SELAMAT DATANG Para Pencari Cinta Sejati,Tanpa Membenci,Tanpa Menyalahkan,Tanpa Kesombongan,Tanpa Membedakan,Semoga Engkau Mendapat Rahmat Alloh~Raden Bagus Langlang Jagat

road to sufi

road to sufi

Monday, November 11, 2019

Suluk Abdul Jalil ~ Syekh Siti Jenar
( Bag 13 sd 15 )
 

 

~ Bag. 13 Asrar Muhammad

Muhammad al-Mushthafa Saw, laki-laki buta huruf (ummi), yang lahir di tengah kesunyian padang pasir berbatu jazirah Arabia yang beribu-ribu tahun terkucil dalam keterasingan, adalah nur asy-syams wa al-baha’ (matahari dan sinar keagungan). Dia memancarkan cahaya rahmat-Nya ke segenap penjuru dunia dari waktu ke waktu hingga yaum al-akhir (hari akhir). Bagaikan cahaya matahari menyibak kegelapan malam yang pekat, begitulah cahaya kelembutan dan rahmat yang terpancar dari keagungan dan kemuliaan-Nya menerangi sudut-sudut hati manusia yang berada di bawah terang-Nya melalui laki-laki buta huruf ini.

Laki-laki agung penuh kasih yang tubuhnya bersimbah darah dan kotoran unta ketika menyerukan suara kebenaran itu bukanlan manusia yang dikenal karena mukjizat yang luar biasa, seperti Nabi Nuh, Musa, Sulaiman, dan Isa. Laki-laki yang selama lima belas tahun suka tafakkur dan tanaffus di gua Hira itu bukan pula pendeta keramat yang hidup terasing di pertapaan, menanggalkan seluruh atribut kehidupan duniawi. Sebaliknya, dia juga bukan raja kara raya yang mencontohkan kemegahan duniawi sebagai kebanggaan dan kemuliaan.

Muhammad al-Mushthafa Saw dengan segala kesederhanaan dan kerendahatiannya dikenal sebagai manusia yang jujur dan terpercaya (al-amin). Pembebas sekaligus sahabat para budak. Penyantun janda-janda tua dan anak-anak yatim piatu. Dia melarang pembunuhan bayi-bayi perempuan. Dialah manusia bijak yang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Penyempurna akhlak manusia. Utusan Allah yang memerangi paganisme-materialisme demi tegaknya ajaran Tauhid. Sejarah mencatat dengan tinta emas, bagaimana laki-laki itu dalam menunaikan tugas kerasulannya telah menuruni lembah penghinaan dan jurang penistaan, mendaki tebing dan ngarai ancaman, tergiring di padang belantara teror dan provokasi, dan bahkan mengangkat senjata untuk mempertahankan keberadaan diri dari serangan orang-orang yang memusuhinya.

Bagi para pencari Tuhan seperti Abdul Jalil, menilai keberadaan Muhammad al-Mushthafa Saw. tidaklah sama dengan sejarawan. Sebab, bagi salik seperti dirinya, menilai keberadaan Muhammad al-Mushthafa Saw. tidak sekadar sebagai bagian dari sejarah kemanusiaan dengan segala atribut yang melekat padanya. Menurutnya, yang paling prinsip adalah keberadaan Muhammad al-Mushthafa Saw. yang fundamental sebagai utusan Tuhan (Rasulallah), kekasih Tuhan (Habibullah), sahabat Tuhan (Khalilullah), wali Tuhan (Waliyyullah), wakil Allah (Khalifatullah), dan pengejawantahan Yang Terpuji (Ahmad) yang telah mewariskan perbendaharaan kehidupan ruhaniah yang begitu agung dan menakjubkan bagi manusia. Dan yang lebih esensial lagi adalah keberadaannya sebagai jalan (wasilah) untuk mendekat kepada-Nya (QS al-Ma’idah: 35).

Meski belum pernah bertemu muka, Abdul Jalil melalui berbagai hadits meyakini bahwa Muhammad al-Mushthafa Saw dalam penampilan fisik akan melampaui pemuda asing dan aneh yang ditemuinya di Ka’bah maupun hadhrat Abu Bakar ash Shiddiq. Sebab, penampilan fisik pemuda asing yang aneh itu hanya dapat dilihat oleh segelintir orang yang dianugerahi nur lawami’ dan pemahaman fawaid. Sementara penampilan fisik Muhammad al-Mushthafa Saw dapat disaksikan oleh semua orang yang hidup sezaman, kecuali mereka yang jiwanya tertutup hijab rain kekufuran.

Muhammad al-Mushthafa Saw., dalam kesaksian istri-istri dan sahabat-sahabatnya yang hidup sezaman, adalah laki-laki yang tidak tinggi, tetapi tidak pendek. Tidak gemuk, tetapi tidak kurus. Kulitnya tidak putih, tetapi tidak coklat. Kedua matanya bercelak, tetapi tidak layaknya bercelak. Wajahnya elok bagai rembulan purnama, tetapi juga bagai matarahi terbit. Jika berjalan seakan-akan melangkah di jalanan yang menurun. Langkahnya cepat, namun tenang. Jika berbicara ada cahaya memancar dari gigi-giginya. Butir-butir keringatnya laksana mutiara dan berbau wangi.

Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz menyaksikan, “Saat memandangnya seakan-akan aku melihat matahari yang sedang terbit.” Ka’b bin Malik berkata, “Jika sedang gembira, wajahnya berkilau seakan-akan sepotong rembulan.” Jabir bin Samurah berkisah, “Aku pernah melihatnya pada satu malam yang cerah tanpa mendung. Kupandangi Rasulallah Saw lalu ganti kupandang rembulan. Ternyata, menurut penglihatanku, dia lebih indah dari rembulan.” Ali bin Abu Thalib berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti dia, sebelum maupun sesudahnya.”

Dari berbagai kesaksian yang diungkapkan oleh orang-orang yang hidup sezaman, mengenal, dan dekat dengan Muhammad al-Mushthafa Saw., jelas sekali bagi Abdul Jalil bahwa utusan Tuhan yang tidak lain dan tidak bukan adalah leluhurnya itu merupakan anak cucu Adam yang telah tercerahkan dan terlimpahi keagungan dan kemuliaan-Nya. Bahkan berdasar uraian rahasia hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq di ‘alam al-khayal, ia meyakini bahwa Muhammad al-Mushthafa Saw. bukan saja manusia pilihan yang dilimpahi keagungan dan kemuliaan-Nya, melainkan pengejawantanan dari keagungan dan kemuliaan-Nya sendiri.

Mengetahui dan memahami keberadaan Muhammad al-Mushthafa Saw. berdasarkan pandangan seorang pencari Tuhan, ternyata menggiring Abdul Jalil ke hamparan kenyataan tak terbantah tentang Muhammad Saw. sebagai pengejawantahan Ahmad. Muhammad Saw yang lahir sebagai bangsa Arab dan berbahasa Arab bukanlah sekadar manusia berdarah dan berdaging yang memiliki atribut-atribut manusiawi. Muhammad Saw adalah Ahmad yang bersabda, “Ana Ahmadun bila mim,” dan “Ana ‘Arab bila ‘ain,” yang kepadanya Allah bersabda, “Laulaka, laulaka, ma khalaqtu al-aflak” (hadits Qudsi) dan “Khalaqtuka min nuri wa kholaqtu khalqa min nurika” (hadits Qudsi).

Tidak dapat diingkari bahwa setelah perjumpaan menakjubkan dengan hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq di ‘alam al-khayal, kesadaran demi kesadaran baru yang tersingkap dari tirai-tirai kemanusiaannya berlangsung begitu mencengangkan sekaligus membingungkan. Namun, di antara kesadaran-kesadaran baru itu, yang paling penting dan dinilai sangat revolusioner oleh Abdul Jalil adalah terkuaknya rahasia keberadaan Muhammad al-Mushthafa Saw. sebagai pengejawantahan paling sempurna dari Yang Terpuji. Selama ini ia telah memahami pemetaan secara konseptual dan pemahaman ruhani tentang keberadaan-Nya di dalam Benteng Tak Tertembus, termasuk petunjuk tentang “jalan” dan “cara” menuju Benteng-Nya. Namun, yang belum ditemukannya justru keberadaan “pintu” (bab) dan “kunci” (miftah) untuk masuk ke dalam Benteng-Nya. Selama ini ia hanya berputar-putar dan berkeliling.

Kini, kesadaran barunya telah menemukan “pintu” dan “kunci” itu, yakni Muhammad Saw., yang kedatangannya telah diberitakan (mubasysyiran) oleh Isa a.s. dengan nama Ahmad (QS ash-Shaff: 6). Dialah Muhammad al-Mushthafa Saw yang melalui lisannya mengucapkan sabda Allah, “Inilah jalanku (sabili), aku dan pengikut-pengikutku mengajak engkau kepada Allah dengan bashirah (QS Yusuf: 108).”

Kesadaran baru itu tersingkap beberapa saat setelah ia melaksanakan Haji Wada’ dan berdoa di Multazam. Saat itu, tiba-tiba nur lawami’ di kedalaman jiwanya memancar hingga menggelarkan kesadaran baru betapa Ka’bah sebagai Baitullah pun memiliki pintu, meski semua orang tahu bahwa hanya ada ruang kosong belaka di dalamnya. Dengan demikian, pastilah Benteng Tak Tertembus itu pun wajib memiliki pintu, meski yang ada di dalamnya Cuma Kehampaan yang tak terjangkau pikiran dan tak terbandingkan dengan sesuatu.

Pengalaman menakjubkan tentang Nur Muhammad setidaknya menjadi faktor penentu bagi Abdul Jalil untuk memutuskan pilihan bahwa Muhammad al-Mushthafa Saw itulah “pintu” sekaligus “kunci” dari Benteng-Nya Yang Tak Tertembus. Selama ini ia beranggapan bahwa keberadaan Muhammad Saw sebagai wasilah untuk menuju Dia adalah disebabkan oleh faktor kedekatan (qurb), kecintaan (hubb), kerinduan (‘isyq), dan keterpilihan (mushthafa) belaka. Lantaran itu, segala doa tidak akan diterima tanpa disertai salawat kepada Muhammad Saw.

Kini, ketika kiblat hati dan pikirannya diarahkan kepada Muhammad al-Mushthafa Saw., tersingkaplah berbagai rahasia keagungan dan kemuliaan Ilahi yang tersembunyi di balik laki-laki buta huruf dan terpercaya itu. Terbukti sudah bahwa di balik makna Ana Ahmadan bila mim tersembunyi hakikat Ahad. Di balik makna Ana ‘Arab bila ain tersembunyi makna Rabb. Untuk Allah maka orang-orang beriman diwajibkan shalat dan untuk Muhammad Saw. maka orang-orang beriman diwajibkan salawat. Bahkan nilai shalat dianggap batal dan tidak sah jika tidak disertai salawat.

Sadarlah Abdul Jalil bahwa sabda Allah, “Kholaqtuka min nuri wa kholaqtu khalqa min nurika” (hadits Qudsi) itu berkaitan langsung dengan sabda Allah, “Sungguh telah datang seorang rasul dari nafs-mu sendiri (QS At-Taubah: 128).”

