SELAMAT DATANG Para Pencari Cinta Sejati,Tanpa Membenci,Tanpa Menyalahkan,Tanpa Kesombongan,Tanpa Membedakan,Semoga Engkau Mendapat Rahmat Alloh~Raden Bagus Langlang Jagat

road to sufi

road to sufi

Monday, November 11, 2019

Suluk Abdul Jalil ~ Syekh Siti Jenar
( Bag 10 sd 12 )
 

 

~ Bag 10. Ishthilam

Setelah melakukan perjalanan yang melelahkan melintasi tujuh samudera, tujuh gurun, tujuh lembah, tujuh jurang, tujuh gunung, tujuh rimba, dan tujuh benteng yang rangkaiannya memiliki empat gerbang utama, yakni pelepasan keakuan pribadi, sabar, setia, dan pasrah, yang kesemuanya dijaga oleh bala tentara al-basyar dan an-nafs, Abdul Jalil tersungkur jatuh di atas rerumputan belati yang terhampar di depan pintu gerbang terakhir. Dengan napas tersengal-sengal dan tenaga terkuras habis, ia menatap jauh ke arah jalanan yang telah dilaluinya. Tak ada yang tersisa di jalanan itu kecuali reruntuhan gerbang, tiang-tiang, tembok, puing-puing, tubuh bala tentara al-basyar dan an-nafs yang bergelimpangan tanpa daya.

Ia masih harus berjuang lebih dahsyat lagi untuk membersihkan Benteng kemuliaan tempat persemayaman Sang Raja dari kekuasaan kegelapan al-basyar dan an-nafs. Namun, ia sendiri masih belum paham benar makna di balik gambaran bidadari dan hantu hitam yang menguasai Benteng persemayaman-Nya itu. Sementara Ahmad at-Tawallud yang menjadi pembimbing sekaligus tumpuan berbagai pertanyaan justru tidak berada di Baghdad saat ia tengah menghadapi persoalan yang sangat rumit itu. Lantaran itu, dengan tekad tetap berkobar, ia melangkah mengitari Benteng sambil membawa pedang dzikir, perisai istighfar, dan baju zirah salawat untuk mencari celah-celah yang bisa membawanya masuk dan menghalau seluruh penghuninya dari sana. Kemudian ia bisa mempersilakan Sang Raja bersemayam dengan kemegahan dan keagungan serta kemuliaan-Nya.

Mengitari Benteng apalagi hendak memasukinya tetnyata bukanlah hal yang mudah. Karena, Benteng yang kelihatan kecil dan sederhana itu menyimpan rahasia yang sangat ajaib. Semakin dikitari akan semakin jauhlah jalan yang harus dilewati. Seolah-olah tanpa ujung dan pangkal. Abdul Jalil pun, setelah melintasi padang rumput, gurun, lembah, hutan, dan gunung di dalam dirinya tetap menyaksikan tembok Benteng berdiri tegak di sisinya. Benteng yang dikitarinya seolah bangunan raksasa seluas bumi dan tidak bisa tertembus, kecuali melalui gerbangnya yang ajaib.

Saat ia merenungkan rahasia yang tersembunyi di balik tembok-tembok Benteng yang menakjubkan, tiba-tiba di kejauhan ia melihat seseorang berjalan terseok-seok sambil membawa tongkat. Ketika makin dekat terlihatlah bahwa orang itu adalah laki-laki berpakaian kusut lusuh penuh tambalan. Meski demikian, wajahnya memancarkan cahaya kewibawaan yang menggetarkan.

“Assalamu’alaikum,” sapa Abdul Jalil.

“Wa’alaikum salam,” sahut laki-laki yang ternyata bernama Qalby Ishthifa.

“Dari mana dan hendak ke manakah, Tuan?” tanya Abdul Jalil.

Qalby Ishthifa tidak menjawab. Diam. Setelah beberapa jenak, dia menuturkan perjalanan hidupnya. Mula-mula dia memaparkan kehidupannya sebagai suami yang sangat mencintai istri yang telah memberinya tiga orang anak; satu perempuan dan dua laki-laki. Kecintaannya kepada istri membuatnya sangat setia dan selalu berusaha membahagiakan hati istrinya. Bagi Qalby Ishthifa, tidak ada perempuan yang cantik, sabar, setia, patuh, dan pandai melayani suami selain istrinya.

“Tapi, tidak ada yang sempurna di dunia ini,” kata Qalby Ishthifa menarik napas berat. “Istri yang kunilai setia, sabar, patuh, dan pandai melayani suami itu ternyata berkhianat. Diam-diam, ketika aku tidak di rumah, ia menjalin hubungan dengan penjual susu keliling. Meski tidak terbukti melakukan perbuatan zina, dia mengaku bahwa hatinya tertarik kepada penjual susu itu.”

“Saat itu dunia kurasakan runtuh. Harga diri, kehormatan, bahkan kepercayaan diriku ambruk menjadi puing-puing menyedihkan. Istri yang sangat kusayang dan menjadi tambatan hatiku ternyata mencintai orang lain yang hidupnya jauh lebih miskin dariku. Bahkan yang hampir tak masuk akal, orang itu pun tidak baik agamanya. Sudah miskin, jarang shalat pula. Ia juga suka menggoda perempuan-perempuan yang menjadi pelanggannya.”

“Derita yang kualami belumlah usai. Abdullah Waqi’a, anak sulungku, minggat dari rumah karena malu diolok-olok temannya sebagai anak penjual susu. Abdullah Khathir, adiknya, juga mengikuti jejak kakaknya. Alasannya, ia juga malu diolok-olok temannya. Tidak cukup dengan kepergian dua anak laki-lakiku, anakku perempuan, Ummu Safah, sakit dan meninggal dunia.”

“Aku benar-benar tak berdaya. Putus asa. Namun, di dalam derita yang kualami itu tiba-tiba tanpa kusadari terbit cahaya kesadaran baru bahwa apa yang kualami selama ini ternyata berkaitan dengan kecintaanku yang berlebihan terhadap keluarga, terutama terhadap istri. Itu sebabnya, dengan hati kosong aku tinggalkan rumah setelah anakku dikebumikan. Aku tinggalkan semua milikku. Aku tidak peduli lagi dengan nasib istri dan kedua anakku. Kupasrahkan semua kepada-Nya. Dan sejak itu, istana sirr di dalam Benteng hatiku telah kosong dari segala sesuatu kecuali pengetahuan tentang diri-Nya.”

Setelah menuturkan penderitaannya yang berujung pada keberhasilannya mengosongkan istana sirr dari segala sesuatu selain-Nya, Qalby Ishthifa mendadak lenyap dari hadapan Abdul Jalil. Sesaat sesudah itu, di hadapannya muncul sosok laki-laki berusia setengah baya yang berpakaian rapi, namun wajahnya kuyu dan kusut masai. Seperti saat perjumpaan dengan Qalby Ishthifa, Abdul Jalil menyapa dan menanyakan dari mana dan hendak ke mana tujuannya. Sosok laki-laki yang ternyata bernama Aly al-Isytibah itu mengaku tetangga Qalby Ishthifa dan mengalami nasib yang sama, yakni istrinya jatuh cinta kepada kuli batu.

“Namun, beda dengan Qalby Ishthifa,” kata Aly al-Ishtibah memaparkan pengalaman hidupnya, “saya belum mampu mengosongkan hati saya. Sebaliknya, dendam, marah, cemburu, dan sakit hati membakar hati saya. Itu sebabnya, setiap saat saya ingat peristiwa pengkhianatan istri saya, langsung amarah saya memuncak. Saya hajar istri saya bagai hewan. Saya tendangi tubuhnya. Saya injak kepalanya. Saya tinju wajahnya. Pendek kata, saya remukkan dia.”

“Berarti Tuan sangat mencintai istri Tuan?” tanya Abdul Jalil.

“Mencintai?” sergah Aly al-Isytibah menolak. “Tidak! Saya justru membenci dia. Itu sebabnya, dia terus-menerus saya siksa dan aniaya. Saya benci dia. Ingat kata-kata saya, Tuan: saya benci dia!”

“Tuan,” kata Abdul Jalil, “jika Tuan tidak cinta, kenapa Tuan sangat peduli kepada istri Tuan? Jika Tuan tidak cinta, biar saja dia melakukan perbuatan durhaka. Peduli apa dengan orang yang tidak Tuan cintai. Justru dengan amarah Tuan itu sebenarnya terbukti sudah bahwa Tuan sangat mencintai istri Tuan. Tuan akan menderita selamanya jika mengingkari kenyataan itu.”

Aly al-Isytibah tercengang mendengar komentar Abdul Jalil. Namun, dia rupanya masih terperangkap oleh terkaman kuat an-nafs. Dia masih terjerat dalam jaring-jaring ananiyyah. “Aku yang paling benar. Paling mulia. Paling terhormat: Akulah yang paling suci. Karena itu, semua harus tunduk pada kehendakku. Aku harus menang dalam segala hal.” Itu sebabnya, dia sangat sulit memahami penjelasan Abdul Jalil. Dan setelah tercenung beberapa saat, dia membalikkan badan, melangkah meninggalkan Abdul Jalil, menuju ke hamparan padang pasir yang luas tanpa batas. Dia tampaknya harus berjalan di tengah panasnya gurun; dipancari matahari dari atas dan dipanggang bara pasir dari permukaan tanah serta diterpa angin kering yang membakar kedamaian hati.

Sepeninggal Aly al-Isytibah, Abdul Jalil berdoa agar lelaki yang diamuk api cemburu itu diberi pertolongan oleh Allah. Sesudah itu, ia melanjutkan lagi perjalanannya mengitari Benteng. Namun, belum jauh melangkah tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki setengah baya yang berjalan tertatih-tatih dengan disangga sebatang tongkat yang terbuat dari kayu yang menebarkan wangi cendana dan kesturi. Laki-laki itu bernama Qalby Mushthalam al-Bala’. Dia tampak agung dan berwibawa, meski peluh yang menyimbah wajahnya menunjukkan bahwa dia telah melakukan perjalanan amat jauh.

Abdul Jalil mengucap salam dan bertanya dari dan hendak ke manakah dia gerangan. Qalby Mushthalam al-Bala’ menyatakan bahwa dia akan kembali ke negerinya, sesudah melakukan perjalanan jauh ke berbagai tempat yang membuat hatinya tambah merana dan menderita. Dia menuturkan bahwa dirinya adalah raja negeri Ikhtiyar yang merupakan bagian dari kerajaan Iradah yang dipimpin oleh Maharaja Malik al-Mulki.

“Sebagai seorang raja bawahan,” ungkap Qalby Mushthalam al-Bala’, “aku sangat patuh dan setia kepada Sang Maharaja. Aku patuhi berbagai peraturan yang ditetapkan-Nya. Sedikit pun aku tidak berani melanggar ketentuan-ketentuan yang telah digariskan-Nya. Aku sadar bahwa Sang Maharaja mengetahui segala sesuatu yang kuperbuat.”

“Namun, sebagai manusia biasa aku memiliki kelemahan, yaitu kecintaan yang berlebihan terhadap Kadar Qalby al-Katsif, putera tunggal kesayanganku, yang kuharapkan akan menjadi penggantiku. Kadar, puteraku, adalah anak yang tampan, cerdas, kuat, patuh, setia, dan rendah hati. Sepanjang hidupku, belum pernah kudapati seorang anak yang begitu sempurna seperti dia. Itu sebabnya, seluruh perasaan cintaku kutumpahkan hanya kepadanya. Kebiasaan setiap raja untuk memelihara selir tidak kulakukan karena seluruh perhatian hati dan pikiranku sudah tercurah kepada Kadar.”

“Hari-hariku sebagai raja kulalui dnegan mengajar, mendidik, membimbing, dan mengarahkan Kadar agar bisa menjadi raja yang agung, adil, dan bijaksana. Berbagai pelajaran dan latihan yang kuberikan, begitu mudah diterimanya. Bahkan harus kuakui, dalam hal hukum dan sastra, Kadar melebihi aku. Demikianlah, hari-hari kulewati dengan mengajaknya berburu, berlatih memanah, berkuda, memainkan pedang, membaca syair-syair, menyantuni orang-orang miskin, dan melakukan amal ibadah terpuji yang lain.”

“Keakraban yang kubangun bersama putera tunggalku ternyata telah menyeretku ke tindakan yang tidak terpuji sebagai raja. Berbagai urusan kerajaan terbengkalai. Para pejabat dan pegawai kerajaan ternyata memanfaatkan keasyikanku berakrab-akrab dengan puteraku itu. Mereka melakukan tindakan korup, menodai keadilan, dan menista hukum. Derita dan sengsara pun dialami oleh rakyat negeri Ikhtiyar yang selama ini hidup dalam damai dan sejahtera.”

“Kelalaian yang kulakukan itu baru kusadari ketika badai derita dan kepedihan meluluhlantakkan hatiku. Kadar, putera tunggal yang kucintai, jatuh dari kuda ketika kuajak berburu kijang di padang ad-Dunya. Setelah mengalami demam semalaman, tiba-tiba dia tidak sadarkan diri. Tak pernah kubayangkan putera kesayanganku begitu cepat dipanggil kembali ke haribaan-Nya.”

“Saat itu, duniaku runtuh. Kadar, putera tercinta gantungan harapanku, telah direnggut begitu cepat dari sisiku. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bahkan bertahun-tahun kurasakan duniaku gelap. Satu senja ketika kulihat kawanan burung terbang di angkasa dan berbondong-bondong pulang ke sarang, tersentaklah jiwaku oleh kesadaran bahwa aku harus kembali ke negeri Ikhtiyar. Namun, aku ragu apakah selama kutinggalkan tahtaku tidak diduduki raja lain?”

“Kepastian untuk kembali ke negeri Ikhtiyar kudapatkan ketika seorang kurir bernama Abdullah al-Qarar yang diutus Maharaja Malik al-Mulki datang kepadaku untuk menyampaikan perintah agar aku secepatnya kembali ke negeriku dan menghadap-Nya di istana Iradah. Demikianlah, dengan hati hancur, aku terpaksa kembali ke negeri Ikhtiyar untuk menghadap ke hadirat-Nya di istana Iradah. Semoga Maharaja mengampuni kelalaian yang telah kulakukan selama ini.”

Abdul Jalil melihat kilauan cahaya memancar dari wajah Qalby Mushthalam al-Bala’. Namun, sedetik sesudah itu tiba-tiba tubuh Qalby Mushthalam al-Bala’ lenyap dari pandangannya. Yang tersisa adalah tebaran wangi semerbak dari kayu cendana dan minyak kesturi.

Ketika Abdul Jalil akan melangkahkan kaki untuk melanjutkan perjalanan mengitari Benteng, tiba-tiba muncul sosok laki-laki bertubuh besar yang mengenakan jubah sutra hitam bersulam benang emas. Laki-laki itu berpenampilan sangat mewah, namun jalannya terseok-seok ditopang sebatang tongkat emas berhias intan permata yang kilau-kemilau ditimpa matahari. Dia bernama Sa’ad bin Abu Qabdh at-Talbis, seorang qadhi di negeri Maskan. Wajahnya yang berpeluh, lesu, kuyu, dan kusut terlihat menyimpan keletihan. Tubuhnya yang goyah dan kakinya yang gemetar saat berdiri menunjukkan bahwa dia sangat lelah setelah melakukan perjalanan jauh, melintasi padang belantara kehidupan duniawi.

Seperti pertemuan dengan orang-orang sebelumnya, Abdul Jalil pun menyapa dengan salam dan kemudian menanyakan asal dan tujuannya. Sa’ad bin Abu Qabdh at-Talbis dengan jujur menuturkan bahwa dia telah melintasi padang kehidupan ganas dalam upaya memburu kemegahan dan kelezatan duniawi. Kekayaan, pangkat, derajat, dan kemuliaan duniawi telah diperolehnya sebagai kemestian dari usahanya yang diraih dengan susah payah itu. Dia telah memperoleh segala apa yang diinginkan dan diimpikannya.

