauh dari pakuwuan sebelum melapetaka yang ditimbulkannya meluas ke mana-mana. Tanda bahwa bayi itu berbahaya adalah kematian kedua orang tuanya dan meluasnya pageblug di tlatah Caruban.
Akibat fitnah yang kuat itu, Ki Danusela sempat terpengaruh. Itu sebabnya, dia membicarakan masalah itu dengan Ki Samadullah sebelum menyampaikannya kepada Syaikh Datuk Kahfi. Ki Samadullah tentu saja terkejut dengan berita bersifat fitnah itu. Lantaran itu, ia dengan terpaksa mengungkapkan ramalan rahasia gurunya, Syaikh Datuk Kahfi tentang kemuliaan yang bakal diraih putera Ki Danusela itu. “Menurut guru saya, putera Tuan bakal menjadi seorang waliyullah yang mulia sepanjang zaman. Karena itu, Tuan, saya menilai wajar jika sejak kecil ia sudah yatim piatu sebab Kangjeng Nabi Muhammad pun sejak kecil mengalami nasib demikian,” ujar Ki Samadullah.
Ki Danusela sangat percaya kepada Ki Samadullah dan terutama kepada adik iparnya, Syaikh Datuk Kahfi, sehingga setiap fitnah keji yang dialamatkan kepada San Ali terhalau. Bahkan atas saran Ki Samadullah, Ki dan Nyi Danusela merelakan putera sulung mereka yang ketika itu berusia lima tahun dikirim ke Padepokan Giri Amparan Jati untuk dididik ilmu pengetahuan agama. Sebulan sekali, Ki Danusela bergantian dengan Ki Samadullah menjenguk San Ali, melimpahkan kasih dan sayang kepada bocah itu.
Apa yang dikemukakan Ki Samadullah berkenaan dengan ramalan Syaikh Datuk Kahfi ternyata terbukti. Ini setidaknya terlihat betapa dalam waktu singkat San Ali sudah dikenal di padepokan sebagai santri yang paling cerdas dan sangat disayangi Syaikh Datuk Kahfi. Berbagai pelajaran agama cepat diselesaikannya menandingi santri-santri lain. Bahkan berbagai persoalan yang diajukan San Ali kepada guru agungnya dalam setiap akhir pengembaraannya selalu menambah wawasan baru bagi warga padepokan, terutama bagi Syaikh Datuk Kahfi.
Warga padepokan tidak lagi menilai warga di luar kelompok mereka – terutama yang beragama Hindu-Budha – sebagai golongan kafir yang najis. Syaikh Datuk Kahfi yang semula memandang bahwa umat yang menyembah Gusti Allah hanya Islam, telah mengubah pandangan bahwa segala ciptaan di alam semesta ini pada hakikatnya menyembah Gusti Allah dengan nama dan tata cara berbeda. Seluruh umat manusia, malaikat, hewan, tetumbuhan, jin, setan, bahkan iblis: semuanya adalah penyembah Gusti Allah, meski harus diakui bahwa Islamlah satu-satunya agama yang paling sempurna di dalam pengaturan tata cara menyembah Gusti Allah dan tata kehidupan manusia. Dan semua perubahan itu terjadi setelah San Ali dan Syaikh Datuk Kahfi berbincang membahas berbagai persoalan hidup.
Selama menuntut ilmu di Padepokan Giri Amparan Jati, San Ali juga dikenal piawai dalam pencak silat, olah kanuragan, dan menyanyikan tembang-tembang pepujian. Malahan ia sering terlihat perdebatan dengan guru agungnya tentang berbagai masalah, terutama dalam pelajaran manthiq dan ilmu kalam. Sementara dalam hal tauhid dan olah batiniah, keduanya seperti memiliki kesamaan cita rasa. Boleh jadi lantara itu ia sering terlihat mengikuti Syaikh Datuk Kahfi melakukan iktikaf untuk mengamalkan aurad dengan mengerjakan dzikrullah, tafakkur, ta’ammul, dan tahannuts.
Seiring dengan perubahan waktu yang mengantarkannya ke alam kedewasaan, terjadi perubahan sikap dan perilaku San Ali. Selama waktu luang seusai zhuhur, ia sering terlihat merenung seorang diri di bawah pohon Kalpa hingga matahari condong ke barat dan beduk asyar mulai ditabuh orang. Entah apa yang dirasakannya saat itu. Ia merasakan kegelisahan menerkam jiwanya sehingga membuatnya betah berlama-lama menenangkan diri. Ia seolah-olah melupakan keriangan yang selama ini direguknya di padepokan atau saat berkeliling keluar masuk hutan.
Syaikh Datuk Kahfi rupanya memahami benar perkembangan murid terkasihnya itu. Dia menagkap sasmita bahwa muridnya itu bakal menjadi guru agung yang jauh melebihi kebesaran dirinya. Murid yang sekaligus saudara sepupunya itu, dalam pandangannya, adalah samudera pengetahuan yang sedang menuju pasang kemasyhuran jati dirinya. Lantaran itu, seluruh ilmu pengetahuan yang dimilikinya sudah diniatkan akan dilimpahkan kepada San Ali tanpa sisa. Dan San Ali sendiri bagaikan musafir menenggak air laut, yang semakin kehausan setiap kali menghirup pengetahuan dari gurunya.
Sebagai guru agung, Syaikh Datuk Kahfi mengetahui secara gaib bahwa San Ali tidak akan menjadi manusia kebanyakan seperti murid yang lain. Kalau pun San Ali akan menjadi kuwu menggantikan kedudukan orang tuanya maka ia tidak akan menjadi kuwu biasa. Ia akan membawa perubahan besar bagi zamannya. Namun, diam-diam Syaikh datuk Kahfi mendapat firasat bahwa San Ali yang dikasihinya itu tidak akan menjadi penguasa duniawi. Ia akan menjadi guru agung termasyhur: penuntun manusia ke jalan Ilahi!
Sebagai orang yang telah kenyang memakan pahit dan getir kehidupan, Syaikh Datuk Kahfi merasakan suatu kemestian dari derita pedih yang bakal dialami muridnya. San Ali akan menduduki derajat ruhani sangat tinggi di zamannya. Syaikh Datuk Kahfi diam-diam mendoakan agar muridnya itu senantiasa tabah dan tawakal menghadapi ujian Ilahi, karena telah termaktub di dalam dalil bahwa siapa yang berderajat ruhani tinggi maka hidupnya akan senantiasa diterpa ujian berat berupa kebalakan sebagaimana hal itu dialami para nabi dan wali.
Tentang kemestian kehidupan pedih yang bakal dilewati San Ali, Syaikh Datuk Kahfi juga telah menguraikannya kepada Ki Samadullah dalam suatu pertemuan rahasia di Masjid Giri Amparan Jati. Dengan penuh harap, dia meminta agar Ki Samadullah dengan suka cita menjadi pembela dalam persoalan apa saja yang berkenaan dengan lingkaran nasib yang bakal menjerat San Ali. Dengan hati diliputi keprihatinan, Syaikh Datuk Kahfi menjelaskan nasib pedih yang bakal dialami San Ali. “Jagalah rahasia Allah ini! Jangan sekali-kali ada yang mengetahuinya, termasuk San Ali,” ujarnya mewanti-wanti.
Sebagai murid yang patuh dan setia, dengan sepenuh jiwa Ki Samadullah menyanggupi permintaan gurunya. “Saya akan senantiasa mematuhi amanat Yang Mulia. Saya akan melakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan bagi San Ali, buah hati saya.”
Sejak peristiwa larut malam di Masjid Giri Amparan Jati itu, kecintaan Ki Samadullah kepada anak asuhnya makin kuat berurat dan berakar. Bagaikan induk harimau melindungi anaknya, begitulah Ki Samadullah memperlakukan San Ali. Ke mana pun San Ali berada dia selalu berusaha mengetahui dan mendampinginya. Itu sebabnya, dia tak jarang menemani San Ali berkeliling ke desa-desa di sekitar Gunung Sembung, keluar dan masuk hutan. Bahkan karena begitu seringnya mendampingi San Ali, Ki Samadullah menjadi sangat dikenal masyarakat sebagai petinggi Kerajaan Galuh yang dermawan dan mencintai rakyat, karena selama bersama San Ali, dia acap kali mengulurkan bantuan kepada mereka yang membutuhkan.
San Ali tampaknya merasakan perubahan sikap ayahanda asuh tercintanya itu. Ia juga merasakan perubahan sikap dari guru agungnya. Bahkan sikap ayahanda dan ibundanya. Dan ujung dari perasaannya itu, ia merasa tidak bahagia dengan itu semua. Ia menangkap sasmita bahwa kecintaan orang-orang di sekitarnya terhadap dirinya, tentu ada batasnya. Cinta mereka bukanlah cinta sejati yang abadi sepanjang masa.
