SELAMAT DATANG Para Pencari Cinta Sejati,Tanpa Membenci,Tanpa Menyalahkan,Tanpa Kesombongan,Tanpa Membedakan,Semoga Engkau Mendapat Rahmat Alloh~Raden Bagus Langlang Jagat

road to sufi

road to sufi

Monday, November 11, 2019

Suluk Abdul Jalil ~ Syekh Siti Jenar
( Bag 7 sd 9 ) 
 




~ Bag 7. Hijab-Hijab
Perjuangan mencari Allah adalah perjuangan mahadahsyat yang hanya mungkin dilakukan oleh pejuang-pejuang tangguh yang tak kenal kata menyerah. Dikatakan perjuangan mahadahsyat karena Allah bukanlah Tuhan statis yang membiarkan diri-Nya gampang ditemukan. Allah senantiasa membentangkan hijab berlapis-lapis dan berbagai halang rintang untuk menyelubungi keberadaan diri-Nya. Sekalipun para pencari-Nya mengetahui bahwa Dia adalah Inti segala sesuatu dari ciptaan-Nya, baik yang bisa ditangkap pancaindera maupun yang gaib, untuk menemukannya bukanlah persoalan sederhana.

Abdul Jalil pun tetap menghadapi misteri tak terpecahkan tentang Dia. Walaupun telah mengalami pahit dan getir perjalanan hingga terdampar di Malaka, ia sejauh ini hanya mampu menangkap tengara keberadaan hijab-hijab yang tak diketahui batas akhirnya. Bahkan hijab-hijab itu pun baru disadarinya ada setelah ia melampaui berbagai pengalaman ruhani. Setiap kali hijab gaib itu tersingkap; ia merasa beroleh pencerahan baru. Bagai ular yang keluar dari kelongsongnya.

Seingatnya, kesadaran tentang misteri hijab-hijab itu terjadi setelah ia mengenal Ario Abdillah. Sekalipun tidak lebih dari tujuh bulan, Ario Abdillah telah mengenalkan ungkapan-ungkapan sekaligus bukti-bukti tentang hijab-hijab misterius yang menyelubungi rahasia Ilahi. Melalui perenungan mendalam ia akhirnya mampu menangkap keberadaan rahasia hijab ilahi itu dalam ungkapan metaforik, yakni dengan iktibar; tujuh samudera, tujuh gunung, tujuh lembah, tujuh jurang, tujuh gurun, tujuh rimba, dan tujuh benteng.

Sekalipun terdengar begitu dahsyat dan secara akal sulit dilampaui manusia, ungkapan itu lebih ditujukan pada gambaran suasana ruhaniah diri manusia; sehingga ungkapan itu tidak perlu direnung-renungkan, dipikir, serta dikaji dengan nalar. Maksudnya, ungkapan metaforik tentang tujuh samudera, tujuh gunung, tujuh lembah, tujuh jurang, tujuh gurun, tujuh rimba, dan tujuh benteng itu adalah gambaran dari citra diri yang bersifat ruhani. Dengan demikian, perjuangan menyingkap hijab-hijab itu bukanlah dalam makna harfiah. Ungkapan menyeberangi tujuh samudera, misalnya, bukanlah menyeberangi samudera dalam makna kongkret, melainkan melintasi tujuh samudera ruhani yang ada di dalam diri manusia.

Ia menyadari bahwa perjuangan terberat dalam upaya mencari-Nya adalah melintasi samudera, gunung, lembah, jurang, gurun, rimba, dan benteng yang ada di dalam diri sendiri. Karena, sesungguhnya itulah lapisan hijab-hijab yang menyelubungi Dia. Bertolak dari pengalaman ruhani dan perenungan yang telah dilakukannya, ia memahami benar sabda Nabi Muhammad Saw kepada para sahabat ketika kembali dari Perang Badar “Kita baru kembali dari perang kecil untuk menuju perang besar, yakni perang melawan nafsu.”

Berbagai pengalaman pahit dan getir yang ia lampaui telah mengajarkannya bahwa melawan kehendak nafsu adalah perjuangan paling dahsyat, baik yang ia lihat pada orang-orang yang pernah dikenalnya maupun pada dirinya sendiri. Orang-orang seperti Syaikh Abul Mahjuubin dan anak-anaknya, misalnya, adalah gambaran dari hidup terkucil di pulau keakuan yang gersang tanpa mata air dan pepohonan. Mereka adalah gambaran dari orang-orang yang bukan saja tidak mempunyai keinginan melintasi, melainkan juga sangat ketakutan ketika mendengar keberadaan tujuh samudera, tujuh gurun, tujuh gunung, tujuh lembah, tujuh jurang, tujuh rimba, dan tujuh benteng.

Ia sadar bahwa tidak semua orang berani menanggung akibat dari usaha melintasi tujuh hijab itu. Namun, sebagai orang yang sudah bertekad bulat mencari Dia maka tantangan dan rintangan seberat apa pun akan dilintasinya dengan berbagai resiko, termasuk kehilangan nyawa.

Menurut pengalamannya, tantangan awal yang paling berat dan susah adalah melintasi Tujuh Lembah Kasal yang berhawa sejuk, ditumbuhi rumput hijau, taman-taman bunga, pohon kemenyan dan gaharu yang menebar wangi, sungai, danau, dan burung aneka warna yang merdu bernyanyi. Di lembah itu para pencari lebih suka menenggelamkan diri dalam kemalasan naluri manusiawinya daripada bersusah-susah beribadah kepada-Nya.

Tantangan kedua yang tak kalah dahsyat adalah Tujuh Jurang Futur yang menganga siap menelan siapa saja yang jatuh ke dalamnya. Siapa pun yang melihat ke dasar jurang yang seperti tanpa dasar itu lazimnya akan menjadi lemah pendirian dan runtuh tekadnya untuk melanjutkan perjalanan. Bagi para pencari yang masih kuat terpengaruh kehidupan duniawi, Tujuh Jurang Futur itu sangatlah menakutkan sehingga mereka lebih suka tidak melanjutkan perjalanan daripada melintasinya dengan resiko tak pernah kembali. Kebimbangraguan selalu mencekam siapa saja yang mencari-Nya ketika harus melewati tujuh jurang ini.

Tantangan ketiga yang juga dahsyat dan butuh perjuangan khusus adalah Tujuh Gurun Malal, berupa hamparan pasir dan bebatuan yang membosankan. Di tengah perjalanan, para pencari sering dirayapi rasa bosan. Mereka enggan melanjutkan perjalanan, padahal tujuannya masih jauh. Tidak sedikit yang kemudian menggerutu, “Saya sudah berjalan sangat jauh dan mengulang-ulang ibadah yang itu-itu juga, namun tujuan saya belum tercapai.”

Tantangan keempat yang luar biasa sulit dilampaui adalah Tujuh Gunung Riya’ yang sering menggelincirkan para pencari yang berusaha mendakinya. Para pencari yang mendaki Tujuh Gunung Riya’ dengan puncaknya yang tinggi dan selalu diselimuti awan itu cenderung memamerkan kemampuan mereka. Di atas puncak Gunung Riya’, para pencari biasanya lupa pada apa yang mereka cari. Mereka terjebak pada kebanggaan dan memamerkan kemampuan, kehebatan, kegagahan, dan keberanian diri sendiri. Bahkan tak kurang banyak yang terperangkap pada pamrih sehingga tujuan mereka tidak lagi menuju Allah, tetapi ke surga “yang lain dari Allah”.

Tantangan kelima yang sulit ditembus adalah Tujuh Rimba Sum’ah yang berisi raungan serigala, auman harimau, kicau burung, lenguh banteng, dan bunyi batang bambu yang berderak ditiup angin. Di rimba ini, para pencari sering meniru perilaku hewan yang gemar memperdengarkan suaranya. Para pencari suka menceritakan berbagai amaliah ibadah yang mereka lakukan, dengan tujuan agar orang menyanjung dan memuji mereka. Bahkan sering terjadi, para pencari benar-benar terperangkap pada suasana rimba raya sehingga mereka menjelma menjadi hewan yang suka mengaum, melenguh, melolong, dan berkicau untuk memamerkan kehebatan dirinya.

Tantangan keenam yang sulit diseberangi adalah Tujuh Samudera ‘Ujub yang bergelombang dahsyat dengan ombak menggemuruh menerpa pantai dan batu karang. Di samudera ini, para pencari gampang terpengaruh oleh keberadaan samudera yang bangga dengan kedahsyatan ombaknya yang kuat dan tinggi mencakar langit. Di dalam hati mereka muncul kebanggaan dan puja-puji terhadap diri sendiri karena merasa amalnya telah banyak. Mereka tak pernah menduga bahwa saat rasa bangga diri bagai samudera itu mencuat maka yang terjadi adalah makna perjuangan ibadah mereka hilang, ibarat buih ombak di hamparan pasir pantai.

Tantangan ketujuh yang sulit ditaklukkan adalah Tujuh Benteng Hajbun yang berdinding tinggi dengan tembok kokoh dihiasi ukiran-ukiran dan hiasan indah. Benteng-benteng itu dihuni oleh warga yang hidup dalam kemakmuran dan kelimpahan rezeki. Para pencari yang melintasi tujuh benteng ini biasanya terpesona oleh keindahan arsitektur dan kemakmuran para penghuninya. Para pencari yang terpesona ini tak jarang terjebak mengaku bahwa benteng-benteng itu adalah miliknya dan merekalah yang membangunnya. Para pencari yang demikian tak menyadari bahwa saat mereka mengakui keindahan amaliah ibadahnya maka saat itu pula benteng-benteng itu menjadi pasir yang luruh tertiup angin.

Walaupun telah melalui berbagai pengalaman, Abdul Jalil belum berani memberikan penilaian terhadap perjuangannya selama ini dalam melintasi tujuh samudera, gunung, lembah, jurang, gurun, rimba, dan benteng yang terhampar di dalam dirinya. Ia merasa betapa hingga saat ini masih harus bergulat seru untuk menaklkkan keakuan yang terus membayangi semua gerak hidupnya, terutama saat bersinggungan dengan orang lain. Ia masih sering jengkel dan marah kepada diri sendiri karena tanpa sadar ia acap kali terperosok ke Rimba Sum’ah, yakni menceritakan segala amaliah ibadah yang telah dilakukannya dengan secuil maksud agar dirinya dipuji.

Dengan menumpang kapal dagang milik saudagar keturunan Arab-Melayu bernama Ahmad Mubasyarah at-Tawallud, Abdul Jalil pergi menuju kota pelabuhan Basrah untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Baghdad. Menurut pembicaraan sejumlah orang yang dikenalnya di Malaka, ia beroleh kabar bahwa di Basrah dan Baghdad terdapat banyak ulama masyhur yang memiliki kedalaman ilmu ruhani, bahkan di antaranya terdapat wali-wali keramat. Berangkat dari kehausannya akan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan “Jalan Mencari Tuhan” maka ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Malaka.

Ahmad Mubasyarah at-Tawallud adalah laki-laki gagah berusia empat puluh lima tahun. Kulitnya coklat kemerahan. Hidungnya mancung. Kumisnya lebat. Sekepal janggut dibiarkan menggantung didagunya. Matanya yang lebar dan bening mengesankan bahwa dia orang yang polos dan lugas. Keningnya yang lebar menunjukkan bahwa dia cerdas. Dia selalu tersenyum kepada siapa saja yang diajaknya berbicara.

Sejak pertama kali berkenalan dengan Abdul Jalil, Ahmad at-Tawallud sudah menaruh simpati. Dia yang sudah memiliki pengalaman puluhan tahun sebagai saudagar, menangkap semacam kepolosan dan kejujuran bahkan kenaifan Abdul Jalil dalam berniaga. Itu sebabnya, di sela-sela waktu senggangnya berniaga dia menyempatkan diri berbincang-bincang tentang berbagai hal dari yang sepele hingga tentang nama yang diberikan oleh kakeknya (Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady) dengan Abdul Jalil. Lantaran itu, mereka berdua menjadi akrab.

Dari berbagai perbincangan dan tukar pendapat terutama yang berkaitan dengan masalah agama, Ahmad at-Tawallud merasa tertarik dengan pandangan-pandangan Abdul Jalil yang sering dianggapnya aneh dan sulit dipahami oleh kalangan orang kebanyakan. Namun, dia yakin bahwa Abdul Jalil adalah orang yang tulus dan pantang menyerah. Itu sebabnya, dia berharap Abdul Jalil akan beroleh cakrawala baru setibanya di Basrah dan Baghdad.

Di sepanjang perjalanan, Abdul Jalil berbincang tentang perniagaan, saudagar-saudagar nakal, pelabuhan-pelabuhan besar, agama, ulama-ulama besar di Basrah dan Baghdad, bahkan tentang hal-hal yang bersifat pribadi seperti nama diri. Abdul Jalil mengaku sejak awal perkenalan ia sudah sangat tertarik dengan nama Ahmad Mubasyarah at-Tawallud. Nama itu menurutnya seperti tidak lazim digunakan orang. “Selama ini saya merasa tidak pantas menanyakan soal nama Tuan. Namun, sekarang saya beranikan diri karena tidak dapat lagi menahan rasa ingin tahu saya,” kata Abdul Jalil.

Ahmad at-Tawallud sambil tersenyum menjelaskan bahwa nama itu pemberian kakeknya, Syaikh Ahmad Tauhid al-Af’al bin Abdul Mubdi al-Baghdady, yang lazim disebut Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady. Kakeknya merupakan guru ruhani yang tinggal di pinggiran kota Baghdad. Sekalipun bukan ulama termasyhur, ia memiliki cukup banyak pengikut. “Sampai sekarang makam beliau masih banyak yang menziarahi.”

“Nama beliau Ahmad Tauhid al-Af’al bin Abdul Mubdi al-Baghdady?” kata Abdul Jalil penasaran. “Aneh juga kedengarannya. Tapi, rasanya nama kakek Tuan berkaitan dengan nama Tuan.”

“Benarlah apa yang Tuan katakan itu,” kata Ahmad at-Tawallud. “Nama saya memang berkaitan dengan nama kakek saya. Sepekan sebelum beliau wafat, saat usia saya empat puluh tahun, beliau menjelaskan arti nama saya sekaligus kaitannya dengan nama beliau.”

“Apakah nama Tuan dan nama kakek Tuan berkaitan dengan pengesaan Allah? Tauhid?”

“Tepat begitu, Tuan Abdul Jalil. Menurut kakek, nama beliau mengandung makna ‘Keesaan Af’al Allah’. Maksudnya, segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah Af’al (Perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah. Jadi, keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk dari selain Allah,” jelasnya.

“Makna ‘Keesaan Af’al Allah’ pada nama kakek dijabarkan di dalam namaku, yakni Mubasyarah (terpadu) dan at-Tawallud (terlahir),” lanjutnya. “Maknanya, Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena, misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak tangan dan kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil: Wa Allahu kholaqakum wa ma ta’malun, yang bermakna: Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat (QS ash-Shaffat: 96). Inilah makna Mubasyarah.”

“Sedangkan at-Tawallud adalah perbuatan yang terlahir, semisal saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil: Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama, yang bermakna: Bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar (QS al-Anfal: 17). Itulah yang dinamakan at-Tawallud, pada hakikatnya adalah satu, yakni Af’al Allah SWT,di mana berlaku dalil: La haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyyi al-‘azhimi. Maknanya, tiada daya dan kekuatan melainkan daya dan kekuatan Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung. Rasulallah Saw. dalam sebuah hadits diriwayatkan bersabda: La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang bermakna: Tidak bergerak satu zarah pun melainkan atas izin Allah.”

“Mendalam sekali nama Tuan dan Kakek Tuan,” kata Abdul Jalil menarik napas berat. “Kakek Tuan pastilah seorang sufi agung yang sudah mencapai maqam wahdat al-af’al.”

“Tuan Abdul Jalil, karena saya sudah terlanjur dididik menjadi saudagar oleh ayah saya maka saya tidak banyak mengetahui seluk-beluk keilmuan yang didalami kakek saya. Namun, satu hal dari fatwa beliau yang selalu saya jadikan pegangan hidup, yaitu dalam keadaan apa saja, baik suka maupun duka, saya harus senantiasa meneguhkan keyakinan bahwa semua itu adalah perbuatan yang dikehendaki-Nya. Karena itu, saya selalu disuruh menirukan dia Rasulallah Saw., yakni: Allahumma inni a’udzubika minka (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan yang datang dari-Mu). Allahumma inni a’udzubika min syarri ma kholaqta (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan yang Engkau ciptakan). Di sini berlaku dalil: Qul kullun min ‘indi Allahi. Artinya, katakan hai Muhammad segala-galanya adalah dari sisi Allah (QS an-Nisa’: 78).”

Perbincangan dengan Ahmad at-Tawallud telah menambah cakrawala baru bagi pemahaman Abdul Jalil terhadap ‘Keesaan Af’al Allah. Perasaan dan akal budinya menerima secara utuh kebenaran yang terungkap dari perbincangan itu, yakni setiap gerak dari segala peristiwa yang tergelar di alam semesta, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, pada hakikatnya adalah Af’al Allah. Namun, jauh di kedalaman jiwanya masih terlintas hasrat untuk mengetahui sekaligus merasakan secara nyata bagaimanakah Af’al Allah berlangsung.

Langit hitam dipenuhi sejuta bintang bertaburan laksana permata ketika ia duduk di anjungan mendengarkan debur ombak menghantam lambung kapal dan desau angin menerpa layar. Ia merenungkan berbagai hal sehubungan dengan perbincangannya bersama Ahmad at-Tawallud. Bagaikan ular keluar dari kelonsong kulitnya, demikianlah ia mengalami kesadaran baru: menguak hijab gaib Ilahi dalam kaitan dengan nama-nama.

Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja ia merasakan kesadaran baru menyingsing dari cakrawala jiwanya saat merenungkan keberadaan langit, bintang-gemintang, laut, kapal, layar, perbincangan dengan Ahmad at-Tawallud, bandar Malaka, Palembang, Caruban, Pakuan, orang-orang yang dikenalnya, dan dirinya sendiri. Ia menangkap makna bahwa segala apa yang telah dilihat dan dikenalnya selama ini pada hakikatnya adalah tidak ada. Semua yang maujud menjadi ada karena memiliki nama. Dan nama-nama itu sendiri jika dicari akarnya justru tidak ada. Nama-nama ada karena disepakati ada.

Tentang negeri Galuh, misalnya. Jika dicari benar di manakah tempat yang bernama Galuh, pastilah tidak ada. Yang ada hanyalah kumpulan desa dan kota seperti Caruban, Pasambangan, Babadan, Giri Amparan Jati, Kawali, Rajagaluh, Palimanan, Sindang Laut, Tegal Alang-Alang, Gegesik, dan Talaga. Desa-desa dan kota-kota itu pun jika dicari letak pastinya juga tidak akan ada. Yang ada hanyalah kumpulan rumah, bangunan, pasar, dan kedai perniagaan. Begitu juga dengan rumah, bangunan, pasar, dan kedai sesungguhnya hanya nama karena yang disebut rumah, bangunan, pasar, dan kedai adalah kumpulan dari bagian yang disebut pintu, jendela, kusen, atap, genteng, usuk, dan reng.

Ia merenungkan pula tentang keberadaan kapal yang ditumpanginya. Ternyata, ia tidak menemukan satu pun tempat di kapal yang bernama “kapal”. Kapal menjadi ada karena ia terdiri atas bagian-bagian, yakni lambung, geladak, tiang, layar, anjungan, kemudi, jangkar, dan tali. Layar pun jika direnungkan ternyata tidak ada. Layar ada karena sebutan. Sejatinya, layar ada karena terbentuk dari tiang, kain, dan tali-temali. Sedang kain layar pun hakikatnya tidak ada, yang ada adalah jalinan benang. Benang pun kalau diurai adalah kumpulan serat.

Ia kemudian merenungkan keberadaan dirinya: seorang manusia yang disebut dengan nama Abdul Jalil. Di manakah Abdul Jalil yang sejati bersemayam? Fakta menunjukkan bahwa yang ada pada tubuh fisiknya tidak ada yang bernama Abdul Jalil. Yang ada adalah kumpulan dari tangan, kaki, kepala, dada, perut, bahu, dan pinggang. Kepala pun pada hakikatnya tidak ada karena yang ada adalah bagian-bagian dari kepala yang disebut kening, telinga, mata, mulut, hidung, dagu, rahang, gigi, rambut, alis, kumis, janggut, dan sebagainya. Lalu di bagian tubuh manakah Abdul Jalil berada? Demikianlah, menurut perenungannya, bahwa segala sesuatu yang tergelar di alam semesta ini pada dasarnya hanya nama-nama yang disepakati keberadaannya, meski hakikat sejatinya nama-nama itu ada karena disepakati ada.

Tiba-tiba ia teringat ucapan Ario Abdillah yang selama ini masih sulit dipahaminya. “Jika engkau melihat dengan matamu dan kemudian engkau melihat dengan mata hatimu maka segala nama apa pun jua pada hakikatnya akan kembali kepada sumbernya yang satu, yakni Dia Yang Wujud dari segala yang maujud. Dia inti dari segala nama.”

Mengingat ucapan Ario Abdillah, ada kilatan di kalbunya yang langsung menyambar benaknya. Dan kilatan itu adalah kilasan gambaran dari munculnya nama azh-Zhahir dari Wujud. Ia tersentak kaget. Apakah segala sesuatu yang tergelar di alam semesta yang dapat dilihat dengan mata indriawi adalah pengejawantahan dari azh-Zhahir? Jika memang demikian adanya, berarti di balik segala yang maujud yang zhahir ini mesti ada yang bathin. Dan al-Bathin adalah nama Allah juga.

Saat ia tengah membolak-balik, mengaitkan, menghubungkan, dan menjalin makna azh-Zhahir dan al-Bathin untuk memahami keberadaan yang maujud dan yang Wujud, ia dikejutkan oleh kehadiran Ahmad at-Tawallud yang sudah berada di belakangnya sambil terbatuk-batuk. Tanpa hujan tanpa angin dia berkata, “Dulu sewaktu saya menikmati keheningan malam dengan taburan bintang laksana permata, kakek mengingatkan agar saya tidak terjebak ke dalam pesona yang maujud. Beliau saat itu meminta saya agar selalu mengingat-ingat dan memahami Firman-Nya: Fa ainama tuwallu fatsamma wajhu Allahi (QS al-Baqarah: 115). Namun, sampai sekarang saya tetap belum bisa memahami maknanya.”

Mendengar ucapan Ahmat at-Tawallud, Abdul Jalil merasakan hijab yang menyelubungi kesadarannya tersingkap lebar. Ia menangkap kebenaran di dalam azh-Zhahir dan al-Bathin dalam kaitan dengan keberadaan segala ciptaan: dia adalah kenyataan dari segala sesuatu yang tersembunyi. Dan bersama itu pula, rasa ingin tahunya tentang Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady semakin kuat.

“Tuan, apakah kakek Tuan mencatat pelajaran-pelajaran ruhani yang diberikannya? Ataukah beliau memiliki murid-murid pengganti?”

“Beliau ada mencatat beberapa pelajaran yang tidak saya mengerti,” kata Ahmat at-Tawallud. “Namun, sejumlah buku tulisan para sufi termasyhur yang dimiliki kakaek sampai sekarang masih saya simpan dengan baik. Soal murid-murid kakek, satu pun saya tidak ada yang simpati. Mereka saling berebut jabatan mursyid. Mereka saling mengaku bahwa merekalah pewaris ruhani kakek. Tapi saya tahu persis, hati mereka jahat dan pikiran mereka penuh pamrih duniawi.”

“Jika Tuan berkenan, saya ingin sekali mempelajari kitab-kitab peninggalan kakek Tuan. Saya yakin kitab-kitab itu adalah khazanah perbendaharaan yang tak ternilai,” Abdul Jalil memohon.

“Tapi Tuan Abdul Jalil, kitab-kitab itu adalah kitab-kitab besar yang tidak sembarang orang bisa mempelajarinya. Apakah Tuan bisa membaca dan memahami isinya? Saya sendiri setelah membuka beberapa bagian sudah merasa tidak sanggup melanjutkan.”

“Tuan,” kata Abdul Jalil tersenyum, “sekalipun Tuan mengenal saya sebagai saudagar, perlu Tuan ketahui bahwa sejak kecil saya dididik di Padepokan Giri Amparan Jati di bawah asuhan kakak sepupu saya, Syaikh Datuk Kahfi. Saya sudah menguasai Nahwu, Sharf, dan Balaghah. Saya juga sudah paham tentang ilmu tafsir, mustholah al-hadits, ushul al-fiqh, dan manthiq. Jadi, Insya Allah saya akan mampu mempelajari kitab-kitab peninggalan kakek Tuan.”

“Jika demikian, silakan Tuan mempelajarinya. Saya senang jika ada yang bisa memanfaatkan kitab-kitab warisan kakek saya, terutama orang-orang seperti Tuan yang pandai menyembunyikan keahlian agama.”

“Tuan terlalu memuji.”

“Tidak Tuan,” sahut Ahmad at-Tawallud. “Saya memang tidak menduga jika Tuan memiliki pengetahuan mendalam tentang agama. Selama ini saya menganggap Tuan sebagai orang yang tidak banyak paham tentang agama kita. Maafkan saya karena selama ini menilai Tuan sama seperti para saudagar dari negeri Tuan. Mereka masih mencampuradukkan kemuliaan Islam dengan pemujaan terhadap berhala.”

“Ah, Tuan belum mengenal orang-orang di negeri saya. Sekalipun banyak yang belum memeluk Islam, sebagian di antara ruhaniwan mereka memiliki pandangan ketauhidan yang sama dengan Islam,” jelas Abdul Jalil.

“Itu yang saya belum tahu,” kata Ahmad at-Tawallud heran.

“Karena itu, saya yakin dalam tempo tidak lama mereka akan beramai-ramai memeluk agama Islam,” kata Abdul Jalil.

Hasrat Abdul Jalil untuk menenggak ilmu pengetahuan ruhani di tengah gurun keterbatasan dirinya terlampiaskan saat ia tiba di Basrah. Berbagai kitab peninggalan Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady yang memuat ajaran para ulama sufi besar seperti Abu Mansyur al-Halaj, Abu Yazid Bustami, Abu Said al-Kharaz, Abu Bakar al-Kalabazi, Abul Qasim al-Qusyairy, Muhyiddin Ibnu Araby, al-Ghazali, dan Abdul Karim al-Jili dipelajarinya dengan penuh semangat. Dan bagaikan musafir terlunta-lunta di tengah padang kemudian menemukan mata air, begitulah ia dengan rakus menghirup kesegaran pengetahuan yang digali para ulama agung tersebut.

Di antara sejumlah kitab yang sudah dibaca dan dipahami, yang dianggapnya paling berkesan adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Ilahiyyah, dan al-Insan al-Kamil tulisan Syaikh Abdul Karim al-Jili, yakni ulama sufi yang wafat barang setengah abad silam. Menurut Ahmad at-Tawallud, Abdul Karim al-Jili adalah kawan akrab kakeknya. Mereka berdua sering terlibat perbincangan rahasia yang tak seorang pun boleh mendengarkan.

Abdul Jalil menilai ungkapan-ungkapan yang digunakan al-Jili sangat sederhana. Lugas. Gampang dipahami. Dan yang terpenting, memiliki banyak kemiripan dengan pengalaman ruhani yang telah dilewatinya. Lantaran itu, ia seperti tidak pernah bosan membaca ulang, mengkaji, merenungkan, dan menghayati ketiga kitab tersebut.

Ia semakin merasakan cakrawala pemikiran dan jiwanya terbentang luas dalam memahami hakikat segala sesuatu yang tergelar di alam semesta. Terutama yang berkaitan dengan perjalanan menuju Dia yang dihalangi berbagai rintangan dan tantangan luar biasa. Ia benar-benar sangat rindu mengenal sekaligus merasakan sentuhan kebenaran Ilahi, Af’al, Asma’, Shifat, dan Dzat.

Getaran kerinduan yang makin mencekam jiwa itu ternyata membawanya ke sebuah pengalaman baru. Hal itu dialaminya setelah ia tinggal lebih dari sebulan di rumah Ahmad at-Tawallud.

Ketika pertama kali datang ke Basrah, ia diperkenalkan dengan ibunda Ahmad at-Tawallud yang bernama Siti Fa’ilatun, seorang perempuan Melayu berusia sekitar enam puluh lima tahun. Perempuan setengah baya yang ramah itu menyambut kehadiran Abdul Jalil dengan penuh sukacita. Dia senang bertemu dengan orang sebangsanya yang bisa diajak berbicara tentang berbagai hal, terutama tentang negeri Malaka dan Jawa. Meski sudah bertahun-tahun menjadi warga kota Basrah, dia belum paham benar dengan bahasa Arab yang digunakan di sana. Itu sebabnya, dalam pergaulan sehari-hari dia hanya berkomunikasi dengan suami, anak-anak, dan cucu-cucunya yang mengerti bahasa Melayu.

Ayahanda Ahmad at-Tawallud bernama Abu Amar al-Hissy, yang berusia sekitar tujuh puluh tahun, menyambut pula kehadiran Abdul Jalil di rumahnya dengan penuh keramahan. Ia merasa senang jika Abdul Jalil bersedia mendengarkan cerita-cerita masa mudanya. Semangat hidupnya seakan muncul kembali ketika menuturkan kisah kegagahannya mengarungi samudera dan singgah di berbagai negeri di masa silam.

Sebagai pemuda yang sejak kecil terpisah dari orang tua dan hidup di padepokan dengan penuh keprihatinan, Abdul Jalil merasakan keramahan yang diberikan ayahanda dan ibunda Ahmad at-Tawallud sebagai kehangatan ayah dan ibu yang didambanya dalam mimpi-mimpinya. Itu sebabnya, untuk mengisi waktu senggang saat beristirahat setelah penat mempelajari kitab-kitab, ia gunakan untuk berbincang-bincang dengan mereka.

Bermula dari keakraban dengan ayahanda dan ibunda Ahmad at-Tawallud, Abdul Jalil akhirnya mengenal anak-anaknya juga. Anak pertamanya bernama Fa’ilatun Nafsiyyah, akrab dipanggil Nafsa. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Belum menikah. Anak kedua juga perempuan bernama Salmah Izzaturrahman. Usianya sekitar dua puluh satu. Anak ketiga, laki-laki bernama Ibnu Afkar al-Afrad. Berusia sekitar sembilan belas tahun. Sudah menikah dan memiliki seorang anak. Anak yang keempat juga laki-laki bernama Ahmad Kasyf al-Bashary. Berusia sekitar tujuh belas tahun. Belum menikah. Belajar di Universitas Nizhamiyyah, Baghdad.

Suatu saat Siti Fa’ilatun menceritakan tentang Nafsa, cucu kesayangannya yang dianggapnya bernasib malang karena sampai memasuki usia dua puluh tiga belum juga menikah. Abdul Jalil menduga anak sulung sahabatnya itu tentulah berwajah jelek dan berperangai buruk. Namun, saat kali pertama ia melihat mata Nafsa yang bulat dan lebar serta ditumbuhi bulu-bulu panjang yang lebat, ia langsung membayangkan bahwa wajah di balik cadar itu pastilah memancarkan kecantikan bidadari.

Ia tidak pernah menduga apalagi membayangkan dirinya bakal terperangkap ke dalam pesona keindahan sesuatu selain Dia. Ia sepanjang perjalanan ruhaninya selalu berusaha menghindari hal-hal duniawi, kini menghadapi persoalan besar yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan dan impikan. Sebelumnya ia selalu berhasil mengusir berbagai bayangan bendawi yang memasuki alam pikiran dan mahligai jiwanya. Kini, setelah melihat mata Nafsa yang indah dan bercahaya seperti kilauan bintang, ia rasakan perubahan besar terjadi pada dirinya. Citra keindahan mata Nafsa tiba-tiba saja sering memasuki ingatannya saat ia shalat, dzikir, tafakur, membaca buku, makan, minum, bahkan saat mengambil wudhu, dan terutama menjelang tidur.

Abdul Jalil heran dengan perubahan dirinya. Bagaimana mungkin ia yang selama ini selalu tenang menghadapi berbagai halangan dan rintangan kehidupan, tiba-tiba saja sering dicekam resah dan gelisah. Rasa itu baru mereda ketika ia melihat atau sekadar membicarakan ini dan itu tentang Nafsa. Ia merasakan betapa jiwanya mendadak terbang ke angkasa laksana elang yang kesunyian, menjerit dalam kepahitan jiwa yang mendamba kehadiran sang betina.

Nafsa adalah perempuan pertama yang keindahan matanya telah membawa kesadaran Abdul Jalil ke taman asmara yang penuh bunga mewangi dan rerumputan harum. Keindahannya telah membius kesadaran Abdul Jalil ke dunia asing yang sebelumnya tak pernah dirasakan dan dikenalnya. Ia melihat pelangi membentang di dalam pancaran mata Nafsa. Cahayanya yang berwarna-warni memasuki relung-relung jiwanya.

Sadar bahwa dirinya sedang terperangkap dalam pesona yang selain Dia, Abdul Jalil berusaha untuk menghapus citra Nafsa dari pikiran dan perasaannya dengan berbagai cara. Pesona itu telah mengganggu perjalanan ruhaninya. Namun, laksana matahari terbit di ufuk timur setiap pagi, begitulah citra keindahan Nafsa terbit di fajar kehidupannya. Menyinari kegelapan jiwa dan mengusir embun dingin dengan kehangatan cinta. Jiwanya tiba-tiba menjelma taman indah dengan kicau burung, dengung lebah, gemericik air sungai, desau angin, goyang bunga-bunga, dan harum rerumputan.

Makin kuat ia berjuang menghalau keindahan Nafsa dari relung-relung ingatan dan mahligai jiwanya, makin hanyut ia ke pusaran sungai kerinduan yang bermuara ke samudera cinta. Pikirannya terbang ke angkasa melintasi awan khayalan, menggapai rembulan dan bintang-gemintang. Dan bagaikan burung patah sayap, begitulah ia merasakan dirinya terkapar tanpa daya melihat khayalnya terbang ke angkasa bermadu kasih dengan bayangan Nafsa, bidadari jiwanya.

~ Bag 8. Kasyf al-Mahjub

Musim gugur tiba dan daun-daun berluluhan, namun taman cinta yang terhampar di jiwa Abdul Jalil justru dipenuhi bunga aneka warna yang menebarkan wangi dan membius penciuman mereka yang dimabuk asmara. Ia merasa ada tangan gaib yang menuntun khayalnya memasuki taman cinta. Ia menyaksikan keindahan demi keindahan yang menyelubungi citra Nafsa disingkapkan sehingga mabuk dan tersungkurlah jiwanya di atas hamparan rumput keindahan.

Jika malam datang, kesunyian dan kesenyapan melingkupi segenap penjuru cakrawala jiwanya. Keindahan taman cinta yang terhampar di jiwanya sering berubah menjadi gurun gersang yang dipenuhi pasir dan bebatuan. Di dalam gelap gulita, ia merasa kebebasan jiwanya terbelenggu di balik terali penjara kepedihan. Lingkaran derita yang dialaminya sejak kanak-kanak hingga sekarang tiba-tiba terpampang memasuki sungai kenangan jiwa yang airnya terasa sangat pahit.

Pancaran citra keindahan Nafsa yang memesona Abdul Jalil ternyata tidak memberikan makna apa-apa bagi harapan-harapan yang melintas di jiwanya, kecuali kepedihan yang getir dari hati yang merana. Belum pernah ia merasakan kepedihan seperti yang sekarang ini. Dan pangkal kepedihan itu terjadi ketika suatu sore, entah disengaja atau tidak, Ahmad at-Tawallud mengatakan pekan depan akan ada pesta sederhana mengundang para fakir, janda tua, dan anak yatim untuk merayakan perkawinan puteri sulungnya, Nafsa, dengan seorang saudagar bernama Hajibur Rahman at-Takalluf.