“Namun, kehidupan dunia ternyata mengecewakan,” katanya sambil menunduk. “Segala yang saya miliki dan saya cintai mendatangkan bencana dan penderitaan batin bagi saya. Istri yang saya cintai, misalnya, senantiasa mengeluh tentang kebutuhan duniawi yang sebenarnya sudah saya berikan berlimpah-limpah. Perhiasan emas dan permata serta uang berpeti-peti tidak membuatnya puas. Dia terus mengeluh kekuarangan ini dan itu. Bahkan lima buah rumah sangat mewah yang saya buatkan ternyata dianggap belum cukup. Istri saya selalu mengeluh kurang. Dia selalu menuntut saya agar lebih giat mencari kekayaan. Jika tuntutannya tidak saya penuhi maka dia akan mengomel sepanjang hari sehingga tak ada ketenangan bagi saya di rumah.”

“Belum usai urusan dengan istri saya, muncul persoalan dengan anak-anak saya, terutama Niza’, puteri kesayangan saya. Tanpa saya kira dan saya duga, tiba-tiba puteri kesayangan saya minggat dengan Abdul Jahl, budak saya. Akibat kejadian itu, seluruh kota gempar. Kehormatan saya runtuh. Nama besar saya jatuh. Harga diri saya terinjak-injak. Saya benar-benar dipermalukan oleh puteri yang selama ini sangat saya sayangi. Saya tidak bisa marah terhadap Niza’ karena hati saya sudah terlanjur menyayanginya. Dan akhirnya, dengan memikul rasa malu, saya terima juga budak terkutuk itu menjadi menantu saya.”

“Belum usai persoalan dengan puteri saya, tiba-tiba saya harus kehilangan jabatan sebagai qadhi akibat fitnah. Kekayaan yang saya kumpulkan dengan susah payah dikatakan sebagai hasil tindakan korup saya. Sultan, entah dari mana asalnya, memiliki daftar kekayaan saya mulai dari rumah, kebun, kedai perniagaan, hewan peliharaan, simpanan emas dan permata, timbunan uang, sampai jumlah budak-budak saya. Dan tanpa memberi kesempatan bagi saya untuk menjelaskan dari mana semua itu saya kumpulkan, Sultan menggantikan kedudukan saya dengan orang yang selama ini sangat memusuhi saya.”

“Saya tidak mengerti, kenapa segala sesuatu yang saya miliki dan saya cintai harus terempas dari genggaman saya. Padahal, saya rajin beribadah. Shalat selalu tepat waktu. Puasa Senin dan Kamis saya jalankan sepanjang waktu. Shalatul Lail juga tidak pernah terluang. Shalat Dhuha apalagi. Saya juga sudah cukup banyak menyumbang pembangunan masjid, menyantuni yatim dan piatu, menafkahi janda-janda tua dan orang-orang terlantar. Infak dan sadaqah yang saya lakukan sudah berlebih. Apalagi yang kurang? Kenapa Allah masih merampas milik saya yang saya cintai?”

Mendengar keluh kesah Sa’ad bin Abu Qabdh at-Talbis, tiba-tiba saja Abdul Jalil merasakan pancaran nur lawami’ dan pemahaman fawa’id meledak di relung-relung kesadarannya. Bagaikan didorong oleh kekuatan gaib, ia menanggapi keluhan Sa’ad bin Abu Qabdh at-Talbis. “Jika Tuan beranggapan bahwa Allah tidak adil dan sewenang-wenang karena telah merampas milik yang dicintai hamba-Nya yang patuh menjalankan perintah-Nya maka Tuan telah salah memandang Dia. Sebab, dengan ungkapan Tuan tentang kepatuhan menjalankan perintah-Nya maka Tuan sebenarnya telah berpamrih. Artinya, Tuan menjalankan perintah-Nya tidak semata-mata karena Dia. Tuan menjalankan perintah-Nya jelas untuk kepentingan Tuan sendiri. Tuan berharap dengan patuh pada perintah-Nya maka Tuan akan bisa kekal dan abadi mengangkangi semua milik Tuan di dunia ini. Adakah sesuatu di dunia ini yang kekal dan abadi?”

“Ketahuilah, o Tuan, bahwa menjalankan perintah-Nya bukan hanya terletak pada bentuk ibadah badaniah belaka, seperti shalat, infak, sadaqah, zakat, puasa, dan haji. Namun, yang tak kalah penting adalah kiblat hati saat beribadah kepada-Nya. Saya berani mengatakan pembohong bagi orang yang shalat, namun kiblat hatinya kepada selain Allah, begitu juga ibadah lainnya.”

“Dan bagi mereka yang sudah melangkah di jalan-Nya, tidak ada pilihan lain kecuali harus setia mengarahkan kiblat hati hanya kepada-Nya. Tidakkah Tuan ingat peringatan-Nya yang berbunyi: “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, karib kerabatmu, harta benda yang kau kumpulkan, perniagaan yang kau takuti kerugiannya, dan tempat tinggal yang kau sukai; jika ini semua lebih kau cintai daripada Allah, rasul-Nya, dan berjihad di jalan Allah maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang fasik (QS at-Taubah: 24).”

“Berdasar kisah tentang derita yang telah Tuan alami, jelas sekali Tuan lebih mencintai segala sesuatu selain Allah, rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya. Kiblat hati Tuan jelas sekali bukan kepada-Nya. Tuan merasa segala apa yang Tuan miliki selama ini adalah milik Tuan. Padahal Tuan hanya mengaku-aku. Tuan sebenarnya tidak memiliki sesuatu pun. Bahkan nyawa dan ruh Tuan pun bukanlah milik Tuan. Untuk itu, bertobatlah, o Tuan, dan bersegeralah memalingkan kiblat hati hanya kepada-Nya. Tuan adalah orang yang telah dipilih-Nya. Kenapa Tuan sampai berpaling dari-Nya?”

Wajah Sa’ad bin Abu Qabdh at-Talbis merah padam. Dadanya seperti dijalari api amarah yang berkobar-kobar. Dia benar-benar merasa ditelanjangi oleh orang muda yang tak pernah dikenalnya itu. Namun, dia rupanya masih berusaha menahan diri dan tidak terpancing emosi. Dia tidak mau berdebat apalagi menerima kritik dan saran dari pemuda yang dianggapnya masih ingusan. Itu sebabnya, dengan wajah bersungut-sungut sambil berlalu menuju ke hamparan padang belantara yang penuh semak-semak berduri, dia menggumam acuh tak acuh, “Siapakah engkau? Tahu apa engkau tentang jalan-Nya?”

Aku adalah “Dia” yang terbatas yang mengejawantah dalam makna tersembunyi Ruh al-Haqq. Engkau adalah Dia Yang Tak Terbatas, Zat Yang Meliputi, Yang Maha Melihat, Mahakuasa, Yang Tersembunyi pada batin segala yang lahiriah. Engkau Mahasuci dari segala sesuatu. Karena itu, jika aku pengejawantahan Ruh al-Haqq, mengarahkan kiblat hanya kepada Engkau, pasrah di haribaan-Mu, mengikuti jalan-Mu, dan terbimbing kembali kepada-Mu, maka terlepaslah segala sesuatu selain Engkau dari lingkaran keakuanku.

Ketika Dia Yang Tak Terbatas berkehendak menarik “Dia” yang terbatas yang mengejawantah dalam makna tersembunyi Ruh al-Haqq, yang terpenjara oleh tubuh duniawi, keakuan, maka disucikanlah Benteng persemayaman Ruh al-Haqq dari segala terali penjara keakuan duniawiah. Dan jika saat yang dikehendaki-Nya telah tiba, sesuai kehendak-Nya, maka luluh lantaklah penjara keakuan duniawi oleh serbuan api bala’ yang tercurah dari langit dan memancar dari dasar bumi. Benteng hari persemayaman Ruh al-Haqq hancur, remuk redam menjadi reruntuhan dan puing-puing yang disebut Qalb al-Mushthalam, “hati yang hancur.”

Abdul Jalil, anak Adam yang sejak lahir ke dunia fana telah ditimpa api bala’ dari segala penjuru kehidupan, ternyata Benteng hatinya belum tersucikan sama sekali dari terali-terali penjara keakuan duniawi. Di dalam relung-relung Benteng hatinya masih terpampang citra indah bidadari dan hantu hitam yang menyelubungi kesucian Ruh al-Haqq. Itu sebabnya, bola-bola api dari langit jiwanya bagai malapetaka Sodom dan Gomorah tercurah ke Benteng hatinya, meluluhlantakkan segala sesuatu yang bukan Dia yang bersarang di dalamnya.

Ia yang selalu tangguh dan ulet dalam menangkis serbuan api bala’ dari atas langit dan dasar bumi jiwanya. Ia yang melepas segala miliknya, prajurit-prajurit, benteng-benteng, puri-puri, gudang makanan, gudang perbendaharaan, mahkota, perisai, baju zirah, busur, anak panah, pedang, tombak, dan bahkan sepatu miliknya demi keselamatan jiwanya, ternyata harus tersungkur tanpa daya ketika menghadapi serbuan akhir. Ia rupanya terpojok. Ia sudah kehilangan segala sesuatu yang berharga yang dapat digunakan untuk mempertahankan dirinya. Dan selembar jubah sutra bersulam keindahan bidadari dan bunga-bunga, yang dikenakan sebagai pakaian kebesaran terakhirnya yang berharga, ternyata harus direnggut dan dicampakkan ke dalam kobaran api bala’ yang tak kenal ampun.

Ia baru menyadari bahwa jubah sutra bersulam keindahan bidadari dari bunga-bunga kebanggaan yang dikenakannya telah terbakar tanpa sisa ketika Ahmad at-Tawallud, sekembali dari Basrah, menuturkan perihal nasib puterinya yang sangat tidak beruntung. Sejak menikah, tidak sedikit pun kebahagiaan pernah diraih oleh puterinya. “Bayangkan, sampai tiga tahun perkawinan mereka belum dikaruniai anak. Tuan bisa membayangkan, apa arti istri yang tidak bisa melahirkan anak bagi laki-laki seperti Hajibur Rahman at-Takalluf.”

Tetesan air mata yang membasahi dukacita Nafsa, ungkap Ahmad at-Tawallud, adalah rentangan panjang kehidupan yang membukan kesadarannya tentang makna bala’ dan Qalb al-Mushthalam. Nafsa menyadari bahwa setiap tetesan air mata yang tertumpah adalah air bening yang menyucikan jiwanya. Dia sadar bahwa segala derita yang menimpanya adalah makna termulia dari kecintaan-Nya terhadap dirinya. Itu sebabnya, dia tidak pernah mau menukar kepedihan jiwanya dengan keriangan dan gelak tawa duniawi.

“Nafsa ingin tetap menjadi hamba-Nya yang menderita,” kata Ahmad at-Tawallud. “Karena, di dalam derita itu dia senantiasa mengingat-Nya. Dia tahu di antara tetesan air matanya itulah keagungan, kemuliaan, dan cinta kasih-Nya merambat dan merayapi getar-getar jiwanya. Di dalam hati yang remuk, dia menangkap pengejawantahan (tajalliyat) Ilahi.”

Dari balik tembok kemanusiaan yang membelenggu jiwanya, Nafsa terbang ke angkasa dengan sayap-sayap kebebasannya. Dia tidak peduli lagi dengan gemerlap perhiasan emas permata serta benda-benda duniawi. Baginya, keindahan kata-kata duniawi adalah tirai-tirai hitam yang menutupi jendela sehingga seluruh ruang jiwanya menjadi gelap gulita. Penderitaan dan kepapaan adalah pintu gerbang menuju ke istana Kebenaran. Itu sebabnya, dia melewati hari-hari deritanya dengan tetesan air mata di dalam kamar gelapnya; meninggalkan hingar-bingar kehidupan duniawi yang gemerlapan dan penuh gelak tawa.

Namun, Nafsa tetaplah Nafsa, bidadari berhati lembut yang sejak kecil hidup dalam kemanjaan dan sukacita. Tubuhnya yang lemah gemulai laksana merpati itu tidak mampu menahan derita panjang yang direguk dan dicecapnya sebagai madu dan susu kehidupan. Tak sampai empat tahun dia menjadi istri Hajibur Rahman at-Takalluf, tubuhnya telah kurus laksana burung merana di sangkarnya. Kehausan telah mencekik lehernya, meski di luar sangkar terdapat kolam berair jernih. Kelaparan telah menerkam perutnya, meski biji jelai terhampar di hadapannya.

Terali-terali sangkar telah memenjarakan kebebasannya. Burung kecil itu tak pernah lagi berkicau. Dia terpenjara dalam sangkar derita. Dan kepedihan panjang yang bagai tanpa tepi akhirnya menggiringnya ke arah kematian. Ya, burung itu telah pergi. Namun, kemerduan kicaunya masih tersisa dan tak akan dapat terlupakan oleh mereka yang pernah mendengarnya. “Bagiku, kematian burung itu adalah pembebasan bagi jiwanya untuk kembali kepada Sang Pemilik. Burung itu telah terbang bebas menuju Sarangnya yang sejati,” kata Ahmad at-Tawallud.

Kabar kematian si burung kecil Nafsa yang tak pernah dibayangkan dan diimpikan itu didengar oleh Abdul Jalil bagaikan ledakan halilintar menyambar tebing-tebing jiwanya. Seluruh aliran sungai pembuluh darahnya tiba-tiba membeku. Bagaikan batuan tebing yang runtuh, ia rasakan tulang-tulang persendiannya luruh. Bagai burung yang patah kedua sayapnya dan jatuh dari angkasa.

Ia tercenung sebisu patung batu. Seperti berada di alam mimpi. Namun, sejenak kemudian ia bagai tersadar oleh hamparan kenyataan yang menunjukkan bahwa dirinya sekarang ini bagaikan raja tanpa mahkota, tanpa kekuasaan, tanpa istana, tanpa tahta, tanpa rakyat, bahkan tanpa pakaian kebesaran. Abdul Jalil menyadari betapa satu-satunya jubah kebesaran terindah yang dikenakannya telah terbakar habis tak bersisa. Citra indah sulaman bidadari dan bunga-bunga itu telah sirna. Harapan dan angan-angannya tentang jubah indah itu telah pupus. Merana. Dan tebing keteguhan hatinya pun runtuh bersama butir-butir air bening yang bergulir dari kelopak matanya, membasahi pipinya.

Ketika malam dibungkus selimut hitam, saat orang-orang meringkuk kedinginan dalam tidur lelap, Abdul Jalil duduk di teras Masjid al-Ishthilam sambil membatin, “Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, o musafir papa, yang tak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak akan pernah kehilangan apa-apa.”

Bintang-gemintang yang menghiasi gelap malam menerbangkan khayalnya ke langit yang diselimuti kabut. Khayal yang melekat di relung-relung ingatannya memunculkan citra Nafsa yang menderita dan merana. Sambil menyaksikan bentangan sayap-sayap khayalnya berkepakan, ia berkata, “Aku tidak pernah kehilanganmu, o Nafsa, karena aku tidak pernah memilikimu. Namun, citra keindahanmu yang memenuhi khayalku adalah kesunyian yang paling menyiksa jiwaku. Terbang bebaslah, o burung kecilku, menuju sarangmu. Berkicaulah dengan kemerduan suaramu untuk memuji Pemilikmu.”

Ketika ia sedang terbang bebas dengan burung khayalnya, tiba-tiba muncul seseorang yang kemudian dikenalnya bernama Ali Anshar at-Tabrizi, musafir asal negeri Persia. Sebagai sesama perantau, dalam tempo singkat mereka terlihat akrab; berkisah tentang asal usul, perjalanan hidup, pandangan-pandangan keagamaan, prinsip-prinsip tauhid, bahkan konsep-konsep dan amaliah perjuangan (jihad) menuju Sang Sumber Sejati.

Ali Anshar pemuda yang cerdas dan memiliki pengetahuan yang luas dalam berbagai hal sehingga persoalan yang sulit dipecahkan akan menjadi mudah dibahas. Namun, ada saat-saat tertentu Abdul Jalil menangkap sasmita bahwa pengetahuan Ali Anshar pada dasarnya masih pada tingkat pemahaman dan belum sampai pada tataran amaliah. Hanya saja ia belum berani memastikan apakah sasmita yang ditangkapnya itu benar atau tidak. Lantaran itu, ia berusaha tetap menjaga jarak dan tidak semua pandangan Ali Anshar disepakatinya.

Ia sadar selama ini sangat kurang bergaul dengan orang-orang yang bisa diajaknya berbagi pengalaman. Itu sebabnya, meski banyak hal yang tidak disepakatinya, ia merasa sangat membutuhkan kawan bicara secerdas perantau asal Tabriz itu. Keakrabannya dengan Ali Anshar pun makin erat manakala ia mengetahui bahwa pemuda itu meninggalkan negerinya karena tak sanggup menanggung hati yang hancur akibat kematian kekasih tercinta. Kesamaan nasib menumbuhkan empati dan solidaritas.