Saat usianya masuk sembilan belas tahun, San Ali bertambah sering terlihat termenung duduk di bawah pohon Kalpa yang tumbuh rindang di tepi sungai. Lewat derasnya arus sungai, ia menangkap kenyataan bahwa aliran air yang terus-menerus itu akan mengalir menuju muara hingga ke samudera raya. Lewat gemerlap cahaya matahari, ia menyaksikan betapa sinar dunia itu bergerak dari timur ke barat sepanjang waktu seolah masuk ke sarangnya di dunia bawah. Bahkan saat menyaksikan warga desa di sekitar padepokan meninggal dunia, ia menyadari adanya aliran kehidupan manusia, seperti gerakan air dan matahari menuju ke arah tertentu: pusat dari segala sesuatu.
Selama termenung, ia menyadari bahwa pada hakikatnya segala apa yang tergelar di alam semesta ini adalah perwujudan dari ‘aku’. Air sungai, matahari, pepohonan, bebatuan, awan-gumawan, langit, gunung-gemunung, hewan, manusia, dan seluruh isi jagad raya ini memiliki ‘aku’ masing-masing. Andaikata matahari bisa bicara maka dia akan berkata: aku matahari. Begitu juga dengan seluruh isi jagad raya, pasti akan mengatakan ‘aku’ ini dan ‘aku’ itu. Dan ‘aku’ masing-masing itu, pikir San Ali, pastilah memiliki pusat ‘aku’ semesta dari mana ‘aku’ masing-masing itu berasal dan ke mana ‘aku’ masing-masing itu kembali.
Selama ini ia telah diajarkan bagaimana melakukan penyembahan kepada Gusti Allah, Pencipta alam semesta, Pangkal kejadian segala. Atau tentang surga yang diperuntukkan bagi orang-orang saleh yang menyembah dan mengikuti peraturan agama yang diturunkan Gusti Allah. Ia juga telah diajarkan tentang neraka yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir yang mengabaikan ajaran agama. Ia belajar berbagai masalah kehidupan beragama yang membawa seseorang sebagai muslim sejati, yakni mereka yang berbaris beriringan bersama-sama dengan orang-orang takwa yang dicintai Allah menuju surga tempat kenikmatan dan kelezatan abadi.
Kesadaran San Ali tentang hakikat ‘aku’ pribadi dan ‘Aku’ semesta itu telah membawanya ke suatu hamparan keagamaan luar biasa dalam memaknai hidup. Jika sebelumnya, seperti murid-murid padepokan yang lain, ia memiliki harapan besar untuk menjadi penghuni surga yang penuh kenikmatan maka kini ia meragukan harapannya itu sebagai kebenaran mutlak. Bukankah surga pada hakikatnya adalah ‘aku’ pribadi – dan bukan ‘Aku’ semesta yang menjadi sumber segala ‘aku’? Bukankah ‘aku’-ku akan menyatu dengan ‘aku’ surga jika harapanku memang ke sana? Bukankah agama mengajarkan intisari hakikat inna li Allahi wa inna ilaihi rajiun, yang bermakna sesungguhnya semua ‘aku’ berasal dari ‘Aku’, dan semua ‘aku’ akan kembali ke ‘Aku’ sebagai asal segala ‘aku’.
Dengan kesadaran itu San Ali mulai merasakan kegelisahan mencakari jiwanya. Ia mulai mempertanyakan segala perilaku ibadah yang telah dijalankannya selama ini. Gusti Allah yang bagaimana yang ia sembah selama ini? Apakah ketundukan ‘aku’-nya di dalam sembahyang benar-benar perwujudan dari ketundukan ‘aku’ terhadap ‘Aku’? bukankah sampai saat ini ia belum menemukan hakikat dari ‘aku’ pribadinya? Di manakah ‘aku’ pribadiku berada? Di mana ‘aku’ pribadiku bisa ditemukan? Apakah ‘aku’-ku bersembunyi di kedalaman hati, jantung, paru-paru, aliran darah, sumsum, atau otak? Tidak satu pun pelajaran yang diterimanya dari Syaikh Datuk Kahfi memberikan penjelasan yang memuaskan tentang semua pertanyaan ini. Dan San Ali mendapati kenyataan yang makin membuatnya gamang: “Jika keberadaan ‘aku’ pribadiku saja belum kuketahui hakikatnya, bagaimana mungkin aku mengetahui hakikat ‘Aku’ semesta? Dan jika hakikat ‘Aku’ semesta belum kuketahui, bagaimana ‘aku’ bisa sampai kepada-Nya?”
Setelah belajar selama limabelas tahun, datanglah saat ia harus meninggalkan padepokan untuk menguji segala ilmu pengetahuan yang telah ia miliki di tengah gelanggang kehidupan manusia. San Ali pergi berbekal petuah Syaikh Datuk Kahfi agar selalu mengikatkan diri pada tali Ilahi – intisari hakiki dari ‘Aku’ semesta yang menjadi pusat semua ‘aku’ pribadi – di mana pun ia berada. Dan intisari dari ikatan tali Ilahi itu adalah suatu keyakinan yang menandaskan bahwa ‘Aku’ semesta itulah pangkal segala: engkau akan mengenal Dia karena Dia! Engkau tahu Dia karena Dia!
Kepergian San Ali dari Padepokan adalah bagian dari pencarian sejati dari hakikat ‘aku’ yang bermuara ke ‘aku’. Sebab, bagi ‘harimau’ seperti San Ali dibutuhkan rimba raya yang lebih luas untuk menemukan sarangnya yang sejati. Bagi Syaikh Datuk Kahfi, kepergian San Ali merupakan bagian dari ujian menunaikan tekad untuk mencari hakikat sejati ‘Aku’ yang menurut para pencari-Nya dilingkari tujuh samudera, tujuh lembah, tujuh gunung, tujuh jurang, tujuh gurun, tujuh rimba, dan tujuh benteng yang dipenuhi pasukan penghalang berkekuatan mahadahsyat. Hanya dia yang berjiwa ksatria dan benar-benar berjuang keras menuju ‘Aku’ yang akan sampai kepada-Nya.
Perjalanan San Ali mencari ‘Aku’ sebagai sangkan paran (asal usul) segala ‘aku’ pada dasarnya merupakan hal aneh bagi seumumnya manusia lumrah. Sebab, manusia umumnya mencari kemuliaan dan kenikmatan hidup berupa harta kekayaan, pangkat tinggi, derajat kehormatan, kekuasaan, atau kenikmatan perempuan. Bahkan bagi sebagian orang yang mengaku beriman dan beramal saleh, yang lazim diburu adalah kenikmatan ukhrawi, seperti surga yang penuh bidadari jelita, makanan lezat, susu, madu, hawa sejuk, dan kenikmatan lain. Jadi, perjalanan San Ali adalah pencarian luar biasa dahsyat yang tak menjanjikan apa-apa kecuali kembali kepada Asal Usul kejadian yang tak bisa dibayang-bayangkan, dibanding-bandingkan, dan disetarakan dengan sesuatu.
Perjalanan mencari ‘Aku’ pada dasarnya gampang diucapkan, namun sulit diamalkan. Sebab, ‘Aku’ yang dikenal San Ali dengan nama Allah bukanlah ‘Aku’ statis yang membiarkan diri-Nya gampang ditemukan apalagi dijamah ‘aku’ ciptaan-Nya. Dia menggelar bermacam-macam hijab dan berlapis-lapis tirai penghalang untuk menguji tekad dan semangat ‘aku’ dalam menuju ‘Aku’. Semakin dekat ‘aku’ kepada ‘Aku’ maka ujian pun makin luar biasa dahsyat hingga pada satu titik di mana ‘aku’ tidak melihat ‘aku’ yang lain kecuali ‘Aku’.
Rintangan awal dari perjalanan San Ali mencari ‘Aku’ dibentangkan sejak ia melangkahkan kaki keluar dari Padepokan Giri Amparan menuju Pakuwuan Caruban, tempat ayahanda dan ibundanya. Tujuannya ke Pakuwuan Caruban adalah atas perintah Syaikh Datuk Kahfi, untuk memohon doa dan restu dari ayahandanya, ibundanya, serta Ki Samadullah dan istrinya sebelum pengembaraan batiniahnya dimulai. Namun, justru di sanalah rintangan berat dimulai dalam bentuk tragedi yang menimpa orang-orang yang dicintainya.