Untuk kali pertama dalam hidupnya, ia merasa kepalanya disambar petir yang ledakannya meluluhlantakkan ketegaran bukit karang hatinya. Ia merasa samudera darah yang menggelora di tubuhnya panas bagai dikobari api. Sesaat sesudahnya, samudera kesadarannya terisap dalam kegelapan alam. Tubuhnya lemas bagai tanpa tulang. Lidahnya kelu. Matanya memandang hampa matahari angan-angan yang meledak di benaknya. Dan keringat dingin pun mendadak mengucur deras menyimbah tubuhnya.

Ahmad at-Tawallud yang melihat perubahan pada diri Abdul Jalil menangkap sasmita bahwa sahabatnya sedang mengalami fatrah, yakni padamnya api semangat yang menyertai pencarian ruhani. Dia tahu jika hal itu dibiarkan maka sahabatnya itu akan hancur binasa di tengah perjalanan ruhaninya. Itu sebabnya, dengan penuh kearifan dia mengungkapkan alasannya menikahkan puteri sulungnya itu.

“Hajibur Rahman at-Takalluf, bakal menantuku, adalah kawanku yang usianya hanya selisih tujuh tahun denganku. Ia sangat tua disandingkan dengan Nafsa. Wajahnya tidak tampan. Saat kuberi tahu, Nafsa langsung menangis sedih. Namun, kukatakan kepadanya lebih baik mereguk kepedihan di dunia jika itu berakibat lahirnya keselamatan dan kebahagiaan kita di hadirat-Nya. Aku sadarkan Nafsa bahwa selama kita hidup di dunia ini hendaknya jangan mencintai sesuatu selain Dia. Itu sebabnya, sejak awal kita harus mengambil jarak secara kejiwaan dengan segala sesuatu di sekitar kita entah itu istri, suami, anak-anak, saudara, orang tua, rumah, benda-benda, kekayaan, bahkan kebanggaan diri,” jelasnya.

“Tapi Tuan,” desah Abdul Jalil dengan bibir bergetar, “bukankah dengan keputusan itu berarti Tuan telah menyiksa hati puteri Tuan sepanjang masa? Bukankah Tuan telah menjerumuskan puteri Tuan ke lembah derita yang tanpa akhir?”

“Terserah penilaian orang atas apa yang telah kulakukan,” kata Ahmad at-Tawallud. “Aku memiliki alasan tersendiri.”

Abdul Jalil diam. Ia menelan air ludah, namun tenggorokannya terasa kering.

“Tahukah Tuan kenapa aku menikahkan Nafsa dengan orang yang lebih tua?” tanya Ahmad at-Tawallud memancing.

Abdul Jalil menggeleng lemah.

“Keputusan itu kutetapkan setelah aku yakin bahwa puteriku diam-diam mencintai Tuan, begitu pula sebaliknya,” kata Ahmad at-Tawallud tegar.

“Nafsa mencintai saya?” Abdul Jalil tersentak kaget. Ia rasakan kobaran api menggelora di dalam dadanya.

“Ya.”

“Jikalau demikian, kenapa Tuan justru menikahkan puteri Tuan dengan orang lain yang tidak dia cintai?” sergah Abdul Jalil bertubi-tubi. “Apakah Tuan merasa hina memiliki menantu saya? Apakah karena saya orang Melayu yang sebatangkara? Apakah karena Tuan tahu bahwa saya orang miskin yang tidak memiliki apa-apa di dunia?”

“Aku tidak peduli apa pun kata Tuan,” tukas Ahmad at-Tawallud menarik napas panjang. “Maksud utamaku adalah demi keselamatan puteriku sekaligus keberhasilan Tuan dalam meniti jembatan menuju Dia.”

“Keselamatan? Keberhasilan?” tanya Abdul Jalil penasaran. “Keselamatan apa yang Tuan ungkapkan jika kenyataannya Tuan justru menyiksa kehidupan puteri Tuan lahir dan batin? Keberhasilan apa pula yang Tuan maksudkan jika kenyataannya Tuan justru menorehkan luka tak tersembuhkan di hati saya?”

“Aku tak peduli apa pun penilaian Tuan,” kata Ahmad at-Tawallud datar, “yang jelas, aku tidak akan mengorbankan puteriku menjadi sekutu-Nya bagi Tuan. Aku tidak akan menikahkan puteriku dengan siapa pun yang telah dipilih-Nya menjadi kekasih, tetapi belum mampu menjaga kesetiaan kepada-Nya.”

“Maksud Tuan?” Abdul Jalil terkejut.

“Tahukah Tuan bahwa Dia Maha Pencemburu? Tahukah Tuan bahwa Dia tidak mau diduakan? Dan sadarkah Tuan bahwa hati Tuan sendiri sebenarnya belum utuh mencintai-Nya? Bukankah belakang ini Tuan sudah tidak setia kepada-Nya? Bukankah hati dan pikiran Tuan belakangan ini selalu terarah kepada “yang selain Dia,” yakni puteriku Nafsa?” tanya Ahmad at-Tawallud bertubi-tubi.

Abdul Jalil terperangah dicecar pertanyaan demi pertanyaan. Secercah kesadaran memancar dari kedalaman hati dan pikirannya. Namun, bagai burung patah sayap, tanpa daya sedikitpun ia menyaksikan kesadarannya terbang ke langit luas, meninggalkan dirinya terkapar kesakitan.

Melihat sahabatnya tak berdaya, Ahmad at-Tawallud berusaha membangkitkan semangat dengan wejangan dan petunjuk. “Tahukah Tuan kisah Ibrahim al-Khalil, sahabat Allah yang sampai usia tua tidak dikaruniai putera? Tahukah Tuan bahwa saat Tuhan memberikannya penyambung keturunan, kecintaan Ibrahim al-Khalil menjadi berlimpah dan meluap-luap kepada sang putera, yakni Ismail? Tahukah Tuan apa yang diperbuat-Nya setelah menyaksikan keakraban dan kecintaan Ibrahim al-Khalil terhadap putera tunggalnya tersebut?”

“Saya paham itu, Tuan,” sahut Abdul Jalil lemah.

“Ya, Allah menguji kadar cinta dan kesetiaan sahabat-Nya. Dan Ibrahim maupun Ismail mampu membuktikan bahwa di atas segalanya yang utama hanya Allah. Hubungan bapak dan anak pada hakikatnya tidak ada. Itulah puncak dari Tauhid yang dikenal Ibrahim al-Khalil dan puteranya yang termaktub di dalam intisari: La ilaha illa Allahu! Tidak ada sesuatu, bahkan ilah-ilah yang lain, selain Allah!”

“Sekarang, apakah Tuan mampu menahan kepedihan dan derita jika setelah Tuan menikahi Nafsa, karena dialah perempuan pertama yang Tuan cintai dengan sepenuh jiwa, Tuan mendapatinya sakit dan mati? Sanggupkah Tuan dipisahkan dari Nafsa setelah Tuan mereguk kenikmatan darinya? Sanggupkah Tuan menerima kenyataan bahwa sewaktu-waktu dia direnggut dari sisi Tuan?” tantang Ahmad at-Tawallud. “Bukankah sekarang ini saja, sebelum Tuan kenal benar akan Nafsa, Tuan sudah tidak mampu menahan kepedihan akibat terpisah darinya?”

“O Tuan,” seru Abdul Jalil sambil berlutut memegangi kedua kaki Ahmad at-Tawallud, “saya sadar bahwa apa yang sedang saya alami ini adalah kesalahan besar. Saya sadar bahwa kehadiran Nafsa bisa menggagalkan perjalanan saya menuju Dia. Saya sadar bahwa Nafsa adalah bagian dari hijab-Nya. Tapi Tuan, saya sungguh-sungguh tidak mampu berbuat apa-apa untuk menghapus citra Nafsa dari hati dan pikiran saya. Saya benar-benar tak berdaya Tuan. Tolonglah saya, o Tuan.”

“Tuan Abdul Jalil,” kata Ahmad at-Tawallud lirih, “bukankah selama ini Tuan ingin merasakan dan menghayati Af’al Allah secara nyata? Nah, dalam kasus yang Tuan alami sekarang ini, apakah Tuan beranggapan bahwa Tuan memiliki niat dan kemampuan pribadi untuk berkehendak dan berbuat, terutama mencintai Nafsa?”

“Tidak, o Tuan,” kata Abdul Jalil pedih, “saya sadar bahwa saya tak memiliki kemampuan apa pun. Sekarang ini saya benar-benar tak berdaya. Bahkan meminta tolong kepada-Nya pun saya seperti tidak mampu. Saya seperti sebutir debu diempas angin.”

“Jika Tuan sudah sadar akan apa yang sebenarnya sedang terjadi pada diri Tuan,” kata Ahmad at-Tawallud tenang, “maka Tuan sebaiknya pergi ke Baghdad. Di sana Tuan dapat tinggal di rumah saya. Saya tahu Tuan tidak akan kuat menahan perasaan ketika harus menyaksikan Nafsa bersanding di pelaminan dengan suaminya. Pemandangan itu akan meremukkan hati Tuan.”

“Saya akan mengikuti apa pun perintah Tuan.”

“Itu sangat baik Tuan. Untuk menuju ke muara-Nya, Tuan harus menjadi butiran air yang baik dan setia mengikuti arus.”

“Bolehkah saya bertanya satu hal?”

“Soal apa?”

“Dari manakah Tuan tahu jika Nafsa, puteri Tuan, diam-diam mencintai saya?”

“Ibunda saya yang memberi tahu. Sebagai orang tua yang sudah berpengalaman, beliau menangkap isyarat yang terpancar dari kedalaman jiwa Tuan saat bertatap mata dengan Nafsa, yang diikuti oleh perubahan sikap Tuan. Beliau tahu Tuan diam-diam memendam rasa cinta kepada Nafsa. Dan satu malam, lewat kata-kata yang halus penuh kebijakan, ibunda saya berhasil menggali perasaan Nafsa. Apakah penjelasan ini penting bagi Tuan? Apakah Tuan masih berkukuh untuk menyimpan harapan dari selain Dia? Bukankah Tuan harus bertobat?”

“Saya paham, Tuan,” Abdul Jalil menunduk dengan wajah memerah. “Saya akan patuh kepada Tuan sebagai pembimbing ruhani saya, dengan kepatuhan seperti mayat yang tak memiliki kehendak dan gerak sendiri.”

“Saya pun pada hakikatnya tidak memiliki kehendak dan gerak sendiri. Semua adalah dari-Nya semata. La haula wa la quwwata illa bi Allahi. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari-Nya!” timpal Ahmad at-Tawallud.

Bagaikan prajurit kalah perang, demikianlah Abdul Jalil dengan langkah tertatih-tatih, tubuh lunglai, wajah kusut masai, dan pakaian lusuh melintasi jalanan berdebu menuju ke arah Baghdad. Perjalanan ke Baghdad dengan melintasi jalur gurun itu memang ia sengaja, meski ia tahu menggunakan jalur pelayaran lewat sungai Dajlah akan lebih mudah. Ia sengaja melakukan perjalanan yang berat itu dengan tujuan utama melebur keakuan dirinya di atas tungku berupa pasir, batu, debu, angin, dan sengatan matahari membara. Hanya dengan cara inilah ia bisa melepas bayangan Nafsa yang begitu kuat melekat di relung-relung terdalamnya. Dan ia berharap perjuangannya itu sekaligus akan memusnahkan segala ikatan kepada selain Dia.

Panas gurun yang memuai dari atas dan bawah dengan hembusan angin kering membara telah menguapkan kekuatannya. Bagaikan belukar di gugusan gurun, begitulah ia melangkah gontai di tengah deru angin yang bersiut-siut. Dan di antara bibirnya yang kering dan gemetar, ia dengan teguh menyebut-nyebut Asma Allah.

Perjuangan melupakan Nafsa dari hati dan pikirannya adalah perjuangan terdahsyat dan terberat yang pernah dilakukannya selama ini. Belum pernah ia merasakan kesulitan melepas sesuatu “selain Dia”, selain citra Nafsa. Bahkan saat keakuan dirinya luluh lantak dipanggang bara kesengsaraan gurun, bayangan Nafsa masih juga memasuki hati dan pikirannya, meski mulutnya tak henti-henti melafalkan Asma Allah.

Ketika matahari berada di puncak langit dan sinarnya membakar gurun, tubuhnya sudah tidak memiliki kekuatan sedikit pun. Fatamorgana berupa air berkilau-kilau begitu menarik pandangannya yang mulai kabur dan berkunang-kunang. Ketika ia goyah dan ambruk ke atas pasir, sekilas ia melihat bayang-bayang mendekatinya.

Bayang-bayang itu ternyata pengembara bernama Abdus Sukr ar-Rajul. Tanpa berkata, dia langsung mengeluarkan kantung air dan meminumkannya ke mulut Abdul Jalil. Keanehan terjadi, Abdul Jalil merasakan kesegaran luar biasa, tubuhnya bugar seolah-olah tidak sedang melakukan perjalanan berat.

Ia masih tercengang dalam ketakjuban ketika Abdus Sukr ar-Rajul, tanpa diminta, menuturkan kisah tentang Syaikh San’an yang mengalami nasib lebih pedih dibanding dirinya.

Syaikh San’an adalah guru tarekat yang memiliki cukup banyak pengikut. Ia dikenal sebagai orang yang saleh, zuhud, wara’, tawadlu’, dan tak pernah memikirkan sesuatu selain Allah. Semua pengikut dan kawan-kawannya sangat segan dan hormat kepadanya. Lantaran kehidupannya yang saleh dan diabdikan hanya untuk Allah itulah ia belum menikah sampai usianya masuh setengah abad.

Satu saat Syaikh San’an melakukan perjalanan ke tanah suci untuk menjalankan ibadah haji. Di tengah perjalanan ia sempat singgah di rumah seorang kawannya yang beragama Nasrani. Di tempat itulah ia melihat gadis cantik tetangga kawannya itu. Entah apa yang terjadi, ia mendadak terperangkap oleh pesona sang gadis. Ia bagai kehilangan kesadaran ketika mengungkapkan perasaan cintanya yang tulus. Bahkan tanpa malu-malu ia memohon agar sang gadis berkenan menjadi istrinya.

Gadis cantik itu semula menolak. Namun, karena Syaikh San’an terus memohon akhirnya dia bersedia menerima lamaran itu dengan tiga syarat. Pertama, Syaikh San’an harus bersedia melepas jubah dan surbannya untuk diganti dengan jubah dan ikat pinggang yang disediakan sang gadis. Kedua, Syaikh San’an harus bersedia memelihara seratus ekor babi dari fajar hingga maghrib. Ketiga, selama memelihara keseratus babi itu, Syaikh San’an tidak boleh menelantarkan seekor pun.

Karena pesona kecantikan sang gadis sangat kuat menerkam kesadaran hati dan pikirannya, Syaikh San’an menerima begitu saja ketiga syarat tersebut. Sejak itu, orang melihat Syaikh San’an mengenakan jubah hitam dengan ikat pinggang tali. Sehari-hari ia sibuk mengurus babi. Ia tidak lagi menjalankan shalat. Berdzikir pun ia seolah-olah sudah lupa. Sehari-hari yang diingatnya hanya istrinya yang cantik memesona. Bahkan ia pun seolah lupa diri, tidak menghiraukan lagi tubuhnya dilepoti kotoran babi.

Hal Syaikh San’an itu sampai kepada murid-muridnya. Maka, gemparlah mereka. Berbondong-bondong para murid itu menemui gurunya. Dengan berbagai permohonan, bujukan, rayuan, dan bahkan tangis pedih, mereka mengharap agar gurunya sadar. Namun, Syaikh San’an bergeming. Ia meminta mereka merelakan dirinya hidup menderita karena ketulusan cinta. “Aku tak kuasa menolak hasrat jiwaku untuk selalu dekat dengannya. Aku merasa lebih baik mati di dalam pelukannya daripada hidup dipisahkan darinya. Bersama dia, aku tak butuh lagi harga diri, kehormatan, atau kemuliaan. Bagiku, seluas senyumnya telah menumpahkan air kehidupan yang segar dengan kenikmatan tiada banding. Aku benar-benar tak berdaya untuk menghindar apalagi meninggalkannya.”

Dengan air mata bercucuran dan ratap tangis pedih, para murid itu kembali dan memberitakan hal Syaikh San’an kepada keluarga dan kawan-kawannya. Akhirnya, berkatalah seorang darwis tua kepada seluruh murid Syaikh San’an agar mereka beramai-ramai mendoakan gurunya. Hanya Allah jua yang sanggup menolong Syaikh San’an dari pesona bendawi yang bersifat sementara.

Berkat doa yang tulus dari murid-murid dan kawan-kawannya, Syaikh San’an akhirnya sadar. Kepada istrinya ia menyatakan akan melanjutkan niatnya semula menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Ia bahkan bersedia melepaskan segala yang dimilikinya, termasuk istri tercintanya. Istri Syaikh San’an akhirnya menyerah. Dia bahkan berikrar memeluk agama Islam dan ikut menunaikan ibadah haji bersama suaminya.

Setelah mengakhiri ceritanya, Abdus Sukr ar-Rajul berdiri dan hendak pergi. Buru-buru Abdul Jalil mencegahnya dengan bertanya, “Tuan, apakah kisah Syaikh San’an itu pernah ada ataukah hanya sindiran buat saya?”

“Jika engkau menganggap cerita itu ada, tidak ada masalah. Jika engkau menganggapnya sindiran bagi dirimu, itu juga tidak apa-apa. Semua tergantung pada pemahamanmu dalam memaknai kisah itu.”

“Tuan,” kata Abdul Jalil cepat, “bolehkah saya tahu di mana Tuan tinggal? Berkenankah Tuan memberi saya arah menuju Dia?”