Ali Anshar menuturkan kisah percintaannya dengan Kamilah, tetangga sebelah rumahnya yang telah dikenalnya sejak masa kanak-kanak. Berbeda dengan keluarga Kamilah yang kaya dan terhormat, keluarga Ali Anshar hidup dalam keterbatasan meski darah yang mengalir di tubuh keluarganya adalah darah Alawiyyin keturunan Rasulallah Saw. “Keluarga kami adalah pendukung setia keluarga Safawy yang sedang berjuang menegakkan kekuasaan ahlul bait. Itu sebabnya, keluarga kami selalu dalam buruan dan penindasan penguasa yang zalim. Namun, kami bertahan terhadap semua tekanan yang diarahkan kepada kami,” katanya dengan mata berapi-api.

Sebagai pendukung setia keluarga Safawy ternyata membawa akibat pedih baginya. Keluarga Kamilah yang sangat membenci perjuangan kaum Safawy tegas-tegas melarang Ali Anshar berhubungan dengan puteri mereka. Mereka tidak ingin tersangkut-paut dengan gerakan pemberontak. “Aku memprotes keputusan itu. Aku katakan kepada ayahanda Kamilah bahwa persoalan cinta tidak ada kaitan dengan perjuangan kaum Safawy. Namun, mereka malah mengusirku. Dan puncaknya, ketika keluarga itu dengan paksa menikahkan Kamilah dengan seorang petugas penarik pajak yang licik dan kejam,” ujar Ali Anshar menarik napas dalam-dalam.

Perkawinan Kamilah ternyata tidak membawa kebahagiaan. Selama bertahun-tahun mereka tidak dikaruniai anak. Itu sebabnya, Kamilah oleh suaminya dijadikan pemuas nafsu belaka. Dia tidak pernah lagi dianggap sebagai istri yang bisa menjadi ibu dari anak-anaknya. Bukan hanya caci-maki dan pukulan yang didapat Kamilah dari suaminya, melainkan silih berganti perempuan cantik dibawa ke rumah dan diperkenalkan sebagai istri-istri baru. Namun, ternyata para perempuan itu tidak melahirkan anak seorang pun bagi suami Kamilah.

Penderitaan lahir dan batin yang dialami Kamilah akhirnya membawanya ke gerbang kematian. “Saat itu aku rasakan duniaku runtuh. Harapan dan khayalku tentang Kamilah yang indah telah sirna tanpa bekas. Mahligai hatiku yang menyimpan citra indah Kamilah telah remuk. Luluh lantak,” tutur Ali Anshar pedih.

Seyogyanya, ungkap Ali Anshar, dia sudah putus harapan dengan kehidupan di dunia ini. Namun, dorongan semangatnya sebagai keturunan Rasulallah Saw. yang mulia telah menumbuhkan kekuatan dahsyat untuk pantang menyerah dalam menghadapi tantangan hidup. “Berbulan-bulan kulalui dengan memohon barokah dan karomah dari Sayyid Hamzah bin Imam Mussa al-Kazim yang dimakamkan di Rey, dekan Tehran. Berbulan-bulan pula kulalui dengan memohon barokah dan karomah dari Sayyid Jalaluddin Asraf bin Imam Mussa al-Kazim yang dimakamkan di Astana Ashrafia di Gilan. Dan alhamdulillah, aku mendapatkan kekuatan baru.”

Selanjutnya, dia mengungkapkan perjalanan ruhaninya menziarahi makam Sayidina Husein di Karbala yang mendatangkan kekuatan batiniah baginya. Ali Anshar yakin bahwa para imam suci beserta seluruh keturunannya adalah pembimbing umat manusia dalam menafsirkan dan mengamalkan ajaran yang telah disampaikan oleh Rasulallah Saw. “Jikalau benar apa yang dikatakan uwak Tuan bahwa Tuan masih keturunan Rasulallah Saw. maka hendaknya Tuan sadari keberadaan yang mulia itu. Tuan hendaknya menjadikan Muhammad Saw. leluhur kita sebagai panutan. Beliau lelaki sejati yang pantang menyerah, meski harus kehilangan orang-orang tercinta termasuk kematian putera-putera kebanggaannya di usia dini. Beliau kuat. Perkasa. Tak goyah menghadapi gempuran dari segenap penjuru,” kata Ali Anshar menyemangati.

Entah akibat kepandaian Ali Anshar berbicara atau karena sedang dalam keadaan sedih dan butuh penguat jiwa, Abdul Jalil merasakan getar kebanggaan menguasai dadanya ketika ia menyadari di dalam dirinya mengalir darah Rasulallah Saw. dan para ulama dari golongan Alawiyyin. Hidup mereka selalu digempur oleh serbuan api bala’, namun mereka tidak pernah menyerah. Bahkan menjadikan mereka sebagai orang-orang mulia yang dekat dengan al-Khaliq. Dan getar kebanggaan yang memenuhi dadanya itu mendorong Abdul Jalil untuk melakukan ziarah ke makam Rasulallah Saw. sekaligus menunaikan ibadah haji.

Keputusan Abdul Jalil untuk berziarah ke makam Rasulallah Saw. pada musim haji mendatang disambut gembira oleh Ali Anshar. Sambil menepuk-nepuk bahu Abdul Jalil, dia berkata, “Dengan berziarah ke makam Rasulallah Saw. berarti Tuan telah kembali kepada sumber Tuan yang sejati. Mudah-mudahan kita dapat berjumpa di sana pada musim haji mendatang,” ujarnya dengan mata berbinar-binar.

Keakraban Abdul Jalil dan Ali Anshar semakin erat. Hal itu terjadi bukan saja karena Ali Anshar memiliki pengetahuan yang luas tentang berbagai hal, melainkan yang tak kalah penting adalah karena sahabatnya, Ahmad at-Tawallud sedang pergi berlayar ke berbagai negeri mengurus perniagaannya. Abdul Jalil ditinggalkan sendirian di rumahnya yang megah di Baghdad. Ia hanya ditemani beberapa pelayan. Kesendirian di tengah semarak kota Baghdad itulah yang mendekatkan hubungan mereka.

Ali Anshar ternyata sangat pandai menjalin hubungan dengan orang, baik dalam hal kesantunan, keramahan maupun pembicaraan tentang agama, filsafat, sejarah, ketabiban, hingga politik kekuasaan. Kepada Abdul Jalil yang beberapa kali mengunjungi pemondokannya di tepi sungai Tigris, selalu disuguhkan makanan khas Persia: Chelow-kabab (nasi dengan daging panggang), Fessenjan (daging itik kuah dicampur kenari dan sari buah delima), Dolmeh (daging isi dibungkus daun anggur), Abgousht, Ash-e-Reshteh, dan Barbari. Selama menyantap suguhan, Ali Anshar bercerita ini dan itu tentang kehidupan di berbagai negeri terutama di Persia yang menurutnya sedang dikuasai oleh orang-orang zalim yang durhaka karena selalu menodai agama dan menipu rakyat.

Sebagai orang muda yang telah menyaksikan sekaligus mengalami sendiri berbagai sisi kehidupan yang penuh pahit dan getir, Abdul Jalil dengan apa adanya menceritakan perjalanannya dari awal hingga terdampar di Baghdad. Tanpa kecurigaan ia menuturkan bahwa kepergiannya hingga ke negeri dongeng itu adalah bagian dari pencariannya terhadap al-Khaliq. Itu sebabnya, ia sangat tidak tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan duniawi. “Telah jelas bagiku bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan selain Dia akan berakhir dengan kekecewaan dan penderitaan.

Mendengar pengakuan Abdul Jalil, Ali Anshar hanya mengangguk-angguk sambil mendecak kagum. Namun, kepandaian Ali Anshar memberikan alasan-alasan yang masuk akal terutama dorongan semangat, khususnya yang berkaitan dengan keberadaannya sebagai keturunan Rasulallah Saw., telah membuat Abdul Jalil mengerutkan kening untuk berpikir ulang.

“Tuan masih muda dan memiliki kecerdasan luar biasa,” Ali Anshar memuji. “Tuan ibarat buah masak sebelum waktunya. Namun, Tuan harus selalu ingat bahwa nenek moyang kita Muhammad Saw. adalah pejuang kemanusiaan yang agung yang rela berkorban apa saja demi tugas sucinya. Berbelas tahun beliau menyepi sendiri di gua Hira untuk mencari Kebenaran Sejati. Setelah beliau menemukan Kebenaran Sejati, terutama dalam peristiwa agung isra’ wa mi’raj, di mana beliau telah berhadapan langsung dengan Allah, ternyata tidak membuat beliau terputus dengan kehidupan duniawi. Beliau tidak menjadi pertapa yang mengasingkan diri. Beliau justru kembali ke kehidupan dunia dengan mengemban tugas suci dari-Nya; berjuang menegakkan kebenaran agama-Nya, memimpin umat ke jalan-Nya, menjadi teladan umat manusia, menjadi kepala keluarga, dan bahkan menjadi panglima tinggi perang bagi umatnya.”

Selain berkisah tentang Rasulallah Saw., dia juga menuturkan keteladanan para Alawiyyin keturunan Rasulallah Saw., baik dari galur Sayidina Hasan maupun dari Sayidina Husein. Tanpa kenal lelah, ungkap Ali Anshar, para Alawiyyin menyampaikan ajaran Rasulallah Saw. ke berbagai negeri. “Kekalahan para keturunan dan pengikut Sayidina Ali dari si iblis besar Mu’awiyah dan keturunannya, tidak menjadikan mereka patah semangat. Mereka seberangi lautan luas dan gurun yang ganas untuk menyampaikan kebenaran Islam kepada mereka yang sedang berada di dalam kegelapan. Tak terhitung jumlah kaum Alawiyyin yang terbunuh di jalan Allah, namun mereka tak pernah surut langkah menegakkan agama Allah. Imam suci sebagai penerus kemuliaan Rasulallah Saw. mereka jadikan sumber ilham yang tak pernah kering bagi gelora semangat perjuangannya,” kata Ali Anshar.

Meski tidak semua pandangan Ali Anshar sesuai dengan jalan pikiran dan perasaannya, Abdul Jalil menangkap semacam kebenaran di balik kata-katanya, terutama jika dikaitkan dengan cerita Syaikh Datuk Ahmad, uwaknya, tentang perjuangan leluhurnya di dalam menyebarkan kebenaran Agama Allah di muka bumi. Diam-diam ia meneguhkan tekad akan mendarmabaktikan seluruh hidupnya di jalan yang telah dilampaui leluhurnya setelah menemukan Kebenaran Sejati. Dan tiba-tiba saja, gambaran tentang kegelapan yang masih menyelimuti orang-orang di negeri kelahirannya, berkelebat ganti-berganti memasuki benaknya.

Kala senja turun, usai orang-orang menunaikan shalat maghrib, Abdul Jalil berjalan melewati perkampungan kumuh di pinggiran Baghdad. Di antara reruntuhan tembok-tembok tua dan puing-puing, di atas tumpukan sampah dekat sebuah rumah yang atapnya ambruk, ia tanpa sengaja melihat laki-laki tua berjongkok mengais-ngais sampah seolah mencari sisa-sisa makanan. Pakaiannya kotor berbalut debu. Wajahnya dilihat sepintas bagai mengungkap derita. Pendek kata, laki-laki itu adalah gelandangan yang hidup dalam kehinaan dan kenistaan. Namun, tatapan mata laki-laki itu, yang menerawang jauh ke gugusan bintang-bintang di langit, menyiratkan ketenangan, kedamaian, dan kewibawaan.

Bagaikan terbimbing oleh tangan gaib, Abdul Jalil menghampirinya. Ia menangkap keanehan pada tubuh tua penuh debu itu. Dan sesaat kemudian, nur lawami’ dan fawa’id di kedalaman jiwanya tiba-tiba menangkap pancaran cahaya gilang-gemilang pada sosok yang hina dalam pandangan mata indriawi itu. Ia makin yakin bahwa laki-laki di atas tumpukan sampah itu bukanlah orang sembarangan. Setelah jarak mereka cukup dekat, ia mengucapkan salam dan laki-laki tua itu menjawabnya, namun dengan sikap tak peduli.

Merasa diabaikan, Abdul Jalil justru mendekat dan ikut berjongkok di depannya sambil mengulurkan tangan. Laki-laki tua itu masih dalam sikap acuh tak acuh mengulurkan tangan menyalami sambil menggumam, “Tidak hinakah seorang keturunan Rasulallah Saw menyalami fakir papa ini?”

“Tuan,” sahut Abdul Jalil hormat, “bagi saya semua manusia adalah sama, yaitu hamba Allah. Hanya pandangan mata indriawi dan peraturan yang dibuat manusia sajalah yang membeda-bedakan satu manusia dengan manusia yang lain. Bangsawan, mulia, agung, terhormat, berpangkat, kaya raya, maupun yang sudra, hina, nista, miskin, fakir, dan papa adalah sama di hadapan-Nya. Yang membedakan mereka hanyalah takwa. Dan ketakwaan tidak bisa dilihat hanya dari penampilan lahiriah semata. Dalam pandangan saya, Tuan adalah hamba-Nya yang mulia lagi terhormat, meski orang lain memandang Tuan sebagai orang hina.”

Laki-laki tua yang ternyata bernama ‘Ainul Barazikh itu tiba-tiba memegang bahu Abdul Jalil. Dia menatap mata Abdul Jalil dalam-dalam seolah hendak mengukur kekuatan jiwanya. Sesaat kemudian dia berkata, “Jika engkau teguh dan istiqamah berpegang pada ucapanmu itu dan engkau duduk laksana pengemis papa di hadirat-Nya maka Allah akan membukakan pintu-pintu ilmu dan menganugerahimu pengetahuan khusus dari-Nya, yaitu tentang rahasia dan pemahaman Ilahiah.”

“Saya akan berusaha istiqamah dan memohon kepada-Nya agar hati saya senantiasa dikosongkan dari sesuatu selain Dia,” kata Abdul Jalil takzim.

“Jika demikian,” sahut ‘Ainul Barazikh tenang, “tinggalkan orang-orang yang akan mempengaruhi jalanmu. Karena, sesungguhnya engkau akan diperankap oleh kebanggaan diri akan nasab yang bermuara ke samudera keakuanmu. Allah tidak pernah menetapkan sesuatu yang dikehendaki-Nya atas dasar nasab semata. Ingat kisah Nuh a.s. yang anaknya durhaka terhadap Allah. Ingat Ibrahim a.s. yang ayahandanya masuk ke dalam golongan orang-orang sesat.”

“Jika engkau setia di jalan-Nya maka engkau akan mendapati Ibrahim a.s. sebagai Bapak Tauhid yang berhasil memutus hubungan antara anak dan ayah (Ibrahim a.s. dan ayahnya, Terah) maupun hubungan antara ayah dan anak (Ibrahim a.s. dan Ismail a.s.) sehingga ia beroleh pencerahan menjadi sahabat Sang Kebenaran Sejati. Sesungguhnya, hubungan ayah dan anak adalah hubungan kemakhlukan yang bersifat nisbi yang berujung pada nafs yang satu (an-nafs al-wahidah), yakni hakikat Adam a.s. – citra sebentuk tanah yang di dalamnya tersembunyi rahasia ruh-Nya. Ibrahim a.s. telah menangkap rahasia paling rahasia Ilahiah dari kalimat: la ilaha illa Allah dan Inna li Allahi wa inna ilaihi raji’un.”

“Ketahuilah bahwa hubungan anak dan ayah, anak dan ibu, suami dan istri, serta laki-laki dan perempuan sesungguhnya adalah hubungan yang bersifat duniawi. Ingatlah, ketika Adam a.s. diciptakan di Jannah Darussalam tidak dibutuhkan ibu dan bapak. Ingat pula ketika Adam a.s. membelah diri saat kemunculan Hawa. Proses itu terjadi bukan di dunia. Karena itu, kebapakan Adam a.s. dan keibuan Hawa saat melahirkan putera-putera terjadinya di bumi. Dan jika engkau naik ke langit maka engkau akan mendapati bahwa di sana tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan, anak dan ayah, anak dan ibu, suami dan istri. Semua adalah universal; bulan, bintang, bumi, matahari, bintang, planet, malaikat.”