Ketika malam tiba dan menggelar permadani hitam dengan hiasan bintang-gemintang, Abdul Jalil melangkah ke persimpangan jalan yang membelah kota Badar dan Yanbu. Di situ, ia berdiri tegak menatap gugusan langit sambil merenungkan kebesaran Ilahi. Malam itu kabilah yang membawa rombongannya dan beberapa kabilah dari Mesir beristirahat di daerah itu. Karena, ada sebagian beberapa orang anggota kabilah yang akan memisahkan diri kembali ke Mesir.

Berbeda dengan jama’ah lain yang memanfaatkan waktu dengan berbincang-bincang, Abdul Jalil memilih berjalan-jalan menuju persimpangan. Malam itu jarak mereka dengan kota Badar tinggal beberapa pal lagi. Itu berarti, kabilah dalam beberapa saat lagi akan sampai di tanah yang bersejarah yang menjadi tonggak awal kemenangan Islam.

Bagi Abdul Jalil, pertempuran di Badar adalah pertempuran yang benar-benar didasari semangat suci menegakkan Kalimat Tauhid. Dalam pertempuran bersejarah itu kaum beriman yang berjumlah 317 orang dibantu oleh seribu malaikat (QS al-Anfal: 9) dan dilimpahi anugerah kemenangan oleh Allah dengan memukul mundur musuh mereka (QS al-Qamar:45). Karena, Allah bersama mereka dan Allah menempatkan rasa takut di dalam hati orang-orang kafir (QS al-Anfal: 12).

Usai perang Badar, Rasulallah Saw. mengungkapkan kepada para sahabat bahwa pertempuran itu adalah pertempuran kecil belaka. Pertempuran yang lebih besar dan dahsyat adalah pertempuran melawan nafsu. Melawan diri sendiri. Ucapan Rasulallah Saw. seusai perang Badar itu terbukti saat perang di Uhud. Dalam perang itu, para pemanah yang ditugaskan menjaga bukit untuk menghadang musuh ternyata berlarian ke bawah untuk berebut pampasan perang. Kemudian terjadilah tragedi paling memilukan dalam sejarah awal kebangkitan Islam. Terbukti, pamrih pribadi dan kecintaan terhadap harta benda adalah pangkal kebinasaan.

Ketika sayap khayalnya mengepak perkasa, terbang di antara gugusan sejarah perang Badar dan Uhud dengan masing-masing latarnya, tiba-tiba ia dihampiri oleh laki-laki muda yang sudah dikenalnya dengan nama Abu Talbis az-Zur. Orang ini berasal dari negeri Mesir. Tubuhnya tinggi kurus dengan wajah tirus, hidung melengkung bagai paruh rajawali, mata cekung, tulang pipi menonjol, dan gigi agak mengedepan. Jika berbicara dia selalu menggerak-gerakkan kedua tangannya seolah-olah tukang sulap memperagakan keahliannya.

Saat di Makah, Abu Talbis az-Zur tinggal dekat dengan pemondokan Abdul Jalil, namun keduanya tak pernah berbincang-bincang kecuali hanya saling melempar senyum saat berpapasan. Malam itu dia berpamitan kepada Abdul Jalil karena esok akan langsung menuju Yanbu untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Mesir. Abdul Jalil menangkap ada yang tidak beres pada diri Abu Talbis az-Zur. Ia kemudian menanyakan apakah laki-laki itu tidak melakukan shalat arba’in di Masjid Nabawi dan ziarah ke makam Rasulallah Saw..

Mendengar pertanyaan itu, Abu Talbis az-Zur tertawa mengejek sambil mendengus. Kemudian, tanpa ada yang meminta dia berkhotbah dengan menyitir dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits yang intinya mengecam kebiasaan sesat yang dilakukan jama’ah haji yang menyekutukan Allah dengan Muhammad Saw. “Muhammad itu manusia biasa. Meski dia nabi dan rasul, tidak boleh dimuliakan melebihi manusia yang lain, apalagi sampai dituhankan. Untuk apa aku shalat arba’in di Masjid Nabawi? Bukankah pahala yang besar sudah kita peroleh saat shalat di Masjidil Haram? Untuk apa aku ziarah ke makam Muhammad? Bukankah sudah cukup kita tawaf mengitari Ka’bah? Semua itu perbuatan sia-sia. Menyekutukan Allah. Musyrik!” cibirnya.

“Tuan,” Abdul Jalil tersenyum, “Tuan boleh saja mengikuti keyakinan Tuan. Namun, janganlah Tuan menista dan menghujat amaliah ibadah yang dilakukan orang lain yang tidak sepaham dengan Tuan.”

“Sebagai sesama Muslim, aku wajib mengingatkan mereka,” Abu Talbis az-Zur melirik ke arah Abdul Jalil. “Sebab, telah tertulis di dalam Al-Qur’an (QS al-‘Ashr: 3) bahwa sesama orang beriman harus saling mengingatkan. Dan bagiku, jelas sudah kebenaran hanya ada pada Al-Qur’an sebagai firman Allah. Allah tidak boleh disekutukan dengan siapa pun, termasuk Muhammad.”

“Tuan,” sergah Abdul Jalil mendadak merasakan dadanya bagai hendak menumpahkan sesuatu, “sebagaimana Tuan, saya pun yakin bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah. Namun, tahukah Tuan dari mana kebenaran Al-Qur’an ayat demi ayat itu bisa sampai kepada kita?”

“Melalui Muhammad, Rasul Allah,” Abu Talbis az-Zur mengerutkan kening.

“Apakah Al-Qur’an itu berupa kitab atau tabut saat diterima Rasulallah, sebagaimana hal itu pernah diterima Musa?”

“Tidak,” sergah Abu Talbis az-Zur menatap tajam Abdul Jalil.

“Jikalau begitu, dengan cara bagaimana Al-Qur’an diturunkan Allah?”

“Diturunkan ayat demi ayat selama dua puluh tiga tahun.”

“Maksud saya,” Abdul Jalil memburu, “apakah ayat demi ayat itu turun dalam bentuk lembaran tertulis atau bagaimana?”

“Tidak,” Abu Talbis az-Zur tercekat, “ayat demi ayat Al-Qur’an disampaikan melalui mulut Muhammad, Rasul Allah.”

“Tuan,” Abdul Jalil menggempur, “jika Muhammad Saw. itu manusia biasa yang makan, minum, kawin, berketurunan, berperang, dan melakukan amaliah seperti manusia lain, kenapa Al-Qur’an tidak diturunkan Allah melalui manusia yang lain yang juga makan, minum, kawin, berketurunan, berperang, dan melakukan amaliah? Kenapa Al-Qur’an tidak diturunkan lewat kakek Tuan, misalnya?”

“Andaikata benar kata Tuan bahwa Muhammad Saw. itu manusia biasa,” lanjut Abdul Jalil, “bagaimana Tuan bisa yakin bahwa yang diujarkan oleh lisannya yang kemudian dirangkum menjadi Kitab Suci Al-Qur’an itu adalah firman Allah? Jikalau Muhammad Saw. manusia biasa, apakah Tuan tidak syak atau berprasangka buruk bahwa dia telah melakukan pemalsuan atas ayat-ayat Allah? Bukankah sudah menjadi kodrat manusia untuk tidak lepas dari kesalahan dan pamrih pribadi?”

“Tuan tidak memahami jalan pikiran saya,” kata Talbis az-Zur berkilah. “Saya tetap yakin bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Karena itu, dia diberi sifat amanah, fathanah, dan maksum. Jadi, dia memang diberi kelebihan dari manusia lain. Namun, dia tetaplah manusia biasa. Karena itu, tidak layak bagi mereka yang beriman dan bertauhid kemudian menjadikan Muhammad sebagai wasilah untuk menuju Allah. Karena, tidak ada dalil dan tuntunannya.”

“Tuan,” kata Abdul Jalil tenang, “dalam menjalankan shalat, apakah Tuan membaca salawat kepada Muhammad Saw?”

“Itu sudah pasti karena syari’at mengatur demikian.”

“Berarti Tuan yakin bahwa shalat yang tidak disertai salawat adalah batal dan tidak sah?” tanya Abdul Jalil memancing.

“Ya, karena itu sudah aturan syari’at. Kita ikuti saja tanpa perlu menakwilkan macam-macam,” sahut Abu Talbis az-Zur gerah.

“Tuan percaya pada syafa’at?” tanya Abdul Jalil.

“Ya.”

“Siapa manusia yang berhak memberi syafa’at?”

“Muhammad Rasul Allah.”

“Jika Allah berhak memberi maghfirah maka Muhammad Saw. berhak memberi syafa’at,” kata Abdul Jalil sambil menatap bintang-bintang di langit. “Jika Muhammad Saw dan orang-orang beriman wajib shalat kepada Allah maka Allah beserta para malaikat bersalawat kepada Muhammad Saw.. Dan karena itu, Allah mewajibkan orang-orang beriman bersalawat kepada Muhammad Saw.. Jika Allah murka kepada siapa pun yang mencintai sesuatu selain Dia, baik itu anak, istri, keluarga, harta benda, atau kekuasaan, kenapa Allah tidak murkan kepada orang-orang yang mencintai Muhammad Saw?”

“Tapi Tuan…” Abu Talbis az-Zur gelagapan.

“Tuan Abu Talbis az-Zur,” sahut Abdul Jalil tersenyum, “sebaiknya kita tidak perlu berdebat soal pandangan dan keyakinan kita. Sebab, yang paling utama menurut saya adalah bagaimana kita berjuang menuju Dia. Apakah kita benar-benar menuju Dia dan semata-mata untuk Dia dan karena Dia? Ataukah kita menggunakan agama-Nya untuk sesuatu selain Dia? Bagi saya, telah jelas dalil Al-Qur’an: Wa al-ladzina jahadu fina lanahdiyannahum subulana (Bagi mereka yang benar-benar berjuang menuju Kami maka akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami). Itu berarti, jalan menuju Allah tidak satu. Jadi, jika Tuan yakin bahwa jalan Tuan itu benar maka ikutlah jalan itu. Sebaliknya, saya akan meyakini jalan yang saya anggap benar tanpa perlu mencela jalan orang lain apalagi sampai memaksa orang lain agar mengikuti ‘jalan’ dan ‘cara’ saya.”

Rupanya, saat sedang berdebat tentang keberadaan Muhammad Saw., tanpa mereka ketahui telah muncul Husein bin Amir Muhammad bin Abdul Qadir al-Abbasi. Dia cukup lama ikut mendengarkan percakapan mereka. Hal itu baru disadari Abdul Jalil ketika Husein sambil terbatuk-batuk kecil mendekatinya.

Husein tampaknya tidak senang dengan Abu Talbis az-Zur. Itu terlihat dari sikapnya yang mendukung pandangan-pandangan Abdul Jalil secara berlebihan, yang diperkuat oleh dalil-dalil aqli dan naqli tentang keagungan dan kemuliaan Muhammad Saw. yang tidak boleh dilihat dengan pandangan duniawi semata. Dengan paparan dan uraian yang luas yang didasari pemikiran filosofis, tampak sekali Husein bin Amir Muhammad menempatkan Abu Talbis az-Zur sebagai “keledai dungu” yang tidak tahu apa-apa soal agama, kecuali hanya taklid buta.

Sekalipun pengetahuan Abu Talbis az-Zur bukanlah tandingan Husein, laki-laki asal Mesir itu tidak mau kalah. Dengan suara meledak-ledak dia membela kerangka pandan yang dianggapnya benar, meski dengan dalil-dalil yang diulang-ulang. Dan ujung dari perdebatan yang tak diinginkan itu adalah pertengkaran mulut yang hampir saja pecah menjadi adu jotos.