Saat tiba di pakuwuan yang dijumpainya hanya Rsi Bungsu, adik ibundanya, yang selama bertahun-tahun menjadi penasihat ayahandanya. Rsi Bungsu ternyata telah menggantikan kedudukan Ki Danusela sebagai Kuwu Caruban. Kenyataan itu, tentu sangat mengejutkan San Ali. Ia merasakan dirinya seperti disambar petir di siang hari.
Menurut penjelasan Rsi Bungsu, Ki Danusela telah wafat diterkam harimau saat berburu kijang di hutan Kawali sekitar tiga pekan silam. Sementara nasib Nyi Ratu Inten Dewi, ibunda San Ali, hingga kini tak diketahui. Sejak kematian suaminya, Nyi Ratu Inten menjadi hilang ingatan. Suatu malam dia pergi dan tidak diketahui rimbanya.
Selama bertahun-tahun hidup di padepokan, San Ali selalu diterkam kerinduan ingin hidup bersama kedua orang tuanya. Namun, kini mereka telah tiada. Kenyataan pahit itu sulit diterima San Ali. Jiwanya sangat terpukul. Itu sebabnya, dengan gencar dan terkesan menuduh ia mempertanyakan perubahan keadaan itu kepada Rsi Bungsu.
Kenapa kematian ayahandanya tidak diberitakan ke padepokan? Benarkah ibundanya hilang akal dan lari meninggalkan pakuwuan setelah kematian ayahandanya? “Saya khawatir, jangan-jangan semua ini adalah akal bulus Pamanda belaka.”
“Apa maksudmu, o Kemenakanku tercinta?” ujar Rsi Bungsu dengan muka merah padam menunjukkan kobaran api amarah.
“Apakah saya salah jika menaruh syak wasangka bahwa ayahanda saya meninggal dunia karena upaya pembunuhan? Dan apakah saya salah jikalau menaruh curiga bahwa ibunda saya telah secara sengaja disingkirkan dari pakuwuan dengan tuduhan hilang akal? Dan ujung dari semua itu, salahkah jika saya mencurigai orang yang sekarang menduduki kursi Kuwu Caruban?” sergah San Ali dengan suara ditekan keras.
“Lancang mulutmu, San Ali,” bentak Rsi Bungsu dengan suara menggelegar. “Sungguh aku tidak pernah menduga, murid terkasih Syaikh Datuk Kahfi memiliki mulut selancang dan sekejam dirimu. Tuduhanmu sangat menyakitkan karena tanpa dasar apa pun. Dan ketahuilah, o Kemenakanku, jika saat ini aku berkenan, akan kusuruh punggawa pakuwuan untuk menangkap dan membunuhmu yang telah berbuat tidak tahu tata krama di hadapan Yang Dipertuan Caruban. Tidakkah engkau tahu bahwa aku adalah putera bungsu Prabu Surawisesa, Ratu Sanghiang? Tidak tahukah engkau bahwa saudara tuaku, Prabu Ratu Dewata, Ratu Aji di Pakuan, adalah maharaja di Pajajaran?”
“Saya akan sukacita jika Pamanda membunuhku sekarang,” tantang San Ali dengan mata berkilat-kilat.
“Ketahuilah, o San Ali,” tukas Rsi Bungsu menahan amarah, “sebagai seorang paman, aku akan memaafkan perilaku burukmu yang melanggar tata krama itu. Aku tidak akan memerintahkan punggawa untuk menangkap dan membunuhmu. Namun, sebagai Kuwu Caruban, adik Maharaja Pajajaran, perbuatanmu itu wajib dihukum agar tidak ditiru oleh kerabat pakuwuan dan kawula alit yang lain.”
“Pamanda akan memenjarakan saya?” tanya San Ali mengernyitkan dahi.
“Hal itu tidak akan terjadi,” kata Rsi Bungsu datar, “sebab jika engkau dijatuhi hukuman penjara maka orang-orang akan membenarkan tuduhanmu yang keji itu. Untuk kesalahanmu itu, o San Ali, aku selaku Kuwu Caruban yang mewakili Maharaja Pajajaran, menyatakan bahwa sejak saat ini engkau telah dianggap bukan lagi bagian dari keluarga pakuwuan, apalagi keturunan Ramanda Prabu Surawisesa. San Ali tidak berhak lagi menyandang gelar kebangsawanan. San Ali sudah menjadi kawula alit dari kaum sudra papa yang tidak memiliki martabat dan derajat apa pun di bumi Pajajaran ini.”
Mendengar keputusan Rsi Bungsu, San Ali berdiri dengan gagah dan tertawa lepas seolah tidak terpengaruh sedikit pun dengan keputusan pamannya. “Sekalipun kini saya telah menjadi kawula alit, di dalam darah saya tetap mengalir darah yang sama dengan darah Ki Danusela, Kuwu Caruban, yang mengalirkan darah raja-raja Majapahit. Darah saya sama dengan darah ibundaku, Nyi Ratu Inten Dewi, darah Pajajaran yang juga mengalir di darahmu, Paman. Karena itu, o Pamanda Bungsu, sekalipun kini engkau tidak mau mengakui aku sebagai kemenakanmu, aku tetap menganggapmu sebagai pamanku karena di dalam tubuh kita mengalir darah yang sama. Dan ketahuilah, o Pamanda, bahwa dengan kekuasaanmu sekarang, engkau dapat mengangkat seratus ekor kera dengan gelar-gelar kebangsawanan. Namun, apa pun gelar yang engkau berikan, mereka tetaplah hewan karena darah, daging, dan tulang mereka adalah hewan.”
“Ketahuilah, o Pamanda tercinta,” lanjutnya, “kehadiran saya di pakuwuan ini sebenarnya hanya ingin memohon doa restu dari ayahanda dan ibunda karena saya akan mengemban tugas dari guru agung untuk menjalankan dharma kehidupan saya. Sedikit pun saya tidak pernah berpikir tentang kekuasaan duniawi apalagi jabatan kuwu di Caruban ini. Karena itu, o Pamanda, engkau tidak perlu khawatir jikalau saya akan menggalang kekuatan untuk merebut kekuasaan dari tanganmu.”
Ucapa San Ali benar-benar menusuk perasaan Rsi Bungsu. Itu sebabnya, dengan suara penuh amarah dia menyerang dengan kata-kata menyakitkan, “Ketahuilah, o San Ali, bahwa sejatinya engkau tidak memiliki hak untuk berbicara tentang darah Majapahit yang mengalir di tubuh Kakanda Danusela apalagi darah Pajajaran dari Kakanda Nyi Ratu Inten Dewi. Ketahuilah, o Anak, bahwa engkau bukanlah keturunan mereka. Karena, orang yang menjadi ayahandamu adalah orang asing keturunan Melayu-Jambudwipa yang bernama Syaikh Datuk Sholeh yang mati diganyang pageblug. Begitu juga orang yang menjadi ibunda kandungmu. Jadi, San Ali, tidak ada darah Majapahit apalagi darah Pajajaran di tubuhmu. Cukup adil jika aku melarangmu menggunakan gelar kebangsawanan karena sejatinya engkau memang bukan berasal dari kalangan yang demikian.”
San Ali merasakan kepalanya bagai disambar petir. Ia tercengang mendengar uraian Rsi Bungsu. Ia benar-benar kebingungan. Tubuhnya tiba-tiba terasa panas dingin. Benarkah ia bukan anak kandung Ki Danusela? Kenapa selama ini tidak ada yang membicarakan persoalan itu? Benarkah ayahandanya orang asing keturunan Melayu-Jambudwipa bernama Datuk Sholeh? Benarkah ayahanda dan ibunda kandungnya telah meninggal terkena pageblug? Kenapa guru agung tidak pernah menceritakan hal itu?
Dengan benak digumpali tanda tanya berjejal-jejal dan hati penasaran, San Ali dengan langkah limbung meninggalkan pendapa pakuwuan. Seluruh kebanggaannya sebagai putera Kuwu Caruban hancur binasa. Ia merasakan bumi tempatnya berpijak terhempas ke bawah. Ia tidak memiliki apa-apa lagi: kehormatan hidup, kebanggaan darah biru, orang tua kandung, dan bahkan orang tua angkat yang mencintainya. San Ali benar-benar merasakan ‘aku’-nya terasing sendiri: hina dan papa!
~ Bag 3. Meninggalkan Orang-Orang Tercinta
Di bawah cahaya rembulan yang bersinar separo ditutupi gumpalan awan di langit yang menghampar di angkasa pantai Muara Jati, di utara Caruban, San Ali berjalan di antara rimbunan hutan. Tak jauh di belakangnya – dalam jarak sekitar lima puluh tombak – sekitar seratus orang dengan senjata tombak, pedang, kelewang, dan kujang bergerak membayanginya. Mereka bagai kawanan serigala mengintai mangsa.