“Karena itu, o Anak Muda, jika engkau bertekad bulat untuk mendekati-Nya maka prasyarat mutlak yang wajib engkau penuhi adalah meniggalkan segala sesuatu yang bersifat keduniaan, termasuk kebanggaan terhadap nasab. Dan ketahuilah, o Anak Muda, saat Muhammad Saw. dijalankan oleh-Nya dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha (isra’) lalu mi’raj ke Sidratul Muntaha, dia bukan lagi sebagai seorang laki-laki bumi. Muhammad Saw. saat itu adalah al-Haqq yang universal yang kembali ke Sumber Sejati. Itu sebabnya, sangat jahil orang yang menggambarkan buraq sebagai hewan tunggangan berkelamin perempuan. Buraq adalah makhluk universal. Tidak jantan dan tidak betina. Dan hanya pikiran keduniaan manusia sajalah yang mengkhayalkan segala sesuatu yang universal identik dengan kebumian yang parsial.”

“Saya paham, Tuan,” sahut Abdul Jalil takzim.

“Karena itu, hatimu harus hancur dari segala hal duniawi jika engkau menghendaki keakraban dengan-Nya,” kata ‘Ainul Barazikh, yang tiba-tiba saja berdiri kemudian membalikkan badan.

Abdul Jalil termangu-mangu menatap kepergian ‘Ainul Barazikh hingga tubuhnya lenyap ditutupi kegelapan malam. Diam-diam ia bersyukur telah diberi anugerah oleh Allah berupa sepercik pengetahuan untuk melihat makna hakiki manusia dengan pandangan mata batin. Pancaran nur lawami’ dan pemahaman fawa’id di kedalaman samudera kesadarannya telah dapat menyaksikan citra agung seorang kekasih Allah yang memancarkan cahaya gilang-gemilang dari seorang gelandangan seperti ‘Ainul Barazikh. Padahal, orang-orang terhormat dan dipuja-puja, seperti Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi, justru membiaskan citra seekor hewan. Ah, pikir Abdul Jalil, betapa menakjubkan Allah yang menebarkan tirai rahasia untuk menghijab kekasih-Nya dari pengetahuan duniawi.
 
~ Bag 11. Baitul Haram

Haji – ibadah yang diwajibkan bagi setiap muslim yang dewasa, berakal sehat, dan mampu melaksanakannya – bukanlah sekadar memakai pakaian ihram, tawaf mengitari Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, wukuf di Arafah, singgah di Muzdalifah dan Masy’ar al-Haram, dan melempar jumrah di Mina secara badani. Haji yang hakiki adalah peribadatan yang membawa seorang salik mendaki maqam jasadiyyah ke maqam ruhaniyyah; menapaki kembali jejak-jejak Adam a.s. mulai saat menjadi hamba-Nya yang terhukum hingga ke asal penciptaannya yang mulia dan terhormat di antara semua hamba-Nya, yakni Adam a.s. yang kepadanya seluruh malaikat bersujud dan yang dibanggakan Rabb-nya karena mengetahui nama-nama serta bisa berwawansabda dengan al-Khaliq.

Bagi salik yang berhasrat mendaki maqam ruhaniyyah, syarat utama ibadah haji adalah melepas segala ingatan dan pamrih tentang kehidupan duniawi dan ukhrawi sekaligus. Satu-satunya ingatan hanya kepada-Nya. Karena bagi salik, Haji adalah ‘ibadah, yakni wahana yang menghubungkan abid dan Ma’bud. Dan lantaran itu, keberadaan salik sebagai abid yang menggunakan wahana ibadah untuk menujukan kiblat hati dan pikiran hanya kepada Ma’bud hendaknya lurus dan bersih serta suci dari segala sesuatu yang bukan Ma’bud. Bid’ah adalah tambahan-tambahan di dalam ibadah yang membawa abid memalingkan kiblat dari Ma’bud.

Menjelang musim haji, Abdul Jalil yang sudah menyiapkan kebersihan jiwanya untuk memasuki maqam ruhaniyyah, berangkat ke tanah suci dengan melewati samudera. Hasrat dan keinginan hatinya untuk melakukan ziarah ke makam para leluhurnya, yakni Imam Husein di Karbala, Imam Ali di Najaf, Imam Ja’far Shadiq, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin di Baqi’, dan terutama makam Rasulullah Saw. di samping Masjid Nabawi, diurungkannya. Uraian Ainul Barazikh tentang hakikat Tauhid telah meruntuhkan semua dorongan hatinya untuk menapaki kemuliaan dan keluhuran para leluhurnya dengan tujuan mengangkat keberadaan dirinya. Soal ibadah, menurut hematnya, adalah soal pengkiblatan antara abid dengan Ma’bud. Karena itu, tidak sekali-kali abid diperbolehkan menggunakan atribut-atribut di dalam mengarahkan kiblatnya kepada Ma’bud.

Dengan melakukan perjalanan melintasi samudera, ia mendapati kenyataan bahwa di tengah samudera yang biru tidak terdapat sesuatu yang mengusik batin manusia. Hamparan samudera sepanjang waktu tampaknya hanya menyuguhkan ombak yang bergulung-gulung dan ikan yang beriringan melompat-lompat serta kadang kala gelombang yang mengamuk; sebuah pemandangan yang sangat menjemukan. Namun, di tengah samudera itu pulalah hasrat dan dorongan ke arah duniawi dapat sangat kuat menerkam pikiran dan perasaan manusia. Namun, bagi salik seperti Abdul Jalil yang benar-benar telah berjuang keras melepas segala sesuatu selain Dia, perjalanan melintasi samudera justru menjadi sebuah kemestian ibadah yang sangat didambakan. Karena jiwanya yang sudah menapaki maqam ruhaniyyah itu ibarat hamparan samudera yang bersih dari hiruk pikuk duniawi.

Sekalipun ia sudah dinyalakan api tekad untuk tidak menghiraukan segala sesuatu selain Dia, pada kenyataannya ia tidak mempu menghindar dari kehidupan duniawi sehari-hari. Selama di atas kapal, misalnya, meski sudah diusahakan untuk lebih banyak melakukan amaliah ibadah, tak urung ia sempat pula mengenal beberapa penumpang dan awak kapal. Salah seorang penumpang yang dikenalnya saat kapal akan berangkat di pelabuhan Basrah, yang kemudian menjadi kawan berbicara selama di perjalanan, adalah laki-laki peranakan Arab-Persia bernama Husein bin Amir Muhammad bin Abdul Qadir al-Abbasi. Pemuda tiga puluh tahunan asal Pasai.

Perkenalannya dengan Husein dijembatani oleh Ahmad at-Tawallud yang ikut mengantar sampai ke atas kapal beberapa saat sebelum berangkat. Husein adalah putera Amir Muhammad bin Abdul Qadir al-Abbasi – Mullah yang sangat dihormati di negeri Pasai – kawan karib ayahanda Ahmad at-Tawallud.

Husein adalah salik yang sedang meniti bahtera menuju ke Pelabuhan Sejati. Itu sebabnya, Ahmad at-Tawallud mengungkapkan, dalam perjalanan menuju ke tanah suci seyogyanya mereka berdua banyak melakukan tukar pengalaman dan pendapat. “Jalan yang dia tempuh dengan jalan yang Tuan tempuh sangat berlainan, meski arahnya sama, yakni menuju ke Pelabuhan Sejati,” bisiknya perlahan ke dekat telinga Abdul Jalil.

Sesuai pesan Ahmad at-Tawallud, sepanjang perjalanan Abdul Jalil berusaha menggunakan waktu luangnya untuk berbincang-bincang dengan Husein. Dalam perbincangan itulah, Husein menuturkan beberapa kerabatnya tinggal dan menjadi penyebar Islam di sana. “Bahkan saudara kakek buyut saya, Sayyid Abdurrahim bin Kourames al-Abbasi, menjadi pejabat tinggi di Majapahit. Kakek saya, Abdul Qadir al-Abbasi, menceritakan bahwa adik dari kakeknya itu menggunakan nama Jawa – setelah diambil menantu oleh Raja Muda Surabaya, Pangeran Arya Lembu Sura – Arya Teja. Beliau menjadi Syahbandar di pelabuhan Tuban.”

Selanjutnya, dia menuturkan bahwa penyebaran Islam di Jawa yang dilakukan oleh para saudagar dan guru-guru agama yang berasal dari Pasai menggunakan jaringan keluarga al-Abbasi yang menjadi Syahbandar pelabuhan Tuban. Jaringan keluarga al-Abbasi makin kuat manakala salah seorang keturunan Abdurrahim bin Kourames al-Abbasi yang bernama Abdullah Shidiq menikahi puteri Adipati Tuban dan kemudian dia menggantikan kedudukan mertuanya. Dengan demikian, keluarga al-Abbasi menduduki dua jabatan penting, yaitu syahbandar dan adipati. “Berita terakhir yang saya terima, Abdullah Shidiq menggunakan nama Jawa, yaitu Tumenggung Wilwatikta.”

Berdasar uraian Husein itulah Abdul Jalil mengetahui bahwa pengaruh Alawiyyin khususnya yang berasal dari Persia sangat kuat. Di Pasai menurut Husein, paham yang kuat dianut masyarakat adalah Syiah. Bahkan ibundanya adalah wanita peranakan Persia, puteri Hujjatul Islam Hasan Khair bin al-Amir Ali Astrabadi. “Jadi, kakek saya dari pihak ibu adalah ulama besar asal Persia.”

Abdul Jalil merasa lega mendengar berbagai uraian tentang gerakan dakwah Islam di Jawa yang dilakukan oleh para ulama asal Pasai. Sebab, menurut pikirannya, gerakan dakwah yang dilakukan oleh para saudagar dan guru agama asal Pasai melalui jaringan keluarga al-Abbasi tentu akan membawa hasil yang baik, yakni membangkitkan kesadaran orang-orang yang masih terjebak dalam paganisme dan penindasan atas hak-hak hidup manusia. Sejauh ini, menurut pengalamannya di Caruban, keberadaan Padepokan Giri Amparan Jati yang diasuh Guru Agung Syaikh Datuk Kahfi belum cukup berarti mempengaruhi kesadaran manusia di daerah Galuh dan Pajajaran. Sementara kekuasaan yang mulai dibangun di daerah Bintara lebih tertumpu pada upaya-upaya penegakan kekuasaan duniawi ketimbang menyadarkan masyarakat dari ketertindasan dan keterbelakangan.

Dalam perbincangan dengan Husein, Abdul Jalil mengungkapkan betapa berat medan dakwah di Jawa karena masyarakat sudah terperangkap ke dalam kerangka berpikir yang beku dan mandeg. Masyarakat, menurut Abdul Jalil, selalu dijadikan permainan oleh para elit untuk kepentingan mereka. Baik penguasa maupun ruhaniwan selalu memanfaatkan dan bahkan cenderung mengorbankan masyarakat untuk kepentingan pribadi mereka. “Hanya aroma keharuman Islam sebagai rahmatan lil alamin sajalah yang bisa membebaskan orang-orang dari penindasan atas sesamanya. Karena, di dalam Islam tidak dikenal golongan-golongan manusia berdasar nasab. Tidak ada sudra tidak ada paria. Semua sama di hadapan Allah, yang membedakan hanyalah ketakwaan.” Ujar Abdul Jalil.

Sekalipun mereka sama sepakat bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin, soal tidak adanya perbedaan golongan di antara manusia ternyata keduanya tidak sepaham. Husein tegas-tegas menolak pandangan Abdul Jalil. Menurutnya, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk memahami dan mengamalkan agama. Itu sebabnya, masyarakat awam hendaknya taqlid kepada para ulama yang memiliki otoritas di bidangnya. “Para ulama pun tidak boleh semau-maunya menyampaikan ajarannya tanpa memiliki rujukan dari imam yang maksum. Jadi, menurut saya, jikalau semua orang diberi hak yang sama di dalam memahami agama maka yang terjadi adalah kekacauan, yang berujung ke terciptanya kerusuhan besar. Karena, masing-masing akan mengaku paling benar sendiri.”

Sebenarnya, ingin sekali Abdul Jalil mendebat pandangan Husein yang menurutnya tidak sesuai dengan kenyataan sejarah lahirnya Islam yang awal. Menurut pandangan Abdul Jalil, Islam yang diajarka Rasulullah Saw. adalah untuk siapa saja, termasuk budak-budak. Rasulullah Saw. tidak akan mengajarkan Islam yang berbeda antara yang disampaikan kepada Bilal bin Rabah, sang budak, dan yang disampaikan kepada Utsman ibn Affan, sang saudagar kaya raya. Namun, segala keinginan untuk berdebat itu dihalaunya jauh-jauh, dengan keyakinan bahwa kebenaran tidak perlu harus diperdebatkan. Kebenaran akan mewujudkan dirinya sendiri sebagaimana bunga mawar yang harumnya menebar sendiri tanpa perlu diberitakan bahwa mawar adalah bunga yang berbau harum.

Manusia tidaklah memiliki kehendak kecuali apa-apa yang dikehendaki Allah, Rabb alam semesta (QS atTakwir: 29). Dalil ini diyakini benar oleh Abdul Jalil yang sudah mengalami pahit dan getir mengarungi samudera pencarian Kebenaran Sejati. Dan kebenaran dari dalil ini dialaminya untuk kali kesekian saat, tanpa pernah dibayangkan dan diimpikan, tiba-tiba ia bertemu dengan Syaikh Bayanullah, putera uwaknya, Syaikh Datuk Ahmad.

Kisah pertemuan dua saudara sepupu itu bermula dari ketidaksengajaan ketika Abdul Jalil dan Husein mengadakan perjalanan dari bandar pelabuhan Jedah ke Makah. Saat kabilah mereka beristirahat di wadi Fatimah, tiba-tiba melintas kabilah lain yang juga bertujuan ke kota yang sama. Salah satu unta yang ditunggangi lelaki tua terjerembab karena kaki depannya yang kanan terperosok ke lubang. Dalam waktu beruntun, unta pembawa beban yang berada di belakang hewan malang itu ikut terjerembab tersandung tubuh teman di depannya. Kedua kaki unta pembawa beban itu pun terkilir. Menghadapi musibah tak terduga itu, kabilah tersebut terpaksa berhenti di dekat kabilah yang membawa Abdul Jalil dan Husein.

Saat itulah ia berkenalan dengan salah seorang dari mereka , yang ternyata Syaikh Bayanullah. Ia tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Di negeri yang jauh pun ia masih dipertemukan oleh Allah dengan sanak kerabatnya. Dengan demikian, ia telah menyambung kembali tali silaturahmi di antara puak-puak keluarganya yang berserakan di berbagai belahan dunia.

Keakraban pun cepat terbangun, terutama karena Syaikh Bayanullah yang lama tinggal di Makah ternyata orang yang sangat ramah dan terbuka. Dia menuturkan bagaimana liku-liku perjalanan hidupnya sejak menuntut ilmu ke Pasai hingga berziarah ke makam leluhurnya di Gujarat yang berlanjut ke Hadramaut dan Makah. “Apa yang telah aku alami ini adalah akibat kaluarga kita yang terus menerus diwaspadai penguasa. Aku dan saudaraku, si Kahfi, tidak akan meninggalkan Malaka jika keadaannya baik bagi keluarga kita. Tapi, aku pikir, ini semua adalah kehendak-Nya sehingga dengan itu kita semua bisa bertebaran ke muka bumi untuk mendakwahkan agama-Nya.”

Berdasar penuturan Syaikh Bayanullah, Abdul Jalil mengetahui bahwa para Alawiyyin yang menjadi sanak kerabatnya adalah pejuang-pajuang agama yang tersebar ke berbagai belahan dunia. Umumnya mereka sangat berhasil dengan gerakan dakwahnya. Hanya karena sulitnya hubunganlah yang mengakibatkan masing-masing sanak kerabat tidak bisa berkomunikasi dan mengikat tali silaturahmi lebih erat.

“Bahkan salah seorang tetangga aku di Malaka, Maulana Ishak, tiada lain adalah putera Syaikh Ibrahim al-Ghozi as-Samarkandy. Padahal, Syaikh Ibrahim adalah putera Syaikh Jamaluddin Husein, saudara tua Syaikh Datuk Isa, kakek kita. Hal itu baru aku ketahui ketika ia menunaikan ibadah haji beberapa tahun silam. Padahal, selama ini aku hanya mengenalnya sebagai tetangga asal Pasai yang pernah bermukim di Jawa. Ya, siapa yang mengira kehendak Allah menentukan seperti itu. Kita tidak mengetahui sesuatu jika tidak dikehendaki-Nya,” ujar Syaikh Bayanullah.