Abdul Jalil buru-buru melerai, apalagi saat itu ia melihat beberapa orang pengikut Husein berlarian ke arah mereka. Ia berulang-ulang memohon kepada Husein agar bersabar dalam menunaikan perjalanan suci ke makam Muhammad Saw.. Sebaliknya, kepada Abu Talbis az-Zur, ia juga memohon agar bersabar dalam melanjutkan perjalanan kembali ke negerinya.

Salawat dan salam semoga disampaikan kepada Yang Terpuji (Muhammad), Imam al-Haqq, al-Khatim, Nur asy-Syams wa al-Baha’, Babullah wa Miftah al-Bab, yang dari nur-Nya alam semesta dicipta, yang dengan nur-Nya orang-orang beriman dibimbing ke hadirat-Nya, yang dengan nur-Nya al-Khalq dapat menyaksikan keagungan dan kemuliaan al-Khaliq, dan yang dengan nur-Nya ‘abid dibimbing dengan ‘ibadah menuju kepada Ma’bud. Hanya melalui “pintu” dan “kunci” inilah segala rahasia manusia dan alam semesta yang digelar-Nya dengan berlapis-lapis hijab dapat disingkapkan.

Di antara kubur Muhammad Saw dan Raudhah, di antara galau jama’ah yang berebut shalat sunnah dan meratap-ratap memanggil nama Muhammad Saw., Abdul Jalil duduk bersila ke arah kubur di mana jasad Muhammad Saw disemayamkan. Setelah menyampaikan salawat dan salam, ia menapaki tangga istighfar, salawat, tahlil, dan nafs al-haqq dengan menghadapkan kiblat hati dan pikirannya kepada nur yang memancar di antara kedua matanya, sebagaimana diajarkan hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia tidak mempedulikan lagi hiruk pikuk jama’ah di sekelilingnya.

Setelah beberapa jenak menapaki keempat tangga rahasia itu tiba-tiba nur di antara kedua matanya memancar terang. Kemudian melalui nur itu terlihat citra agung dan mulia di hadapannya. Sekalipun tidak jelas benar wujudnya – karena diliputi pancaran cahaya menyilaukan – ia memahami bahwa citra agung dan mulia itu adalah perwujudan dari Muhammad Saw..

Sementara itu, perasaannya menangkap pancaran daya gaib dari arah kubur Muhammad Saw. secara bergelombang menerpa ke arahnya. Dalam keadaan itu, hampir saja akalnya mempertanyakan ke mana yang paling benar: apakah yang ditangkap nur di antara kedua matanya atau pancaran daya gaib yang ditangkap oleh perasaannya. Namun, kali ini ia tidak memberi kesempatan sedikit pun bagi gelegak akalnya. Ia bergulat menyatukan perasaannya ke dalam nur yang memancar di antara kedua matanya.

Beberapa detik bergulat untuk menyatukan kesadaran tiba-tiba ia merasakan citra agung dan mulia yang terpampang di hadapannya itu memancarkan cahaya kilau-kemilau yang menyilaukan. Cahaya luar biasa dahsyat mengisap seluruh kesadaran dirinya.

Ia dengan gemetar dapat merasakan betapa air mata tumpah dari kelopak matanya, darah mengalir dari seluruh pori-pori tubuhnya, gumpalan-gumpalan hitam dosa keluar dari hatinya, kuda-kuda liar dari nafsu hayawaniyyah berlarian dari kedalaman jiwanya, dan keakuannya sebagai pribadi melesat ke arah citra agung dan mulia itu; terisap oleh daya gaib yang memancar darinya. Dan saat seluruh keberadaannya memasuki kumparan cahaya yang melingkupi citra agung dan mulia itu, leburlah segalanya dalam kilauannya.

Melalui pandangan bashirahi, ia menyaksikan pemandangan menakjubkan. Citra agung dan mulia yang semula tidak jelas akibat cahaya terang yang meliputinya kini hadir dalam wujud yang nyata. Muhammad al-Mushthafa Saw. duduk di atas takhta tertinggi dari maqam Muhammad dilingkari rasul-rasul dan malaikat yang berjajar. Hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq tampak di sebelah kanannya. Umar bin Khaththab di sebelah kirinya. Ali bin Abu Thalib berdiri di depan agak ke kanan. Dan Utsman bin Affan berada di depannya.

Bersabdalah citra agung dan mulian melalui al-ima’ yang jika diungkapkan dalam bahasa manusia berbunyi:

“Ketahuilah, o Ahmad, bahwa di dalam dirimu ada bagian dari diriku yang tak dapat dipisah. Bagian diriku yang ada di dalam dirimu itulah yang menjadi mursyid (guru sejati), Imam al-Haqq, yang membimbing dirimu sejati kepada hakikat Dia yang mengutusku.”

“Ketahuilah, o Ahmad, bahwa yang engkau saksikan ini adalah maqam Muhammad yang tinggi dan paling murni. Barang siapa yang naik ke maqam ini maka dia akan mewarisi keagungan dan kemuliaannya. Ketahuilah, o Ahmad, bahwa keberadaan maqam ini tidak di mana-mana, kecuali ada di dalam dirimu sendiri. Namun, engkau harus tahu bahwa antara engkau dengan maqam ini diantarai oleh tujuh langit, tujuh dunia, tujuh neraka, dan tujuh sorga. Dan hanya melalui aku sebagai “pintu” dan “kunci” dari Benteng-Nya Yang Tak Tertembus maka engkau dapat menyaksikan keagungan dan kemuliaan maqam ini.

“Karena engkau telah menyaksikan maqam ini, meski belum bisa mencapainya, maka hendaknya engkau bersabar hingga pada waktunya nanti datang keputusan-Nya. Karena itu, pujilah Dia yang mengutusku. Pujilah Dia yang menetapkan setiap keputusan. Dan sebagai pewarisku, pewaris Muhammad, sampaikanlah kepada manusia tentang apa yang telah kusampaikan. Terangilah kegelapan dunia dengan nur-mu yang memancar dari nur-ku yang merupakan pancaran Nur-Nya. Terangilah kegelapan meski penuh derita dan sengsara, bahkan andaikata darah harus mengalir dari tubuhmu sebagaimana pernah kualami saat Dia mengutusku.”

“Ketahuilah, o Ahmad, bahwa pada saat engkau memerangi mereka yang berada di dalam kegelapan maka saat itulah engkau sebenarnya memerangi dirimu sendiri. Sebab, setiap nafs sebenarnya sama dengan nafs yang ada pada dirimu, yang sumbernya adalah dari nafs-Ku. Ana min nur Allah wa khalq kulluhum min nuri. Aku ada di setiap diri. Karena itu, o Ahmad, jalankanlah tugas sucimu itu dengan penuh kesabaran. Karena, Dia selalu menyertai mereka yang sabar. Dan Dia adalah ash-Shabir (Yang Sabar) itu sendiri.”

Sedetik sesudah itu, pemandangan bashirah yang disaksikan Abdul Jalil terhapus dan mewujud dalam bentuk cahaya menyilaukan yang merampas semua penglihatan dan seluruh ufuk kesadaran. Ia merasakan seluruh cakrawala mewujud dalam Haqiqah Muhammad (Hakikat Yang Terpuji). Keakuannya pun turut terisap. Dan antara sadar, ia saksikan melalui pandangan bashirah dan pendengaran sam’ tentang kebenaran yang sangat rahasia di balik keberadaan Muhammad Saw.: “Tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Terpuji adalah pancaran (rasul) Allah sendiri.”

Seketika kesadarannya hilang. Lenyap. Sirna. Terisap dan lebur ke dalam keagungan dan kemuliaan citra agung dan mulia dari Muhammad Saw..

Pengalaman ruhaniah selama beberapa detik di depan kubur Muhammad Saw itu benar-benar telah membukan cakrawala baru tentang makna “pintu”, “kunci”, mursyid, Imam al-Haqq, Nur asy-Syams wa al-Baha’, al-Khatim, Nur Muhammad, dan Ahmad yang dinisbatkan kepada Muhammad Saw..

Pengalaman menakjubkan dari fana’ yang dialaminya kali ini, meski esensinya sama, manifestasinya sangat berbeda dengan pengalamannya saat di Baitul Haram. Saat itu, ia mendapati seluruh cakrawala menghilang dan melenyap kecuali dirinya yang bagaikan menyatu dengan cahaya yang memancarkan cahaya itu. Kini, di hadapan kubur Muhammad Saw., ia mendapati seluruh cakrawala dan keakuannya menghilang dan terisap lenyap tanpa sisa, kecuali citra agung dan mulia dari Muhammad Saw..

Bertolak dari dua sisi pengalaman yang berbeda, namun sama dalam esensi itu, ia tidak bisa membeda-bedakan mana yang disebut fana’ fi Allah dan mana yang disebut fana fi rassul. Baginya, mengetahui perbedaan keduanya tidaklah penting. Karena, anugerah dari fana’ itu sendiri sudah merupakan puncak dari anugerah yang tak ternilai.
 
~ Bag 14. Jama’ah Karamah al-Auliya’

Bagaikan tatanan pemerintahan manusia yang memiliki susunan hierarki lengkap dengan tugas masing-masing, seperti maharaja, perdana menteri, panglima angkatan perang, menteri-menteri, jaksa, hakim, adipati, perwira, prajurit, dan nayakapraja; demikianlah kehidupan ruhani mempunyai hierarki pemerintahannya sendiri lengkap dengan tugas-tugas dan kewenangannya masing-masing. Hanya saja, para pemegang jabatan di dalam hierarki pemerintahan ruhaniah itu terdiri atas sejumlah manusia paripurna pilihan (insan al-Kamil) yang tergabung dalam Jama’ah Karamah al-Aulia’. Mereka saling mengetahui siapa-siapa saja yang menjadi anggota Jama’ah dan apa kedudukannya, namun orang di luar kelompok mereka tidak ada yang mengetahui keberadaan para aulia itu.

Jabatan yang tertinggi di antara anggota Jama’ah Karamah al-Aulia’ adalah Quthb al-Aqthab. Jabatan ini dapat disetarakan dengan jabatan sultan dalam hierarki kepemimpinan manusia. Lantaran itu, Quthb al-Aqthab juga sering disebut Sulthan al-Aulia’. Pada setiap zaman ada seorang Quthb al-Aqthab. Dia menjadi kutub yang dilingkari oleh Haqiqah ar-Ruhaniyyah. Dia adalah cermin Allah. Dia pusat pengawasan Allah atas dunia pada setiap zaman. Dia mengetahui rahasia takdir. Dia pusat tersembunyi dalam hierarki para wali.

Quthb al-Aqthab disebut juga al-Ghauts. Artinya, orang yang menolong dan melindungi dengan kasih sayang. Disebut al-Ghauts karena dia bisa melimpahi orang dengan inayah, yaitu rahmat dan kasih sayang Allah. Quthb al-Aqthab atau al-Ghauts hidup sendirian pada zamannya (wahid az-zaman bi-‘ainihi). Jika seorang Quthb al-Aqthab wafat maka dia akan diganti oleh Quthb al-Aqthab lain.

Di bawah Quthb al-Aqthab ada dua jabatan yang disebut al-Imamani (dua imam), yakni imam kanan dan imam kiri. Imam yang berasal dari sisi kanan Quthb al-Aqthab bertugas mengawasi alam gaib. Imam yang berasal dari sisi kiri Quthb al-Aqthab bertugas mengawasi alam kasatmata (dunia nyata). Di bawah al-Imamani ada jabatan Quthb yang jumlahnya banyak. Di bawah jabatan Quthb ada empat jabatan Autad (pasak). Di bawahnya lagi ada tujuh Abdal (pengganti), demikian seterusnya.