“Aku tinggal di mana pun Allah berada karena tujuan utamaku adalah bersama Dia. Jika engkau ingin tahu jalan menuju Dia maka arahkan hati dan pikiranmu hanya kepada-Nya. Hapuskan segala sesuatu selain Dia dari hati dan pikiranmu,” kata Abdus Sukr ar-Rajul sambil melangkah meninggalkan Abdul Jalil.

Dengan termangu takjub Abdul Jalil menatap kepergian Abdus Sukr ar-Rajul sampai lelaki itu hilang di garis cakrawala. Seraya melangkah penuh semangat, ia merenungkan pertemuannya yang aneh dengan pengembara yang hidup bagai debu diembus angin itu.

Di balik kemegahan dan hingar-bingar Baghdad, ternyata terselip sekeping kehidupan yang dihuni oleh para pencari Tuhan, para pengarung samudera kesunyian, dan para pecinta kebenaran yang hidup dalam lingkungan yang berbeda dengan penghuni kota yang lain. Kehidupan mereka penuh misteri dan tak diketahui warga lain. Mereka ada yang bekerja sebagai saudagar, guru besar, ilmuwan, seniman, penyanyi, ahli fiqh, tabib, pedagang pasar, bahkan ada yang gelandangan. Mereka mengenal sesama mereka. Mereka berkumpul. Berbincang-bincang. Berbagi pengalaman. Dan sesudah itu bubar. Kembali ke kehidupan sebagaimana layaknya warga lain.

Abdul Jalil mengetahui kehidupan orang-orang aneh itu secara kebetulan, ketika ia mengikuti pesta untuk para fakir, janda-janda tua, anak yatim, dan para gelandangan yang diselenggarakan oleh Ahmad at-Tawallud. Pesta yang digelar sebulan sekali saat bulan purnama itu, menurut Ahmad at-Tawallud, bukan kelanjutan dari pesta memeriahkan pernikahan puteri sulungnya. Pesta itu merupakan tradisi yang dilakukan sejak ayah dan kakeknya.

Pesta semarak yang diikuti sekitar seratus orang itu menyuguhkan makanan dan minuman. Diramaikan pula oleh al-Qawwali, grup musik kenamaan di Baghdad, yang dipimpin pemusik terkenal Ahmad al-Qawwal. Dan yang mengejutkan, penyanyi tersohor Baghdad, Abdul Warid al-Wajd, hadir di pesta itu tanpa diundang.

Kehadiran Abdul Warid al-Wajd memang bukan untuk kali pertama. Namun, malam saat pesta itu digelar dia sedang diminta menyanyi di rumah Abu Syarr azh-Zhulmi, seorang pejabat pemungut pajak. Padahal di pesta kaum fakir itu dia tidak dibayar.

“Saudara-Saudaraku, para fakir yang dicintai Allah. Malam ini aku akan menyanyi untuk memeriahkan pesta yang mulia ini. Menghibur Saudara-Saudari sekalian. Menggembirakan Tuan rumah. Semoga niatku ini diridhoi Allah.”

“Sebenarnya, malam ini aku harus menyanyi di pesta mewah yang dihadiri para saudagar dan pejabat kerajaan. Namun, saat aku berada di tengah para tamu yang menunggu penampilanku, aku melihat mereka sebagai orang-orang kaya yang matanya tertutup kilatan dinar, telinganya tersumbat gemerincing emas, mulutnya tersumpal bongkahan permata, telapak tangannya menggenggam erat tali kekikiran, dan hatinya disimbah tetesan liur serigala keuntungan duniawi yang tak pernah terpuaskan.”

“Saat mataku menatap kerakusan mereka menyantap makanan dan menenggak minuman sambil menikmati gerak para penari syahwat, hatiku meronta dan memaksaku agar pergi meninggalkan mereka. Hatiku berkata orang-orang seperti itu tidak akan bisa mendengarkan lagu-lagu yang kunyanyikan. Telinga mereka sudah pekak. Tuli. Mereka tidak bisa membedakan antara syair dan ringkik keledai. Mereka tidak bisa membedakan antara alunan musik sejati dan derit roda gerobak. Telinga mereka hanya bisa mendengar suara gemerincing dinar.”

“Saudara-saudariku, aku menyanyi untuk mengungkapkan suara hatiku, mengumandangkan getaran ruhani yang bertahta di kerajaan jiwaku, mengencangkan tali-tali gambus kerinduanku, dan menabuh musik kecintaanku kepada-Nya. Karena itu, aku tidak mungkin menyanyi di pesta Abu Syarr azh-Zhulmi yang dihadiri oleh orang-orang tolol dan dungu, orang-orang kikir dan tamak, orang-orang sombong dan angkuh, orang-orang yang membabi buta mencintai dunia, orang-orang yang memuja nafsu, dan orang-orang yang telinga jiwanya sudah ditulikan oleh hingar-bingar musik dan nyanyian kecintaan diri.”

“Aku tinggalkan pesta kemewahan di kediaman Abu Syarr azh-Zhulmi karena aku yakin telah menyanyi di tempat yang keliru. Karena itu, o Saudara-Saudariku, aku memilih untuk datang ke pesta yang agung dan mulia ini. Tempat para fakir yang dicintai dan mencintai Allah. Tempat di mana kedermawanan, kasih sayang, ketulusan, kesederhanaan, keheningan, dan keindahan diungkapkan dalam bahasa jiwa. Di sinilah, di pesta kaum fakir inilah aku akan menyanyi. Karena, mata para tamu yang hadir ini adalah mata yang sudah terbangun di antara mata mereka yang tidur. Karena, telinga mereka yang hadir di sini adalah telinga yang rindu mendengar suara kebenaran. Dan hati mereka yang hadir di sini adalah singgasana persemayaman at-Tawajjud.”

Usai mengemukakan alasannya, Abdul Warid al-Wajd melantunkan nyanyian berjudul Ahl al-Kasyf wa al-Wujud, diiringi alunan musik al-Qawwali. Kemerduan suara dan keindahan syair yang dilantunkannya memesona seluruh tamu yang hadir.

Abdul Jalil yang sejak tinggal di Baghdad tiga bulan silam berusaha keras mengikis citra keindahan Nafsa dari hati dan pikirannya, sesaat sempat terjerat kembali pada kilasan khayal ketika alunan suara Abdul Warid al-Wajd menerobos pendengarannya. Betapa indah dan nikmatnya jika saat ini ia bermadu kasih bersama Nafsa tercinta. Namun, secepat itu pula ia memusatkan konsentrasi ke satu titik, yakni Dia. Ia harus bertobat. Mengarahkan hati dan pikiran hanya kepada Dia.

Selama ini tanpa disadari ia telah berpaling dari-Nya karena terpesona oleh keindahan Nafsa yang tidak kekal. Seindah apa pun Nafsa, pada akhirnya dia akan menjadi tua, keropos, rapuh, kemudian tumbang ke permukaan bumi, dan dikuburkan ke dalamnya. Namun, mencintai Dia Yang Abadi bukan soal mudah karena Dia tidak bisa dilihat dan dipegang. Itu sebabnya, Abdul Jalil sering merasakan kerinduan akan keindahan wajah dan keberadaan-Nya.

Setelah bergulat sengit menghalau semua bayangan yang melintas di hati dan pikirannya, ia merasa kesadarannya terbuai oleh lantunan nyanyian Abdul Warid al-Wajd dan alunan musik al-Qawwali. Ia merasa ada daya tarik yang menenggelamkan keakuannya. Ia merasa kesadarannya larut ke dalam lantunan nyanyian dan alunan musik.

Saat ia dan para tamu tengah terpesona, tiba-tiba terjadilah keajaiban. Langit-langit rumah Ahmad at-Tawallud, tempat pesta itu diselenggarakan, terbelah sedemikian rupa hingga langit dengan taburan bintang-gemintang terlihat. Sesaat kemudian langit pun ikut merekah dan pancaran cahaya gemilang menerangi cakrawala.

Pemandangan menakjubkan itu diikuti oleh peristiwa yang lebih menakjubkan lagi. Tiba-tiba di punggung mereka bertumbuhan sepasang sayap putih sekokoh rajawali. Kemudian sambil menyanyi dalam bahasa ruhani yang mendendangkan keindahan, para hadirin mengepakkan sayap dan terbang melalui rekahan langit-langit rumah memasuki pancaran cahaya gemilang yang berpendar di balik belahan langit.

Menyaksikan para hadirin beterbangan memasuki pancaran cahaya, para pemusik al-Qawwali tercekam dalam ketakjuban. Namun, tanpa mereka sadari secara ajaib pula punggung mereka pun ditumbuhi sepasang sayap putih. Dan seolah mengikuti lantunan suara merdu Abdul Warid al-Wajd, para pemusik itu mengepakkan sayap, terbang ke arah pancaran cahaya gemilang, menyusul para hadirin yang telah terbang lebih dulu.

Kini Abdul Warid al-Wajd menyanyikan lagu ‘Alam al-‘Ulwi tanpa iringan musik. Namun, pesona yang mencekam jiwanya membuat dia lupa dengan keberadaan dirinya sebagai penyanyi. Bahkan dia lupa nyanyian yang dilantunkannya, baik syair maupun iramanya. Dan yang membuatnya makin takjub adalah saat dia merasa dirinya adalah Abdul Warid al-Wajd sekaligus Ahmad al-Qawwal. Dan tiba-tiba dia merasa keakuannya larut dan lenyap, menjelma menjadi lantunan lagu dan alunan musik yang mengiringi para hadirin dan pemusik mengepakkan sayap memasuki ‘Alam al-‘Ulwi, di mana berlapis-lapis hijab gaib Ilahi disingkapkan.

Pengalaman menakjubkan itu sangat mengesankan Abdul Jalil. Ia yang saat itu ikut tercekam pesona nyanyian Abdul Warid al-Wajd dan alunan musik al-Qawwali, memperoleh pengalaman baru dalam melintasi hijab-hijab gaib Ilahi. Jika sebelumnya setiap kali melintasi tirai hijab ia selalu merasa seperti ular keluar dari kelongsong kulit maka yang ia rasakan dalam peristiwa semalam adalah bagai ulat keluar dari kepompong dalam bentuk kupu-kupu. Saat kesadarannya lepas, ia dapat dengan bebas terbang menuju ke angkasa raya yang luas tanpa batas.

Pengalaman baru yang dialaminya tersebut benar-benar menyingkapkan cakrawala pemahamannya terhadap segala sesuatu yang tergelar di hadapannya. Sebelum peristiwa ‘Alam al-‘Ulwi, ia melihat dan memahami kenyataan yang tergelar di hadapannya seperti burung yang melihat terali besi, mangkok tempat makanan, gelas tempat minuman, teras rumah, halaman, pepohonan, dan langit biru dari dalam sangkar. Kini, ia seperti burung yang lepas dari sangkar dan terbang ke angkasa bebas menyaksikan segala sesuatu yang terhampar di depannya dengan pemahaman yang serba baru. Ia menyaksikan betapa luasnya hamparan sawah, jajaran gunung-gemunung, bentangan lembah, curamnya ngarai, barisan bukit-bukit, dalamnya jurang, tenangnya air danau, gemericik sungai, gelombang samudera raya, gumpalan awan-gemawan, cahaya matahari, dan hamparan langit biru dari angkasa tempat ia bebas mengepakkan sayap.

Selama ini ia memahami keberadaan benda-benda berdasar pemahaman awam, yakni masing-masing benda terkait dengan wujudnya yang panjang, lebar, tinggi, luas, warna, dan paduan bentuk yang harmonis: kini ia memahaminya dengan cara pandang yang sama sekali berbeda. Sebongkah batu, misalnya, tidak lagi dilihatnya dari wujud fisik dengan bentuk, ukuran, warna, kepadatan, dan tekstur, tetapi ia menangkap makna bahwa pada sebongkah batu itu terdapat suatu “getaran” yang tersembunyi di balik keberadaan fisiknya. “Getaran” yang ia tangkap pada sebongkah batu ternyata sama dengan “getaran” pada bunga-bunga, rerumputan, tanah, pasir, tetumbuhan, pepohonan, manusia, hewan, rembulan, matahari, dan bintang-bintang.

Ia tidak tahu apa sebenarnya “getaran” yang tersembunyi di balik benda-benda itu. Ia hanya menangkap makna betapa “getaran” semua benda itu pada hakikatnya sama. Itu sebabnya, ia menilai bahwa “getaran” itu pada hakikatnya adalah “bekas jejak Ilahi” yang tertinggal pada semua karya ciptaan-Nya. Ini berarti antara manusia, hewan, tetumbuhan, dan alam semesta pada dasarnya memiliki hubungan kausalitas yang sama. Bukan hanya asal usul mereka yang sama dari satu Pencipta, melainkan di antara mereka pun sebenarnya saling mengait.

Pemahaman baru itu makin mengobarkan api semangatnya dalam berjuang mencari Dia. Ia merasa dirinya bagai musafir yang terperangkap dalam hutan lebat pada malam yang gelap dan dari kejauhan melihat nyala api. Jika sebelumnya ia mencari jalan keluar dengan meraba-raba dalam gelap dan tidak mempunyai petunjuk arah yang pasti. Kini ia mendapat arah baru: ia mulai dapat memahami bahwa keberadaan segala sesuatu di sekitarnya bisa membantunya menjadi penunjuk ke arah nyala api.

Ia menyadari bahwa pemahaman baru ini pada dasarnya adalah awal belaka dari tersingkapnya hijab-hijab yang menyelubungi-Nya. Itu sebabnya, ia yakin bahwa yang mengalami peristiwa ini bukan hanya dirinya. Di antara para pencari Dia mungkin ada yang telah sampai pada nyala api.

Bagi Abdul Jalil, persoalan mencapai nyala api adalah persoalan teguhnya perjuangan sekaligus kehendak-Nya. Sebab, ia belum tahu apakah antara dirinya dan nyala api itu hanya dipisahkan oleh hamparan rumput dengan beberapa batang pohon ataukah masih terdapat lembah, jurang, ngarai, bukit, gunung, dan bahkan samudera raya. Hal itu disadarinya karena nyala api yang benderang di kejauhan itu sangat aneh sekali keberadaannya; sekali waktu tampak sangat terang dan dekat, tetapi pada saat lain tiba-tiba menjauh. Pernah suatu kali nyala api itu begitu dekat dengan “penglihatan”-nya sehingga membutakan mata dan membuatnya tidak tahu arah.

~ Bag 9. Futuhat al-Insaniyyah

Matahari menyingsing di ufuk barat, awal musim hujan tiba. Berhamburlah kesengsaraan dari langit dan dasar bumi: menerkam kehidupan anak-anak manusia yang merayap di permukaan subur yang membentang di antara kedua sungai Eufrat dan Tigris. Hujan deras tidak saja meluapkan sungai yang menjelma dalam bentuk banjir dan genangan air kotor di kanan dan kirinya, tetapi menebarkan benih-benih penyakit yang merenggut nyawa banyak orang.

Rumah-rumah bobrok dan kumuh yang sebagian berupa puing yang terserak tak terurus di sepanjang sungai itu, terutama di pinggiran barat dan utara kota Bahgdad, dihuni oleh keluarga-keluarga petani, gembala, tukang, dan nelayan miskin. Rumah-rumah kumuh itu umumnya berisi keluarga yang terkapar tanpa daya digeragoti penyakit. Saat seperti itulah para pedagang budak berkeliaran mencari-cari mangsa di antara kesengsaraan dan ketidakberdayaan.

Di antara air kotor bercampur lumpur yang menggenangi desa-desa kumuh, di bawah rengkuhan senjakala, terlihat dua orang berjalan beriringan. Berbekal dua kantung uang emas dan perak, mereka mengetuk pintu-pintu rumah. Laksana malaikat pembawa rezeki, mereka membagi-bagikan kepingan uang kepada penghuninya. Kegembiraan dan sukacita pun menghambur dalam bentuk syukur dan linangan air mata dari keluarga-keluarga miskin yang tercekik kesengsaraan.

Malaikat penolong itu bagi warga miskin yang menghuni pinggiran Baghdad memang sudah tidak asing lagi. Dia adalah Ahmad at-Tawallud, saudagar kaya yang diberkahi Tuhan dengan sifat dermawan,welas asih, penolong, dan kesukaan menjamu para fakir, anak-anak yatim piatu, dan janda-janda tua. Namun, berbeda dengan kebiasaan sebelumnya, kali ini dia mengajak salah seorang sahabatnya, Abdul Jalil.

Setelah berkeliling hingga tengah malam, Abdul Jalil merasa ada yang aneh dengan tugas itu. Sepanjang ingatannya, telah beratus-ratus rumah ia hampiri. Dan telah ia bagikan kepingan uang kepada warga. Jika sebuah rumah berisi keluarga besar maka ia membagi sekitar lima puluh keping uang emas dan seratus uang perak. Anehnya, meski beribu-ribu keping ia ambil, uang yang ada di kantung itu sepertinya hanya berkurang , tidak pernah habis.

Sebenarnya, ia ingin sekali menanyakan hal keanehan kantung uang itu. Namun, ia ingat sebelum berangkat tadi Ahmad at-Tawallud sempat berkata-kata yang intinya menyinggung perjalanan Kidhir dan Musa a.s. “Yang menjadi penyebab utama berpisahnya Musa dari Kidhir a.s. adalah ketidakmampuan Musa a.s. menahan diri untuk tidak bertanya.”

Khawatir kata-kata itu dimaksudkan untuk menyindir soal keanehan yang bakal ditemuinya nanti, Abdul Jalil memilih diam meski di kepalanya berkecamuk lingkaran tanda tanya. Ia berusaha keras untuk tidak bertanya-tanya sesuatu pun. Ia menunggu sampai Ahmad at-Tawallud menjelaskan sendiri hal tersebut.