Selain menuturkan hal Maulana Ishak, Syaikh Bayanullah juga menuturkan saudara lain ibu dari Maulana Ishak, yakni Ali Rahmat dan Ali Murtadho. Kedua orang tersebut telah menjadi orang-orang terkemuka di Jawa. Ali Rahmat menjadi guru agung di negeri Ampel Denta. Ali Murtadho menjadi guru agung di negeri Tandhes (Gresik). Putera Maulana Ishak yang bernama ‘Ainul Yaqin telah menjadi penguasa di Giri. Bahkan ‘Ainul Yaqin bersama Mahdum Ibrahim, putera Ali Rahmat, pernah tinggal di Malaka setahun. “Aku kira, Maulana Ishak khawatir berdekatan dengan keluarga aku yang diawasi penguasa terus-menerus sehingga ia juga tidak tahu jika sebenarnya kami masih sesaudara.”

Silsilah leluhur Abdul Jalil hingga kakek

Silsilah hingga diri Abdul Jalil

Silsilah Raden Ali Rahmatullah (susuhunan Ampel 1), sepupu Abdul Jalil

Berdasar kisah Syaikh Bayanullah, Abdul Jalil mengetahui bahwa salah seorang leluhurnya yang bernama Syaikh Sayyid Abdul Malik adalah seorang Alawiyyin asal Hadramaut yang hijrah ke negeri Gujarat, tepatnya di Ahmadabad, dan bukan di Surat seperti pernah dikisahkan uwaknya, Syaikh Datuk Ahmad. Syaikh Sayyid Abdul Malik lahir di Qozam, dekat Tarim, di Hadramaut. Itu sebabnya, kakek buyut dari Syaikh Sayyid Abdul Malik bernama Sayyid Ali Khaliq al-Qozam.

Putera Syaikh Sayyid Abdul Malik yang bernama Syaikh Sayyid Amir Abdullah Khanuddin adalah mursyid Tarekat Syathariyyah yang sangat dihormati di Gujarat. Sampai kini pengikut Tarekat Syathariyyah masih sangat besar. Syaikh Sayyid Amir Abdullah Khanuddin mempunyai putera bernama Syaikh Sayyid Amir Ahmadsyah Jalaluddin. Beliau merupakan mursyid Tarekat Syathariyyah yang masyhur dan sering dimintai pendapat dan fatwa oleh raja-raja dari dinasti Bigarah dan dinasti Chand. Syaikh Sayyid sebelum menjadi mursyid tarekat menggantikan ayahandanya, diangkat oleh raja menjadi amir di Surat. “Beliau itulah kakek buyut kita. Dan lantaran itu, saat di Gujarat aku berbaiat Tarekat Syathariyyah,” ujar Syaikh Bayanullah.

Mendengar penuturan Syaikh Bayanullah tentang perjuangan sanak kerabatnya di dalam menyebarkan agama Allah, Abdul Jalil merasakan pancaran kebanggaan menyesaki dadanya. Namun, buru-buru ia mengalihkan kilasan-kilasan pikirannya dengan memperteguh keyakinan bahwa ia tidak boleh membanggakan sesuatu bahkan berpikir sesuatu selain Allah. Itu sebabnya, ia lebih banyak menjadi pendengar setia dari kisah-kisah kebesaran sanak kerabat yang dikemukakan kakak sepupunya itu. Abdul Jalil berteguh hati, bahwa di Haramain ini ia adalah ‘abid yang sedang menjalankan amaliah ‘ibadah untuk mengarahkan kiblat kepada Ma’bud.

Ketika malam telah menghiasi permukaan bumi dengan cahaya bintang-gemintang, usai menunaikan shalat sunnah, Abdul Jalil berdiri penuh takjub menatap Ka’bah yang tegak kokoh memancarkan daya gaib, yang mampu mengisap kesadaran manusia ke arah leburnya kebesaran diri. Ia merasakan ketidakberdayaan merayapi perasaannya. Ini adalah kali pertama ia melihat Ka’bah. Baitullah. Rumah Allah. Selama menatap Ka’bah penuh ketakjuban, berangsur-angsur hatinya merasakan daya pukau yang kuat yang menuntun kesadaran untuk mengakui keberadaan dirinya sebagai makhluk yang dha’if.

Hingar-bingar beribu-ribu orang yang melakukan tawaf, mengitari Ka’bah sambil mengagungkan asma Allah, membangkitkan rasa aneh yang sulit digambarkan. Itu sebabnya, ia sengaja membiarkan daya pukau itu mempengaruhi dirinya. Ia membiarkan hatinya terbuka. Ia yakinkan diri bahwa sebenarnya ia tidak memiliki kehendak. Yang berkehendak adalah Allah. Dan setelah beberapa jenak terpukau dalam ketakjuban, secara berangsur-angsur ia merasakan betapa hatinya terisap oleh semacam kekuatan gaib sehingga tanpa dipikir lagi kakinya tiba-tiba melangkah ke depan. Tanpa bisa dikendalikan ia berjalan cepat masuk ke dalam lingkaran jama’ah tawaf.

Selama tawaf ia tidak mampu memanjatkan satu kalimat doa pun. Sambil mengagungkan kebesaran Allah dengan suara tersendat-sendat, ia merasakan pandangannya kabur tertutup genangan air mata. Ia merasakan keakuannya larut ke dalam keakuan jama’ah tawaf. Ia bagai setitik air yang hanyut ke arus sungai. Namun, selintas bagaikan kilat, nur lawami dan pemahaman fawa’id-nya mengungkapkan kaitan rahasia di balik tangisan orang-orang yang tawaf dengan keberadaan “Ibu Segala Kota”, Makkah, yang di masa lampau bernama Bakka, dalam bahasa Arab berarti menangis.

Dengan membiarkan keakuannya hanyut di tengah gerakan jama’ah tawaf, ia tidak mendapati apa-apa dari kiblat-Nya kecuali keagungan-Nya. Berbeda dengan jama’ah lain yang berdoa agar beroleh keselamatan di dunia dan akhirat, ditumpahi rezeki berlimpah ruah, dikuatkan iman, diangkat derajatnya; ia hanya mengagungkan Asma Allah. Ia tidak peduli dengan rezeki duniawi, surga, neraka, derajat, iman, dan berbagai hal yang dibutuhkan manusia. Kiblat hatinya hanya Allah. Itu berarti pamrih pribadinya tidak ada. Semua adalah milik Allah. Lantaran itu, semua harus dikembalikan kepada-Nya.

Selama tawaf, ia merasakan tubuhnya bagai digerakkan oleh kekuatan gaib yang benar-benar di luar kendalinya. Itu sebabnya, dengan rasa takjub tak terhingga, ia rasakan tubuhnya terdorong dan terhimpit ke satu arah, yakni ke sudut Hajar Aswad. Kemudian , bagaikan bermimpi tiba-tiba di hadapannya sudah terpampang batu hitam yang dijadikan rebutan bagi mereka yang ingin menciumnya. Abdul Jalil tercenung takjub. Sesaat kemudian, ia merasakan bagian belakang kepalanya disentuh oleh tangan yang mendorongnya ke arah depan sehingga wajahnya mencium Hajar Aswad.

Beberapa detik menyentuhkan wajah ke Hajar Aswad dengan mata terpejam, ia menyaksikan pemandangan menakjubkan dari nuur yang memancar di antara kedua matanya. Ia bagai melihat alam semesta tergelar di hadapannya. Kemudian nur lawami dan pemahaman fawa’id-nya mengungkapkan bahwa Hajar Aswad itulah batu yakud yang berasal dari surga, yang ajaib yang mampu mencatat dan merekam siapa saja yang pernah melintasi di hadapannya. Karena itu, Rasulullah Saw. mencontohkan untuk menciumnya atau melambaikan tangan jika tidak mampu.

Tiba-tiba saja Abdul Jalil merasa pakaian ihramnya ditarik oleh tangan-tangan yang kuat. Dengan sentakan keras, tubuhnya terpental ke belakang. Ia termangu heran ketika menyadari dirinya sudah berada jauh dari kerumunan orang di Hajar Aswad. Namun, ia tak memberi kesempatan bagi pikirannya untuk mempertanyakan ini dan itu. Ia langsung bertakbir dan melakukan shalat sunnah di dekat maqam Ibrahim.

Usai shalat sunnah, ia melakukan sa’i. Bagai setetes air, ia mengikuti arus jama’ah laksana aliran sungai. Ia biarkan keakuannya terseret arus keakuan jama’ah. Ketika sedang tenggelam di dalam pusaran arus jama’ah sa’i yang hingar-bingar, tiba-tiba pandangan matanya tertumbuk ke arah salah seorang jama’ah yang sedang melakukan doa di atas bukit Marwa. Karena hitungan sa’inya sudah selesai dan berjarak hanya beberapa langkah maka ia dapat mengamati orang itu dengan lebih cermat.

Bagai mengetahui dirinya diamati, seketika orang yang menarik perhatian Abdul Jalil itu menghindar di antara kerumunan jama’ah yang berdoa di atas bukit Marwa. Keanehan terjadi. Saat ia melangkah, jama’ah yang berkerumun itu mendadak menyibak bagaikan memberi jalan. Abdul Jalil makin tertarik. Diam-diam ia mengikuti kemana orang itu pergi. Dan keanehan di bukit Marwa lagi-lagi terulang. Setiap orang itu melangkah selalu ditandai dengan menyibaknya jama’ah.

Ketika berada di dekat maqam Ibrahim, orang itu shalat. Abdul Jalil yang penasaran segera mendekat. Dalam jarak sekitar sepuluh langkah, ia mendapati orang yang sedang shalat itu ternyata pemuda yang sangat aneh di dalam pandangannya. Pemuda itu, menurut pandangan mata indriawinya, memang sedang melakukan gerakan-gerakan shalat. Namun, dengan pandangan nur lawami, pemuda itu adalah yang menyembah sekaligus Yang Disembah. Aneh sekali. Usai shalat pemuda itu melakukan doa. Namun, seiring doanya dia seolah-olah juga mengabulkan doa. Dia tidak hidup juga tidak mati. Dia bergerak namun juga diam. Dia diliputi, namun juga meliputi. Dia bagai bayi, namun juga bagai lelaki dewasa. Dia memancarkan kemuliaan, namun juga mengisap kemuliaan. Dia dinaungi, namun juga menaungi. Keagungan berada di dalam dan di luar dirinya. Pemuda itu benar-benar rumit, tetapi sederhana.

Peristiwa menakjubkan itu mendadak melanda kesadarannya seiring dengan keterisapan dirinya oleh keberadaan pemuda aneh yang misterius itu. Bagaikan persawahan digenangi air bah, demikianlah kesadaran Abdul Jalil tenggelam dilanda kesadaran luas tanpa batas. Dan bagaikan tirai hijab disingkapkan, ia tiba-tiba melihat dan mengetahui bahwa pemuda itu derajat ruhaniahnya berada di luar batasan maqam (tempat) dan zaman (waktu). Pemuda itu yang diliputi sekaligus yang meliputi.

Seluruh perhatiannya terisap ke dalam pusaran pesona yang memancar dari pemuda itu. Begitu dahsyatnya sehingga ia tidak lagi melihat sesuatu di sekitarnya kecuali pemuda aneh itu. Ka’bah dan seluruh jama’ah tawaf seperti terhapus dari perhatiannya. Ia hanya menyaksikan pemuda itu dengan ketakjuban tak bertepi.

Bagai digerakkan oleh kekuatan dahsyat, ia beringsut mendekat. Kemudian diciumnya tangan pemuda itu sambil berkata dengan suara gemetar, “O Tuan, tunjukkanlah kepada saya, jalan mana yang harus saya tempuh dan dengan cara bagaimana saya bisa sampai kepada-Nya.”

Pemuda aneh itu tidak berkata sesuatu. Sebaliknya, dengan isyarat (berbicara melalui bahasa perlambang) dan al-ima’ (berbicara tanpa bahasa lisan dan tanpa bahasa perlambang) dia mengungkapkan bahwa jalan pengetahuan menuju-Nya tidak dapat diungkapkan melalui bahasa manusia yang paling fasih sekalipun. Itu sebabnya, ada “jalan” (sabil) dan “cara” (thariq) yang bisa membawa kepada-Nya.

Mula-mula, dia menggambarkan dengan jelas rahasia keberadaan manusia (basyar) sebagai ciptaan (khalq) dengan keberadaan Allah sebagai Sang Pencipta (Khaliq) dalam hubungan misterius antara ‘abid dan Ma’bud; antara makhluq dan Khaliq, antara ‘alam, ‘alim, ‘ilmu yang melekat pada makhluq dan al-‘Alim dan al-‘Ilmu yang melekat pada al-Khaliq; antara shurah ar-Rahman dan ar-Rahman; antara sama’, bashar, ‘adl, rahman, rahim yang menyifati khalifatullah fil ardhi dan Nama-Nama-Nya Yang Agung, seperti as-Sami’, al-Bashir, ar-Rahman, ar-Rahim, al’Adl. Kemudian, dia menjelaskan pula kaitan rahasia makna hubungan di atas sebagai “jalan lurus” (sabil huda) menuju-Nya.

Masih dengan isyarat, dia kemudian menjelaskan keberadaan manusia sebagai perwujudan ‘alam ash-shaghir (mikrokosmos) sebagai bagian dari ‘alam al-mulk (makrokosmos); dan keduanya merupakan bagian dari ‘alam al-khalq (alam ciptaan yang kasatmata). Pemuda itu mengungkapkan pula hubungan manusia dengan ‘alam al-ghaib (alam gaib) dan ghaib ‘alam al-ghaib (gaibnya alam gaib). Bahkan hubungan manusia dengan ‘alam al-‘izzah (alam kekuasaan agung).

Kemudian dia mengungkapkan tentang keberadaan Ka’bah di Makah dalam kaitannya dengan keberadaan Ka’bah di dalam diri manusia. Hati (qalb) manusia adalah Baitullah atau Ka’bah. Hati manusia bisa memuat Allah jika disiapkan untuk menyambut kedatangan-Nya, dengan cara dibersihkan dan disucikan dari sesuatu selain Dia. Karena, di dalam hati manusia terdapat citra samawi Ka’bah. Citra samawi Ka’bah di dalam hati manusia penuh dengan sifat-sifat Ilahi. Berbagai hakikat ruhaniah manusia mengelilingi hati tersebut, bagaikan orang-orang beriman mengelilingi Ka’bah.

Citra samawi Ka’bah di dalam hati manusia – tempat hakikat ruhaniah mengitari hati – itu disebut bait al-ma’mur. Jika bait al-ma’mur telah bersih dari segala sesuatu selain Allah, yakni hati manusia-manusia yang telah mencapai-Nya, maka hati itu akan menjadi Baitul Haram, yakni Rumah Suci yang hanya memuat Allah saja. Itulah hati al-Insan al-Kamil.

Masih melalui isyarat, dia memerintahkan agar Abdul Jalil mengamati keberadaan dirinya sendiri, baik dalam bentuk dan susunan tubuh jasmani maupun dalam susunan dan kecenderungan sifat dan naluri ruhani. Itulah rahasia manusia yang dicipta dengan sempurna menurut citra Ilahi (shurah ar-Rahman), yang setelah sempurna wujudnya ditiupkan (nafakhtu) ruh-Nya. Dan Allah menempatkan “Sinar Cahaya” (nuur) di antara kedua mata (baina ‘aina) manusia ciptaan-Nya yang sempurna itu.

Di dalam diri manusia itulah, tersembunyi Ruh al-Haqq (ruh-Nya yang ditiupkan saat penciptaan manusia). Ruh al-Haqq itu bersemayam di dalam Baitul Haram yang memuat hakikat tahta ‘arsy di dalam hati manusia. Ketersembunyian Ruh al-Haqq ditabiri oleh ghain yang menghijab kesadaran manusia. Setiap manusia, termasuk nabi dan rasul, hatinya tertabiri oleh ghain. Sedang orang-orang kafir, hatinya ditabiri ghain dan rain.