Keberadaan Jama’ah Karamah al-Aulia’ beserta susunan hierarki lengkap dengan tugas-tugasnya itu diketahui Abdul Jalil secara tak terduga, setelah tanpa disangka-sangka ia bertemu Ahmad Mubasyarah at-Tawallud, usai melaksanakan shalat isya di masjid Nabawi. Malam itu, saudagar kaya raya yang selama ini menjadi pembimbing ruhaninya, tanpa penjelasan ini dan itu tiba-tiba mengajaknya ke daerah Uhud. Dan di sepanjang perjalanan itulah Ahmad at-Tawallud menceritakan tentang Jama’ah al-Aulia’, setelah terlebih dulu menjelaskan bahwa selama ini dia senantiasa melakukan haji setiap tahun.

Selama berjalan ke daerah Uhud yang terletak di utara Yatsrib, Abdul Jalil diam-diam merasa aneh. Ia, misalnya, merasa betapa langkah kakinya sangat ringan. Seolah-olah terbang di atas permukaan tanah. Bahkan yang mengherankan, baru beberapa puluh kali melangkahkan kaki, hamparan gunung batu Uhud telah terpampang di hadapannya.

Masih dengan rasa takjub, ia terus mengikuti langkah Ahmad at-Tawallud yang berjalan di depannya. Begitu berada di kaki Jabal Uhud, Ahmad at-Tawallud berhenti dan langsung duduk di atas sebongkah bati datar. Dia memberi isyarat agar Abdul Jalil duduk di sampingnya. Kemudian dengan suara bening dan bergema, dia menjelaskan bahwa malam itu mereka akan mengikuti pertemuan Jama’ah al-Aulia’ yang dilaksanakan setiap tahun sekali.

Abdul Jalil terkejut setengah mati mendengar penjelasan Ahmad at-Tawallud. Bagaimana mungkin ia bisa diajak mengikuti pertemuan para wali yang seharusnya hanya boleh diketahui oleh sesama wali saja. Namun, sekilas ia memahami betapa keberadaannya di situ adalah karena Ahmad at-Tawallud. Itu sebabnya, ia langsung menangkap sasmita bahwa sahabatnya yang saudagar kaya raya itu sebenarnya merupakan salah seorang wali keramat yang mencintai dan dicintai-Nya.

Menyadari hal itu, ia merasakan kegembiraan merayapi hatinya. Sungguh, ia merasa telah dikaruniai anugerah berlimpah-limpah oleh-Nya untuk mengetahui kekasih-kekasih-Nya yang diselubungi hijab-hijab tak tertembus dari pengetahuan manusia.

Seiring dengan ketakjuban dan kegembiraan yang dialaminya, ia tiba-tiba merasakan satu keanehan lagi tengah berlangsung atas dirinya. Ia, misalnya, tiba-tiba saja mampu menangkap dan membedakan makna ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Ahmad at-Tawallud. Maksudnya, ia bisa membedakan mana suara Ahmad at-Tawallud yang keluar dari keakuan pribadi, mana yang keluar dari Ruh al-Haqq, dan mana yang berasal dari al-Haqq. Dan Ahmad at-Tawallud sambil tertawa dan menepuk-nepuk bahu Abdul Jalil mengungkapkan isyarat bahwa dia pun telah mengetahui perubahan yang dialami sahabatnya itu.

Ketika tengah mencermati perubahan yang terjadi pada dirinya, di bawah pancaran sinar rembulan ia melihat setitik bayangan hitam melesat cepat di atas garis cakrawala. Semula ia menduga titik itu tentulah seekor burung malam atau sejenis kelelawar. Namun, kecepatan gerak titik itu begitu menakjubkan. Dan sedetik sesudah itu, ia menyaksikan pemandangan yang mencengangkan; ternyata titik hitam itu adalah manusia yang sedang duduk bersila di atas hamparan sajadah terbang.

Ia sangat ingin menanyakan pemandangan yang mencengangkan yang baru pertama kali dilihatnya itu. Namun, Ahmad at-Tawallud dengan isyarat tangan menyuruhnya diam dan menunggu dengan sabar peristiwa apa yang terjadi selanjutnya. Demikianlah, dengan mendaratnya sajadah terbang itu, ia menyaksikan lagi seorang tua kulit hitam berpakaian serba putih muncul dari permukaan tanah, tepat di depannya.

Manusia di atas sajadah terbang itu melambaikan tangan kepada Ahmad at-Tawallud. Orang itu bernama Abdus Salam ath-Thayy al-Maghribi. Dia adalah kekasih-Nya yang berasal dari pinggiran kota Fez di negeri Maghribi (Maroko). Sehari-harinya, Abdus Salam ath-Thayy dikenal sebagai gelandangan tua aneh dan miskin yang dengan pakaian lusuh kadang-kadang terlihat berkeliling memasuki lorong-lorong kumuh dengan seonggok kayu bakar di bahunya. Kayu-kayu itu lazimnya dibagikan kepada janda-janda tua yang hidup dalam lingkaran kemiskinan. “Keberadaan Adus Salam ath-Thayy sebagai anggota Jama’ah Karamah tidak pernah diketahui orang, padahal dia adalah kekasih-Nya yang dianugerahi kemampuan “melipat ruang”. Dia dapat pergi kemana saja dengan cepat sesuai kehendaknya,” bisik Ahmad at-Tawallud.

Orang tua berkulit hitam berpakaian serba putih yang muncul mendadak dari permukaan tanah adalah Abdul Fattah Mutha’ al-Habsy, yang berasal dari desa ditepi danau Tana, di negeri Habbasya (Ethiopia). Dia adalah seorang kepala suku yang sangat dihormati oleh suku-suku di sekitarnya. Orang-orang di negerinya mengenal Abdul Fattah Mutha’ al-Habsy dengan nama kebesarannya sebagai kepala suku, yaitu Dangla. Tidak ada satu pun anggota sukunya yang tahu bahwa Dangla yang mereka hormati itu adalah kekasih-Nya. Mereka hanya tahu bahwa Dangla yang mereka patuhi itu memiliki bermacam kelebihan ruhani yang bisa menghalau hantu-hantu dan ruh-ruh jahat yang suka mengganggu manusia.

Berurutan dengan kehadiran mereka, Abdul Jalil menyaksikan berbagai manusia aneh yang datang dengan berbagai cara yang aneh pula. Ada yang menunggang serigala, berjalan dengan kedua tangan, menaiki pusaran angin gurun, mengendarai gumpalan awan, kursi terbang, dan bahkan tilam terbang.

Di antara sejumlah kekasih Allah yang diketahui Abdul Jalil berdasar penjelasan Ahmad at-Tawallud adalah:

Abdur Rahman Mahfuzh as-Sini asal Kanton (Kwang Tung), di negeri Cina.

Abdul Qadir Maqdur al-Balkhi asal Balkh, di negeri Khurasan (Iran).

Abdur Rahim Habbah an-Nisyaburi asal Nisyapur, di negeri Khurasan (Iran).

Abdullah Khafi al-Mishri asal Ismailliyah, negeri Mesir.

Abdul Malik Muqtashid al-Isfahani, asal Isfahan (Iran).

Abdul Jabbar Shahibul Hal at-Tirmidzi, asal Termez (Uzbekistan).

Abdul Ghafur Mufarridun al-Gujarati, asal Gujarat (India).

Abdul Karim Gurgani (Iran).

Abdul Halim Tabaristani (Iran).

Abdul Hamid Kirmani (Iran).

Abdul Majid Turfani (Tibet).

Abdul Jalal Daghestani (Rusia), dan

Abdul Qohar Punjabi (India).

Ketika sedang mendengar uraian Ahmad at-Tawallud, tiba-tiba pandangan Abdul Jalil terisap oleh kekuatan luar biasa untuk menyaksikan seorang laki-laki tua yang berjalan tertatih-tatih dibantu tongkat penyangga di tangan kanannya. Tidak ada yang aneh pada laki-laki tua itu. Dia berjalan biasa saja. Bahkan dengan usianya yang tua itu betapa sulit dia melangkah di tengah hamparan pasir, terutama saat mendaki lereng Jabal Uhud. Namun, entah apa yang terjadi tiba-tiba saja ia menangkap ketidakterbatasan pada diri orang tua itu. Orang tua yang kemudian dikenalnya bernama Misykat al-Marhum itu bergerak, namun seolah-olah diam. Rumit, namun sederhana. Meliputi, namun diliputi. Tidak hidup, tetapi tidak mati. Sebuah tampilan menakjubkan yang mirip dengan keberadaan pemuda aneh yang ditemuinya di Masjidil Haram.

Menghadapi keanehan Misykat al-Marhum, Abdul Jalil menangkap isyarat dari nur lawami’ yang menyatakan bahwa laki-laki tua yang sedikitpun tidak menunjukkan keanehan yang mencengangkan itu justru merupakan kekasih-Nya yang paling mulia dan yang paling tinggi maqamnya. Namun, saat ia melirik ke arah Ahmad at-Tawallud untuk meminta penjelasan, sahabatnya itu memberinya isyarat agar diam dan tidak membicarakan Misykat al-Marhum.

Isyarat dari nur lawami’ tentang Misykat al-Marhum ternyata tidak salah. Hal itu diketahuinya ketika Misykat al-Marhum dengan isyarat tangan dan al-ima’ melarangnya untuk mengungkapkan sesuatu mengenai dirinya. Bahkan saat Abdul Jalil menerka-nerka apakah Misykat al-Marhum seorang Quthb atau bahkan Quthb al-Aqthab, dia dengan lebih tegas lagi melarangnya dengan acungan tongkat. Dan saat itu, Abdul Jalil merasa lidahnya kelu dan mulutnya terkunci.

Ketinggian martabat laki-laki lemah yang sedikit pun tidak menunjukkan tanda-tanda karomah itu terbukti saat dia setelah dengan susah payah mendaki lereng bukit Uhud langsung disambut dengan penuh hormat oleh para kekasih-Nya. Abdus Salam ath-Thayy menggelar surbannya sebagai alas duduk Misykat al-Marhum. Dan bagaikan orang tua pikun, dia menurut saja ketika dibimbing dan disuruh duduk di atas hamparan tersebut.

Ketika para kekasih Allah itu duduk berhadap-hadapan dalam sebuah lingkaran di atas Jabal Uhud di bawah benderang rembulan, Misykat al-Marhum tanpa terduga mengetuk-ketukkan tongkatnya beberapa kali ke tanah dan kemudian menunjuk ke arah Abdul Jalil sambil berkata, “Malam ini telah hadir anggota baru dalam Jama’ah, yakni Abdul Jalil al-Jawy. Dia telah dipilih-Nya untuk menggantikan kedudukan saudara kita Abdur Rahman Muttaqi al-Jawy (asal negeri Jawa) yang telah dipanggil-Nya.

Abdul Jalil terkesima kaget. Namun, sebelum ia sempat menyadari apa yang sedang terjadi, tiba-tiba ia menyaksikan pancaran cahaya menyilaukan bagai kilatan petir melesat dari dada Misykat al-Marhum. Dan ia masih dicekam keheranan ketika tubuhnya serasa disentak oleh kekuatan dahsyat akibat disambar oleh cahaya menyilaukan tadi. Beberapa jenak ia hanya bisa termangu-mangu kebingungan bagai orang yang mendadak terbangun dari tidur.