Ketika memasuki dinihari, telah hampir seribu rumah mereka datangi dan uang di kantung itu benar-benar tak bersisa. Ahmad at-Tawallud mengajak Abdul Jalil beristirahat di reruntuhan rumah yang sebagian temboknya tinggal puing-puing. Dalam keadaan tubuh diterkam keletihan, ia mengikuti ajakan sahabatnya itu. Di antara reruntuhan itu, dalam keremangan yang berkabut, ia melihat seorang perempuan tua duduk melamun dikitari domba-domba dan seekor anjing yang kurus kedinginan.

Sambil duduk di atas batu yang mencuat di samping reruntuhan, Ahmad at-Tawallud menuturkan tentang perempuan tua itu. Perempuan tua itu adalah citra Puteri Baghdad yang sejak zaman purba terkenal dengan kecantikan, keindahan, kesegaran, kesuburan, kemuliaan, dan keagungannya. Puteri Baghdad yang menawan. Puteri Baghdad yang dimahkotai dan ditabalkan di atas singgasana kerajaan dongeng yang membentang di antara dua sungai, yang dilingkari taman-taman dan kebun-kebun indah.

Berbilang abad kawanan domba, angsa, kijang, anjing, kuda, dan burung menikmati kesubur-indahan taman sang Puteri yang menebarkan wangi bunga dan rerumputan. Para raja dan ksatria gagah berani berlomba memamerkan keperkasaan untuk memperebutkan sang puteri. Berbilang raja serta ksatria silih berganti menaklukkan kerajaan dongeng itu dan memahkotai sang Puteri dengan keagungan dan kemuliaan. Mereka mempersubur dan memperindah taman-taman dan kebun-kebun kerajaan.

“Namun berkah kecantikan, keindahan, kesuburan, kesegaran, kemuliaan, dan keagungan sang Puteri di atas singgasana dongeng itu telah menjadikan para raja, ksatria, dan warga kerajaan lupa kepada Maharaja Yang Berkuasa yang telah menciptakan sang Puteri dengan segala kecantikan, kemegahan, dan keagungannya,” kata Ahmad at-Tawallud. “Mereka sehari-hari disibukkan oleh perhelatan dan upacara yang memuliakan dan memuji-muji kecantikan sang Puteri. Bahkan saat Sang Maharaja yang berkuasa dengan adil dan penuh kasih sayang itu mengirimkan para pengawal utusan, serta orang-orang kepercayaan-Nya, malah mereka jadikan bahan tertawaan dan lelucon.”

Berbilang abad Sang Maharaja secara ganti-berganti menjatuhkan hukuman kepada raja-raja, ksatria-ksatria, dan warga-warga yang lebih mencintai sang Puteri, tetapi melupakan hukum dan peraturan kerajaan. Namun, mereka dari generasi ke generasi selalu mewarisi kecenderungan sifat yang sama, yakni mencintai dan membanggakan kecantikan dan keindahan sang Puteri serta memuji-muji negeri dongeng yang berlimpah kesuburan itu. Mereka lupa bahwa penguasa sejati di kerajaan dongeng adalah Sang Maharaja Yang Mahaadil, Mahakuasa, Mahaagung, Mahaperkasa, yang tidak berkenan diduakan dan ditandingi oleh siapa pun, baik dalam kekuasaan maupun dalam kecintaan dan pengabdian semua kawula-Nya.

Setelah berpuluh abad Puteri Baghdad dengan singgasana gading berhias bulu merak dan setelah emas permata menjadi berhala yang dicintai dan dipuja-puji oleh para raja, ksatria, dan warga kerajaan; maka turunlah hukuman yang sangat keras dan pedih dari Sang Maharaja – Penguasa yang memiliki berbagai nama yang menggetarkan: Yang Maha Menjatuhkan (al-Khafidh), Yang Maha Menyesatkan (al-Mudhill), Yang Maha Membinasakan (al-Mumit), Yang Maha Menyiksa (al-Muntaqim), Yang Maha Pemberi Bahaya (adh-Dharr); Sang Penguasa Tunggal yang berkuasa mutlak atas negeri dongeng beserta seluruh isinya.

Tiba-tiba saja kerajaan dongeng yang subur dan indah dengan taman dan kebun itu telah dikepung oleh kaki-kaki kuda-kuda tunggangan yang perkasa yang mengepulkan debu dari para pengembara biadab asal padang rumput liar Mongolia. Mereka dipimpin oleh Hulagu Khan, anak panglima paling haus darah dalam sejarah kemanusiaan, Jenghis Khan. Bagai kawanan serigala, begitulah mereka mendobrak-dobrak gerbang kerajaan dan menebar rasa takut ke segala penjuru negeri. (*13 Februari 1258, kota Baghdad yang berada di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah jatuh ke tangan Hulagu Khan dari Mongol. Dalam peristiwa tersebut, setengah penduduk Baghdad dibunuh)

Raja, ksatria, dan warga kerajaan dongeng yang terlena menikmati kesuburan negeri dan memuja-muji kecantikan puterinya, bergetar ketika mendengar raungan para penyerbu yang haus darah. Bulu roma mereka berdiri mendengar derak gerbang kota kebanggaan mereka didobrak kawanan pengembara liar yang meraung dan melolong bagai serigala. Dan ketika para penguasa kerajaan masih gemetar dicekam rasa takut dan gentar, para pengembara perkasa yang datang dari relung-relung terdalam kebiadaban itu menebarkan malapetaka kebinasaan.

Gemerincing senjata berkumandang di segenap sudut negeri. Darah tertumpah memerahkan tanah dan air sungai. Jerit kematian mengumandang ke angkasa. Derak tiang-tiang kayu yang runtuh dimangsa api bersahut-sahutan dari ujung satu ke ujung kota yang lain. Bagai sarang semut dibinasakan, begitulah keindahan, kesuburan, kesegaran, dan kemuliaan negeri dongeng itu diluluhlantakkan dengan kekejaman tiada tara.

Hari-hari hukuman dari Sang Maharaja adalah hari-hari paling mengerikan dalam sejarah kemanusiaan. Para pengembara biadab yang tak kenal ampun itu mencabuti nyawa para ksatria dan warga negeri. Seluruh bangunan istana dan kota mereka ratakan dengan tanah. Saluran-saluran air yang menghidupi taman dan kebun kerajaan tak luput dari kehancuran. Bahkan Puteri Baghdad yang cantik jelita, subur, molek, dan memikat itu dijadikan alat pemuas nafsu jalang mereka. Sang Puteri dijarah dan diperkosa dengan penuh kekerasan dan kekejaman hingga air matanya yang hitam menodai sungai Tigris. Siang dan malam hanya jerit kematian dan gemerincing senjata yang mengumandang bersahut-sahutan dari sudut kota hingga ke lembah, gunung, serta hutan-hutan.

“Itulah cerita Puteri Baghdad yang sudah lapuk dimakan usia dan telah mengenyam pahit dan getir kehidupan,” kata Ahmad at-Tawallud. “Kini tinggal sekawanan domba dan seekor anjing kurus yang setia menungguinya. Sekarang, dia hanya seorang wanita tua, meski gurat-gurat kecantikan masih tersisa di wajahnya. Dia tidak secantik dan semenarik dulu. Taman-taman dan kebun-kebun yang menghiasi mahligai kerajaan pun sudah berlalu. Jika musim kering datang, meranalah tanah itu menjadi dataran tandus yang hanya digunakan sebagai lintasan bagi para gembala ke padang rumput di ujung gunung. Saat musim hujan, meluaplah banjir dengan genangan air kotor beserta penyakit. Keagungan, kemuliaan, kelimpahruahan, keindahan, dan kemakmuran yang pernah dicurahkan ke atas negeri dongeng dengan puterinya yang menawan itu kini sirna.”

“Menurut pandanganku, tragedi yang menimpa Puteri Baghdad dan singgasana dongeng beserta seluruh penghuni kerajaan adalah akibat kealpaan mereka kepada Sang Maharaja. Hari-hari mereka disibukkan dengan urusan duniawi, terutama memuja sang Puteri. Mereka lalai terhadap perintah Maharaja agar seluruh penghuni negeri bertasbih memuji-Nya, baik siang maupun malam (QS Thaha: 130). Mereka terpesona oleh bunga kehidupan dunia yang sebenarnya hanyalah ujian dari-Nya semata yang sedikit pun tidak boleh dijadikan tujuan kedua mata (QS Thaha: 131). Bahkan mereka lupa pada peringatan Sang Maharaja yang memberikan ancaman kepada mereka yang mencintai segala sesuatu selain Dia, utusan-Nya, dan jalan-Nya (QS at-Taubah:24). Demikianlah, para penghuni negeri yang dilimpahi kemakmuran itu luluh lantak ditimpa murka Sang Maharaja,” katanya mengakhiri cerita.

Dari cerita Ahmad at-Tawallud, Abdul Jalil menangkap makna bahwa kiblat hati dan pikiran dalam perjuangan dalam perjuangan menuju Allah memang tidak bisa dipecah. Sebab, Allah tidak menciptakan bagi manusia dua hati (QS al-Ahzab: 5). Karena itu, barang siapa yang mengharap berjumpa dengan Allah hendaknya ia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya (QS al-Kahfi: 110). Dan penderitaan pedih yang dialami warga negeri dongeng itu adalah akibat kecintaan yang berlebihan kepada Sang Puteri pujaan sehingga mereka lupa kepada Sang Maharaja.

Kini, Puteri Baghdad telah menjadi tua renta dan lelah melewati lintasan waktu yang begitu panjang dan penuh derita. Raja demi raja bergantian memahkotai kecantikan dan kesuburannya. Namun, semua raja memiliki kebiasaan yang sama: menganggap Baghdad sebagai puteri cantik yang menawan dan menjadikannya rebutan. Dan setiap pemenang akan memperkosa dan menjarahnya habis-habisan, tanpa sisa. Bahkan di usianya yang tua, Baghdad yang sudah terseok-seok itu tetap menarik perhatian para lelaki perkasa untuk memperebutkan dan menjadikannya sebagai sundal yang bermanfaat untuk mengeruk keuntungan.

Keheningan dinihari telah turun menutupi Puteri Baghdad. Cahaya rembulan yang menyinari bumi hanya membias di atap-atap bangunan raksasa dan kubah-kubah masjid. Selimut kabut memenuhi lorong-lorong dan permukaan bumi. Hening mencekam. Sunyi menerkam.

Abdul Jalil dengan terkantuk-kantuk mengikuti langkah Ahmad at-Tawallud menembusi keheningan jalan becek berlumpur. Pada dinihari yang dingin itu, sayup-sayup terdengar suara orang-orang berdzikir menyebut-nyebut Asma Allah.

Semula ia menganggap suara dzikir itu sebagai hal yang lazim dilakukan oleh jama’ah-jama’ah tarekat yang jumlahnya cukup banyak di Baghdad. Namun, semakin lama didengarkan semakin menimbulkan tanda tanya besar. Entah benar entah tidak, seolah-olah suara dzikir itu berbunyi, “Subhani, al-hamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku, tidak ada tuhan selain aku, mahabesar aku, sembahlah aku).”

Khawatir terjebak dalam khayal dan mimpi akibat kantuk, ia menggeleng-gelengkan kepala sambil mengusap-usap kedua matanya, berusaha berada pada kondisi sadar seutuhnya. Keanehan mendadak kembali mencekam kesadarannya. Telinganya dengan jelas mendengar dzikir yang mengumandang itu berubah bunyi, “Subhana Allah, al-hamdu li Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu akbar, fa’buduhu (Mahasuci Allah, Segala puji milik Allah, Tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Mahabesar, sembahlah Dia).” Namun, lagi-lagi kedalaman hatinya menangkap suara dzikir itu berbunyi aneh, “Subhani, al-hamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni.”

Ketidakselarasan antara pendengaran telinga inderawi dan pendengaran batin membuatnya bingung. Berulang-ulang ia mengusap-usap mata dan terbatuk-batuk untuk meningkatkan kesadaran. Namun, ketidakselarasan suara dzikir itu makin terdengar terang dan jelas. Dan sesaat kemudian yang didengarnya hanyalah suara dzikir yang ditangkap telinga inderawinya. Ia sangat bingung dengan peristiwa itu.

Ahmad at-Tawallud yang berjalan di depan tampaknya menangkap sasmita yang dialami Abdul Jalil. Dengan penuh ketenangan dia mengajak Abdul Jalil berhenti di teras sebuah surau. Setelah beberapa jenak mengatur napas, dia menjelaskan tentang suara-suara dzikir yang mengalun di tengah keheningan.

“Bagi telinga inderawi manusia,” kata Ahmad at-Tawallud dengan suara datar, “suara dzikir itu terdengar sebagai puji-pujian mengagungkan Allah. Namun, bagi mereka yang mulai tersingkap kesadaran sejatinya dari hijab-hijab indriawi, telinga batinnya akan mendengar dzikir itu sebagai puji-pujian terhadap diri sendiri.”

“Saya baru saja mendengar perbedaan suara itu, o Tuan Yang Mulia,” kata Abdul Jalil meminta penjelasan. “Saya sempat berpikir itu hanya mimpi atau khayalan saja.”

“Aku sengaja membawa Tuan melewati kawasan ini untuk menguji pendengaran telinga batin Tuan. Karena menurut hemat saya, Tuan sudah cukup jauh menembus selubung demi selubung hijab yang memenjarakan keakuan sejati Tuan. Itu berarti, Dia sudah menganugerahi kemuliaan sehingga Tuan bisa menangkap perbedaan segala sesuatu yang sejati dan yang palsu.”

“Tapi Tuan,” sergah Abdul Jalil heran, “apakah mungkin ada tarekat palsu yang membalut urusan duniawi dengan dalih ukhrawi? Guru tarekat macam apa mereka itu?”

Ahmad at-Tawallud tersenyum lebar. Kemudian dengan tenang dia menceritakan tentang seorang guru tasawuf bernama Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi, mursyid Tarekat Ananiyyah. Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi adalah salah seorang murid setia kakeknya. Setelah kakeknya meninggal, tidak seorang pun putera maupun cucu yang menggantikan kedudukannya, juga tidak ada murid yang ditunjuk sebagai pengganti. Murid-murid itu berlomba membentuk jama’ah sendiri-sendiri. “Untuk memperkuat keberadaan diri sebagai guru tarekat, tanpa rasa malu sedikit pun, mereka saling mengaku sebagai khalifah yang ditunjuk kakekku.”

Bagi Ahmad at-Tawallud, perilaku murid-murid kakeknya itu sangat memuakkan. Berbeda dengan gelora semangat yang mengobari perjuangan kakeknya dalam menyeberangi samudera kebenaran, perjuangannya para murid itu dilandasi oleh semangat kecintaan duniawi. Mereka menabalkan diri sebagai mursyid yang menentukan arah kebenaran bagi pengikut-pengikutnya. Mereka menebarkan pandangan bahwa mereka adalah kekasih Allah yang bisa memberi limpahan berkah kepada siapa saja yang dikehendakinya. Dan sebaliknya bisa mendatangkan laknat dan kutukan dari Allah kepada siapa saja yang mencemoohkan dan tidak menghargai mereka. Celakanya, antara murid satu dan yang lain saling berlomba menjelek-jelekkan dan memfitnah, dengan tujuan utama memenangkan persaingan untuk memperoleh pengikut paling banyak.

Di antara murid-murid kakeknya, Ahmad at-Tawallud paling banyak mengamati perilaku Syaikh Abu azh-Zhulmi. Karena, selain lokasi pesulukannya dekat, dia juga paling licik kelakuannya.

Pertama. Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi dan pengikutnya menyebarkan berita bahwa dialah satu-satunya murid yang diangkat sebagai khalifah oleh gurunya. Padahal, Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady, gurunya, tidak pernah mengangkatnya menjadi khalifah. Tentang hal ini, baik keluarga kakeknya maupun seluruh murid sepakat bahwa Abu Syarr azh-Zhulmi berbohong.

Kedua. Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi dengan dukungan para pengikutnya memperkuat pandangan masyarakat melalui cerita-cerita menakjubkan berkait dengan berbagai karomah yang ada pada dirinya. Padahal, segala cerita tentang karomah yang disebarkan itu isapan jempol belaka.

Ketiga. Setiap bulan, tepatnya saat purnama, Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi mengajak murid-muridnya melakukan ziarah sekaligus dzikir berjama’ah di makam Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady. Seusai dzikir, dia biasanya mengarang bermacam cerita yang mengaitkan keberadaan dirinya dengan perintah-perintah rahasia dari arwah Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady.

Keempat. Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi terbukti sering melakukan tipu daya kepada masyarakat awam yang menjadi pengikutnya. Mereka secara bergantian diwajibkan memenuhi kebutuhan pesulukannya, baik dalam bentuk gandum, daging, roti, rempah-rempah, uang, dan bahan pakaian. Bahkan anak-anak perempuan pengikutnya yang cantik-cantik diperistri oleh guru tengik itu. Alasan utamanya adalah dia akan melimpahkan barokah dan karomah bagi pengikutnya yang patuh dan menimpakan laknat serta kutukan bagi yang menantang kehendaknya.

Kelima. Untuk mengukuhkan diri sebagai mursyid sekaligus memperbanyak pengikut, Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi menanamkan doktrin bahwa hanya tarekat inilah yang paling benar. Lantaran itu, setiap anggota tarekat dijamin masuk surga dan mereka bisa memberikan syafa’at kepada sembilan orang keluarga terdekat.

“Bertolak dari penilaianku itulah, o Tuan,” kata Ahmad at-Tawallud, “aku melihat keberadaan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi dan Tarekat Ananiyyah yang dipimpinnya sebagai sesuatu yang aneh dalam pandangan sufi. Sehari-hari, misalnya, mereka lewati dengan memuja dan memuji diri sendiri serta mencaci maki tarekat lain. Dalam berbagai perbincangan, mereka terkenal sangat mendalam pengetahuan ruhaninya, namun hasrat hati mereka sangat cenderung berpamrih duniawi. Mereka benar-benar licin bagai serigala berbulu domba.”