Ketika ia berada di dekat rimbunan bakau, tiba-tiba salah seorang dari gerombolan yang mengikuti itu melompat keluar sambil menghardik, “Berhentilah kau, e Ki Sanak! Berani benar kau melewati daerah kekuasaanku? Apa kau belum kenal siapa aku?”
San Ali yang sejak semula merasakan langkahnya diikuti sekumpulan orang segera menyergah dengan tegas, “Aku tahu siapa kalian! Bukankah kalian prajurit Pakuwuan Caruban yang diperintahkan Pamanda Rsi Bungsu untuk membunuhku?”
“Lancang sekali mulutmu, Ki Sanak!”
“Sudahlah Ki Sanak, tidak usah bersandiwara di depanku,” ujar San Ali tenang, “Sebagai putera ibunda Nyi Ratu Inten Dewi dan cucu Prabu Surawisesa, Ratu Aji di Pakuan, aku tahu persis watak dari Pamanda Rsi Bungsu yang licik.”
Mendengar bahwa San Ali adalah putera Nyi Ratu Inten Dewi, istri Ki Danusela, mantan junjungannya, orang itu tercengang kebingungan. Dia seperti baru sadar bahwa pemuda di depannya itu adalah San Ali. Namun, sebelum sempat dia berpikir lebih lanjut, tiba-tiba terdengar hiruk pikuk dari sekeliling hutan bakau yang diikuti oleh menghamburnya orang-orang bersenjata yang dengan beringas dan berteriak-teriak menyerbu San Ali.
“Bunuh!”
“Cincang!”
“Habisi!”
Bagaikan kawanan serigala menyerang seekor domba, begitulah gerombolan bersenjata itu menyerbu dengan beringas. Namun, sebagai santri yang bertahun-tahun dilatih pencak silat dan berbagai ilmu kanuragan, San Ali tidak gentar menghadapi serangan itu. Ia dengan tenang menyapukan pandangan ke arah utara, ke rerimbunan hutan bakau. Dengan gerakan seolah melarikan diri dari lawan, ia melompat dan lari dengan cepat meninggalkan orang-orang yang memburunya.
Dengan berlari cepat, San Ali telah membagi kekuatan lawan sedemikian rupa. Hanya mereka yang kuat tenaga dan cepat larinya yang bisa mendekatinya. Siasat San Ali ini mengena. Para pemburu beriringan mengejarnya. Ketika ada yang berhasil mendekat, serta merta ia memperlambat laju larinya. Dan saat jarak mereka tinggal satu tombak, tiba-tiba ia berbalik sambil menyabetkan kakinya ke bawah dengan gerakan setengah lingkaran.
Desh!
Blukk!
Sabetan kaki San Ali dengan telak menghantam kaki lawan. Dan tanpa ampun lagi, lawan yang terserimpung kakinya itu tumbang ke atas tanah. San Ali cepat bergerak lagi menjauh. Pada saat berurutan, para pemburu yang berlari cepat di belakang tak sempat menghentikan langkah saat mengetahui kawan di depannya tersungkur mendadak. Dan peristiwa menakjubkan pun terjadi, orang-orang yang berlomba memburu San Ali bergantian jatuh karena tersandung tubuh kawannya yang tersungkur lebih dulu. Disertai sumpah serapah, mereka yang bertumpang tindih itu memaki-maki San Ali dengan penuh amarah. Namun, sebelum mereka dapat berbuat sesuatu tiba-tiba San Ali melompat ke arah mereka. Kemudian dengan pukulan dan tendangan yang mantap, satu demi satu para pemburu yang bergelimpangan itu dihajarnya.
Gerak cepat San Ali dalam melumpuhkan lawan itu tidak berlangsung lama, sebab para pemburu lain sudah dekat jaraknya. Dengan gerakan secepat kijang ia melompat dan mengambil langkah seribu meninggalkan lawan-lawan yang terus mengejarnya. Tadinya ia sempat meragukan kemampuannya untuk mengalahkan lawan yang jumlahnya sekitar seratus orang. Namun, dengan keyakinan bahwa Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, ia terus berusaha melumpuhkan lawan dengan cara mengajaknya lari berputar-putar di sekitar pepohonan bakau. Lawan yang jaraknya dekat langsung dihantam dan ditinggal lagi, begitu seterusnya.
Taktik lari dan pukul itu membuat tenaganya terkuras. Sementara lawan-lawannya meski kelihatan letih dan babak-belur, jumlah mereka tak berkurang. Bahkan seperti tak ada habis-habisnya. Saat San Ali benar-benar kewalahan menghadapi serangan lawan, sambil mengamuk dengan gerakan-gerakan yang mulai kurang terarah, ia mengeluh dan memasrahkan hidupnya kepada ‘Aku’ semesta yang diyakini sebagai asal ‘aku’ pribadinya. “Ya, Allah, jika Engkau menghendaki ‘aku’ kembali kepada-Mu sekarang, kupasrahkan ‘aku’-ku untuk kembali kepada ‘Aku’-Mu.”
Mendadak terdengar pekikan takbir yang diteriakkan puluhan orang. Di antara pekikan itu terdengar dentam kaki kuda menghentak-hentak bumi yang diselingi jerit kesakitan dan pekik kematian di sana sini.
San Ali tercengang. Ia seperti bermimpi ketika menyaksikan puluhan orang berpakaian serba putih dengan menunggang kuda menyabetkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Dalam tempo singkat, ia melihat puluhan mayat bertumpuk-tumpuk di sekitarnya. Bahkan sekumpulan orang yang sedang mengepung dirinya tiba-tiba berhenti bergerak dan mendongak ke atas dengan wajah pucat. Kemudian bagaikan dikomando, para pengeroyok itu berhamburan ke arah utara menyelamatkan diri. Setelah suasana terkendali barulah San Ali mengetahui bahwa di antara para penunggang kuda itu terdapat ayahanda asuhnya, Ki Samadullah.
Rupanya, sejak berita kematian Ki Danusela sampai ke pakuwuan, Ki Samadullah menangkap gelagat kurang beres dari perilaku Rsi Bungsu. Itu sebabnya, dengan dalih menyusul Ki Danusela ke hutan Kawali, diam-diam dia membawa sekitar tiga puluh prajurit berkuda Pakuwuan Caruban. Alih-alih ke hutan Kawali, sebenarnya Ki Samadullah bersembunyi di kawasan gunung Sembung tak jauh dari Padepokan Giri Amparan Jati. Dari sanalah, dia memantau perkembangan pakuwuan yang sudah dikuasai oleh Rsi Bungsu.
Dari tempat persembunyiannya, Ki Samadullah mengirim utusan ke Kadipaten Demak untuk melaporkan kepada Adipati Demak, Arya Sumangsang, tentang nasib saudara tirinya, Ki Danusela. Arya Sumangsang, kelak menjadi penguasa Demak dengan gelar Abdul Fatah Surya Alam Sayidin Panatagama, kemudian mengirim adik tirinya seibu yang bernama Raden Kusen dengan membawa sekitar dua ratus orang prajurit Demak ke Caruban. Raden Kusen yang ibundanya seorang Cina muslim itu dengan mudah menyusup ke pelabuhan Muara Jati melalui jasa saudagar-saudagar Cina. Bahkan tanpa menemui kesulitan, ia dan pasukannya berhasil masuk hingga ke gunung Sembung.
Malam itu, di bawah bayangan rembulan yang bersinar separo, San Ali melihat Ki Samadullah menunggang kuda coklat. Di sampingnya, seorang lelaki berwibawa duduk di atas punggung kuda hitam perkasa. Kilatan matanya tajam, menyiratkan kecerdasan, keberanian, dan keteguhan jiwa. Usianya sekitar tiga puluh lima tahun, sedikit lebih tua dari San Ali, namun ia kelihatan matang.
Begitu melihat anak asuh kesayangannya selamat tak kurang suatu apa, Ki Samadullah segera melompat turun dari kuda. Dengan mata berkaca-kaca diliputi keharuan, dia langsung mendekati San Ali dan mendekapnya erat-erat.
“Alhamdulillah,” desah Ki Samadullah dengan air mata bercucuran, “engkau tak kurang suatu apa pun, Anakku. Aku yakin sekali Gusti Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang dikasihi-Nya celaka.”
“Pamanda Samadullah,” San Ali menarik napas berat, “ke mana saja Paman selama ini? Aku mencari-carimu di pakuwuan, namun tak ada yang tahu.”