Pada orang-orang beriman, Ruh al-Haqq hanya bisa terbebas dari “belenggu” keakuan jika ghain disingkap oleh maghfirah-Nya. Itu sebabnya, para nabi dan rasul senantiasa beristighfar. Rasulallah Saw. dalam sehari beristighfar sedikitnya tujuh puluh kali. Dari istighfar muncul maghfirah. Maghfirah muncul dari al-Ghaffar (Maha Pengampun). Al-Ghaffar berasal dari Ghaffara (Yang Menutupi, Yang Mengerudungi, Yang Menyelubungi, Yang Menghijab). Demikianlah, istighfar bagi para nabi, rasul, serta orang-orang beriman yang mengikuti “jalan” dan “cara” bukanlah permohonan ampunan (karena nabi dan rasul adalah maksum, yakni suci dari dosa), melainkan memohon maghfirah dalam arti tersingkapnya tabir ghain yang menyelubungi (ghafara) Ruh al-Haqq di dalam hatinya.

Sementara itu, tabir rain yang menyelubungi hati orang-orang kafir hanya bisa disingkap oleh hidayah-Nya (petunjuk-Nya). Manusia akan tetap terhijab dari penciptanya jika tabir ghain dan rain tidak tersingkap. Karena, Ruh al-Haqq yang bersemayam di dalam Baitul Haram yang memuat hakikat ‘arsy di dalam hatinya tetap tertutupi tabir. Dan kebebasan sempurna Ruh al-Haqq dari “belenggu” keakuan baru bisa dicapai jika al-barzakh al-a’la (barzakh tertinggi) dari nafs ar-Rahman (Napas Yang Maha Pengasih), yang merupakan pengejawantahan al-haqq al-makhluq bihi, telah tersingkap secara paripurna.

Setelah mengungkap rahasia “jalan lurus”, pemuda itu dengan melalui al-ima’ mengungkapkan “cara” bagaimana Ruh al-Haqq yang bersemayam di tahta ‘arsy di dalam Baitul Haram yang tersembunyi di hati manusia menjalin hubungan dengan Dia (Huwa), Yang Meniupkan ruh-Nya (nafakthu), melalui nafs ar-Rahman. Melalui “cara” itulah akan tersingkap rahasia keberadaan al-Haqq (Yang Riil) yang menjadi esensi sekaligus substansi Ruh al-Haqq. Jalinan antara al-Haqq dan Huwa (Dia Yang Mutlak Tak Terbatas) itulah hakikat sejati dari fana’ fi tauhid: Yang Riil Yang Beragam (farq) manunggal dengan Yang Satu (Jam’).

Setelah dengan jelas menunjukkan “jalan” dan “cara” untuk menuju-Nya, pemuda asing aneh itu berkata-kata kepada Abdul Jalil dengan suara yang begitu agung, namun penuh rahasia dan makna. “Itulah hakikat Tauhid yang diajarkan Rasulallah Saw kepada sahabat terkasihnya, Abu Bakar ash-Shiddiq, ketika berada di dalam gua di gunung Thur yang ada di Makah.”

“O Tuan,” seru Abdul Jalil tercekat ketika melihat pemuda asing yang aneh itu berdiri, “Tidakkah Tuan berkenan menyebutkan nama Tuan?”

“Jika engkau menjalankan “jalan” dan “cara” yang telah kujelaskan tadi maka engkau telah mengenal sahabat terkasih Muhammad Saw. karena, apa yang telah kujelaskan dengan isyarat dan al-ima’ itu adalah apa yang telah diperoleh Abu Bakar ash-Shiddiq dari Rasulallah Saw.,” ujarnya sambil berlalu, menghilang di antara pusaran jama’ah tawaf.

Abdul Jalil termangu bingung dan takjub dengan pengalaman yang aneh yang baru pertama kali dialaminya itu. Sesaat kemudian, nur lawami’ dan pemahaman fawa’id-nya mengungkapkan bahwa pemuda asing yang menakjubkan itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, sahabat terkasih Rasulallah Saw.. Namun, lintasan nalarnya menolak kemungkinan yang tidak masuk akal itu. Bagaimana mungkin Abu Bakar ash-Shiddiq yang wafat delapan ratus tahun silam bisa muncul dalam wujud pemuda misterius? Mungkinkah pemuda itu pewaris ajaran Abu Bakar ash-Shiddiq yang disampaikan melalui al-ima’ dan al-isyarat dari waktu ke waktu? Dan apa makna ungkapan tentang gunung Thur di Makah itu memiliki kaitan makna dengan gunung Thur di Sinai, yakni tempat Musa a.s. menghadap ke hadirat Ilahi dalam wujud api yang tak terbakar?
 
~ Bag 12. Nafs al Haqq

Ketika malam menghiasi kubah langit dengan gemerlap bintang-gemintang, muncul sosok gemilang berpakaian serba putih di garis cakrawala dan melayang-layang di antara alam al-khalq (alam kasatmata) dengan alam alam al-khayal (alam imajinasi). Keagungan dan kemuliaan sosok itu bagai rembulan muncul di tengah kegelapan, menghisap semua perhatian dengan pesona keindahannya yang tak terlukiskan.

Abdul Jalil yang sedang tenggelam di dalam samudera tahlil setelah melintasi muara salawat dan mengikuti aliran sungai istighfar, tiba-tiba mendengar semacam suara dentang (salsalah al-jaras) memasuki pendengaran indriawi sekaligus pendengaran jiwanya (sam’). Sedetik sesudah itu, ia mendengar gema suara, “Engkau adalah hijab bagi dirimu sendiri, o Abdul Jalil, keluarlah engkau darinya!”

Ia tersentak heran dan bingung. Dalam keheranan dan kebingungan itu tiba-tiba cakrawala di hadapannya tersingkap bagaikan tirai disibakkan. Hatinya seolah dengan paksa digerakkan untuk melihat ke balik cakrawala yang terpampang di hadapannya. Tanpa daya, pandangannya terpaku pada sosok gemilang yang duduk dengan keagungan dan kemuliaannya. Sosok itu sangat nyata dalam pandangan mata batinnya (ain al-bashirah).

Sosok gemilang serba putih itu tak kalah menakjubkan dibanding penampakan pemuda asing yang dijumpainya di Baitullah. Sosok itu tidak hidup, tidak pula mati. Tidak berkata-kata, juga tidak diam. Sederhana, tetapi rumit. Diliputi, tetapi juga meliputi. Memancarkan, tetapi juga mengisap pesona. Dia ibarat setetes air yang di dalamnya memuat tujuh samudera. Sebutir debu yang di dalamnya memuat tujuh gurun. Selembar daun yang memuat tujuh rimba raya. Sebongkah batu yang memuat tujuh benua dengan gunung-gunungnya yang tinggi mencakar langit. Dia, sosok gemilang, keberadaannya begitu menakjubkan hingga tidak bisa diungkapkan secara utuh dengan bahasa manusia.

Seiring dengan pemandangan menakjubkan tergelar di hadapannya, tiba-tiba ia merasakan kesadaran baru dari dalam jiwanya tersingkap tidak sebagaomana mestinya. Dikatakan tidak semestinya karena sebelumnay ia merasa nur lawami’ dan pemahaman fawa’id selalu mengungkapkan pengetahuan gaib ke kedalaman hatinya. Namun, saat ini yang ia rasakan adalah baik lawami’ maupun fawa’id pun memiliki tirai-tirai yang bisa tersingkap. Di balik tirai demi tirai itu tergelar kesadaran demi kesadaran baru.

Kesadaran baru itu secara menakjubkan memaparkan pengetahuan gaib bahwa sosok gemilang di hadapannya adalah hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq, sahabat terkasih Muhammad Saw..

Namun, pikirannya sempat agak meragukan kebenaran itu. Ia menduga bahwa pengetahuan gaib itu adalah pangaruh setani. Anehnya, pengetahuan gaib itu bagai tidak peduli dengan keragu-raguannya. Pengetahuan gaib itu tanpa dikehendaki terus-menerus menyingkapkan tirai demi tirai nur lawami’ dan pemahaman fawa’id. Dan kesadaran demi kesadaran terus tergelar sehingga membuatnya bertambah takjub sekaligus kebingungan.

Kesadaran baru itu ternyata tidak hanya mengungkapkan sosok cemerlang itu sebagai hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq, tetapi juga menjelaskan bahwa keberadaan pemuda asing yang dijumpainya di Baitullah adalah salah seorang kekasih Allah yang mengalami buruj dari hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq.

Setelah beberapa saat berkutat dengan keraguan, akhirnya ia menanggalkan campur tangan pikirannya. Ia ikuti kilasan demi kilasan nur lawami’ dan pemahaman fawa’id. Dengan kesadaran baru itu, tanpa mengalami kesulitan berarti ia bisa menjalin hubungan bathiniyyah dengan hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq – sebagai guru dan murid – melalui al-ima’.

“O, engkau yang berpakaian kefakiran,” kata sosok gemilang dengan suara diliputi barokah. “Engkau telah menjadi bagian dari kaum fakir yang tetap berjuang di jalan Allah (QS al-Baqarah: 273), yakni kaum yang lambungnya jauh dari tempat tidur, sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap (QS as-Sajdah: 16). Apakah ketundukanmu kepada-Nya karena mengikuti (taqlid) seseorang atau mengikuti akalmu (dalil) sendiri?”

Abdul Jalil menjawab, “Saya tidak mengikuti seseorang dan tidak pula mengikuti akal karena tidak ada daya dan kekuatan pada diri saya untuk mengikuti sesuatu kecuali pasrah dan mengikuti daya serta kekuatan-Nya.”

“Engkau adalah fakir yang tidak memiliki apa-apa. Engkau telah membersihkan segala kepemilikan dari jiwamu. Namun, engkau masih terbelenggu oleh akalmu, yakni sisa terakhir milik kemanusiaanmu. Karena itu, o fakir, tanggalkanlah akalmu. Karena, dengan akal (‘aql) yang membelenggu (‘iqal) maka engkau tidak akan mengenal wajah-Nya.”

“Kenalilah Dia dengan bashirah (QS Yusuf: 108). Kenalilah tanda-tanda-Nya yang ada di luar dan di dalam dirimu (nafs) (QS adz-Dzariyat: 20-21). Kenalilah Dia Yang Wujud. Yang Riil. Kenalilah tanda-tanda-Nya di luar dirimu. Sesungguhnya, milik-Nya jua timur dan barat sehingga ke mana pun engkau palingkan pandanganmu maka di situlah wajah Allah (QS al-Baqarah: 115). Ketahuilah, bahwa wajah Allah itu kekal (QS ar-Rahman: 27). Karena itu, tiap-tiap sesuatu pasti hancur binasa kecuali wajah-Nya (QS al-Qashash: 88).”

“Pahamilah tanda-tanda-Nya di dalam dirimu. Sesungguhnya, Dia Maha Meliputi segala sesuatu (QS Fushshilat: 54). Dia bersamamu di mana pun engkau berada dan Dia Maha Melihat apa yang engkau kerjakan (QS al-Hadid: 4). Dia lebih dekat daripada urat lehermu (QS Qaf: 16). Sesungguhnya, Allah bersama kita (QS at-Taubah: 40).”

Kesadaran demi kesadaran baru tersingkap dari cakrawala jiwa Abdul Jalil seiring dengan terkuaknya ungkapan demi ungkapan rahasia yang disampaikan hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq melalui al-ima’. Abdul Jalil terkesima dalam pesona dan ketakjuban yang membingungkan. Pengalaman ini begitu menggetarkan: betapa pengetahuan yang disampaikan tanpa perantara akal dan indera-indera adalah seibarat percampuran anggur dengan air dalam wadah gelas. Tanpa diaduk keduanya melarut dengan cepat dan menyeluruh. Utuh.

Setelah mengungkapkan keberadaan Yang Ilahi, hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq mengungkapkan ada empat anak tangga rahasia untuk menuju hadirat-Nya. Keempat anak tangga rahasia inilah “jalan” (sabil) dan “cara” (thariq) rahasia yang diajarkan Muhammad Saw. kepada sahabat terkasihnya, Abu Bakar ash-Shiddiq, saat berada di dalam gua di gunung Thur.

Pertama, adalah anak tangga istighfar yang akan membawa salik ke penyingkapan hijab dirinya. Karena dari istighfar akan tercapai maghfirah yang memancar dari al-Ghaffar (Yang Maha Pengampun), di mana dengan maghfirah itu al-Ghaffar akan menyingkap selubung hijab ghafara.

Kedua, ketika hijab ghafara sudah tersingkap maka salik akan mendaki anak tangga salawat. Pada tahap itu salik menyadari bahwa keberadaan dirinya adalah bagian dari pancaran Nur Muhammad (Cahaya Yang Terpuji, Cahaya Muhammad) sebagaimana sabda Rasulallah Saw., “Anamin nur Allah wa khalq kulluhum min nuri’” (al-hadits) dan “Khalaqtuka min nuri wa khalaqtu khalqa min nurika”(hadits Qudsi). Hanya melalui Nur Muhammad inilah seorang salik dapat melanjutkan perjalanan menuju al-Haqiqah al-Muhammadiyyah (Hakikat Yang Terpuji, Hakikat Muhammad).

Ketiga, ketika salik sudah mencapai pengenalan al-Haqiqah al-Muhammadiyyah maka dia akan mendaki anak tangga tahlil, yakni anak tangga penauhidan. Pada tahap ini, salik akan memahami makna rahasia yang tersembunyi pada al-Haqiqah al-Muhammadiyyah sebagaimana sabda Rasulallah Saw, “Ana Ahmadun bila mim” dan “Ana ‘Arabun bila ‘ain.” Inilah tahap wahdah asy-Syuhud (kesatuan penyaksian).

Keempat, ketika salik sudah mencapai tahap syuhud maka dia akan mendaki anak tangga nafs al-haqq (Jiwa Yang Riil). Inilah tahap di mana salik memasuki tahap fana’ (peniadaan diri) karena jiwa kehidupannya telah terhubung dengan keberadaan al-Haqq, yang tersembunyi di dalam Ruh al-Haqq yang berada di takhta ‘arsy di Baitul Haram hatinya, dengan Huwa yang mutlak dan tak terbatas. Inilah Jiwa Ilahi. Allah meniupkan nafs al-haqq ke dalam ruh al-haqq yang disemayamkan di takhta ‘arsy di Baitul Haram hati manusia. Inilah Jiwa Yang Pengasih (nafs ar-Rahman) yang ditiupkan kepada shurah ar-Rahman. Dan melalui nafs ar-Rahman itulah Dia berbicara.

Pada tahap fana’ ini tidak ada lagi pihak yang menyaksikan dan Pihak Yang Disaksikan. Kemenduaan, kegandaan, dan kejamakan telah lebur. Pada tahap ini, al-Haqq yang tersembunyi secara rahasia di dalam Ruh al-Haqq telah manunggal dengan Huwa (Dia Yang Mahamutlak), sebagaimana kemanunggalan butiran garam dengan air laut. Inilah tahap wahdah al-wujud (kesatuan Wujud), yakni bersatunya al-Haqq dengan Huwa.

Keempat anak tangga rahasia menuju Dia pada dasarnya mengungkapkan penyaksian tentang keberadaan paling rahasia dari Allah sebagai Sebab Pertama, di mana pada Asma Allah tersembunyi hakikat dari hakikat Huwa (Dia Yang Mahamutlak). Asma Allah, terdiri atas empat huruf, yakni ALIF – LAM – LAM – HA. Jika huruf ALIF pada Asma Allah ditiadakan maka yang Ada adalah Lillah. Jika huruf LAM pertama ditiadakan maka yang Ada adalah Lahu. Dan jika huruf LAM kedua ditiadakan, maka yang Ada adalah Hu.

Keempat tahap itu adalah satu kesatuan dari Asma’, Af’al, Shifat, dan Dzat yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu dengan yang lain-Nya. Itu berarti, mengenal Dia harus melalui empat tahap pengenalan. Pertama, mengenal Asma’ (Nama). Kedua, mengenal Af’al. Ketiga, mengenal Shifat. Keempat, mengenal Dzat. Dan pengenalan ini tidak bisa dituturkan dengan bahasa manusia, tetapi harus dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman yang sangat pribadi. Bisakah seseorang merasakan manisnya buah anggur dengan hanya mendengarkan cerita dan gambaran tentangnya? Bisakah seekor anai-anai dikatakan telah mengenal nyala api jika tubuhnya belum terbakar?