Peristiwa menakjubkan yang berlangsung sekejab itu ternyata membawa perubahan besar pada dirinya. Beberapa jenak setelah terheran-heran, ia merasakan betapa ia seperti telah mengenal akrab para kekasih Allah yang hadir di situ. Seolah-olah ia telah bergaul dengan mereka selama puluhan tahun. Bahkan yang mengherankan, ia merasa mereka adalah bagian dari dirinya.

Saat ia termangu menyaksikan keajaiban yang dialaminya, para kekasih Allah itu berbarengan mengucapkan salam. Dan ia pun menjawabnya. Namun, sesudah itu mereka langsung memperbincangkan kehendak Allah yang akan mengarahkan perjalanan sejarah umat manusia ke sebuah zaman yang sangat menggetarkan, yakni zaman kesesatan umat sebagaimana telah digariskan-Nya di lembaran yang terjaga (al-Lauh al-Mahfuzh). Jika manusia seumumnya memperbincangkan persoalan besar dengan berdebat dan menggunakan hujah-hujah serta dalil-dalil pembenar, maka para wali karomah itu tidak sedikitpun bertentangan pendapat.

Misykat al-Marhum yang dihormati dan dimuliakan oleh para anggota Jama’ah memulai perbincangan dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 26: “Allah Pemilik kekuasaan. Dia berikan kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia mencabut kekuasaan dari siapa yang dikehendaki-Nya. Ditangan-Nya terletak kebajikan. Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.”

Beberapa jenak berhenti, Misykat al-Marhum melanjutkan bacaannya ke ayat 27: “Allah Berkuasa memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dia berkuasa mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Dia melimpahi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa menghitung-hitung.” Sesudah itu ia membaca Surat al-Qashash ayat 68: “Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi yang lain.”

Kini Misykat al-Marhum membaca Surat Yunus ayat 107: “Jika Allah menimpakan marabahaya (mudharat) kepada makhluk-Nya maka tidak ada yang dapat menghindarinya kecuali Dia sendiri. Jika Allah menghendaki kebaikan bagi makhluk-Nya maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”

Abdul Jalil merasakan jantungnya berdentam-dentam dan sekujur tubuhnya panas dingin. Ia menangkap sasmita bahwa apa yang akan disampaikan Misykat al-Marhum adalah peristiwa menggetarkan yang berkaitan dengan malapetaka luar biasa yang bakal menimpa umat manusia.

Misykat al-Marhum terdiam sejenak. Para wali yang lain membaca tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir mengagungkan kebesaran Allah.

Setelah itu, ia membacakan hadits-hadits yang berkaitan dengan Dajjal, sang Penyesat umat manusia. Kemudian dengan isyarat, ia memberi petunjuk agar para wali yang hadir dalam pertemuan Jama’ah itu menjalankan tugas masing-masing untuk menjaga keseimbangan kehidupan manusia. Dia juga mengisyaratkan bahwa dunia akan segera dilanda kekuasaan jahat Dajjal dengan pengaruh-pengaruhnya yang menyesatkan, bahkan di kalangan kaum muslimin.

Sebuah pengalaman aneh yang menakjubkan tiba-tiba saja dialami Abdul Jalil seiring dengan usahanya memahami apa yang dikemukakan oleh Misykat al-Marhum. Ia merasakan betapa jantungnya yang berdentam-dentam dan sekujur tubuhnya yang panas dingin itu mendadak tenang. Sedetik kemudian, ia mendapati betapa dirinya telah memahami sedemikian rupa rincinya tentang apa yang dikemukakan Misykat al-Marhum. Bahkan ia menangkap jelas perintah Misykat al-Marhum tentang bagaimana ia harus menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penjaga keseimbangan kehidupan umat ditengah usaha-usaha Dajjal beserta pengikut-pengikutnya mempengaruhi umat. Di antara tugas dan fungsinya itu, ia harus membuat garis batas yang tegas untuk memisahkan umat yang terpengaruh Dajjal dengan umat yang tidak terpengaruh Dajjal.

Dalam memahami ungkapan tentang Dajjal, Abdul Jalil merasakan betapa setiap kali Misykat al-Marhum menyitir hadits maka saat itu pula ia bagaikan menyaksikan pemandangan nyata yang tergelar melalui bashirah. Misalnya, saat Misykat al-Marhum menyitir hadits yang mengungkapkan bahwa Dajjal digambarkan berkulit putih. Mata kanannya buta. Mata kirinya bersinar laksana bintang (HR Bukhari) maka terpampanglah di dalam pemandangan batinnya sosok-sosok dari manusia-manusia berkulit putih, bermata biru, berambut pirang, berhidung mancung, dan bertubuh tinggi besar. Mata duniawinya (sebelah kiri) terbuka lebar dan sangat cemerlang. Sedang mata ukhrawi-nya (sebelah kanan) buta.

Misykat al-Marhum menyitir hadits yang menyatakan bahwa Dajjal memiliki gunung roti dan sungai madu. Dia juga membawa api dan air di tangannya, namun air itu sebenarnya api, dan api itu sebenarnya air (HR Bukhari). Melalui pandangan bashirah, Abdul Jalil melihat tentang sosok-sosok yang memiliki kekayaan luar biasa. Mereka suka sekali menipu orang lain dengan janji-janji palsu tentang kehidupan duniawi dan ukhrawi. Siapa pun yang menumpukan harapan kepada mereka akan mendapatkan kesesatan dan kebinasaan. Sebaliknya, siapa yang berani menantang akan beroleh kebaikan dan kemenangan.

Ketika Misykat al-Marhum menyitir hadits yang mengungkapkan bahwa Dajjal jika berjalan di atas bumi sangat cepat bagai awan dibawa angin (HR Abu Dawud), tiba-tiba pandangan bashirah Abdul Jalil terpampang kapal-kapal layar berukuran raksasa yang bergerak sangat cepat membelah samudera raya. Kemudian diiringi dentuman meriam, kepulan asap, bau mesiu, mayat bergelimpangan, dan darah berceceran dimana-mana, berhamburanlah kawanan manusia berkulit putih dari dalam kapal-kapal mereka. Demikianlah, kawanan manusia berkulit putih itu melanda ujung-ujung dunia. Dengan kerakusan tiada tara mereka memangsa apa saja yang ditemuinya di sepanjang perjalanan.

Berdasar hadits-hadits tersebut dan pandangan bashirah, Abdul Jalil menangkap makna bahwa Dajjal sebagai kaum kulit putih yang hidup mengikuti tatanan nilai yang terhijab dari al-Khaliq dan dari kehidupan ukhrawi. Itu sangat sesuai dengan makna di balik nama Dajjal yang berasal dari kata dajala: dia (yang) tertutup. Dengan demikian, yang disebut Dajjal adalah bangsa-bangsa berkulit putih yang seluruh sisi kehidupannya terhijab dar al-Khaliq. Ini berarti, siapa yang mengikuti tatanan nilai bangsa-bangsa berkulit putih maka ia akan terhijab dar al-Khaliq.

Abdul Jalil memahami bahwa tugas utama Dajjal dalam menjalankan fungsinya sebagai sang Penyesat Agung adalah membentuk “hijab-hijab” pada diri manusia, yakni melalui paham-paham yang berkaitan dengan cinta keduniawian-materialisme (hubb ad-dunya); mengagungkan akal (‘aql), yaitu simpul ikatan (‘iql) yang menjerat pikiran manusia ke arah lingkaran setan aturan-aturan indriawi yang jumud; mengumbar hawa nafsu; memuja ananiyyah (egoisme, individualisme, hedonisme); takut mati; mengingkari (kufr) keberadaan yang gaib, termasuk mengingkari keberadaan Allah (ateisme).

Pandangan hidup bangsa-bangsa kulit putih yang mengikuti tata nilai Dajjal itu semata-mata bersifat keduniaan. Lantaran itu, mereka hidup dengan mengikuti naluri keserakahan hawa nafsu. Namun, keserakahan itu akan mereka balut seolah-olah merupakan tuntunan agama. Selain itu, bangsa-bangsa kulit putih pengikut Dajjal memiliki sifat takabur seperti Iblis. Mereka juga suka menghina, menista, serta merendahkan orang lain yang berkulit lebih gelap. Bahkan karena ketakaburan itu mereka menganggap dunia ini milik mereka. Lantaran itu, mereka merasa berhak untuk mengusir dan membunuh bangsa-bangsa berkulit gelap yang mereka anggap hewan-hewan rendah pengotor dunia.

Pandangan hidup yang semata-mata bersifat keduniaan dan dilandasi sifat takabur itu telah membawa mereka pada tindak kejahatan yang paling mengerikan dalam sejarah kemanusiaan, yakni menjadikan agama sebagai alat untuk mensahkan keliaran nafsu, keserakahan, kezaliman, kecurangan, kebiadaban, kekejaman, kebuasan, dan kejahatan. Ini terjadi karena agama yang benar bagi mereka adalah agama yang menguntungkan kehidupan duniawi dan memberi kebebasan untuk mengumbar nafsu. Itu sebabnya, agama mereka tidak mengenal syari’at yang berisi aturan-aturan untuk menata kehidupan manusia sebagai penghuni bumi. Tuhan yang mereka sembah pun adalah Tuhan yang dapat menguntungkan kehidupan duniawi mereka, yakni Tuhan yang menghapuskan hukum dan aturan-aturan yang mengikat kebebasan manusia dalam melampiaskan hawa nafsu.

Manusia-manusia Dajjal itu ditandai oleh perilaku yang khas, yakni sangat mempesona jika berbicara tentang kehidupan duniawi dan mengedepankan kesaksian Allah tentang ketulusan hati mereka. Sebenarnya, mereka justru menyembunyikan pamrih dari apa yang mereka bicarakan. Saat orang-orang terpesona, mereka akan melampiaskan pamrih duniawinya hingga terjadi peperangan, penipuan, penindasan, penyiksaan, penjarahan, penistaan, dan berbagai kerusakan di muka bumi (QS al-Baqarah: 204-205).

Dengan terungkapnya makna Dajjal dalam perbincangan para wali karomah itu maka telah jelaslah bahwa kehadiran bangsa-bangsa berkulit putih ke berbagai belahan bumi senantiasa akan ditandai dengan kerusakan dan kebinasaan. Sebab, sifat dan kecenderungan manusia-manusia yang “tertutup” dari kebenaran (al-Haqq) maka seluruh gerak hidupnya semata-mata dibimbing oleh nafsu-nafsunya yang rendah yang dikendalikan oleh bisikan Iblis. Dan sebagaimana perilaku Iblis, mereka selalu berkata-kata dengan ungkapan-ungkapan yang indah dan mempesona (sebagaimana Iblis membujuk Adam dan Hawa). Mereka akan berkata tentang tugas mereka sebagai utusan Tuhan yang menyebarluaskan -Rahman (Kasih) dan Rahim (Sayang) kepada umat manusia. Namun, berbeda dengan apa yang mereka ucapkan, yang mereka perbuat justru kekejaman, kebuasan, keserakahan, ketakaburan, kecurangan, dan kejahatan yang tak pernah terbayangkan dalam pikiran waras manusia.