“Aku sengaja bersembunyi di gunung Sembung, Anakku. Sebab, aku mendapat firasat tidak baik berkenaan dengan pamanmu Rsi Bungsu, segera setelah kuperoleh berita bahwa ayahandamu meninggal akibat diserang harimau di hutan Kawali. Karena itu, tanpa sepengetahuan Rsi Bungsu, aku membawa tiga puluh prajurit keluar pakuwuan untuk bersembunyi, dengan harapan rentangan waktu akan membongkar kebusukan Rsi Bungsu.
“Dan sekarang Paman yakin bahwa Pamanda Rsi Bungsulah yang merancangnya semua bencana yang menimpa Pakuwuan Caruban ini?”
“Kenyataan menunjukkan demikian,” sahut Ki Samadullah geram. “Lantaran itu, aku segera mengirim kurir ke Kadipaten Demak untuk melaporkan kejadian di pakuwuan kepada sang Adipati, yang tak lain adalah saudara ayahandamu. Beliau kemudian mengirim adiknya, Raden Kusen, untuk membalas kematian ayahandamu dan menghukum Rsi Bungsu.”
“Jadi?”
“Beliau inilah Raden Kusen, saudara ayahandamu,” kata Ki Samadullah menunjuk ke penunggang kuda hitam, ke arah lelaki yang penuh wibawa itu.
“Salam takzim, Pamanda,” kata San Ali menyalami dan mencium tangan lelaki itu.
“Engkaukah San Ali, putera Rakanda Danusela?” tanya Raden Kusen.
“Benar, Paman.”
Raden Kusen menatap mata San Ali seolah hendak mengukur kekuatan jiwa putera dari saudara tirinya itu. Seperti mengukur benda, ia menyapukan pandangannya ke San Ali dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Dan sejenak sesudah itu ia menepuk-nepuk bahu San Ali sambil berkata, “sebagai bahan dasar, mutumu sangat unggul, o Putera saudaraku. Tetapi untuk menjadi pusaka dahsyat, engkau masih perlu ditempa lebih keras lagi.”
“Terima kasih, Paman,” kata San Ali penuh hormat.
Raden Kusen membisikkan sesuatu ke telinga Ki Samadullah. Sesaat kemudian, Ki Samadullah mengajak San Ali meninggalkan lokasi.
“Pamanda,” sergah San Ali, “tahukah Paman akan nasib ibundaku?”
“O Anakku, tambatan kesayanganku,” kata Ki Samadullah sambil mengelus-elus rambut San Ali. “Sungguh malang nasibmu. Ibundamu hanya sempat tinggal sekitar sepekan bersama kami di gunung Sembung. Dia pergi begitu saja tanpa pamit. Ibundamu, Nyi Kuwu, hanya sempat mengatakan kepada istriku bahwa dia akan mencari ke mana pun ayahandamu berada, meski nantinya yang ditemukan hanya tulang berbalut tanah. Sekitar sepekan setelah kepergiannya, salah seorang prajuritku menemukan ibundamu sakit keras di pinggiran hutan Kawali.
Prajurit itu kemudian membawa ibundamu ke gunung Sembung. Rupanya perjalanan siang dan malam tanpa kenal hujan dan angin membuat ibundamu kehabisan tenaga. Setelah tinggal selama tiga hari, ibundamu meninggal dan kami kebumikan di sana.”
“Jadi, ibunda saya meninggal di gunung Sembung? Kenapa Paman tidak memberi tahu?” tanya San Ali penasaran.
“Sejak awal peristiwa, ibundamu melarang kami memberitahumu,” kata Ki Samadullah menghela napas berat. “Kami semua tidak tahu alasan apa yang membuat Nyi Kuwu melarang kami. Kami hanya tahu bahwa beliau adalah puteri Prabu Surawisesa, Ratu Aji di Pakuan, yang segala perintahnya harus dipatuhi.”
“Astaghfirullah!” desah San Ali lirih. Tanpa terasa dari kelopak matanya mengalir air bening. Terbayang di lipatan kenangannya tentang belaian kasih yang telah ia dapatkan dari ibundanya itu. Betapa sabar dan penuh kasih ibundanya itu sehingga belum pernah San Ali menyaksikannya marah atau bermasam muka. Bahkan andaikata benar pernyataan Rsi Bungsu bahwa wanita itu bukan ibunda kandungnya, tetaplah San Ali mencintai dan menghormatinya sepenuh jiwa karena sejak kecil yang ia kenal sebagai ibunda hanyala Nyi Kuwu, Ratu Inten Dewi.
Melihat anak asuh yang dikasihinya tenggelam dalam kesedihan, Ki Samadullah merasakan hatinya pedih bagai mengalirkan darah. Selama ini, setiap dia mengunjungi San Ali, senantiasa yang dijumpainya adalah senyum dan tawa bahagia. Ketika mendampingi berkeliling desa dan keluar masuk hutan pun, dia senantiasa mendapati keceriaan mengitari kehidupan anak asuhnya itu. Kini, baru beberapa hari meninggalkan padepokan, anak itu telah terseret ke dalam lingkaran nasib memilukan sebagaimana pernah diramalkan Syaikh Datuk Kahfi.
Suasana hening melingkupi tlatah Muara Jati. San Ali diam. Ki Samadullah diam. Raden Kusen diam. Semua diam. Hanya angin dingin bertiup menebarkan bau anyir darah yang mulai mengering di tanah. Dan setelah lama suasana hening itu berlangsung, Raden Kusen dengan suara penuh wibawa berkata, “Sekaranglah waktu yang paling tepat untuk menjatuhkan hukuman bagi Rsi Bungsu. Bagaimana, Ki Samadullah, apakah orang-orangmu sudah siaga?”
“Patik, Yang Mulia,” kata Ki Samadullah, “sejak sore tadi, sekitar seratus orang santri dari Padepokan Giri Amparan Jati bersenjata lengkap telah patik siagakan di sekitar pakuwuan. Sekitar seratus orang pengikut Ki Gedeng Babadan juga sudah bersiaga. Dan sekitar tiga ratus orang pengikut patik dari Tegal Alang-Alang pun sudah mengitari pakuwuan sejak sore tadi.”
“Bagus,” kata Raden Kusen mantap. “Bagaimana dengan berita kehadiran pasukan Pajajaran yang akan mendukung kekuasaan Rsi Bungsu?”
“Patik, Yang Mulia,” kata Ki Samadullah. “Berita dari telik sandhi yang patik kirim menyatakan bahwa Rsi Bungsu memang meminta bantuan ke Pakuan. Patik dengar Maharaja Pakuan, Prabu Ratu Dewata, mengirimkan seribu prajurit di bawah pimpinan perwira bernama Terong Peot.”
“Berarti, kita harus secepatnya menyerang pakuwuan sebelum bala bantuan itu datang. Kalau sampai pasukan dari Pakuan datang, engkau bisa membayangkan bagaimana nasib Pakuwuan Caruban ini. Berita yang kuperoleh dari pedagang-pedagang Cina yang berniaga di pelabuhan Kalapa mengatakan Rsi Bungsu sengaja membuat laporan palsu bahwa kematian Kuwu Caruban akibat dibunuh oleh orang-orang Islam atas suruhan Guru Agung Syaikh Datuk Kahfi. Rsi Bungsu memutar balik kenyataan. Dia menyebarkan berita bahwa kematian Kuwu Caruban dilatari maksud jahat orang-orang Islam yang ingin merebut kekuasaan dari orang-orang Pajajaran yang beragama Hindu-Budha,” Raden Kusen memberi penjelasan.
“Sejahat itukah laporan Pamanda Bungsu kepada Uwak Prabu Ratu Dewata?” San Ali menyergah bagai tak percaya.
“Anakku, San Ali,” kata Ki Samadullah sambil menepuk-nepuk bahu San Ali, “engkau belum mengetahui pahit dan getirnya kehidupan dunia. Engkau juga belum mengenal asinnya garam dan masamnya asam kekuasaan dunia. Tetapi jika engkau ingin tahu, demikianlah perilaku orang-orang yang mabuk kekuasaan.”
“Ya Allah, tujuan utama hidupku,” desah San Ali seolah kepada dirinya sendiri, “jauhkanlah hamba dari kejahatan nista seperti itu. Jangan Engkau palingkan hasrat hatiku kepada selain Engkau!”
“Semoga doa dan harapanmu terkabul, o Anakku,” kata Ki Samadullah menarik napas dalam-dalam. “Sungguh mulia tujuan hidup yang hendak engkau raih. Semoga engkau menjadi salah satu dari ‘san ali’ yang bisa menjadi pengobat bagi mereka yang menderita, sebagaimana harapan ayahanda dan ibundamu.”