“Ketahuilah, o Tuan,” lanjutnya, “bahwa tabir yang menutupi hati Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi adalah yang disebut rain, yakni tabir kekufuran dan kesesatan yang tak bisa disingkap kecuali dengan cahaya iman. Dia terperangkap ke dalam lingkaran penjara jiwa yang gelap tanpa cahaya, sebagaimana firman Allah: ‘Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi mata hari mereka (QS al-Muthaffifin: 14).’ Jadi, mengerikan sekali keberadaan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi itu.”

“Tapi Tuan, kenapa hati Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi bisa tertabiri kekufuran dan kesesatan?” Abdul Jalil heran. “Bukankah dia muslim?”

“Apakah Tuan mengira setiap orang yang mengaku muslim bahkan ulama, hatinya tidak bisa tertabiri oleh tirai kekufuran dan kesesatan?” Ahmad at-Tawallud balik bertanya.

“Tidak ada yang tidak mungkin, Tuan,” kata Abdul Jalil. “Tapi, bagaimana hal itu bisa terjadi setelah dia beroleh cahaya iman?”

“Tidak semua orang yang mengaku muslim beroleh karunia cahaya iman dari Allah. Sering kali keislaman seseorang diperoleh karena latar keturunan. Itu sebabnya Allah menguji orang-orang yang mengaku beriman dengan berbagai cobaan sesuai kadar kemampuannya. Dan kenyataan sering membuktikan betapa orang-orang yang mengaku muslim dan lahir dari keluarga muslim yang taat, ketika diuji ternyata mudah runtuh keimanannya.”

“Berarti Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi tanpa sadar telah mengingkari keberadaan Allah?” tanya Abdul Jalil penasaran. “Bagaimana hal seperti itu bisa terjadi, o Tuan?”

“Proses itu berlangsung sangat lama dan perlahan-lahan,” Ahmad at-Tawallud menjelaskan. “Mula-mula, seperti umumnya manusia, hati Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi tertabiri oleh ghain yang sangat tipis. Ghain adalah hijab yang menyelubungi semua manusia, termasuk nabi-nabi. Namun, karena dia sering melupakan Allah dan melakukan dosa maka makin lama ghain itu makin tebal. Lantaran dia tak pernah melakukan tobat maka ghain pun terus menebal dan menjalin sambungan dengan rain yang menyelubungi hati orang-orang kafir dan sesat.”

“Awalnya proses itu berlangsung sederhana dan sangat lembut, seperti berbohong yang dibiasakan. Padahal, dengan berbohong seseorang secara hakiki telah menafikan sifat Allah Yang Maha Melihat. Jika awalnya hanya menafikan maka lama-kelamaan orang itu akan mengabaikan dan bahkan tidak meyakini hari perhisaban di akhirat. Bohong demi bohong dilakukan. Berarti dosa demi dosa telah dilakukan. Karena, dengan berbohong ia telah terkondisi oleh keadaan jiwa seolah-olah Allah tidak mengetahui perbuatan dosanya. Dan ujung dari proses itu adalah mengingkari keberadaan Allah. Setelah melewati proses yang lama, yang ada bagi seorang pembohong dan penipu adalah dirinya sendiri. Itu sebabnya, alih-alih pembohong itu mulutnya berdzikir mengingat Allah, sesungguhnya hati dan pikirannya berdzikir untuk mengingat keberadaan dirinya sendiri. Artinya, secara hakiki dia telah menjadi pemuja nafs-nya sendiri. Dia telah memuja kepada selain Allah.”

Al-Insan sirri wa ana sirruhu (Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya). Meski singkat, hadits Rasulallah Saw. ini mengandung makna yang luar biasa dahsyat tentang misteri yang menyelubungi keberadaan manusia. Berbagai pengalaman hidup yang dialami Abdul Jalil, terutama yang terkait dengan keberadaan orang-orang yang pernah dikenalnya, memberikan pemahaman baru yang sama sekali berbeda dari pandangan masyarakat awam.

Benar-benar rahasia Allah yang luar biasa menakjubkan. Orang-orang yang dikasihi-Nya ditampakkan kepada dunia dalam wujud tak terduga, yakni manusia bernama Ahmad Mubasyarah at-Tawallud, saudagar kaya, pemilik puluhan kapal dagang dan kedai di bandar-bandar pelabuhan yang tersebar di berbagai negeri, yang selalu disibuki oleh urusan-urusan perniagaan. Sementara penipu tengik yang terhijab dari-Nya justru ditampakkan dalam wujud “beliau yang terhormat” guru tarekat yang penuh barokah dan karomah, seperti Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi.

Selama setahun lebih menjalin keakraban dengan Ahmad at-Tawallud, ia mendapati bahwa sahabat yang juga pembimbing ruhaninya itu adalah salah seorang yang dikasihi-Nya. Kesimpulan ini diambil setelah ia melihat perilaku Ahmad at-Tawallud terbebas dari pamrih pribadi, dari kepemilikan baik harta benda maupun keluarga, dari rasa takut, dari rasa sedih dan kecewa, dan dari sejumlah peristiwa adiduniawi yang terjadi di luar kehendaknya.

Abdul Jalil menyadari penampakan mereka yang dikasihi-Nya sebagai salah satu bagian dari tersingkapnya hijab yang menyelubungi keakuannya. Getaran-getaran halus dan lembut yang memancar dari kedalaman lubuk hatinya bagaikan matahari terbit dari kegelapan, menerangi cakrawala perasaan dan pikirannya. Seolah-olah ada sesuatu di dalam dirinya yang memberi tahu, mengarahkan, menasihati, dan membimbing perasaan dan pikirannya dalam memaknai sesuatu.

Perubahan-perubahan yang dialaminya itu diceritakan kepada Ahmad at-Tawallud. Dan sahabatnya itu dengan bahasa metaforik menjelaskan bahwa apa yang dialaminya itu ibarat orang berjalan dari tempat gelap menuju ke tempat terang, ke arah sumber cahaya. Setiap langkah mendekati sumber cahaya, ungkap Ahmad at-Tawallud, akan membawa pencerahan. Dengan demikian, setiap langkah maju ke arah-Nya identik dengan tersingkapnya hijab-hijab.

“Sekarang ini engkau berada pada perbatasan antara zawa’id dan lawami’ sebagai akibat dari tersingkapnya fawa’id. Zawa’id adalah terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yang membuat ruhanimu tercerahkan. Lawami’ adalah mengejawantahnya cahaya ruhani akibat tersingkapnya fawa’id. Sedang yang dimaksud fawa’id adalah memancarnya potensi pemahaman ruh karena hijab-hijab yang menyelubunginya telah tersingkap. Pada tahap inilah engkau akan menjadi berbeda dengan seumumnya manusia, karena engkau memahami sesuatu dengan fawa’id yang sudah tersingkap selubung hijabnya. Di sini, engkau akan menjadi cerdas tanpa belajar dan tanpa membaca buku.”

“Apakah fawa’id bisa terbungkus selubung hijab lagi?” tanya Abdul Jalil.

“Jika engkau belum bisa melepas segala yang duniawi maka pancaran terang fawa’id tidak akan maksimal,” kata Ahmad at-Tawallud. “Bahkan jika segala yang duniawi itu makin membelenggumu setelah terjadi lawami’ maka hijab yang membungkus fawa’id akan semakin tebal menyelubungi dirimu. Itu berarti engkau berjalan mundur.”

Berdasar uraian Ahmad at-Tawallud tentang zawa’id, lawami’, dan fawa’id, tanpa disadari Abdul Jalil terbawa arus ke lingkaran rahasia para penganut Tarekat Ananiyyah pimpinan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi.

Satu senja, Abdul Jalil mengikuti shalat isya berjama’ah di Masjid al-Qubh yang menjadi markas Tarekat Ananiyyah. Ia berperilaku bagai orang asing yang belum mengetahui sesuatu pun tentang tarekat ini. Seusai shalat, ia berkenalan dengan beberapa jama’ah, salah satunya bernama Ibnu Mushtawif yang mengaku sebagai murid terkasih Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi.

Selama beberapa jenak berbicara, kejernihan hati Abdul Jalil yang memancarkan cahaya lawami’ dan dapat memahami sesuatu melalui fawa’id, menangkap isyarat bahwa lawan bicaranya adalah pembual besar yang sangat kacau pemahamannya tentang jalan ruhani. Ibnu Mushtawif hanyalah orang awam yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang tasawuf, namun mengaku memiliki pengetahuan kesufian. Bahkan yang menyedihkan, Ibnu Mushtawif mengaku sanggup membimbing orang menuju Ilahi karena sudah diberi wewenang oleh Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi sebagai khalifahnya.

Sebenarnya, Abdul Jalil ingin sekali mengingatkan Ibnu Mushtawif tentang bahaya akibat mengaku-aku diri sebagai guru ruhani yang bisa membimbing orang lain menuju Allah. Namun, keinginan itu ditahan kuat-kuat karena ia ingin lebih jauh mengetahui lingkaran rahasia tarekat, terutama hasrat untuk berjumpa dengan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi. Itu sebabnya, selama berbicara dengan Ibnu Mushtawif, ia selalu bersikap seperti orang awam yang tidak memiliki pengetahuan agama. Dan sikap itu ternyata berhasil memancing Ibnu Mushtawif untuk berbicara banyak tentang seluk-beluk tarekat yang dianutnya.

Pelajaran awal bagi murid yang baru masuk tarekat, ungkap Ibnu Mushtawif, adalah melatih diri melepaskan hal-hal duniawi dari hati dan pikiran. Hal itu dilakukan dengan mewajibkan murid-murid memberikan seperlima dari harta mereka kepada mursyid. Harta ini akan digunakan untuk berjuang di jalan Allah. Selain itu, mereka juga diwajibkan melunasi zakat dan aqiqah yang belum dibayarkan sejak mereka lahir. Semua itu sebagai sarana pembersih jiwa.

Karena Abdul Jalil mengaku awam dan baru menjalankan syari’at Islam sekitar tujuh tahun lalu maka ia diharuskan membayar zakat selama dua puluh tahun, yakni sejak ia dilahirkan dikurangi tujuh tahun. Abdul Jalil juga mengaku ia belum ditebus dengan aqiqah. Dan setelah dihitung-hitung, ia harus menyediakan sekitar seribu tiga ratus dirham uang emas.

Sekalipun berusaha untuk selalu mengiyakan segala apa yang dikatakan Ibnu Mushtawif, ia pada akhirnya tidak mampu untuk menahan diri agar tidak bertanya, terutama tentang uang yang harus disetor kepada mursyid. “Digunakan untuk apakah uang itu?” tanyanya mendadak.

“Tuan,” Ibnu Mushtawif tercekat kaget, “tidakkah Tuan tahu bahwa mursyid adalah pengejawantahan Allah di muka bumi? Jadi, tidak satu pun di antara pengikutnya boleh menanyakan apa yang diperbuat mursyid. Tidakkah Tuan ingat kisah Musa dan Khidir? Dalam menempuh jalan ruhani diharamkan seseorang bertanya ini dan itu kepada mursyidnya. Ia harus menjadi mayat. Diam. Terserah apa kehendak mursyid. Jika tidak berarti ia telah gagal.”

Ketika perbincangannya dengan Ibnu Mushtawif disampaikan kepada Ahmad at-Tawallud, tanpa banyak bicara ia diberi seratus dirham uang emas. “Tuan, berikan uang ini kepada Ibnu Mushtawif. Katakan kepadanya bahwa ini angsuran pertama. Angsuran selanjutnya akan Tuan bayar tiap bulan. Hal membayar mursyid dengan cara mengangsur ini lazim mereka lakukan untuk menipu pengikut-pengikut awam yang miskin.”

“Tapi Tuan?” sergah Abdul Jalil heran, “untuk apa menanggapi penipu seperti Ibnu Mushtawif?”

“Bukankah Tuan ingin berjumpa dengan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi?” gumam Ahmad at-Tawallud. “Tanpa cara ini, Tuan tak akan dapat menemuinya. Dengan jalan ini Tuan dapat lebih jernih memandang dan menilai manusia. Bukankah Tuan juga ingin menguji pemahaman fawa’id Tuan?”

Ibnu Mushtawif bukanlah orang yang cerdas, meski dia dianggap paling senior di antara murid-murid Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi. Sebab, dengan “pancingan” seratus dirham emas saja dia sudah yakin bahwa Abdul Jalil masuk ke dalam perangkap. Hal itu setidaknya terlihat dari sikap Ibnu Mushtawif yang begitu terbuka menjelaskan berbagai hal bersifat propaganda tentang tarekat dan mursyid panutannya.

Tanpa diminta dia menuturkan bahwa mursyid yang dijadikan sandaran jalan ruhaninya itu memiliki pengikut orang-orang berpangkat yang dihormati masyarakat. Bahkan sejumlah keluarga Sultan Bayazid diam-diam mengikuti Tarekat Ananiyyah. “Karena itu, para as-sanaziq (bupati), pasya (gubernur), dan bahkan shadr al-a’zham (perdana menteri) sangat hormat kepada mursyid kita, Yang Mulia Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi.”

Berdasarkan cerita-cerita yang diungkap Ibnu Mushtawif, Abdul Jalil memiliki pandangan bahwa Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi selain berkedudukan sebagai guru ruhani juga menjadi calo jabatan bagi orang-orang yang berambisi kuat menjadi pejabat di Kesultanan Utsmani. Sudah bukan rahasia lagi bahwa para pembantu sultan, termasuk shadr al-a’zham, tidak dipilih dari orang-orang yang ahli di bidangnya. Mereka diangkat berdasarkan penilaian siapa yang paling besar sumbangan pribadinya kepada sultan dan keluarganya, termasuk memenuhi segala permintaan sultan. Itu sebabnya, ketika shadr al-a’zham berkuasa maka ia melakukan cara yang sama untuk mengangkat para pasya. Dan para pasya pun mempraktikkan hal serupa ketika mengangkat para as-sanaziq.

Cara mengangkat pejabat kesultanan dengan menggunakan ukuran besarnya sumbangan pribadi ini membentuk mentalitas pejabat-pejabat yang “menjilat ke atas dan menginjak ke bawah”, dengan tekanan terberat terletak pada pundak rakyat jelata. Mereka dibebani pajak berlipat-lipat. Cara seperti itulah yang membuat para guru besar sufi, seperti Syaikh Abdul Qadir al-Jailany, menolak tegas-tegas sumbangan yang diberikan sultan, karena sumbangan itu diperoleh dari memeras darah rakyat. Anehnya, Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi justru menjadi calo setia para ambisius untuk meraih jabatan tinggi di pemerintah.

Cerita yang paling mengejutkan Abdul Jalil adalah tentang peran Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi dalam menggalang para ulama fiqh untuk mensahkan program-program shadr al-a’zham, pasya, dan as-sanaziq agar diterima utuh oleh rakyat. Alih-alih menuturkan kebesaran Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi yang dihormati dan disegani para ulama fiqh, penjelasan Ibnu Mushtawif itu bagi Abdul Jalil justru dinilai sebagai hal yang menyedihkan. Bagaimana mungkin, pikirnya, seseorang yang sudah menduduki jabatan mursyid tarekat justru bekerja sebagai calo yang menjembatani ulama dan umaroh dalam memutuskan kebijakan-kebijakan duniawi dengan selubung legitimasi agama.

Ketika Abdul Jalil menuturkan kembali cerita-cerita Ibnu Mushtawif, Ahmad at-Tawallud mengungkapkan suatu rahasia Ilahi di balik kehidupan makhluk-Nya. “Sudah menjadi hukum-Nya bahwa berbagai jenis makhluk akan digolongkan ke dalam lingkungan yang sejenis. Harimau hidup di lingkungan harimau. Kuda hidup di lingkungan kuda. Domba hidup di lingkungan domba. Anjing hidup di lingkungan anjing. Tikus hidup di lingkungan tikus. Karena itu, jangan gampang terkecoh oleh ucapan tikus yang dengan pongah mengatakan bahwa dirinya adalah bagian dari kawanan harimau. Untuk mengetahui berjenis-jenis makhluk dalam kehidupan manusia memang sulit, karena manusia satu dengan manusia yang lain diselubungi hijab. Hanya mereka yang sudah tersingkap fawa’id dan terpancar cahaya lawami’ saja yang dapat melihat hakikat masing-masing manusia.”

“Apakah menurut Tuan, para as-sanaziq, pasya, shadr al-a’zham, bahkan sultan dan keluarganya pun bukan orang yang baik?” tanya Abdul Jalil meminta penjelasan.

“Bagiku, setiap orang yang mencintai kekuasaan dan benda-benda duniawi, termasuk mencintai keluarga secara berlebihan adalah orang yang tidak baik. Tidakkah Tuan tahu bahwa Sultan Bayazid adalah orang yang sangat ambisius dan pecinta duniawi sehingga tega menista wasiat yang ditetapkan ayahandanya, Sultan Muhammad al-Fatih.”

“Sebelum Sultan Muhammad al-Fatih wafat, beliau sudah berwasian agar yang diangkat menjadi sultan pengganti dirinya adalah putera terkecil, Jammun. Namun, Bayazid selaku putera sulung mempersetankan wasiat itu. Dia naik takhta dan menyingkirkan adiknya. Terjadi perang seru antara dua kekuatan. Setelah berperang selama tujuh tahun, kekuatan Jammun hancur. Tanpa belas kasihan, Bayazid membinasakan Jammun dan sisa-sisa pengikutnya serta memburu semua simpatisannya.”

“Siapa yang menanam akan menuai. Itulah hukum Ilahi. Sekarang ini, saat Sultan Bayazid beranjak tua dan menunjuk Ahmad, putera sulungnya, sebagai penggantinya kelak, justru ditentang oleh Salim, puteranya yang paling kecil. Hanya Allah yang tahu bagaimana akhir pertarungan antara dubug (anjing hutan) dan burung nazar itu dalam memperebutkan bangkai duniawi dari hewan buas bernama Kesultanan Turki Utsmani.”