Setelah mengungkapkan rahasia menuju Dia, hadhrat Abu Bakar ash Shiddiq kemudian mengungkapkan rahasia nur yang ditempatkan Allah di antara dua mata Adam (hadits Qudsi). Nur adalah piranti untuk menyaksikan dan mengenal Sang Cahaya langit dan bumi, Sang Cahaya di atas cahaya, yang dengan cahaya-Nya membimbing siapa yang dikehendaki-Nya kepada cahaya-Nya (QS an-Nur:35). Melalui nur itu pula akan dicapai Kehadiran Cahaya Murni (hadhrat an-Nur al-Mahdh), yang akan membawa kepada penyaksian Tuhan, dengan pandangan Tuhan, dari Tuhan, di dalam Tuhan, dan melalui mata Tuhan.

Sejak berjumpa dengan hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq di alam al-khayal serta mengamalkan “jalan” dan “cara”, kesadaran demi kesadaran baru pada diri Abdul Jalil bagai tak dapat dikendalikan. Tersingkapnya tirai-tirai nur lawami’ dan pemahaman fawa’id menyebabkan ia berada pada keadaan seperti wadah yang terus-menerus diisi. Pengalaman ruhaniah yang terkait dengan penyingkapan kesadaran baru ini sebenarnya sudah pernah dialaminya. Namun, kali ini perubahannya begitu cepat sehingga ia merasa bingung dan takjub.

Pengalaman menakjubkan yang sekaligus membingungkan ini, setidaknya dialaminya ketika melakukan tawaf. Seiring dengan langkah kakinya mengitari Ka’bah, tiba-tiba hatinya diliputi hiruk pikuk hakikat ruhani yang memuji keagungan Ilahi. Ia tercenung bingung. Tanpa dikehendakinya, kilasan demi kilasan kesadaran baru tercurah ke dalam mahligai jiwanya.

“Pengagungan atas-Nya yang dikumandangkan mereka yang mengitari Ka’bah adalah pengagungan al-abid kepada al-Ma’bud, pengagungan al-khalq kepada al-Khaliq, pangagungan yang beragam (farq) kepada Satu Kesatuan (Jam’). Sedangkan engkau, o fakir papa yang telah melampaui mereka dalam takwa, hendaknya mengagungkan-Nya dengan cara yang berbeda. Sebab engkau adalah al-khalil (sahabat), al-habib (kekasih), al-waly (yang dikuasai-Nya), dan al-mushthafa (yang dipilih-Nya). Agungkan Dia dengan segenap kedekatan (qurb), kecintaan (hubb), kerinduan (‘isyq), dan keterkaitan (ta’alluq) jiwa dan ragamu.”

Abdul Jalil tercekat bingung bercampur takjub dengan pengalamannya itu. Selintas, pikirannya mengatakan bahwa kesadaran barunya itu adalah bisikan Iblis yang akan memerangkapnya ke jurang pengakuan diri. Namun, kesadarannya mengatakan bahwa apa yang terungkap itu adalah manifestasi dari al-Haqq yang tidak seorang pun – termasuk malaikat – mengetahuinya sehingga tidak ada alasan untuk dipamer-pamerkan sebagaimana sifat Iblis.

Menyadari kebenaran dari ungkapan al-Haqq itu, ia segera menghadapkan hati dan pikiran hanya kepada-Nya melalui nur yang terletak di antara kedua matanya. Kemudian, dengan “jalan” dan “cara” yang diperoleh dari hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq, ia mendaki anak tangga keempat melalui nafs al-Haqq untuk menjalin hubungan dengan keberadaan al-Haqq yang tersembunyi di dalam Ruh al-Haqq, di dalam takhta arsy di Baitul Haram hatinya dengan Huwa (Dia, Yang Mutlak Tak Terbatas).

Setelah beberapa jenak bergulat mengarahkan hati dan pikiran, tiba-tiba qalbu-nya merasakan Muhammad Saw. hadir di hadapannya dan merampas semua perasaan kepada selain dia. Bersamaan dengan itu, ia mendapati nur di antara kedua matanya memancar sangat terang. Kemudian, bagai memiliki tirai, qalbu dan nur tersingkap dengan cara menakjubkan.

Abdul Jalil tertegun takjub. Berurutan dengan tersingkapnya qalbu, ia merasakan kehadiran Muhammad Saw. secara utuh di segenap cakrawala jiwanya. Sementara saat nur tersingkap secara berurutan, tiba-tiba ia menyaksikan cahaya yang bersinar sangat menyilaukan, jauh lebih terang daripada pancaran nur di antara kedua matanya, itukah Nur di atas nur?

Ia merasa qalbu-nya tiba-tiba menyatu dengan Nur yang menyilaukan itu. Ia merasa Nur itu adalah Nur Muhammad.

Beberapa detik kemudian kesadarannya tersingkap secara aneh. Nur itu tiba-tiba memenuhi segenap pandangannya. Ia merasa tak tahu arah. Tidak ada depan, samping, dan belakang. Ia bisa memandang ke segala arah. Dan pandangan mata batinnya kali ini jauh lebih nyata daripada pandangan indera penglihatannya.

Mendadak Ka’bah yang dikitarinya lenyap. Para jama’ah tawaf juga lenyap. Semua lenyap. Abdul Jalil termangu takjub diliputi kebingungan karena qalbu dan seluruh pandangannya menyaksikan Nur semata. Bahkan akhirnya, ia merasakan Nur itu melenyap dari pandangannya. Tubuhnya seperti memancarkan cahaya dari Nur itu. Ia merasakan dirinya menyatu dengan Nur. Dan lantaran pengalaman itu begitu membingungkan, ia tidak tahu lagi apakah ia berada di dalam atau di luar cahaya Nur yang memancar dengan sangat menyilaukan.

Masih dalam ketakjuban dan kebingungan, tiba-tiba ia merasakan di segenap penjuru pandangannya mewujud manifestasi Nur Muhammad yang mengisap kesadarannya. Antara sadar dan tidak, ia merasakan al-Haqq yang tersembunyi di dalam Ruh al-Haqq yang bersemayam di takhta arsy di Baitul Haram hatinya berkata-kata sendiri. “Anasirr al-haqqi wa ma al-haqq ana, wa ana al-haqq fa innanima ziltu aba wa bi al-haqqi haqqun.”

Ketika matahari memancarkan panas api ke permukaan bumi hingga hamparan pasir dan bebatuan memuai, di tengah hingar-bingar suara ribuan jama’ah melakukan wukuf, mengagungkan dan memuliakan Ilahi pada Yaum al-Arafah (Hari Arafah), Abdul Jalil duduk tegar di bawah bayangan tiang batu yang tegak menjulang di puncak Jabal Rahmah. Tanpa mempedulikan sengatan matahari, ia menghadapkan kiblat hati dan pikirannya hanya kepada Allah.

Seiring dengan melesatnya waktu, tanpa dikehendakinya, tiba-tiba ia membuka mata dan tanpa sengaja pandangannya menatap sesosok tubuh laki-laki tua dengan rambut gundul dengan pakaian ihram kumal yang dililitkan tidak semestinya sedang berjalan tertatih-tatih mengitari Jabal Rahmah. Abdul Jalil memejamkan mata dan membangun lagi kiblat hati dan pikirannya. Namun, entah kekuatan apa yang mengusik, tiba-tiba saja ia membuka mata dan melihat lagi laki-laki tua itu terhuyung-huyung di kaki Jabal Rahmah.

Sepintas, ia menganggap laki-laki tua itu tentu salah seorang jama’ah haji yang ingin melihat dari dekat bukit bersejarah itu. Namun, setelah beberapa jenak ia awasi betapa sosok laki-laki tua itu sudah mengitari Jabal Rahmah beberapa kali maka ia menduga sosok tua itu tentunya tidak mengetahui tata cara menjalankan ibadah haji.

Ia merasakan ada keanehan dengan keberadaan laki-laki tua yang terhuyung-huyung hampir tumbang itu. Sebab, sedikitpun ia tidak merasakan kilasan nur lawami’ dan pemahaman fawa’id muncul dari kedalaman jiwanya. Lantaran itu, ia hanya menduga-duga dan mengira bahwa laki-laki tua itu tentu memiliki anggapan bahwa tawaf selain dilakukan di Ka’bah juga dilakukan di Jabal Rahmah.

Ketika sedang merenungkan perilaku yang tidak lazim itu, tiba-tiba ia terkejut menyaksikan tubuh lelaki itu tumbang ke atas hamparan pasir panas berbatu. Tampaknya tidak ada satu pun di antara jama’ah yang sedang sibuk mengagungkan Allah di atas bukit maupun di dalam tenda mengetahui nasib malang yang menimpa laki-laki tua itu. Dan bagaikan digerakkan oleh kekuatan tak tampak, Abdul Jalil bangkit dan berlari menuruni Jabal Rahmah.

Dugaannya bahwa laki-laki tua itu tidak memahami tata cara menjalankan ibadah haji ternyata tidak salah. Namun, yang membuatnya terheran-heran adalah orang tua yang malang itu bukan Muslim. Dengan suara terputus-putus dengan pandang mata tak bersalah, dia mengaku sebagai pendeta Syiwa, asal Wahanten Girang (Banten), di tanah Pasundan. Dia mengaku bermaksud melakukan ziarah ke sthana Syiwa di gunung Kailasa.

Mendengar pengakuan laki-laki malang yang nyaris mati karena kelelahan dan kehausan itu, Abdul Jalil berulang-ulang mengucapkan tasbih memuji kebesaran Allah. Namun, ia pun buru-buru mengingatkan agar lelaki itu tidak menceritakan jati dirinya kepada jama’ah lain. Hal ini demi keselamatan jiwanya sendiri.

Setelah itu, Abdul Jalil menjelaskan kepada lelaki tua yang ternyata bernama Rsi Punarjanma bahwa bukit yang dikira gunung Kailasa itu adalah Jabal Rahmah, gunung kasih sayang, tempat leluhur pertama manusia, Nabi Adam dan Ibu Hawa dipertemukan oleh yang Mahatunggal. Sedang hamparan di sekitar Jabal Rahma itu disebut Arafah, tempat umat Islam menunaikan ibadah haji. Jadi, tiang batu di atas bukit itu bukan Syiwalingga.

Rsi Punarjanma tercekat sesaat setelah mendengar penjelasan Abdul Jalil perihal Jabal Rahmah dan tanah Arafah yang merupakan tempat peribadatan umat Islam. Dia sadar dirinya telah melakukan kekeliruan. Dia juga tampak heran ketika diberi tahu bahwa tugu batu di atas Jabal Rahmah itu bukanlah Syiwalingga.

Setelah beberapa jenak terdiam, dia tersenyum sambil menatap tajam ke arah tiang batu yang tegak di atas Jabal Rahmah. Kemudian dengan suara serak nyaris berbisik dia berkata, “Anakku, sekarang ini bagiku tidak penting apakah ini tempat suci orang Islam atau sthana Syiwa. Sebab, yang kusaksikan di dalam mimpiku adalah lingga batu di atas bukit itu. Telah jelas di dalam mimpiku bahwa di bawah lingga itulah kematian datang menjemputku.”

“Bapa Rsi kemari hanya karena mimpi?” seru Abdul Jalil heran.

Rsi Punarjanma mengangguk lemah. Kemudian dengan napas tersengal-sengal dan suara terpurus-putus dia menuturkan ihwal sampai terdampar di tanah asing tempat orang-orang Islam menjalankan ibadah haji.

Mula-mula, ungkap Rsi Punarjanma, dia mengalami mimpi sangat aneh yang berulang sampai tiga kali. Di dalam mimpi itu dia dipaksa mengenakan selembar kain putihdan melakukan pradaksina (mengelilingi) lingga raksasa yang tegak di atas sebuah bukit batu yang terletak di tengah padang pasir berbatu. Ketika sedang melakukan pradaksina, lanjutnya, tiba-tiba memancarlah berjuta-juta cahaya menyilaukan dari langit menyinari lingga itu. “Cahaya dari langit itu ternyata adalah dewa-dewa yang beterbangan dengan ribuan sayap indah dan mencurahkan kemuliaan di permukaan bumi di mana lingga itu tegak berdiri. Dan kusaksikan betapa saat para dewa itu kembali terbang ke langit maka diriku pun ikut terbang bersama mereka,” ujar Rsi Punarjanma dengan mata menerawang ke angkasa.

Berangkat dari mimpi sama yang berulang tiga kali itulah dia kemudian mencari tahu dimana lingga agung dan mulia itu berada. Meski dari kawan-kawannya tak diperoleh penjelasan tentang adanya sthana Syiwa seperti terlikis di dalam mimpinya, berkat kegigihannya akhirnya dia beroleh penjelasan dari seorang muni yang pernah berziarah ke Kailasa. Menurut muni itu, bukit tempat sthana Syiwa berada adalah di Kailasa. Beberapa orang kawannya malah memberi tahu bahwa beberapa Rsi dari Jawadwipa setiap tahun sekali berziarah ke sana untuk melakukan pradaksina, mengitari gunung yang garis kelilingnya empat puluh pal.

Berbekal tekad dan sedikit pengetahuan tentang gunung Kailasa yang konon diliputi salju, Rsi Punarjanma berangkat ke negeri Bharat (India). Namun, untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak, kapal yang ditumpanginya menghantam karang dan tenggelam. Berhari-hari dia terapung-apung hingga para pelaut dari sebuah kapal dagang milik orang-orang Arab datang memberikan pertolongan.

Ketika para pelaut Arab itu bertanya dengan bahasa Arab yang sama sekali tiak dipahaminya maka terpaksa Rsi Punarjanma menjelaskan dengan isyarat tangan bahwa dia bermaksud ke gunung Kailasa untuk melakukan pradaksina dalam rangka memuja lingga. Dia menjelaskan pula bahwa sesuai mimpinya dia hanya berbekal selembar kain putih untuk menjemput kematiannya.

Para pelaut Arab bagaikan mengerti apa yang dia kemukakan. Mereka mengangguk-angguk dan kemudian memberinya makan dan pakaian. Namun, sesuai mimpinya, Rsi Punarjanma menolak pakaian dan tetap mengenakan kain putih untuk menutupi tubuhnya. Setelah sampai di sebuah pelabuhan yang tak dia ketahui namanya, para pelaut Arab itu menurunkannya dan memberinya bekal perjalanan. Bahkan mereka memberinya petunjuk agar berjalan ke arah timur untuk mencapai tempat yang ditujunya itu. “Ternyata lingga suci yang kulihat dalam mimpiku tidak berada di tanah Bharat, tetapi di tanah orang-orang Arab,” kata Rsi Punarjanma dengan napas makin berat.

“Bapa Rsi,” gumam Abdul Jalil sambil memegangi tangan Rsi Punarjanma, “Apakah Bapa yakin bahwa Tuhan itu Tunggal?”

“Anakku,” kata Rsi Punarjanma dengan mata berkilat dan suara bersemangat, “Aku adalah seorang sannyasin yang sudah tyaga (orang yang sudah lepas dari ikatan duniawi). Karena itu, tidak ada sesuatu di dalam hati dan pikiranku kecuali Dia Yang Mahatunggal yang disebut dengan berbagai Nama.”

“Berarti Bapa Rsi tidak pernah melakukan bhakti lagi di hadapan arca dewa-dewa?” tanya Abdul Jalil minta penegasan. “Sebab, seorang tyaga sudah harus lepas dari sesuatu yang bersifat kebendaan.”

“Engkau benar, Anakku,” kata Rsi Punarjanma menguatkan diri. “Bagi seorang tyaga, Tuhan adalah Dia Yang Tunggal, Tak Terjangkau Akal dan Tak Tersentuh Indera, Dia yang memiliki sifat Bhawo (Wujud), Na Jayate (Tidak Dilahirkan), Nitya (Kekal), Saswato (Abadi), Purano (Yang Awal), Satah (Riil), Awinasi (Tak Termusnahkan), Widhi (Mahatahu), Aprameyasya (Tidak Terbatas), Sarwagatah (Mahaada), Sthanur (Tidak Berubah), Acintyo (Tak Terpikirkan), Awyakta (Tak Terbandingkan).”

“Saya percaya itu, Bapa,” kata Abdul Jalil dengan suara berbisik ketika melihat Rsi Punarjanma makin melemah. “Namun, sekarang Bapa Rsi harus menyatukan hati dan pikiran untuk menghadap Dia Yang Tunggal, Sang Sumber Sejati, tempat seluruh ciptaan-Nya kembali.”