“Jika demikian, Paman,” sergah San Ali cepat, “marilah kita berangkat sekarang juga ke pakuwuan.”
Malam berkabut menerkam bumi Caruban ketika barisan berkuda yang dipimpin Raden Kusen menerobos keheningan menuju ke pakuwuan yang sudah dikepung oleh sekitar seratus delapan puluh prajurit Demak, seratus santri Giri Amparan Jati, seratus pengikut Ki Gedeng Babadan, dan tiga ratus pengikut Ki Samadullah dari Tegal Alang-Alang. Tak sedikit pun suara keluar dari rombongan berkuda itu, kecuali detak-detak ladam yang menghantam tanah berbatu. Gerakan pasukan yang dipimpin Raden Kusen benar-benar seperti siluman: tanpa suara, tetapi langsung menembus ke kediaman musuh.
Ketika barisan berkuda berjarak sekitar tiga pal dari pakuwuan, tiba-tiba Raden Kusen mengangkat tangan. Seperti digerakkan oleh satu komando, seluruh pasukan berkuda berhenti serentak. Sejenak kemudian, kuda hitam yang ditunggangi Raden Kusen melangkah beberapa depa ke depan. Ia menepuk-nepukkan tangan tiga kali.
Tepukan Raden Kusen itu ternyata isyarat. Ini terlihat dari munculnya pasukan berkuda Demak secara serentak dari kanan dan kiri jalan. Rupanya pasukan itu sengaja ditempatkan di sekitar pakuwuan untuk sewaktu-waktu melakukan serangan mendadak jika dibutuhkan. Tanpa menimbulkan suara berarti, pasukan berkuda itu mengatur formasi dalam barisan-barisan berjajar tiga-tiga.
Beberapa jenak menunggu pasukannya merapikan barisan, Raden Kusen kemudian menepuk tangan lagi dua kali. Kali ini rupanya ia memerintahkan seorang prajurit untuk menyampaikan perintah menyerang kepada kepala-kepala kelompok yang sedang mengepung pakuwuan. Setelah menghormat, prajurit itu dengan gerak lincah berlari menembus kegelapan malam.
Raden Kusen kemudian melambaikan tangan, meminta Ki Samadullah yang berada di belakangnya mendekat. Dengan suara tenang ia berkata perlahan, “Ini pelajaran penting yang wajib dialami calon pemimpin, Ki.”
“Patik, Yang Mulia,” sahut Ki Samadullah takzim.
“Maksudku, segera setelah kita menguasai pakuwuan, kita akan bergerak cepat ke Muara Jati lagi,” kata Raden Kusen datar.
“Ke Muara Jati lagi, Yang Mulia?” gumam Ki Samadullah heran.
“Inilah yang kumaksud pelajaran penting, Ki,” kata Raden Kusen. “Sebab, sore tadi telah kuperoleh berita dari saudagar-saudagar Cina bahwa perahu-perahu dari gelombang pertama yang memuat lima ratus prajurit Pajajaran telah terlihat di timur muara sungai Cimanuk ke arah Dermayu. Sedang perahu-perahu gelombang kedua sore tadi baru memasuki perairan Karawang. Jadi, bisa dipastikan kalau perahu-perahu dari gelombang pertama malam ini sudah masuk ke perairan Caruban. Aku memperkirakan mereka akan mendarat paling lambat subuh nanti. Berarti, saat pagi datang mereka sudah siap bergerak menyerang ke pakuwuan.”
“Tapi. Yang Mulia,” Kata Ki Samadullah, “bukankah jumlah mereka yang datang malam ini hanya lima ratus? Bukankah jumlah pasukan Yang Mulia lebih banyak?
“Ketahuilah, Ki, bahwa jumlah lima ratus pasukan Pajajaran itu sangat berarti besar bagi sebuah pertempuran. Sebab, jumlah lima ratus itu adalah prajurit terlatih. Sedang jumlah tujuh ratus yang kita miliki, hanya dua ratus orang dari Demak yang benar-benar terlatih. Sisanya adalah orang-orang yang hanya memiliki keterampilan pencak silat seadanya, termasuk para santri dari Giri Amparan Jati. Jadi, Ki, dalam sebuah peperangan jangan sekali-kali menilai lawan hanya dari segi jumlah. Ini pelajaran penting.”
“Patik paham, Yang Mulia.”
Hening malam tiba-tiba dipecahkan oleh pekikan dan jeritan serta gemerincing senjata beradu di kejauhan. Pertempuran tampaknya sedang berlangsung di pakuwuan. San Ali dan para prajurit penunggang kuda tampak gelisah menunggu perintah dari Raden Kusen untuk menyerang ke pakuwuan. Namun, Raden Kusen kelihatan tenang dan bergeming mendengar hiruk-pikuk pertempuran di kejauhan.
Dicekam kegelisahan dan bayang-bayang serunya pertempuran, San Ali tak tahan lagi. Ia membayangkan bagaimana nasib kawan-kawannya, para santri, ketika menghadapi prajurit-prajurit pakuwuan yang terlatih. Ia membayangkan betapa korban akan berjatuhan di pihak penyerbu. Setelah beberapa jenak dicekam kegelisahan, ia mendekati Raden Kusen dan bertanya, “Kenapa kita tidak membantu yang bertempur di sana, Paman?”
“Kita belum dapat laporan dari medan laga,” sahut Raden Kusen singkat.
“Laporan dari medan laga?” San Ali heran.
“Lihat obor itu!” Raden Kusen menunjuk nyala obor yang diayun-ayun di kejauhan. “Itu laporan dari prajurit tadi bahwa pertempuran sedang berjalan imbang. Karena itu, sekaranglah waktu yang tepat bagi kita untuk menyerang agar lawan terkejut.”
“Saya paham, Paman,” San Ali berdecak kagum.
“Agar lawan mengira jumlah kita banyak maka setiap prajurit akan menyalakan dua obor. Kita akan menyerbu dari kegelapan dengan suara hiruk-pikuk dan obor yang digoyang-goyang,” kata Raden Kusen.
Raden Kusen mengangkat tangan kanan. Obor-obor secara berurutan menyala. Dalam waktu singkat keadaan sekitar menjadi terang benderang. Raden Kusen mendadak meneriakkan takbir dengan suara menggelegar bagai guntur. Sedeti sesudah itu ia memacu kudanya. Para prajurit di belakangnya buru-buru mengikuti. Bagaikan naga bertubuh api yang merayap di kegelapan malam, begitulah pasukan berkuda yang membawa obor itu bergerak ke pakuwuan.
Ketika jarak pasukan berkuda yang dipimpin Raden Kusen dengan pakuwuan tinggal satu pal, serta merta mereka berteriak-teriak mengumandangkan takbir ganti-berganti dan sahut-menyahut. Kemudian, bagaikan luapan air bah, pasukan berkuda itu menerjang ke arah gerbang pakuwuan, tempat para penyerbu dan prajurit pakuwuan sedang bertempur.
Kegentaran segera meluas di kalangan prajurit pakuwuan ketika mereka menyaksikan beratus-ratus cahaya obor berayun di kejauhan. Kegentaran makin memuncak manakala terdengar pekikan takbir yang makin mendekati gerbang. Dan puncak dari kegentaran itu berubah menjadi kepanikan manakala mereka menyaksikan bahwa para pembawa obor itu adalah pasukan berkuda yang dipastikan merupakan bagian dari kekuatan para penyerbu. Demikianlah, tanpa dapat dikendalikan lagi, prajurit pakuwuan berhamburan melarikan diri begitu mendengar detak-detak ladam menggeba bumi. Dan kepanikan pun makin tak terkendali ketika tubuh para prajurit pakuwuan bertumbangan ke atas bumi bagaikan rumput dibabat parang.
Barisan berkuda yang datang bagaikan air bah itu terus maju tak mempedulikan apa pun. Barang siapa menghalangi akan diinjak. Para penyerbu gabungan dari Padepokan Giri Amparan Jati, Kuwu Babadan, dan Tegal Alang-Alang yang melihat kedatangan bala bantuan segera menyibak memberi jalan. Dan pasukan berkuda pimpinan Raden Kusen itu dengan leluasa menerobos ke dalam pakuwuan. Dengan cambuk ekor ikan pari, pedang, tombak, dan panah, mereka membinasakan prajurit pakuwuan.