Sekalipun telah jelas bahwa Dajjal akan muncul dari bangsa-bangsa berkulit putih, bermata biru, berambut pirang, berhidung mancung, dan bertubuh tinggi besar, tidak seluruh bangsa itu bisa disebut bangsa Dajjal. Sebab, hidayah Allah tidak mengenal warna kulit. Di antara mereka ada juga yang tidak sepaham dan bahkan menentang nilai-nilai Dajjal. Namun, karena jumlahnya tidak besar maka mereka akan segera tersapu oleh pengaruh Dajjal, bagai selembar daun kering tertiup angin.

Usai membahas tentang kehadiran Dajjal, para wali karomah kemudian bubar begitu saja, kembali ke tempat tinggalnya masing-masing dengan penuh ketenangan dan kegembiraan. Tidak ada petunjuk ini dan itu. Mereka bahkan tidak sedikit pun menunjukkan keprihatinan apalagi cemas menyandang tugas berat yang bakal mereka jalankan.

Cahaya rembulan yang keperakan jatuh ke permukaan lembah, gunung, dan kebun-kebun kurma di sekitarnya. Udara malam sangat dingin. Di atas Jabal Uhud, Abdul Jalil bergeming duduk bersila di tempatnya sambil memandang Ahmad at-Tawallud dan Misykat al-Marhum berbincang-bincang. Suasana sangat sepi. Senyap. Sunyi. Hening. Angin gurun yang biasanya menderu-deru tak terdengar sedikit pun suaranya. Kehidupan bagai terhenti.

Dalam keheningan itu, ia mendengar detak jantung dan desah napasnya serta sayup-sayup suara Ahmad at-Tawallud dan Misykat al-Marhum. Ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Ia hanya merasa betapa keresahan diam-diam merayap ke dalam hatinya dan menjalar terus ke segenap jaringan tubuhnya. Makin lama makin merajalela.

Berbeda dengan para wali karomah lain, Abdul Jalil yang baru malam itu ditabalkan sebagai anggota Jama’ah Karamah al-Auliya’, merasa resah karena belum mengetahui apa yang harus dilakukannya untuk menghadapi Dajjal beserta bala tentaranya. Keresahan itu rupanya diketahui oleh Misykat al-Marhum yang masih berbincang-bincang dengan Ahmad at-Tawallud. Hal itu terlihat ketika dengan lambaian tongkatnya, dia menyuruh Abdul Jalil mendekat dan duduk dihadapannya.

Abdul Jalil menghambur dan buru-buru duduk bersila. Misykat al-Marhum memerintahkannya untuk memejamkan mata dan melakukan nafs al-haqq sebagaimana yang diajarkan hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq. Tanpa bertanya ia melaksanakan perintah itu.

Ketika sedang berjalan setapak demi setapak mendaki nafs al-haqq dengan memusatkan konsentrasi pada nur, ia merasakan bagian bawah keningnya – tepat di antara kedua matanya – disentuh oleh tangan Misykat al-Marhum. Berurutan dengan sentuhan itu tiba-tiba ia menyaksikan cahaya yang luar biasa terang memancar di hadapannya. Sedetik sesudahnya, kesadaran dirinya terisap ke dalam cahaya itu. Kemudian bagai anak panah yang dibidikkan ke matahari, demikianlah ia menyaksikan cahaya di hadapannya itu mekin terang hingga seakan membutakan matanya.

Abdul Jalil yang pernah mengalami berbagai peristiwa ruhani yang menakjubkan selama perjalanan mencari-Nya, sadar benar dengan apa yang dialaminya saat itu. Itu sebabnya, sedikit pun ia tidak berani bertanya-tanya. Ia membiarkan peristiwa yang membawanya ke dimensi lain itu berlangsung dan menganggapnya sebagai bagian dari pengalaman ruhani yang kebenarannya tidak perlu dijabarkan dengan akal dan pikiran. Dan lantaran itu, ia tidak mengetahui secara pasti apakah ia seperti kupu-kupu keluar dari kepompong atau sebaliknya justru seperti ular masuk ke dalam liang.

Peristiwa ruhani itu akhirnya melemparkannya ke dimensi yang tak pernah dikenalnya, yakni hamparan luas tanpa batas dengan kilasan-kilasan aneka bentuk dan warna yang senantiasa berubah-ubah yang tak terlukiskan keindahannya. Hamparan itu begitu luas hingga tidak memiliki garis cakrawala. Seluruh yang tergelar memenuhi segala penglihatan. Sementara cahaya yang luar biasa terangnya itu secara menakjubkan terbit sebagai bulatan cahaya dengan sinar gemilang memancar di kejauhan. Bulatan cahaya itu seolah-olah menjadi tumpuan batas pandangan.

Di tengah hamparan luas tanpa batas itu ia tetap meneguhkan ingatan kepada Allah. Ia mengesampingkan gelegak tanda tanya yang sempat menyembul di benaknya. Beberapa jenak kemudian ia mendengar suara-suara memanggil namanya. Suara-suara itu bukan perempuan dan bukan laki-laki. Mereka semacam al-ima’. Suara-suara itu menggetari kesadarannya.

“Ketahuilah, o Abdul Jalil, bahwa apa yang engkau saksikan ini bukanlah sesuatu yang berada di luar dirimu. Sebab, saat ini engkau tidak berada di mana-mana, melainkan di dalam dirimu sendiri. Hamparan luas tanpa batas yang tergelar di hadapanmu adalah batas khatrat antara dua alam yang terletak di dalam dirimu. Di belakangmu adalah alam akal (‘aql) yang sempit, dangkal, rendah, terbatas, dan terikat oleh dalil-dalil indriawi yang mengikat (‘iql) kebebasanmu dalam menjalin hubungan dengan Dia.”

“Hamparan luas tanpa batas yang tergelar di hadapanmu adalah bahr al-wujud yang menghamparkan kegelapan dan terang dalam bentangan bathil dan haqq, zhulumat dan nur, padat dan halus, buruk dan baik, duniawi dan ukhrawi. Di dalam hamparan bahr al-wujud itu tersembunyi haqiqah, qandil, nur as-samawati wa al-ardh, dan Nurun ‘ala Nurin (QS an-Nur: 35). Karena itu, o Abdul Jalil, ceburkanlah dirimu ke dalam hamparan bahr al-wujud jika engkau ingin mengetahui hakikat asal kejadianmu.”

Tanpa bertanya ini dan itu, ia terus membenamkan ingatannya hanya kepada Allah sambil memusatkan pandangan ke arah bulatan cahaya yang bersinar benderang. Beberapa detik kemudian, ia merasakan kesadarannya bagai terisap oleh kekuatan dahsyat yang memancar dari bulatan cahaya itu. Sesaat kemudian, ia merasakan kesadarannya meluncur masuk ke lubang cahaya tanpa dasar.

Ia membiarkan kesadarannya terseret masuk. Ia menyaksikan kilasan terang dan gelap silih berganti memasuki penglihatannya. Dan bagaikan orang terjatuh ke dalam jurang, ia merasakan kengerian luar biasa menerkam kesadarannya. Ia ingin menjerit, namun lidahnya kelu dan mulutnya seperti terkunci. Akhirnya, ia pasrah dan membiarkan kesadarannya terempas; timbul dan tenggelam di tengah kilasan-kilasan cahaya dalam keadaan antara sadar dan tidak, antara hidup dan mati.

Ketika tengah terombang-ambing di dalam lubang cahaya tiba-tiba ia mengalami peristiwa menakjubkan yang berlangsung sangat mencengangkan. Ia merasakan kesadarannya digetari oleh medan berkekuatan gaib yang sangat dahsyat, yang menyambarnya begitu cepat bagai halilintar.

Ia terkesima. Ngeri dan gentar. Kilasan-kilasan terang dan gelap silih berganti melenyap. Sesaat kemudian, ia mendapati dirinya berada di hamparan serba hitam pekat. Seperti sebuah sumur. Lubang cahaya terang benderang yang mengisapnya tadi telah terlewati. Lubang itu juga lenyap. Namun, secara ajaib lubang terang benderang itu mendadak terbit lagi di kejauhan dalam wujud bulatan yang sangat hitam pekat. Makin dekat pandangan diarahkan makin hitam pekat keadaannya. Sementara makin jauh jarak pandangan dari bulatan hitam itu makin terang keadaannya.

Abdul Jalil merasakan betapa sesuatu yang padat menyesaki kesadarannya. Jika digambarkan dalam panggung kehidupan manusia sehari-hari akan terasa seperti sesak dada dijejali sesuatu yang padat. Pandangan matanya kabur seperti ditutupi selaput. Darahnya mengalir perlahan. Bahkan peluhnya pun menetes kental.

Meski dengan pandangan kabur, ia paksakan juga mengamati hamparan hitam yang tergelar di hadapannya. Saat itulah, secara samar-samar ia menyaksikan kilasan-kilasan pemandangan yang menggetarkan. Di tengah hamparan itu, dari lubang yang hitam pekat, muncullah bayangan seekor ular raksasa berkepala empat sedang menggeliat dan mendesis-desis kelaparan. Dari keempat mulutnya menghamburlah berbagai hewan: buaya, biawak, katak, kalajengking, kelabang, cacing, dan makhluk menjijikkan lainnya. Mereka menebar dan meriap-riap mengerumuni sang ular raksasa berkepala empat.

Meski dalam keremangan, ia melihat kilasan-kilasan berjuta-juta manusia tanpa selembar pakaian berdiri berhadap-hadapan di depan bayangan ular raksasa, seolah-olah bala tentara yang hendak bertempur. Sebagian di antara mereka ada yang menunggang kuda, gajah, dan mengendarai kereta perang. Ada pula yang menumpang kapal, perahu, dan kereta manjanik (alat pelontar batu). Masing-masing memegang senjata berbagai jenis, seperti pedang, panah, tombak, senapan, dan meriam.

Dua barisan manusia yang tak terhitung jumlahnya itu diantarai oleh tumpukan harta dan bukit makanan. Aneka permata berserakan di antara piala, piring, sendok, mahkota, takhta gading, dan berbagai perhiasan yang tak ternilai harganya. Sementara bukit makanan aneka jenis dengan berbagai minuman bertimbun-timbun seolah-olah tidak akan pernah ada habisnya. Mata manusia yang mengapit pada kedua sisinya berkilau-kilau memancarkan nafsu. Air liur mereka menetes membasahi dagu dan dada.

Menyaksikan pemandangan itu, Abdul Jalil merasa tegang. Sedetik sesudah itu, dengan diiringi sorak-sorai menggemuruh bagai bukit batu runtuh, berjuta-juta orang itu berhamburan ke depan; berebut harta dan makanan. Dalam sekejap, bukit harta dan makanan telah berubah menjadi bukit manusia. Sambil tertawa terbahak-bahak orang-orang meraup dan menggenggam apa-apa yang dapat mereka raih. Namun, karena jumlah mereka sangat banyak maka berdesak-desaklah mereka hingga satu dengan yang lainnya saling sikut dan tendang.

Andaikata orang-orang yang berada di atas bukit itu masing-masing bersedia mengambil harta dan makanan secukupnya, tentu tidak akan terjadi kericuhan. Namun, yang terjadi adalah mereka yang sudah berada di atas bukit menghalau kawan-kawannya yang coba mendaki. Mereka membentuk garis lingkaran untuk menandai daerah harta dan makanan yang sudah mereka kuasai, dan menjadikan area di dalam batas itu sebagai milik pribadi.