Mendengar uraian Ahmad at-Tawallud, Abdul Jalil hanya mengangguk-angguk. Karena, ia sendiri pernah mengalami betapa manusia bisa menjadi serigala buas yang berbahaya ketika dimabuk ambisi kekuasaan. Ingatan tentang adik ibunda angkatnya, Rsi Bungsu, berkelebat. Abdul Jalil tidak tahu lagi bagaimana nasib pamandanya itu. Apakah masih hidup atau sudah mati? Diam-diam ia kehilangan semangat untuk bertemu dengan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi. Ia merasa mursyid Tarekat Ananiyyah itu adalah bagian dari kawanan dubug dan burung nazar, atau bisa jadi dia hanya cacing yang ikut berpesta pora menikmati kelezatan bangkai kekuasaan duniawi.

Meski sudah kehilangan hasrat untuk bertemu Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi, kumparan nasib menentukan lain. Tanpa pernah diduga, tiba-tiba ia berjumpa dengan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi saat berpamitan kepada Ibnu Mushtawif seuasi shalat isya. Rupanya, Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi malam itu mengajar di Masjid al-Qubh. Itu sebabnya, Ibnu Mushtawif berusaha keras agar Abdul Jalil bersedia duduk barang sebentar untuk mendengarkan ceramah mursyidnya. “Aku mohon, untuk yang pertama dan mungkin yang terakhir, Tuan harus mendengarkan fatwa-fatwa Tuanku Syaikh. Tuan akan menyaksikan sendiri betapa luas tak terbatasnya samudera pengetahuan Tuanku Syaikh,” Ibnu Mushtawif memohon.

Untuk menghargai Ibnu Mushtawif sekaligus membuktikan kebenaran kisah Ahmad at-Tawallud, ia akhirnya setuju tinggal lebih lama di Masjid al-Qubh. Namun, saat Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi naik ke mimbar dan memulai ceramah dengan puja dan puji kepada Allah dan salawat kepada Rasulallah Saw., tiba-tiba ia menyaksikan kilasan citra yang sebenarnya dari keberadaan pemimpin tarekat itu. Ketika hijab maujudnya sebagai manusia tersingkap, yang tampak adalah wujud burung nazar. Sedetik kemudian wujud burung nazar itu berubah lagi menjadi manusia, tetapi dalam citra yang licik, tidak jujur, bengis, dan menyimpan kejahatan di kedalaman hatinya.

Wajah Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi yang tirus dengan kening tinggi dipahami Abdul Jalil sebagai manusia yang memiliki watak keras dan berpikiran sempit. Matanya yang cekung seperti menyimpan lautan kebencian, gunung ketakaburan, rimba ketidakjujuran, gurun kerakusan, dan matahari kecemburuan. Hidungnya yang bengkok seperti paruh rajawali bagai menyimpan sejuta lakon sandiwara dunia yang penuh kecurangan dan kelicikan. Dan kebiasaannya menggerak-gerakkan tangan ketika berbicara, seperti penipu yang berusaha mengalihkan perhatian orang dari ucapan-ucapannya.

Ia awalnya kurang yakin dengan penglihatan gaib yang dialaminya saat memandang Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi. Ia ragu apakah itu pandangan yang berasal dari pemahaman fawa’id dan pancaran nur lawami’ atau sekadar ilusi yang membias dari relung-relung jiwanya akibat mendengar cerita Ahmad at-Tawallud. Namun, keraguannya pupus manakala ia dengan cermat dan teliti mendengarkan ceramah Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi yang berisi puja dan puji terhadap kemuliaan, keagungan, keluhuran, ketaatan, ketawadukan, kekeramatan, dan berbagai citra terpuji diri sendiri.

Dengan penuh yakin Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi menjelaskan bahwa dirinya telah menjadi penyebab utama bagi keselamatan dan kemuliaan warga Baghdad dan sekitarnya, terutama orang-orang miskin. “Tiga hari lalu aku datangi cucu guruku yang menjadi saudagar kaya raya. Kusampaikan kepada dia, yaitu Ahmad Mubasyarah at-Tawallud, bahwa sesuai pesan kakeknya dari alam barzakh maka dia harus membagi-bagikan sebagian kekayaannya untuk menolong para fakir dan miskin. Alhamdulillah, perkataanku dipatuhinya. Maka, bersukacitalah para fakir dan miskin yang terkena musibah itu,” ujar Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi disambut decak kagum para pengikutnya.

Penjelasan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi tentu saja mengherankan Abdul Jalil. Bagaimana mungkin guru tarekat itu bisa sedemikian rupa berani berbohong tentang Ahmad at-Tawallud. Sepengetahuannya, sahabatnya itu membagi-bagikan uang atas kemauannya sendiri. Di samping itu, Ahmad at-Tawallud tidak pernah memamerkan amaliah yang telah dilakukannya. Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi tampaknya mengetahui kebiasaan Ahmad at-Tawallud dari cerita-cerita yang disebarkan oleh kalangan fakir dan miskin yang selama ini mendapatkan santunan.

Belum puas mengaku sebagai orang yang berperan penting memberikan perintah kepada Ahmad at-Tawallud, Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi menguraikan perihal kebaikan orang-orang yang melakukan amaliah secara tersembunyi. Dengan penuh kebanggaan dia menyampaikan bahwa apa yang dilakukan Ahmad at-Tawallud pada dasarnya adalah amaliah kosong. “Tidak ada yang dia peroleh dari apa yang dia kerjakan kecuali pujian dan ucapan terima kasih dari orang-orang yang diberinya uang.”

Dengan mengutip beberapa hadits Rasulallah Saw., Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi meyakinkan para jama’ah pengikutnya untuk menganggap amaliah yang dilakukan Ahmad at-Tawallud adalah sia-sia. Kemudian tanpa malu sedikit pun dia mengungkapkan bahwa sebenarnya yang beroleh pahala besar dari Allah adalah orang yang berperan penting tetapi tidak diketahui orang lain. “Kalian bisa menilai sendiri bagaimana peranku dalam hal itu. Tetapi, siapa yang tahu jika apa yang dilakukan oleh Ahmad at-Tawallud adalah atas perintahku?” ujarnya penuh bangga, disambut decak kagum pengikutnya.

Seperti tak pernah puas, dia kembali menuturkan kisah fantastis tentang pertemuannya dengan Nabi Khidir tak lama setelah luapan air sungai Dajlah menggenangi pinggiran Baghdad. “Nabi Khidir menemui aku karena sangat simpati dengan kesabaran dan ketawakalanku menghadapi fitnah dan hinaan masyarakat.”

Bagaikan guru ruhani yang sabar dan tawakal, Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi menyampaikan bahwa keberadaannya selaku mursyid Tarekat Ananiyyah banyak dikecam, difitnah, dicaci maki, dan dianggap menyimpang oleh orang-orang, terutama kawan-kawannya yang pernah berguru kepada Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady. “Mereka iri hati kepadaku sejak dulu. Mereka tak pernah sadar bahwa Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady adalah aulia yang arif billah. Mereka tidak bisa memahami kenapa guruku itu sangat cinta dan hormat kepadaku. Mereka dengki. Dan kedengkian adalah sifat Iblis!” ujarnya berapi-api.

Setelah berkata dengan penuh semangat dan berapi-api, Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi menurunkan tekanan suaranya. Dengan bersikap seperti seorang arif yang benar-benar sabar dan tawakal, dia mewanti-wanti agar pengikutnya bersabar menghadapi ujian tersebut. “Biarkan mereka menebar fitnah dan kekejian. Sabar. Tawakal. Biarlah Allah yang mengurus dan memberi hukuman. Bagiku, kehadiran Nabi Khidir adalah pertanda yang baik dan awal dari tersingkapnya kabut kejahatan yang akan memancarkan cahaya kebenaran.”

Menurut cerita Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi, ketika itu Nabi Khidir berjalan di atas air sungai Dajlah. Nabi Khidir, lanjutnya, memberi tahu bahwa musibah tahunan yang menimpa penduduk di sekitar sungai Eufrat dan Tigris pada hakikatnya adalah murka Allah karena perilaku orang-orang yang telah berlaku sangat keji kepada para pengamal Tarekat Ananiyyah, terutama kepada mursyidnya.

“Nabi Khidir bersabda bahwa musibah itu datang karena orang-orang telah berani menista dan menghinakan kekasih Allah. Padahal, Allah Ta’ala telah tegas menetapkan ketentuan-Nya di dalam hadits Qudsy bahwa siapa saja yang memusuhi kekasih-Nya berarti memaklumkan perang kepada-Nya. Jadi, musibah ini akan terus berlangsung dari tahun ke tahun sampai orang-orang menyadari kesalahannya. Bagiku, dihina atau dinista bukan masalah penting. Aku pasrah kepada-Nya. Yang membuat aku iba hati adalah orang-orang miskin yang tidak ikut bersalah harus menanggung derita akibat murka Allah. Karena itu, aku berusaha agar mereka mendapat santunan melalui cucu guruku. Dan usahaku itu ternyata berhasil sehingga beban rasa bersalahku jadi berkurang,” ujarnya disambut seruan “Allah” secara serentak dari para pengikutnya.

Bagai orang kehausan minum air laut, selama hampir tiga jam berceramah di atas mimbar, Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi terus-menerus membuat cerita dan fatwa yang ujungnya adalah kemuliaan, keluhuran, kemasyhuran, dan kehebatan dirinya sebagai kekasih Allah. Dan di atas segala uraiannya, dengan kelihaiannya berbicara dan bercerita serta memperkuat apa yang disampaikannya itu dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits, dia meyakinkan para pengikutnya bahwa tidak ada yang benar, baik, mulia, luhur, dan diridhoi Allah kecuali Tarekat Ananiyyah, terutama mursyidnya.

Puncak dari bualan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi adalah saat dia berkisah tentang pertemuan gaibnya dengan Rasulallah Saw lewat mimpi yang tergolong ar-ru’yah ash-shadiqah. Dalam pertemuan itu, bualnya, Rasulallah Saw. memintanya agar mengumpulkan semua pengikutnya untuk melakukan dzikir dan doa bersama guna mendukung Lahi bin Zhann azh-Zhulmah agar bisa meraih jabatan pasya di Baghdad, menggantikan Kadar bin Katsif al-Mayl yang sudah uzur.

“Rasulallah Saw. bersabda bahwa Lahi azh-Zhulmah adalah salah seorang keturunannya dari Sayidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Namun, demi kerendahan hati dan terutama penguatan imannya maka ia sengaja menyembunyikan identitas dirinya. Lahi azh-Zhulmah tidak mau dipuja dan dipuji orang sebagai keturunan Rasulallah Saw.. Karena itu, jika ia menjadi pasya maka karunia Allah akan melimpah ke segala penjuru negeri ini. Sebagai keturunan Rasulallah Saw., ia akan membawa berkah, karomah, dan rahmat bagi alam semesta.”

Abdul Jalil yang tekun mendengarkan segala bualan itu terkejut demi mendengar nama Lahi azh-Zhulmah disebut-sebut sebagai keturunan Rasulallah Saw.. Lebih terkejut lagi ketika Abu Syarr azh-Zhulmi menyebutnya sebagai calon pasya di Baghdad. Padahal, berdasarkan keterangan dari Ahmad at-Tawallud, manusia bernama Lahi azh-Zhulmah adalah pedagang budak yang licik, jahat, keji, dan nista perbuatannya.

Abdul Jalil masih ingat benar betapa sepanjang perjalanan membagi-bagi uang emas dan perak di pinggiran Baghdad, Ahmad at-Tawallud menuturkan bahwa Lahi azh-Zhulmah pun melakukan hal yang sama. Bedanya, dia mendatangi rumah-rumah keluarga miskin dengan iktikad menabur piutang.

Keluarga-keluarga miskin yang didatanginya adalah mereka yang memiliki anak-anak kecil dan menginjak remaja. Jika sebuah keluarga sudah terlilit utang dan tidak mampu membayar maka kaki tangan Lahi azh-Zhulmah akan mendatangi mereka. Kemudian, dengan terpaksa keluarga-keluarga itu akan menyerahkan anak-anaknya sebagai pembayar utang. Lazimnya, dia akan memberi sedikit tambahan uang kepada keluarga itu sebagai tanda bahwa anak-anak mereka telah sah menjadi miliknya untuk dijadikan hamba sahaya.

Jika di antara hamba-hamba sahaya itu ada yang berwajah cantik maka Lahi azh-Zhulmah akan menikmati mereka sepuas-puasnya dulu. Jika ada yang hamil maka mereka akan dikirim ke penampungan khusus hingga melahirkan. Kemudian perempuan-perempuan itu langsung dijual sebagai budak belian. Sementara bayi mereka akan diasuh dan dididik sebagai calon pedagang budak.

Dalam memperoleh budak, Lahi azh-Zhulmah tidak hanya menggunakan cara menebar piutang di kalangan keluarga miskin. Dia juga memperoleh “barang dagangan” dari sejumlah perwira militer yang menjadi pemasoknya. Bahkan budak-budak perempuan para perwira itu umumnya cantik-cantik dan sangat mahal. Budak-budak itu diperoleh dari pampasan perang di daerah bergolak di kawasan Macedonia, Salonika, Semenanjung Maura, Sophia, Serbia, Albania, Bisynak, Maghyar, dan Bundukia.

Berbekal budak-budak cantik, Lahi azh-Zhulmah dikenal pula sebagai pemasok “gula-gula pemanis” di kalangan pejabat sultan. Para pejabat yang merindukan jabatan tinggi akan menggunakan jasa Lahi azh-Zhulmah dalam urusan memuaskan keluarga sultan dan perdana menteri. Bahkan dengan budak-budak perempuan itu juga, dia berhasil memerangkap sejumlah ulama ke dalam jaringan terkutuknya. Dan ulama yang masuk ke dalam jaringan terkutuk itu lazimnya mendapat tugas khusus, yakni mensahkan secara fiqhiyah seluruh kebijakan penguasa sekaligus mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut, meski sering kali tampak sangat dipaksakan.

Ahmad at-Tawallud sendiri tidak mau menilai baik buruknya manusia bernama Lahi azh-Zhulmah itu. Sebaliknya, dia menyatakan bahwa keberadaan Lahi azh-Zhulmah bagi mereka yang sudah tercerahkan merupakan bukti keagungan Allah.

Mengikuti kerangka berpikir Ahmad at-Tawallud, diam-diam Abdul Jalil berusaha memuji kebesaran Dia, Sang Pencipta, yang telah mencipta makhluk yang tengik seperti Lahi azh-Zhulmah dan juga makhluk yang tak kalah tengik, yakni Abu Syarr azh-Zhulmi. Namun, berbeda dengan Ahmad at-Tawallud, dalam memuji kebesaran-Nya, ia tetap belum sepenuhnya ikhlas. Li Allah. Bi Allah. Bagaimanapun, pikiran dan perasaannya tetap menyatakan bahwa kedua makhluk itu, terutama Abu Syarr azh-Zhulmi, adalah tengik. Bagaimana tidak tengik, pikirnya, sudah suka mengaku-aku amaliah orang lain, gila pujian, waham kebesaran diri, ternyata masih berani mencatut kemuliaan Rasulallah Saw. untuk tujuan politis murahan.

Sebenarnya, ingin sekali ia berdiri kemudian mengumpat dan mencaci-maki guru tarekat palsu itu di depan para pengikutnya. Namun, sekuat tenaga ditahannya keinginan itu. Ia berusaha memuji kebesaran Allah yang telah mencipta makhluk seperti Abu Syarr azh-Zhulmi.

Di mata Abdul Jalil, sekalipun Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi memamerkan keindahan dan kemegahan dirinya bagaikan burung merak, dia tetaplah seperti burung nazar yang menakutkan. Guru tarekat palsu ini adalah orang yang berbahaya karena telah menggiring domba gembalaannya ke puncak gunung ananuyyah yang penuh serigala dan hewan buas lain yang haus darah. Orang itu harus dihentikan, begitu pikirnya berulang-ulang.

Setelah mulai kelihatan letih, Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi berhenti sejenak. Dan tidak sebagaimana biasanya, tiba-tiba dia memberi kesempatan kepada jama’ah pengikutnya untuk bertanya tentang hal-hal yang belum dipahami dari ceramahnya. Abdul Jalil tidak menyia-nyiakan kesempatan bagus ini. Secepat kilat ia membentangkan busur akal. Kemudian dengan cekatan memasang anak panah dengan lidahnya yang tajam. Dan bagai panglima perang maju ke medan laga menghadapi musuh, ia membidikkan panah ke arah Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi. “Tuan Syaikh, apakah Lahi azh-Zhulmah yang Tuan maksud itu adalah pedagang budak yang tinggal di sebelah barat rumah Tuan Ahmad Mubasyarah at-Tawallud?”

“Benar,” sahut Abu Syarr azh-Zhulmi mengerutkan kening, “dialah yang kumaksudkan sebagai calon pasya di Baghdad.”

“Apakah Tuan Syaikh tidak keliru mendoakan manusia celaka seperti Lahi azh-Zhulmah?” seru Abdul Jalil berapi-api. “Sepengetahuan saya, Lahi azh-Zhulmah adalah manusia licik, jahat, keji, dan nista perbuatannya. Dialah manusia keji yang telah merenggut anak-anak dari dekapan orang tuanya. Dialah manusia licik yang menebar jerat bagi si miskin dengan perangkap piutang. Dialah yang memisahkan istri-istri dari suami, saudara dari saudara, nenek dari cucu, bapak dari anak, ibu dari bayi susuan. Dialah penabur kepedihan dan derita.”

“Hei, engkau ini siapa?” sergah Abu Syarr azh-Zhulmi dengan mata berkilat dan dada naik turun menahan amarah. “Apakah engkau penyelundup yang hendak merusak jama’ah ini dari dalam?”

“Saya adalah anggota jama’ah baru di sini, Tuan Syaikh,” kata Abdul Jalil merendah. “Saya telah dibimbing oleh khalifah Tuan Syaikh, yaitu ustadz Ibnu Mushtawif. Saya sudah mendapat kewajiban melunasi seribu tiga ratus keping uang emas. Namun, yang baru saya bayar tiga ratus keping.”