Dalam waktu singkat, pertahanan Pakuwuan Caruban bobol. Para prajurit pakuwuan yang bertempur tanpa komando pemimpin itu porak-poranda. Seraya berteriak-teriak kebingungan mereka berhamburan ke segala arah menyelamatkan diri. Sementara, sebagian yang lain berusaha menyelamatkan junjungannya, Kuwu baru, Rsi Bungsu dan keluarganya, keluar dari pakuwuan. Meski dengan susah payah, akhirnya Rsi Bungsu berhasil lolos dari kepungan musuh. Dan malam itu, Rsi Bungsu beserta keluarga dan sedikit prajurit menerobos kegelapan melewati lereng gunung Ciremai menuju ke Kadipaten Galuh.
Setelah sisa terakhir kekuatan Rsi Bungsu terhalau, di bawah temaram cahaya rembulan dan di tengah gumpalan kabut, Raden Kusen duduk gagah di atas kuda hitam, didampingi Ki Samadullah dan San Ali. Para penyerbu dari Demak, Padepokan Giri Amparan Jati, Kuwu Babadan, dan Tegal Alang-Alang berkerumun mengitari pemimpin mereka. Sementara di luar tembok pakuwuan, sebagian barisan berkuda bersiaga menunggu perintah lanjutan. Butir-butir jelaga dari obor terlihat menodai wajah prajurit berkuda, namun mereka bagai tak peduli. Putaran roda waktu telah membuat mereka berdiam diri dalam ketegangan.
Raden Kusen, lelaki gagah dengan kulit putih kemerahan dan mata agak sipit tetapi setajam rajawali itu, begitu menakjubkan dan memukau mereka yang berada di sekelilingnya. Putera Adipati Palembang, Ario Damar, itu begitu tenang menghadapi berbagai persoalan. Bahkan menghadapi kemenangan gemilang seperti sekarang ini pun, ia mampu mengendalikan kegembiraan.
Dengan suara penuh wibawa Raden Kusen berkata dengan nada mengingatkan, “Kita belum sepenuhnya meraih kemenangan karena malam ini pasukan gelombang pertama dari Pajajaran akan mendarat di Muara Jati. Jika mereka kita biarkan maka esok pagi Pakuwuan Caruban akan jatuh ke tangan mereka. Dan kita semua tahu apa tindakan pasukan Pajajaran terhadap mereka yang dianggap memberontak?”
Suara-suara segera menggema. Raden Kusen dengan tenang mengamati reaksi ucapannya terhadap orang-orang itu, terutama terhadap Ki Samadullah dan San Ali. Dan tak lama kemudian, hiruk-pikuk itu makin gaduh, tetapi secara pasti menunjuk pada maksud yang sama: bahwa malam itu juga mereka semua harus ke Muara Jati untuk menghadang pasukan Pajajaran. Daripada dibunuh lebih baik membunuh. Dan pekikan takbir pun mengumandang sahut-menyahut sebagai tanda kebulatan tekad mereka untuk menyambut kedatangan lawan.
Malam itu, setelah menyisakan sekitar lima puluh orang untuk menjaga pakuwuan, Raden Kusen didampingi Ki Samadullah dan San Ali menuju Muara Jati, diikuti barisan berkuda, para santri padepokan, pengikut Ki Gedeng Babadan, dan pengikut Ki Samadullah dari Tegal Alang-Alang. Rombongan bergerak cepat, menembus kabut malam yang mulai menutupi permukaan bumi Caruban.
Perhitungan Raden Kusen bahwa perahu-perahu pasukan Pajajaran gelombang pertama akan mendarat menjelang subuh ternyata terbukti. Ketika barisan yang dipimpinnya sampai di Muara Jati, di keremangan laut sudah terlihat beyangan hitam dari sekitar tiga puluh perahu yang bergerak diam-diam mendekati pantai.
Tanpa menunggu waktu, Raden Kusen segera bertindak cepat dengan memerintahkan pasukan panah yang berjumlah sekitar lima puluh untuk berbaris memanjang sejajar pantai. Tugas utama mereka adalah menembaki prajurit Pajajaran yang akan mendarat. Sementara lima puluh pasukan tombak desiagakan di lapis kedua, yakni di belakang pasukan panah. Sedang di lapis ketiga disiagakan pasukan pedang, cambuk, dan kujang. Barisan berkuda justru ditempatkan paling belakang.
Perahu-perahu besar yang berisi prajurit Pajajaran mendekati pantai Muara Jati. Dan seirama dengan deburan ombak yang membentur lambung perahu yang mulai menyentuh pasir, berlompatanlah para prajurit iyu ke dalam air yang setinggi lutut. Kemudian, bagai siluman mereka bergerak menepi. Mereka tidak sadar bahwa di sepanjang pantai telah menunggu para penebar maut. Rupanya Terong Peot, manggalayuddha pasukan Pajajaran itu telah memberikan kepastian bahwa prajurit-prajurit dari Pakuwuan Caruban akan menyambut mereka di Muara Jati.
Saat prajurit-prajurit Pajajaran berada dalam jarak sekitar sepuluh tombak dari pantai, tiba-tiba terdengar pekik takbir yang dikumandangkan oleh Raden Kusen. Dari atas kudanya, ia mengacungkan pedang ke arah laut. Dan bagaikan semburan air hujan, begitulah puluhan anak panah melesat dengan kecepatan kilat dari busur prajurit Demak.
Prajurit Pajajaran yang tak menduga bakal diserang mendadak, terkejut luar biasa begitu mendengar pekikan takbir. Sebagai prajurit terlatih, mereka buru-buru berbalik arah. Tetapi, kecepatan mereka di air tak segesit di darat. Itu sebabnya, sebagian di antara mereka – sekitar tiga puluh orang – yang berada pada posisi paling depan langsung bertumbangan ketika anak panah menghujam perut, dada, bahu, leher, dan bahkan mata. Dan jerit kesakitan pun mengumandang bersahut-sahutan. Sungguh sangat memilukan. Rupanya, luka akibat panah itu menjadi sangat sakit terkena asin air laut.
Ketika prajurit Pajajaran sedang panik dan berlarian di perairan Muara Jati, Raden Kusen memberikan komando lanjutan dengan pekikan takbir dan isyarat pedang. Kali ini pasukan lapis kedua berlari cepat ke arah laut. Saat jarak mereka dari pantai sekitar lima tombak, serta merta mereka melemparkan tombak ke arah prajurit Pajajaran. dan sejenak sesudah itu mereka membalikkan badan dan kembali ke posisinya semula di belakang pasukan panah.
Hujan tombak di kegelapan malam itu dalam tempo singkat menambah jumlah korban di pihak lawan. Dengan cepat tubuh sebagian mereka yang turun ke laut terlihat mengapung menjadi mayat dengan tikaman panah dan tombak. Sementara itu, prajurit-prajurit lain yang masih di atas perahu enggan turun. Dan kepanikan makin meningkat manakala dari tepi pantai terlihat beribu-ribu obor dinyalakan.
Manggalayuddha Pajajaran cepat mengambil kesimpulan bahwa pasukannya telah masuk ke dalam perangkap musuh. Untuk menghindari korban lebih besar, dia memerintahkan prajuritnya naik kembali ke atas perahu. Dan menjelang subuh itu, perahu-perahu Pajajaran kembali bertolak ke tengah laut. Meninggalkan beberapa puluh mayat yang mengapung di permukaan laut dipermainkan gelombang.
Menjelang subuh, Raden Kusen didampingi Ki Samadullah dan San Ali beserta seluruh prajurit dengan penuh kegembiraan kembali ke pakuwuan. Seyogyanya, saat tiba di pendapa pakuwuan Ki Samadullah akan langsung mengumumkan bahwa yang menjadi kuwu di Caruban adalah San Ali, putera Ki Danusela. Namun, sepanjang perjalanan San Ali yang sudah menangkap keinginan bapak asuh yang mencintainya itu dengan tegas menyatakan penolakannya. Penolakan San Ali tentu saja mengejutkan Ki Samadullah.
“Jika Pamanda menyayangi saya setulus hati, tentu Paman bisa memahami bahwa tujuan utama saya bukanlah kekuasaan duniawi. Karena itu, jika Paman memaksa saya untuk menduduki kursi Kuwu Caruban, berarti Paman telah memberikan beban yang sangat berat yang sangat mungkin tidak mampu saya pikul,” kata San Ali.
“jika engkau menolak jabatan kuwu,” kata Ki Samadullah, “lantas siapa yang akan menggantikan kedudukan ayahandamu?”
“Saya sudah menyaksikan betapa hebat Pamanda Raden Kusen mengatasi masalah sebesar ini. Karena itu, tidak salah jika saya menginginkan Pamanda Raden Kusenlah yang cocok menggantikan kedudukan Ayahanda Danusela. Saya kira, Pamanda Raden Kusen akan mendapat dukungan dari Kerajaan Galuh melalui Pamanda Samadullah. Saya yakin, Pamanda Samadullah dapat memberikan dukungan kepada beliau sebab ditinjau dari segi nasab, hubungan Paman dan kerabat Kerajaan Galuh sangat dekat.”