Rsi Punarjanma tersenyum, meski napasnya sudah sangat berat. Sambil berbisik dia menggumam, “Anakku, maukah engkau memenuhi permintaanku yang terakhir jika kematian telah menjemputku?”

“Permintaan apakah itu, o Bapa Rsi?” bisik Abdul Jalil lirih.

“Jika engkau kembali ke Jawadwipa,” ujar Rsi Punarjanma lirih, “temuilah anak tunggalku yang tinggal di negeri Daha. Dia sejak kecil diasuh oleh adikku, Wiku Suta Lokeswara, seorang pendeta Bhirawa Syiwa-Budha. Sampaikan kepada puteraku itu bahwa ayahandanya telah kembali ke Syiwapada (Kediaman Syiwa) karena setia pada Siwamarga (Jalan Syiwa).”

“Siapakah nama putera Bapa Rsi?” tanya Abdul Jalil.

“Nirartha,” ujar Rsi Punarjanma dengan suara tercekat di tenggorokan.

“Saya akan menyampaikan pesan Bapa Rsi jika Hyang Tunggal berkenan,” bisik Abdul Jalil lirih di telinga Rsi Punarjanma. “Sekarang, Bapa Rsi hendaknya menyatukan hati dan pikiran untuk menuju Dia.”

Rsi Punarjanma tersenyum, meski terasa dipaksakan. Kemudian dia berjuang mengatur napasnya yang makin berat. Beberapa jenak setelah itu dia terlihat meregang seperti berusaha menyatukan segenap konsentrasinya agar seirama dengan alur pernapasannya. Abdul Jalil yang pernah belajar dari Rsi Samsitawratah tahu bahwa bagi seorang Rsi yang sudah mencapai tingkatan tyaga, tampaknya soal menuju kematian bukan hal yang sulit. Dan itu setidaknya terbukti betapa setelah beberapa jenak mengatur pernapasan dan konsentrasi, menghadapkan kiblat hati dan pikiran hanya kepada Yang Ilahi, ruh Rsi Punarjanma meninggalkan tubuh wadag-nya yang terkulai lemas di dekapan Abdul Jalil.

Abdul Jalil menarik napas berat sambil memangku kepala Rsi Punarjanma. Segala peristiwa menakjubkan dan pengalaman aneh yang terjadi padanya adalah kehendak-Nya semata. Perjalanan Rsi Punarjanma merupakan bukti tak terbantah bahwa kehendak-Nya adalah di atas segala-galanya. Manusia hanyalah obyek tanpa daya. Manusia pada hakikatnya tidak memiliki kehendak apa pun. Yang berkehendak adalah Allah semata. Dan sambil membopong tubuh Rsi Punarjanma ke arah perkemahan, ia mengumandangkan Firman Allah: “Wama tasya una illa an yasya’a Allahu rabbul alamin.”

Ketika malam membentangkan selimut hitam di atas tubuh bumi, Abdul Jalil duduk bersimpuh di hamparan padang Arafah, di dekat Jabal Rahmah, di lingkungan bebatuan dan pasir, di tengah desau angin yang dingin menggigit. Bintang-gemintang yang memancarkan cahaya di langit berkedip-kedip bagai hiasan permata. Keheningan dan kesunyian menerkam bagai gigi-geligi serigala gurun yang tajam dan menakutkan. Sementara tiang batu yang tegak di atas Jabal Rahmah termangu sendirian bagai menelan kesepian yang tak bertepi.

Di tengah keheningan dalam terkaman kesunyian itulah ia mendaki keempat anak tangga rahasia ruhaniah. Namun, saat berada pada anak tangga salawat tiba-tiba ia merasakan kesadarannya seperti memasuki ambang antara ‘alam al-khalq dan ‘alam al-khayal.

Saat melangkah di anak tangga salawat, melalui pandangan mubashirah, ia melihat bayangan manusia raksasa yang bercahaya terang berjalan di kejauhan. Di belakangnya diikuti barisan manusia yang lebih kecil. Di samping kanan dan kiri agak kebelakang dari manusia raksasa itu berbaris pula manusia-manusia lebih kecil yang lain.

Dengan rasa takjub dan heran ia menyaksikan betapa manusia raksasa bercahaya terang dengan tiga barisan manusia pengiring bergerak ke arahnya. Makin lama bayangan itu makin jelas; seorang manusia setinggi enam puluh hasta dengan tubuh dipenuhi bulu dan rambut terurai ke punggung. Wajahnya bercahaya kilau-kemilau.

Abdul Jalil bangkit menyongsong. Ketika jarak mereka semakin dekat, ia mendadak tahu bahwa sosok itu adalah Adam a.s.. Bahkan berikutnya ia pun mengetahui bahwa manusia raksasa itu adalah Adam yang pertama dicipta di antara sepuluh ribu Adam yang lahir dari generasi ke generasi berikutnya sehingga terlahir keturunannya yang disebut Anwas (manusia) atau Enos (manusia).

Adam dalam wujud manusia raksasa bercahaya terang dan berbulu lebat itu adalah citra Adam saat dicipta kali pertama di surga. Itulah citra Adam sebagai shurah ar-Rahman yang membangkitkan kecemburuan Iblis. Itulah Adam yang menjadi leluhur umat manusia. Adam yang telah “membelah” diri saat melahirkan Hawa.

Berbeda dengan penampilan Adam yang bercahaya terang kilau-kemilau, barisan manusia di belakangnya lebih redup kilau cahayanya. Sedang barisan manusia di sebelah kanan dan kirinya berwarna hitam. Meski kedua belah barisan manusia itu sama-sama berwarna hitam, keduanya berbeda secara esensial.

Barisan kanan adalah golongan aswidah al-qidam (orang-orang hitam dari zaman purba beserta keturunannya) yang bakal menjadi penghuni surga. Barisan kiri adalah golongan aswidah al-‘adam (orang-orang hitam citra bayangan maya) yang bakal menghuni neraka. Sedang Adam a.s. yang berada di depan beserta barisan di belakangnya adalah golongan muqarrabin (orang-orang yang didekatkan) dengan kenikmatan surgawi (QS al-Waqi’ah: 8-12).

Ketika jarak mereka tinggal tujuh langkah, Abdul Jalil menyampaikan salam. Adam membalas salamnya. Sesudah itu, dengan ucapan yang sangat jernih dia berkata-kata kepada barisan di belakang, kanan, dan kirinya sambil menunjuk ke arah Abdul Jalil. Inti kata-kata Adam adalah mengungkapkan bahwa Abdul Jalil merupakan salah satu di antara keturunannya yang bakal menjadi bagian dari barisan di belakangnya.

Kemudian dia memandang Abdul Jalil dengan penuh kasih. Senyum menghiasi wajahnya yang teduh dan diliputi keagungan. Sesaat sesudah itu dia berkata-kata seolah ditujukan kepada Abdul Jalil.

“Al-Hajj ‘Arafah (Haji adalah Arafah). Pada makan (tempat) ini engkau akan menjadi dekat (qurb) dan pada zaman (waktu) engkau akan ma’rifah kepada-Nya. Di Arafah ini, Dia telah menyempurnakan bagimu agamamu, telah Dia cukupkan nikmat-Nya bagimu, dan telah diridhoi-Nya Islam sebagai agamamu (QS al-Ma’idah: 4).”

Dengan penuh kekaguman dan ketakjuban, Abdul Jalil mendengarkan kata-kata Adam. Namun, ketika memandang lebih tegas pada wajah leluhurnya itu, betapa terkejutnya ia saat menyaksikan pemandangan yang tak pernah dibayangkan dan diimpikan sebelumnya; di dalam penglihatannya wajah Adam adalah wajahnya sendiri. Abdul Jalil tertegun diliputi ketakjuban dan ketidakmengertian. Seolah-olah ia sedang berdiri di muka cermin dan melihat pantulan wajahnya.

Setelah melakukan perjalanan yang sangat melelahkan, Abdul Jalil tiba di Mina. Saat itu rembang senja mulai menyelimuti bumi dengan permadani hitam bersulam hiasan merah cakrawala sutera. Tanpa mempedulikan keletihan yang meremukkan tulang-belulangnya, ia pergi ke jamarah, yakni tempat tiga tugu batu yang menjadi simbol setani.

Di depan tiang jumrah al-ula, di antara kerumunan jama’ah haji, ia termangu sambil menggenggam erat batu-batu yang dipungutnya di Muzdalifah. Ia menangkap makna sejati di balik simbol pelemparan yang dinisbatkan kepada kisah Ibrahim saat akan menyembelih Ismail. Jelas sekali bahwa makna pelemparan batu itu adalah simbol penegasan atas akal, aturan kebumian, pamrih duniawi, dan pelepasan atas materi yang seluruhnya adalah citra setani yang harus dilepaskan dari keberadaan manusia yang bertauhid.

Pergulatan Ibrahim dalam peristiwa itu adalah pergulatan ruhaniah manusia dalam mencapai hadirat-Nya sebagai manusia yang menauhidkan Satu Ilah. Abdul Jalil seolah-olah bisa merasakan bagaimana Ibrahim harus menolak konsep bapak-anak yang menjadi konsep dasar aturan kebumian. Ibrahim juga harus menolak konsep akal manusia di dalam melaksanakan keyakinan imannya. Ibrahim juga harus menolak pamrih duniawi karena harus kehilangan anak yang dijanjikan-Nya akan mengembangkan keturunannya beriap-riap di muka bumi. Ibrahim harus menolak segala sesuatu kecuali Dia. Ibrahim harus menegaskan yang selain Dia, termasuk keberadaan anak gantungan harapannya. Dan, akhirnya Ibrahim berhasil menegaskan segala sesuatu selain Dia dari hati dan pikirannya.

Menyadari makna rahasia di balik ketentuan syari’at melempar batu ke jumrah al-ula, wustha, dan aqabah itu, ia tidak melemparkan batu satu demi satu sebagaimana lazimnya jama’ah lain, melainkan ketujuhnya dilempar serentak ke masing-masing tiang batu sambil mengucapkan kata-kata, “Sesungguhnya telah Engkau halau setan kegelapan keakuan dengan Cahaya Kebenaran-Mu. Dengan menyebut nama-Mu, wahai Allah, kulempar nafsuku yang cenderung kepada selain Engkau, Allahu Akbar!”

Setelah melempar ketiga tiang batu, ia menjauh, dan mendaki empat anak tangga rahasia ruhaniah. Ketika menginjak anak tangga tahlil, tiba-tiba pandangan bashirah-nya melihat seorang tua bongkok berjalan tertath-tatih dengan tangan kanan memegang tongkat emas berhias permata. Orang tua itu kepalanya sangat besar. Kedua kelopak matanya tegak ke atas, yang satu bersinar aneka warna, yang satu hitam bagai lubang tak tembus cahaya hingga seperti buta. Kedua bibirnya yang tebal bagai bibir kerbau dihiasi dua gigi taring yang panjang, tajam, dan berkilat-kilat. Di dagunya menjuntai tujuh helai rambut yang panjangnya seperti surai kuda.

Saat menyaksikan orang tua bongkok yang mengerikan itu, Abdul Jalil mengetahui bahwa dia adalah perwujudan setan. Itu sebabnya, saat orang tua itu mendekat, ia meneguhkan kiblat hati dan pikirannya kepada-Nya belaka.

Ketika jarak di antara mereka sudah dekat, setan itu menyampaikan salam, “Assalamu ‘alaika ya Abdul Jalil.”

“Assalamulillah ya la’in,” sahut Abdul Jalil. “Kenapa engkau kemari, o makhluk yang dikutuk?”

“Aku mendatangimu karena aku melihat engkau sangat berbeda dibanding manusia lain.” Kata setan sambil mengangguk-angguk. “Aku telah melihat saat engkau melempar batu tidak menyebut aku, melainkan engkau sebut nafs-mu. Apa yang menjadi penyebab kelakuanmu itu?”

“Aku tahu, o yang dikutuk, bahwa engkau adalah bagian dari Iblis, sang bayangan maya, yang tidak wujud. Aku tahu, Iblis dan engkau beserta balamu adalah khayyal (ilusi) ciptaan-Nya yang memancar dari nama-Nya, al-Mudhill (Yang Maha Menyesatkan). Karena itu, o setan, akan sia-sia saja aku melempar keberadaanmu karena engkau bersembunyi di mahligai nafsuku,” kata Abdul Jalil tegas.

“Orang-orang yang bertindak keras terhadap nafsunya sendiri sepertimu, o Abdul Jalil, adalah orang-orang yang paling aku benci,” seru setan dengan suara bergetar.

“Sesungguhnya, al-Haqq telah memberi tahu bahwa engkau hanya mampu menjalankan tugasmu dengan baik kepada orang-orang yang memanjakan nafsunya dengan kelezatan dan kenikmatan duniawi serta pikiran-pikiran yang serba menguntungkan diri pribadi belaka. Sedang kepada mereka yang meninggalkan segala sesuatu selain-Nya maka engkau tak akan mampu mempengaruhinya,” kata Abdul Jalil.

“Ketahuilah, o Abdul Jalil,” seru setan dengan napas tersengal-sengal, “ketika engkau melempar ketiga jumrah dengan ikrar melempar nafsumu sendiri, sesungguhnya kudapati diriku bagai disambar halilintar. Tubuhku terasa terbakar. Sebab, di dalam relung nafsu manusialah aku bertakhta. Itu sebabnya, o Abdul Jalil, janganlah kiranya engkau memberitahukan rahasia ini kepada siapa pun agar tugasku memuliakan dan mengagungkan Allah dapat kupenuhi sebaik-baiknya.”

Abdul Jalil tertawa mendengar permohonan itu. Ia sadar bahwa setan sangat ulet dan licin dalam mempengaruhi orang. Setan tidak pernah menyerah dalam upaya menjerumuskan manusia ke jalan sesat yang menyimpang dari-Nya. Itu sebabnya, dengan tegas ia menolak. “Aku tak akan terpedaya oleh kelicikanmu, o Abu Murrah, karena tanpa engkau minta pun aku tidak akan memberitahukan kepada siapa pun tentang apa yang telah kulakukan. Sebab aku tahu, meski seseorang mengucapkan kata-kata seperti yang kuikrarkan, jika hati dan pikiran mereka masih terikat pada pamrih kehidupan duniawi maka tidak akan ada artinya sama sekali. Karena itu, o Abu Murrah, biarlah mereka yang melaksanakan ibadah haji tetap mengikuti ketentuan yang sudah diatur oleh hukum syari’at.”

Mendengar ucapan Abdul Jalil, orang tua bongkok jelmaan setan itu meraung sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke atas tanah. Dia tampak diliputi amarah.

Abdul Jalil yang menyaksikan kemarahan setan itu, bangkit dan berjalan mendekati tiang batu sambil berkata, “Akan kutunjukkan kepadamu, o makhluk terkutuk, di mana pun engkau bersembunyi maka engkau tetaplah bayangan maya yang tanpa wujud. Engkau hanya khayyal yang terkutuk.”

“Apa yang akan engkau lakukan?” seru setan dengan suara gemetar.

Abdul Jalil diam. Ia terus melangkah mendekati tiang batu. Tidak dihiraukannya seruan-seruan setan yang mengharu biru di belakangnya.

Abdul Jalil menunduk memungut sejumlah batu yang berserakan di sekitar tiang batu. Setelah terkumpul dua puluh butir, ia tegak berdiri di hadapan tiang jumrah al-aqabah. Kemudian dengan sekuat tenaga ia lemparkan batu-batu yang digenggamnya sambil berseru. “Rajman li asy-syaithan wa ridhaka robbi, Allahu Akbar!”

Bersamaan dengan terbenturnya batu ke jumrah al-aqabah, terdengar raungan panjang dari orang tua bongkok yang berdiri di belakang Abdul Jalil yang diikuti oleh lenyapnya tubuh tua jelmaan setan itu. Suasana mendadak hening. Sunyi. Senyap.

Di tengah hamparan kesunyian, di bawah selimut hitam malam, sambil bersila membelakangi ketiga tiang batu jamarah, Abdul Jalil meneguhkan lagi perjalanannya mendaki anak tangga tahlil hingga memasuki hamparan nafs al-haqq. Dan malam itu, bagaikan mengulang peristiwa penyembelihan Ismail oleh Ibrahim, ia mendapati dirinya tenggelam ke dalam samudera Tauhid setelah keakuan pribadinya terkapar pasrah di mizbah persembahan sebagai domba sembelihan.