Keributan pun pecah. Orang-orang yang merasa dihalau terus menyerbu, sedang orang-orang yang berada di belakangnya mendesak ke depan karena takut tidak kebagian. Akhirnya, terjadi saling dorong yang bermuara ke keadaan saling mengumpat, saling memukul, saling menendang, saling menyerang, saling melukai, dan saling membunuh. Jerit kesakitan dan pekik kematian mulai mengumandang bersahut-sahutan. Darah mulai tumpah. Mayat mulai bergelimpangan.

Seiring dengan semakin sengitnya perkelahian terdengarlah ringkik kuda dan jeritan gajah yang diikuti oleh gerakan bergelombang para penunggangnya ke arah bukit harta dan makanan. Roda kereta perang melaju ke arah bukit. Bahkan kereta manjanik mulai menghamburkan batu sebesar kepala kerbau.

Gemuruh peperangan meledak dengan dahsyat bagai air bah membobol tanggul. Kapal-kapal dan perahu-perahu yang semula diam ikut melibatkan diri dalam pertempuran. Gegap-gempita pertempuran pun tak dapat lagi dilukiskan. Abdul Jalil hanya bisa menyaksikan betapa orang-orang yang haus harta dan makanan itu dengan kebuasan, kebrutalan, kecurangan, kekejaman, kebengisan, keserakahan, dan kebiadaban tiada tara, menyerang siapa saja yang menghalangi hasratnya. Darah tumpah, mengalir bagai air bah. Mayat bergelimpangan dan bertumpuk-tumpuk membentuk bukit. Jerit kesakitan dan pekik kematian bersahut-sahutan. Kekacauan merebak. Tidak jelas lagi siapa lawan dan siapa kawan.

Bagaikan hewan buas kelaparan, orang-orang berubah beringas saling memangsa. Makin besar meraksasa tubuh seseorang maka dapat dipastikan dialah yang paling banyak memangsa lawan. Bahkan bagai belum cukup dengan memangsa lawan, mereka mulai menelan kuda, gajah, kereta perang, manjanik, kapal, dan perahu.

Ketika orang yang tersisa di atas bukit tinggal sekitar seratus pemenang bertubuh sangat besar bagai raksasa, terjadilah puncak keserakahan dan kerakusan. Bagaikan menyaksikan makanan lezat, para pemenang yang telah berubah menjadi raksasa itu bergerak ke satu arah, yakni mengincar bulatan hitam pekat di tengah hamparan dimensi gelap. Namun, harapan mereka berbeda dengan kenyataan. Bukan kenikmatan dan kelezatan yang mereka peroleh, melainkan kebinasaan yang mengerikan. Sebab, saat mereka mendekati bulatan hitam tiba-tiba ular raksasa bergerak menjulurkan keempat kepalanya ke depan secara bergantian.

Hap!

Sesosok tubuh raksasa sang pemenang yang paling rakus seketika masuk sebagian ke dalam mulut sang ular. Kemudian dengan kebuasan tiada tara, ketiga kepala ular secara bergantian mencabik-cabik tubuhnya. Darah muncrat ke segala arah. Serpihan daging memburat ke mana-mana. Dan perut sang pemenang yang sebesar gunung itu pun bedah. Isinya terburai menebarkan bau busuk.

Bersamaan dengan memburatnya tubuh sang pemenang ke berbagai arah, menghamburlah hewan-hewan melata yang mengerumuni ular raksasa, menyantap tanpa sisa serpihan-serpihan daging dan isi perut sang pemenang dengan kerakusan tak terbayangkan.

Pemandangan mengerikan itu rupanya tidak dipedulikan oleh pemenang lain. Mereka tetap beramai-ramai dan berdesak-desakan menuju bulatan hitam pekat yang terpampang di depannya. Seolah-olah dengan sengaja menyetorkan nyawanya ke mulut ular raksasa beserta hewan-hewan melata yang bagai tak kenal kenyang itu.

Kilasan-kilasan pemandangan menggetarkan yang disaksikan Abdul Jalil itu adalah samudera hitam ruhaniah yang merupakan hakikat jasad manusiawinya yang terbentuk dari bahan dasar lempung (thin). Dimensi inilah yang disebut al-misykat (lubang dinding yang tak tertembus cahaya). Gelap. Pekat. Hitam. Dan lantaran itu disebut juga dengan nama durrah al-aswad (mutiara hitam). Ini adalah gambaran ruhaniah dari wujud niscaya al-basyar, yakni jasad manusia yang terbentuk dari bahan lempung (thin), lempung pekat (ath-thin al-lazib), saripati lempung (sulalah), dan tanah gemuk (turab). Dari dimensi ini memancarlah sifat-sifat rendah an-nafs al-hayawaniyyah yang merupakan naluri dasar jasad manusia yang cenderung pada kebendaan. Itu sebabnya, dimensi hitam dari an-nafs al-hayawaniyyah ini disifati dengan sifat zhulmun (gelap dan sangat materialistik). Dari dimensi hitam ini terpancarlah sifat-sifat zhulmun, seperti bahimiyyah (naluri hewani), kesyahwatan, kufur, bakhil, tamak, zalim, dan huub ad-dunya.

An-nafs al-hayawaniyyah, dengan sifat zhulmun yang berdimensi hitam pekat, ini merupakan kesadaran ‘aku’ manusia yang paling rendah, yakni ‘aku’ manusia yang cenderung tertarik pada benda-benda dan bernafsu menguasai benda-benda tersebut. Kesadaran ‘aku’ ini setara kerendahannya dengan nafsu hewan melata yang paling rakus, tamak, dan serakah, hingga bangkai membusuk pun akan dimangsa. Kesyahwatan pun adalah kesyahwatan hewani yang mengarah pada naluri pengembangbiakan. Namun, akal (‘aql) manusia yang sudah dikuasai oleh an-nafs al-hayawaniyyah dengan sifat zhulmun ini akibatnya akan jauh lebih merusak dan lebih membinasakan dibanding nafsu rendah hewan melata yang tidak berakal budi.

Manusia-manusia yang tidak mampu melepaskan diri dari an-nafs al-hayawaniyyah ditandai oleh kecenderungan untuk ingkar terhadap nikmat Allah (QS Ibrahim: 34), mendewakan materi (taghut) (QS al-Baqarah: 6-7), jika terkena musibah mudah putus asa (QS Hud: 9), dan mendustakan ayat-ayat Allah (QS al-Ma’idah: 86). Dengan tanda-tanda dari perilaku seperti itu maka manusia yang terperangkap ke dalam an-nafs al-hayawaniyyah akan jatuh ke tingkat makhluk yang paling rendah, yakni asfala safilin (QS at-Tin: 5) yang terus-menerus kufur dan zalim sehingga mereka jatuh ke jurang jahanam (QS an-Nisa’: 168-169).

Saat termangu takjub di tengah-tengah hamparan durrah al-aswad tiba-tiba ia disadarkan oleh al-ima’ yang berasal dari relung-relung kesadarannya yang mengungkapkan hakikat terahasia dari apa yang disaksikannya itu.

“Ketahuilah, o Abdul Jalil, bahwa saat ini engkau tidak berada di mana-mana kecuali di dalam dirimu sendiri. Engkau berada di dalam an-nafs al-hayawaniyyah yang berjasad al-basyar dengan selubung durrah al-aswad yang dilapisi selimut al-misyikat yang ada di dalam dirimu sendiri. Karena itu, o Abdul Jalil, sadarlah bahwa sesungguhnya engkau pun tak berbeda dengan manusia lain, yakni memiliki bakat menjadi manusia paling serakah, rakus, tamak, loba, kufur, bakhil, jahil, zalim, dan cinta duniawi. Karena, sesungguhnya kilasan-kilasan yang engkau saksikan itu tidak di mana-mana tetapi di dalam dirimu sendiri.”

Setelah ungkapan rahasia al-ima’ selesai, ia melihat bulatan hitam pekat itu bergetar. Kemudian, dengan kecepatan menakjubkan bulatan hitam itu melesat ke arahnya, diikuti oleh ular raksasa berkepala empat. Ia terkesiap kaget. Ketegangan menerkam kesadarannya.

Sedetik kemudian, kesadarannya terisap oleh arus gaib yang menyeretnya ke arah salah satu mulut ular raksasa. Ia terkesima. Kengerian menerkam. Namun, ia memasrahkan hidup dan matinya hanya kepada Allah. Kilasan-kilasan tirai demi tirai yang disingkapkan ganti-berganti memasuki penglihatannya. Beberapa detik kemudian, ia terseret masuk ke dalam mulut ular raksasa. Anehnya, di dalam mulut ular itu terdapat bulatan hitam pekat. Beberapa jenak kemudian kembali ia rasakan tubuhnya melesat cepat ke arah bulatan hitam pekat. Beberapa kilasan tirai kembali tersibak dan ia telah masuk ke dalamnya.

Ia tercengang takjub sebab di dalam bulatan hitam pekat yang ia saksikan bukanlah kegelapan, melainkan hamparan samudera luas tanpa batas cakrawala yang seluruhnya berwarna kuning. Bulatan hitam pekat itu lenyap dan secara ajaib terbit kembali dalam wujud bulatan cahaya terang menyinari seluruh penjuru.

Di sana ia menyaksikan pemandangan menggetarkan perasaannya, yakni seekor anjing raksasa berbulu kuning keemasan berkepala empat muncul dari bulatan cahaya berwarna kuning. Masing-masing kepala anjing raksasa itu meraung-raung, melolong-lolong, dan mendengus-dengus sambil menjulurkan lidah. Anjing raksasa itu kelihatan sangat lapar. Lidahnya terjulur. Air liurnya menetes. Matanya nyalang.

Beberapa jenak setelah anjing raksasa muncul, menghamburlah kawanan hewan buas, seperti serigala, singa, harimau, dubug, kucing hitam, dan burung nazar dari keempat mulutnya. Dengan suara meraung-raung dan menggeram-geram, mereka mengerumuni anjing raksasa seolah-olah dia adalah induk meraka.

Bagaikan mimpi buruk yang menjijikkan, tiba-tiba di depan anjing raksasa terpampanglah kilasan-kilasan pemandangan yang menggambarkan berjuta-juta manusia tanpa pakaian. Tubuh mereka hanya ditutupi oleh perhiasan emas dan perak dengan permata manikam sehingga auratnya terbuka. Sebagian memakai topeng, sebagian tidak. Sebagian menunggang kuda, sebagian menggiring kawanan ternak, dan sebagian lagi duduk di atas tumpukan bukit gandum. Mereka terlihat bersukacita meminum anggur dan khamr.

Dalam keadaan mabuk sambil tertawa riang, mereka saling mencari pasangan. Kemudian dengan berbagai bentuk dan posisi, mereka melakukan persetubuhan baik antara laki-laki dan perempuan, laki-laki dan laki-laki, perempuan dan perempuan, bahkan manusia dan hewan. Abdul Jalil kebingungan. Ia ingin memalingkan muka, namun tak mampu melakukannya. Ia tidak mampu berpaling dari pemandangan menjijikkan karena ia tidak lagi memiliki tubuh. Ia hanya merasakan betapa menyakitkannya suatu siksaan dialami tanpa tubuh fisik, karena setiap lintasan rasa yang menerkam kesadarannya menjadi begitu leluasa menembus ke ujung-ujung jiwanya, yang tak diketahui batasnya.