“Anakku,” sahut Ki Samadullah memegang bahu San Ali, “apakah dengan ini engkau akan meninggalkan aku? Apakah engkau tetap melaksanakan tekadmu berkelana mencari hakikat sejati ‘Aku’?”
“Maafkan saya, Paman,” kata San Ali menguatkan hati. “Saya sudah membulatkan tekad untuk mencari hakikat sejati ‘Aku’ sebagaimana hal itu pernah saya ungkapkan kepada guru agung. Dan sekeluar saya dari padepokan, makin kuatlah tekad saya untuk melaksanakan impian saya itu.”
“Semoga Allah senantiasa merahmati dan melindungimu, Nak.” Titik air bening mulai terlihat di sudut mata Ki Samadullah.
“Paman, saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepadamu yang telah begitu tulus mencintai manusia sebatangkara seperti saya,” San Ali berkata lirih.
“Kenapa engkau berkata begitu, Nak?”
“Saya lahir dalam keadaan yatim. Ketika bayi, saya sudah yatim piatu. Hanya berkat budi baik ayahanda dan ibunda, paman dan bibi, saya bisa menjadi seperti sekarang ini.”
“Siapa yang menceritakan hal dirimu itu, Nak?” Ki Samadullah penasaran.
“Pamanda Rsi Bungsu,” kata San Ali. “Dan beliau benar, bukan?”
Ki Samadullah menunduk. Butiran air bening jatuh dari kelopak matanya.
“Saya tahu, Pamanda, bibi, ayahanda, ibunda, dan guru agung menyimpan rahasia ini agar saya tidak sedih dan merasa sebatangkara di dunia. Tatapi, Paman, dengan terbukanya kenyataan ini makin kuatlah keinginan saya mengejar impian. Sebab, dengan menyadari kesebatangkaraan saya maka saya makin mudah melepaskan segala sesuatu selain ‘Dia’ yang saya tuju.”
Sepanjang perjalanan akhirnya Ki Samadullah tidak berkata-kata lagi. Dia tenggelam dalam kepedihan. Sungguh, jauh di dalam lubuk jiwanya ingin sekali dia mengantarkan ke mana pun San Ali pergi. Namun, keinginan aneh anak asuhnya yang tak lazim mencari hakikat sejati ‘Dia’ Yang Tak Terpikir dan Tak Terbayang – adalah kemustahilan yang sulit dipahami. Ah, betapa aneh garis kehidupan anak itu: lahir ke dunia sebagai yatim piatu dan didewasakan di lingkungan padepokan yang penuh keprihatinan, kini setelah dewasa akan mengembara dengan tujuan melepas dunia untuk menuju ke ‘aku’ yang tak tergambarkan keberadaan-Nya.
Segala pembicaraan Ki Samadullah dengan San Ali ternyata didengarkan dengan cermat oleh Raden Kusen. Itu sebabnya, ketika mereka tiba di pakuwuan, segera dibuat keputusan bahwa kekuasaan Kuwu Caruban dipercayakan kepada Ki Samadullah. Karena, selain masih keturunan Raja Galuh, dia dianggap paling berpengalaman menjadi pejabat pangraksabhumi membantu tugas-tugas Ki Danusela. Untuk mengamankan pakuwuan, dua ratus prajurit Demak tetap disiagakan untuk membentengi pakuwuan dari serangan Pajajaran atau gerakan subversif pengikut Rsi Bungsu. Bahkan Raden Kusen dengan penuh keberanian membuat keputusan bahwa Pakuwuan Caruban bukan lagi menjadi bagian wilayah Pajajaran, melainkan bagian wilayah Kadipaten Demak.
“Umumkan kepada seluruh warga pakuwuan bahwa hari ini, waktu pecat sawet (pukul 10.00), hari Soma Manis, tanggal 19, bulan Badra, tahun Saka 1392, penguasa negeri ini sudah berganti. Katakan kepada seluruh penduduk Pakuwuan Caruban bahwa Gusti mereka sekarang ini bukan lagi Prabu Ratu Dewata di Pajajaran, melainkan Adipati Demak, Arya Sumangsang, putera Prabu Kertawijaya Maharaja Majapahit, yakni saudara Ki Danusela.”
San Ali menghadap Syaikh Datuk Kahfi untuk berpamitan. Ini sangat penting baginya sebab selain sebagai guru agung yang menempa pribadi dan cara pikirnya, Syaikh Datuk Kahfi adalah satu-satunya manusia di dunia ini yang memiliki hubungan darah dengannya. Dan lantaran hubungan darah itu, ia menjadi mafhum kenapa guru agung itu begitu memanjakan dan mengistimewakan dirinya dibanding murid-murid lain.
Di hadapan Syaikh Datuk Kahfi, yang diketahuinya sebagai adik sepupu ayahanda kandungnya, San Ali tidak mampu menyampaikan sesuatu kecuali menundukkan kepala memandangi anyaman tikar yang tergelar di bawahnya. Ia merasakan dadanya kosong. Hampa. Entah apa yang terjadi, ia hanya merasakan bahwa niatnya yang kuat untuk mengembara mencari ‘aku’ telah menimbulkan beban berat di hatinya untuk berpisah dengan orang-orang yang dicintainya, terutama Syaikh Datuk Kahfi dan istrinya. Mereka selama bertahun-tahun telah mengasuh, membimbing, dan memberikan kasih sayang seperti orang tua kepada anak. Kebersatuan adalah kebahagiaan. Perpisahan adalah kepedihan.
Syaikh Datuk Kahfi kelihatan sulit untuk menyembunyikan kepedihan yang mengharu biru hatinya. Namun, sebagai seorang guru agung yang menjadi teladan bagi para muridnya, dia harus berjuang keras mengalahkan kepedihan jiwa. Memang benar, berpisah dengan orang tercinta sangat berat dan menyakitkan, namun keharusan berpisah dengan segala sesuatu selain Dia adalah tuntutan mutlak. Itu sebabnya, dengan hati berat dia menasihati sepupunya. “Pergilah engkau mengikuti tuntutan jiwamu, o Anakku terkasih, sebab hanya dia yang berjuang keras menuju Dia yang akan sampai ke Dia. Segala apa yang engkau alami selama ini adalah bagian dari perjalanan yang mesti engkau lewati. Tinggalkan segala sesuatu yang ada pada dirimu hingga tak bersisa kecuali keyakinanmu terhadap Dia.”
“Hamba akan jadikan nasihat Guru Agung sebagai azimat,” kata San Ali takzim. “Tetapi, bolehkah hamba bertanya sesuatu tentang hal hamba?”
“Bertanyalah, o Anakku.”
“Benarkah leluhur hamba berasal dari negeri Malaka?” tanya San Ali tegas.
“Sepengetahuanku memang begitu, Anakku,” jawab Syaikh Datuk Kahfi. “Tetapi barang satu abad lalu leluhur kita tidak bertempat di tanah semenanjung. Mereka datang dari negeri Gujarat. Menurut cerita ayahandaku, Syaikh Datuk Ahmad, leluhur kita adalah bangsawan dan ulama di Gujarat. Kakekku, Syaikh Datuk Isa adalah leluhur yang tinggal di Malaka. Beliau sekeluarga awalnya datang ke negeri Perlak kemudian merantau ke Semenanjung, yakni Malaka.”
“Berarti, sangat mungkin negeri Gujarat pun bukan tempat asal leluhur kita. Sebab, bukan sesuatu yang mustahil jika leluhur keluarga kita berasal dari negeri Arab, Rum, dan mungkin Maghrib,” kata San Ali menyimpulkan.
“Memang benar, Anakku,” kata Syaikh Datuk Kahfi, “sebab kalau diurut-urut, semuanya berasal dari negeri Arab di mana Bapa Adam dan Ibu Hawa pertama kali tinggal di bumi.”
“Sebelum tinggal di negeri Arab, di manakah Bapa Adam dan Ibu Hawa tinggal? Apakah di tempat bernama Jannah Darussalam?” tanya San Ali.
“Sejauh yang kupahami dari kitab-kitab memang demikian, o Anakku.”
“Jikalau begitu, o Guru Agung, hamba mohon pamit secepatnya karena hamba memiliki pandangan bahwa mencari Dia haruslah mencari rangkaian galur di mana Dia menempatkan manusia pertama ciptaan-Nya di muka bumi,” kata San Ali.
“Mudah-mudahan engkau menemukan apa yang engkau cari, Anakku,” kata Syaikh Datuk Kahfi dengan mata berkaca-kaca.