“Dia mengaku khalifahku?” Abu Syarr azh-Zhulmi marah-marah sambil memandang tajam ke arah Ibnu Mushtawif yang menunduk di depannya. “Dia telah berbohong. Dia juga tidak menyetor uang itu. Tuan telah ditipu.”

Dengan mengangkat kasus Ibnu Mushtawif yang dianggap telah mengkhianati mursyid, Abu Syarr azh-Zhulmi dengan licin berhasil menghindar bidikan pertanyaan Abdul Jalil. Bahkan tanpa sedikit pun menanggapi pertanyaan sekitar keberadaan Lahi bin Zhann azh-Zhulmah, dia dengan bersungut-sungut meninggalkan mimbar sambil memaki-maki Ibnu Mushtawif. Abdul Jalil yang melihat sendiri betapa lihainya guru tarekat palsu itu meloloskan diri dari bidikan panahnya, akhirnya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil memuji kebesaran Allah.

Keberadaan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi beserta segala perilakunya yang menakjubkan itu benar-benar mengesankan Abdul Jalil. Ia semakin terdorong untuk menguak hakikat manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Itu sebabnya, sepulang dari Masjid al-Qubh, ia langsung membaca Al-Qur’an dan menemukan butiran-butiran mutiara kebenaran yang berkilau-kilau dari Kalam Allah itu, terutama tentang hakikat manusia.

Malam itu ia beroleh pengalaman luar biasa dalam membaca dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Mungkin karena pemahaman fawa’id dan nur lawami’ yang memancar dari dalam dirinya sehingga ia beroleh nuansa dan makna baru dari ayat-ayat yang sudah dibacanya berulang-ulang, namun belum diketahui maknanya secara mendalam. Ia mendapati betapa ayat-ayat yang dibacanya itu seolah-olah mengungkapkan sendiri makna keberadaannya sebagai Kalam Allah. Ia menangkap sasmita bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu bagaikan sesuatu yang hidup dan bisa berhubungan secara ruhani dengannya, meski hanya dalam beberapa kejap mata.

Dengan pemahaman barunya atas ayat-ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan jati dirinya lewat bahasa ruhani itu, ia mendapatkan pengetahuan baru tentang keberadaan manusia sebagai khalifah Allah. Kata al-Insan, misalnya, mengungkapkan esensi dari wujud sempurna manusia yang menjadi rahasia Ilahi. Al-Insan sirri wa ana sirruhu.

Wujud sempurna manusia yang menjadi rahasia Ilahi itu terdiri atas tiga bagian utama, yakni al-basyar, an-nafs, dan ar-ruh. Al-basyar adalah wujud manusia yang terdiri atas gumpalan daging. Allah mencipta al-basyar dari tanah lempung kering (shalshalin/adamah) yang adonannya “diolah dengan kedua Tangan-Nya” (QS al-Hijr: 28; QS Shad: 75). Al-basyar sendiri mengacu pada makna: “diolah oleh-Nya dengan kelembutan” (al-mubasyarah). Al-basyar yang terbentuk dari bahan tanah (ath-thin) inilah yang oleh iblis dianggap lebih rendah derajatnya daripada dirinya yang terbentuk dari bahan api (QS Shad: 76). Iblis tidak mengetahui rahasia di balik keberadaan al-basyar sebagai ciptaan baru yang diberi-Nya anugerah kemuliaan sebagai khalifah Allah.

An-nafs adalah daya kehidupan (al-hayy) yang bersifat netral. Ia mudah terpengaruh pada lingkungan di mana ia berada. An-nafs memaknai keberadaan al-basyar, sekaligus al-basyar mempengaruhi an-nafs. Tanpa an-nafs maka al-basyar hanyalah gumpalan lempung kering. Dengan an-nafs itulah al-basyar bagaikan tanah lempung kering yang mendapat siraman air hujan, memiliki daya melahirkan benih-benih kehidupan. An-nafs membangkitkan dorongan-dorongan naluriah sehingga al-basyar menyadari keberadaannya sebagai bagian dari dunia materi yang membutuhkan materi-materi lain untuk memperkukuh keberadaannya. An-nafs yang kedudukannya dekat dengan al-basyar di alam indriawi disebut dengan an-nafs al-hayawaniyyah, yang menempati tataran paling rendah dari kemanusiaan (asfal as-safilin) (QS at-Tin: 5) karena cenderung mendorong naluri al-basyar untuk menuju ke alam materi.

Ar-ruh adalah Tiupan Suci Ilahi yang dihembuskan Allah ke dalam al-basyar. Nafakhtu fihi min ruhi (QS Shaad: 72; QS al-Hijr: 29), kepada al-basyar itulah seluruh malaikat diperintahkan untuk bersujud. Ar-ruh yang tidak dicipta adalah Hakikat Yang Terpuji (al-Haqiqat al-Muhammadiyyah). Pada tataran ini ruh bersifat murni. Suci. Bebas dari materialistis. Inilah yang disebut ar-Ruh al-Haqq. Ar-ruh tidak berada di dalam atau di luar tubuh al-basyar. Ia tidak terikat, tetapi juga tidak terlepas bebas. Ar-ruh ada di luar, namun juga ada di dalam. Lantaran ar-ruh berasal dari Tiupan Suci Ilahi dalam kata nafakhtu maka ar-ruh secara alami selalu cenderung menarik kesadaran manusia untuk kembali kepada Allah.

Keberadaan manusia sebagai kesatuan entitas dari al-basyar, an-nafs, dan ar-ruh secara alamiah akan terperangkap pada dualitas sifat yang saling bertentangan. Al-basyar dengan dorongan an-nafs yang berada dekat dengannya cenderung ke arah sifat-sifat duniawi yang materialistik. Sedang ar-ruh cenderung melepaskan segala pengaruh duniawi yang materialistik untuk hanya kembali kepada Allah. Pergulatan manusia dalam kehidupan di dunia pada dasarnya adalah pertarungan internal antara dorongan naluriah al-basyar dengan an-nafs di satu pihak dan melawan tarikan ar-ruh di pihak lain.

Dengan memahami keberadaan mausia sebagai kesatuan entitas, Abdul Jalil menarik kesimpulan bahwa Abu Syarr azh-Zhulmi adalah manusia yang sudah kalah dalam pertarungan internal. Abu Syarr azh-Zhulmi sudah jauh terseret ke gugusan terendah dari dunia materi. Dia adalah citra dari manusia yang hidup di bawah kendali naluriah al-basyar dan an-nafs. Dan citra burung nazar pada Abu Syarr azh-Zhulmi yang sempat ditangkap pandangan mata batin Abdul Jalil adalah citra an-nafs al-hayawaniyyah yang bersimaharajalela menguasai dirinya. Dan lantaran pemahaman baru inilah ia dapat memahami penjelasan Ahmad at-Tawallud yang menunjuk Abu Syarr azh-Zhulmi sebagai orang yang hatinya tertutupi oleh rain. Tindakan apa pun yang diusahakan oleh orang-orang yang tertutupi tabir rain hanya akan mendatangkan tabir bagi hatinya (QS al-Muthaffifin: 14).

Setelah menelaah Abu Syarr azh-Zhulmi, ia kemudian menelaah dirinya sendiri, terutama perjalanan panjangnya dalam mencari Dia. Dia mendapati bahwa pada dasarnya ia belum sepenuhnya secara utuh mengikuti tarikan ar-ruh untuk kembali kepada sumbernya. Berbagai pertimbangan yang berasal dari akal budinya yang dilatari an-nafs masih sangat kuat mengendalikan kehidupannya. Ia mengungkap-ungkap, merenung-renung, menghitung-hitung, dan menelaah berbagai kecenderungan jiwa yang pernah dirasakan dan dilakukannya sebagai amaliah dalam kehidupannya selama ini.

Setelah merenung cukup lama ia menemukan jawaban bahwa an-nafs adalah suatu fenomena kehidupan jiwa yang mengantarai ar-ruh dan al-basyar. Lantaran itu, an-nafs memiliki kecenderungan berada pada titik yang terendah saat ia dekat dengan al-basyar dan cenderung berada pada tingkat yang tertinggi saat dekat dengan ar-ruh. Ini berarti, tingkatan-tingkatan an-nafs dari al-basyar ke ar-ruh adalah: an-nafs al-hayawaniyyah, an-nafs al-ammarrah, an-nafs al-lawwammah, an-nafs al-mulhamah, an-nafs al-muthmainnah, an-nafs al-mardhiyyah, an-nafs al-qudsiyyah. An-nafs al-qudsiyyah inilah yang dekat dengan ar-ruh al-idhafi sehingga ia menjadi suci dan selalu dinapasi oleh ar-ruh al-idhafi untuk senantiasa mengingat-Nya. Dan ar-ruh al-idhafi pun selalu dinapasi oleh ar-Ruh al-Haqq.

Abdul Jalil sendiri belum mengetahui di mana posisi dirinya. Namun, ia sangat sadar bahwa ia masih terperangkap ke dalam lingkaran an-nafs. Itu sebabnya, sambil menarik napas panjang ia menggumam sendiri dengan penuh sesal dan kepasrahan, “O Ilahi, betapa panjang dan berliku jalan yang kutempuh untuk menuju Engkau. Tetapi, setelah sekian jauh dan penuh derita, kudapati diriku baru berputar-putar pada lingkaran nafs-ku sendiri. Betapa jauh! Betapa bodoh aku selama ini!”

Malam itu bagaikan tak kenal lelah ia membaca Al-Qur’an sampai tuntas hingga menjelang subuh. Selama membaca, ia mengesampingkan berbagai dorongan akal budinya, baik yang terkait dengan pahala maupun makna harfiah ayat demi ayat. Bahkan beberapa kali ia mengalami peristiwa aneh berupa munculnya makna hakiki Al-Qur’an dari kalam al-lafzhi menjadi kalam an-nafs. Al-Qur’an adalah Kalam Hidup. Mengejawantah. Riil. Maujud. Namun, pengalaman itu berlangsung sangat singkat sehingga ia tak mampu membedakan apakah yang dialaminya itu mimpi, khayal, atau kenyataan sejati.

Melepas keakuan pribadi, sabar, setia, dan pasrah adalah empat pintu gerbang utama yang harus dilampaui dalam perjalanan menuju Yang Wujud. Tanpa melampaui keempat pintu gerbang ini, perjalanan menuju Dia hanya impian dan bohong belaka. Melepas keakuan pribadi adalah melepaskan segala keakuan yang terkait dengan al-basyar dan an-nafs, termasuk keinginan-keinginan, harapan-harapan, gambaran-gambaran, pilihan-pilihan, dan kehendak-kehendak pribadi yang bersifat dunia. Pamrih. Dan itu semua adalah perjuangan dahsyat. Mudah diucapkan, namun sulit dijalankan.

Banyak orang keliru menafsirkan keakuan pribadi dengan kepemilikan dan kekayaan materi yang terkait dengan benda-benda. Melepas keakuan pribadi sering diartikan sekadar melepaskan diri dari benda-benda dan miskin secara lahiriah. Padahal, yang dimaksud dengan melepaskan keakuan pribadi adalah suatu keadaan riil dari kesadaran diri yang menyadari secara pikiran dan perasaan bahwa segala sesuatu yang tergelar di sekitar kita bukanlah milik kita; rumah, anak, istri, keluarga, benda-benda, kehormatan, harga diri, bahkan tubuh dan nyawa kita pun bukanlah milik kita. Itu sebabnya, proses pelepasan ini tidak bisa disebut zuhud, karena sesungguhnya tidak ada yang dilepas atau ditinggalkan dari orang yang tidak memiliki sesuatu.

Selama melampaui pintu gerbang pelepasan keakuan pribadi, seseorang harus sabar. Karena, di situ dia akan mengalami keadaan di mana dia harus menerima pilihan-pilihan dan kehendak yang sering kali bertentangan dengan pilihan dan kehendaknya sendiri. Sering dia harus menerima suatu pilihan yang tidak disukainya. Namun, dia harus tetap sabar. Dalam menerima pilihan-Nya dan kehendak-Nya, seorang salik yang berjuang melepaskan keakuan pribadi tidak boleh mengeluh. Karena, mengeluh adalah ungkapan rasa tidak sabar.

Yang dimaksud setia adalah keteguhan sikap di dalam melintasi gerbang keakuan pribadi menuju ke terminal akhir, yakni Yang Wujud. Berbagai hambatan dan rintangan yang menghalangi perjalanan menuju-Nya tidak boleh disimpangkan ke arah selain Dia. Kesetiaan kepada jalan yang ditempuh akan membawa ke arah pintu gerbang kepasrahan, yakni gerbang paling ujung di dalam perjuangan menuju Dia.

Melintasi keempat gerbang pelepasan untuk menuju Dia memang bukan pekerjaan mudah. Karena, di setiap gerbang pelepasan itu seorang salik sudah dihadang oleh an-nafs beserta derivat-derivatnya yang menjadi penjaga gerbang. An-nafs penjaga dan derivat-derivatnya itu laksana panglima perang beserta bala tentaranya. Di tiap gerbang pelepasan itulah seorang salik harus berjuang pantang menyerah untuk menaklukkan para penghadangnya. Jika dalam pertempuran itu salik terluka maka dia tidak boleh mengeluh kesakitan apalagi merengek-rengek minta dikasihani. Seorang salik harus yakin bahwa Dia akan mengirimkan tabib sekaligus penghibur untuk mengobati kepedihan jiwanya.

Keyakinan, ketakutan, kecintaan, dan harapan yang ditujukan hanya kepada-Nya adalah modal utama bagi seorang salik agar bisa tetap setia pada jalan-Nya. Tidak peduli besarnya jumlah musuh, luka-luka, darah, rasa sakit, pedih, dan derita yang dialami dalam melintasi setiap gerbang, seorang salik wajib setia mengikuti jalan-Nya. Dan di sepanjang jalan melampaui keempat gerbang itu, seorang salik harus teguh dan tegar hati dalam menghadapi segala rintangan. Meski tubuh jiwa penuh luka berdarah, seorang salik sejati akan tetap melangkah tegap dengan hati berbunga-bunga sebagai ksatria perkasa menuju Benteng-Nya, sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan: “Menyingkirlah kalian semua, hei pasukan al-basyar dan an-nafs dari Benteng-Nya. Sesungguhnya, semua raja jika memasuki suatu negeri niscaya akan membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina (QS an-Naml: 34). Menyingkirlah kalian dari Benteng-Nya. Jika melawan maka kalian akan menjadi tawanan-tawanan yang hina. Dialah Maharaja. Tunggal. Penguasa. Mutlak. Aku hanya akan mengabdi kepada-Nya. Dia adalah tujuan akhirku. Demi Dia, kuperangi kalian semua!”

Ketika keheningan merayapi malam, saat para panglima al-basyar dan an-nafs beserta bala tentaranya beristirahat dan menyembuhkan luka-luka mereka maka sang salik berusaha memasuki Benteng-Nya, dengan pedang dzikir, perisai istighfar, dan baju zirah salawat. Namun tanpa diduga, ketika kakinya mulai menginjak gerbang Benteng-Nya, tiba-tiba muncul bidadari berpakaian serba putih yang melayang-layang dari langit. Sayapnya yang berkilau-kilau berkepakan menimbulkan irama musik merdu yang memuji-muji keagungan-Nya. Bidadari itu duduk di atas singgasana yang tergantung di antara langit dan puri Benteng.

Keanehan terjadi. Bidadari agung dengan sayap gemerlapan itu mendadak berubah menjadi hantu menakutkan berpakaian serba hitam dengan sayap kegelapan membentang dari ufuk timur hingga barat. Getaran sayapnya menimbulkan suara gemuruh menyeramkan. Hantu itu duduk di singgasana yang terbalik yang menggantung antara tanah dan puncak menara Benteng.

Menyaksikan pemandangan menggetarkan di hadapannya, sang salik menghunus pedang dzikir dan bersiaga hendak menyerbu ke dalam Benteng untuk menerjang sang hantu hitam. Namun, baru saja kaki kanannya terangkat, tiba-tiba ia kembali melihat bidadari itu berdiri dan menari sambil melantunkan nyanyian merdu diiringi suara kecapi dan harpa dari kepak sayapnya yang berkibaran menaburkan cahaya kilau-kemilau.

“Kemarilah, o cintaku! Dekaplah kerinduan jiwaku yang meringkuk tanpa daya di tengah padang pasir yang gersang. Teteskan air jernih dari telaga cintamu agar terhapus dahaga yang mencekik leherku. Berikan butir-butir kurma, roti, madu, dan susu untuk mengobati rasa lapar jiwaku yang merana.”

“Lihatlah, o kekasih! Sayap-sayap kebebasanku telah diikat oleh belenggu yang merantai kebebasanku. Akankah engkau tega, o kekasih, membiarkan hidupku merana. Mati dalam keadaan lapar dan dahaga oleh cinta dan keindahan.”

“Bangunlah, o pahlawanku! Hunuslah pedangmu! Bebaskan aku dari penjara derita yang menyiksa ini. Biarlah kita nanti akan menari dan menyanyi di padang cinta. Kita akan berlarian dengan sayap-sayap terkepak bebas. Kita akan menjadi raja dan ratu yang duduk di atas singgasana cinta kita yang abadi. Kemarilah, o kekasih!”

Pengalaman menakjubkan dalam bentuk mubashshirah yang sangat yang sangat mengagumkan itu buyar bagai halimun tersapu cahaya matahari ketika adzan subuh berkumandang dari menara masjid. Abdul Jalil bagai tersadar dari mimpi buruk, bergegas mengambil air wudhu. Ia menemukan kesadaran baru tentang dirinya yang masih terikat oleh lingkaran an-nafs. Ia sadar belum bisa memasuki Benteng tempat Sang Raja bersemayam. Namun, sebagai salik yang sudah kenyang dengan pahit dan getir perjuangan menuju-Nya, ia tetap bertekad bulat untuk membebaskan Benteng persemayaman Sang Raja dari kekuasaan tiran insaniyyah yang didukung kekuatan bala tentara al-basyar dan an-nafs.