Berurutan dengan kilasan-kilasan gambaran yang membingungkan itu, pemandangan menggetarkan kembali tergelar nyata di hadapan Abdul Jalil. Anjing raksasa berbulu keemasan berkepala empat dengan buas dan ganas tiada tara memangsa sebagian orang telanjang bertopeng yang sedang berpesta pora melakukan hubungan badan. Darah muncrat di mana-mana. Tubuh-tubuh robek berserpihan. Daging berhamburan. Jerit kematian mengumandang bersahut-sahutan.

Kawanan hewan buas yang mengerumuni anjing raksasa pun ikut menghambur ke arah orang-orang bertopeng dan memangsa mereka. Anehnya, bagaikan tidak melihat peristiwa mengerikan itu, orang-orang bertopeng yang lain tetap melakukan pesta pora dan persetubuhan, meski kematian sudah mengepung mereka. Sementara orang-orang telanjang yang tanpa topeng tampaknya mengetahui peristiwa mengerikan itu. Itu sebabnya, mereka menangis meraung dan melolong-lolong sambil bersujud memuji kebesaran Ilahi dengan mengumandangkan istighfar.

Kilasan-kilasan pemandangan menggetarkan yang disaksikan Abdul Jalil adalah samudera kuning yang merupakan hakikat az-zujajah. Itulah gambaran ruhaniah dari wujud niscaya al-mudhghah, yakni jasad manusia yang terbentuk dari bahan dasar lumpur (shalshal), cairan (nuthfah), cairan pekat (maniy), dan air (ma’). Karena warnanya kuning maka dimensi ini disebut durrah al-ashfar (mutiara kuning) yang merupakan manifestasi dari an-nafs al-musawwilah dengan sifat jahiliah, yakni nafsu manusia yang membangkitkan khayalan menyesatkan dan menipu. An-nafs al-musawwilah ini memancarkan gambaran-gambaran khayali yang menipu dan membawa manusia pada hasrat kesyahwatan, kecintaan terhadap harta benda, mabuk kekayaan duniawi (QS Ali ‘Imran: 14), kesyahwatan yang menyimpang (QS an-Naml: 54-55), sifat kejam (QS Yusuf: 89), tidak peka terhadap derita orang miskin (QS al-Baqarah: 273), serta cenderung berpikir dan berhasrat pada kebendaan sehingga mengingkari yang gaib (QS Hud: 29).

Pada an-nafs al-musawwilah dengan sifat jahiliah ini, kesadaran ‘aku’ manusia sudah lebih tinggi dari kesadaran ‘aku’ pada an-nafs al-hayawaniyyah. Namun, pada tingkat kesadaran ini, sang ‘aku’ masih belum bisa lepas dari berbagai kecenderungan tercela hewan buas (syuba’iyyah). Pada dimensi ini terpancar hasrat-hasrat khayali yang mengumbar keliaran nafsu perut, nafsu syahwat, dan nafsu liar manusia yang apabila tidak dikendalikan akan mengakibatkan kehancuran dan kebinasaan.

An-nafs al-musawwilah bersifat seperti anjing yang manja, patuh, dan setia, namun masih menyukai najis dan cenderung mengumbar kebuasan dan keliaran. Dari dimensi nafs ini memancar sifat syuba’iyyah, suka mengkhayal, syahwat liar, jahil, kejam, fusuq, nifaq, tha’at, dan setia. Manusia yang perilakunya dikuasai an-nafs al-musawwilah dicirikan dengan sifat-sifat khayali yang membawa orang pada perbuatan suka berdusta, suka bersumpah palsu, menghalangi orang lain menempuh kebenaran, berpaling dari kebenaran, meremehkan kekuasaan Tuhan (QS al-Munafiqun: 1-5), berbuat mungkar dan mencegah perbuatan makruf (QS at-Taubah: 67), menyombongkan diri dan hidup berfoya-foya (QS al-Ahqaf: 20), suka memakan makanan haram dan percaya ramalan dukun (QS al-Ma’idah: 3).

Tak berbeda dengan pengalaman di dimensi hitam durrah al-aswad, pada dimensi kuning ini Abdul Jalil disadarkan oleh al-ima’ bahwa apa yang disaksikannya tiada lain berada di dalam dirinya sendiri. Ia sebenarnya sama dengan manusia yang lain, yakni memendam bakat untuk menjadi orang jahil dan fasik. Di sinilah sumber fitnah, perzinahan, fahisyah, kekejian, kekejaman, kebuasan, janji palsu, saksi palsu, suka pamer, persaingan, dan perbuatan-perbuatan rendah yang melebihi hewan buas. Bahkan akal (‘aql) manusia, yang dikuasai oleh an-nafs al-musawwilah ini jika diumbar jauh lebih merusak dan membinasakan dibanding nafsu rendah hewan buas. Karena, dengan ‘aql manusia dapat melakukan apa pun sesuai kekuatan daya pikirnya.

Bulatan cahaya kuning terang yang memancar di atas hamparan samudera kuning mendadak bergerak cepat ke arah Abdul Jalil. Seiring dengannya, bergerak pula anjing raksasa dengan mulut menganga. Abdul Jalil merasakan tubuhnya terisap oleh arus gaib yang makin lama makin cepat. Dan ia pun tercekat ketika mendapati dirinya masuk ke dalam mulut anjing raksasa, lalu terus tembus ke bulatan cahaya kuning.

Bagaikan mengalami mimpi menakjubkan ia menyaksikan kilasan-kilasan bentuk dan warna di dalam mulut anjing raksasa. Namun, dalam tempo beberapa detik kilasan-kilasan bentuk dan warna itu lenyap. Dan ia mendapati dirinya berada di hamparan samudera berwarna merah yang luas tanpa batas. Bulatan cahaya kuning itu pun melenyap, namun terbit lagi dalam wujud bulatan cahaya terang berwarna merah.

Sebagaimana yang telah ia saksikan di dimensi hitam dan kuning, pada dimensi merah ini ia melihat kilasan bayangan seekor kera raksasa berbulu merah menyala, dengan empat kepala dan delapan tangan, muncul dari bulatan cahaya berwarna merah. Dengan suara keras yang menggetarkan segenap penjuru, seolah-olah diterkam kelaparan hebat, kera raksasa itu menepuk-nepuk dadanya dan melompat-lompat sambil menyeringai. Gigi-geligi dan taringnya sangat besar, tajam, serta berkilat-kilat.

Seiring dengan gerakan dan raungan kera raksasa, menghamburlah kawanan kera berbulu merah menyala dengan suara menjerit-jerit kelaparan dari keempat mulutnya. Kawanan kera yang tak terhitung jumlahnya itu kemudian beramai-ramai mengerumuni kera raksasa berkepala empat seolah-olah dia adalah induk mereka.

Tak lama kemudian, Abdul Jalil menyaksikan kilasan bayangan berjuta-juta orang yang berdesak-desakan di sepanjang hamparan samudera. Sebagian dari mereka berwajah mirip kera, sedangkan sebagian lagi berwajah mirip anjing. Mereka tergambar dalam wujud menyeringai, berteriak, menjerit, marah, dendam, bahkan kalap. Kemudian bagaikan bala tentara sedang bertempur, demikianlah jutaan orang yang sedang diterkam amarah dan dendam kesumat itu saling bunuh, saling siksa, saling aniaya, dan saling menyakiti.

Darah tumpah dan berceceran di mana-mana. Mayat-mayat bergelimpangan. Jerit kematian mengumandang sahut-menyahut. Pekik kesakitan sambung-menyambung. Sementara derai tawa kemenangan menggema di angkasa bagai ledakan halilintar. Dan orang-orang yang merasa menjadi pemenang, setelah berhasil membunuh lawan-lawannya, menepuk-nepuk dada sambil tertawa terbahak-bahak. Namun, baru beberapa jenak para pemenang melampiaskan kegembiraan, tiba-tiba salah satu mayat yang mereka bunuh bangkit sambil menggenggam pisau. Dengan gerakan menakjubkan mayat itu menikamkan pisaunya ke punggung mereka. Raungan panjang terdengar membelah angkasa. Darah muncrat. Sesaat kemudian, mereka pun ambruk ke bawah. Meregang nyawa.

Kilasan-kilasan bayangan dari orang-orang yang dirasuk dendam, amarah, kesombongan, kecemburuan, dan kepenasaran itu berlangsung sangat mengerikan. Perilaku saling bunuh, siksa, aniaya, menyakiti yang mereka lakukan itu tidak pernah berhenti. Terus berputar bagai roda. Mayat-mayat yang bergelimpangan pun bisa bangkit untuk membunuh orang yang membunuhnya. Bahkan sesama mayat itu pun terlibat saling bunuh, saling siksa, saling aniaya, dan saling menyakiti.

Ketika para pemenang dari pertarungan mengerikan itu mulai berbaris bergerak ke arah cahaya merah yang menyala di tengah hamparan luas tanpa batas, kedelapan tangan kera raksasa berbulu merah dengan sigap menangkapi mereka. Kemudian dengan kekuatan dahsyat kera raksasa yang kelaparan itu membanting tubuh mereka hingga remuk tak berbentuk.

Darah kembali muncrat ke mana-mana. Serpihan daging memburat ke berbagai penjuru. Dan sesaat sesudah itu, dengan kelahapan dan kerakusan hewan lapar, kera raksasa berbulu merah menyala menyantap daging para pemenang yang sudah luluh lantak. Keempat mulutnya yang mengang bagai gua bergantian menggigit, mengunyah, memamah, dan menelan daging para pemenang, seolah tak pernah kenyang. Demi menyaksikan kera raksasa menyantap mangsanya, kawanan kera berbulu merah menyala yang mengerumuninya pun menghambur ke depan. Dengan jeritan-jeritan garang, mereka menyerbu para pemenang. Mengeroyok. Mencakar. Menggigit. Dan memangsa.

Anehnya, bagai antri menunggu giliran dijadikan mangsa, para pemenang terus berbaris dan berdesak-desakan menuju ke arah bulatan cahaya. Dan kera raksasa yang berada di depan cahaya berwarna merah itu tinggal menerkam, membanting, dan memasukkan tubuh mereka ke mulutnya.

Kilasan-kilasan pemandangan menggetarkan di dimensi yang serba merah itu adalah manifestasi dari durrah al-ahmar (mutiara merah). Ini merupakan gambaran ruhaniah dari wujud niscaya fawa’id yang merupakan anasir api dari keberadaan jiwa manusia, yakni pengejawantahan dari an-nafs al-ammarrah (QS Yusuf: 53) yang cenderung mengarah pada kejahatan, namun juga mengarah pada rahmat Ilahi. Ini adalah sifat-sifat setani (syaithaniyyah) sekaligus sifat-sifat manusiawi (nafsaniyyah) yang mencitrai keberadaan manusia. Dari an-nafs al-ammarrah ini memancar sifat-sifat yang saling bertentangan, yaitu sifat takabur, ‘ujub, riya, kibr, kidzib, ghibah, namimah, mukhtal, hasad, haqad, ghadab, iri, dengki, dendam kesumat; dan sifat wara’, khauf, raja’, istiqamah, dan ghirah.

Dengan adanya pertentangan sifat-sifat an-nafs al-ammarrah ini maka pengendalian sekaligus pengarahan diri sangat menentukan bagi mereka yang ingin beroleh jalan lurus ke arah-Nya. Sebab, jika an-nafs al-ammarrah yang bersifat setani lepas kendali maka akan menimbulkan kesesatan dan kebinasaan sebagaimana setan menyeret manusia. Namun, jika dikendalikan dan diarahkan ke sifat takwa maka an-nafs al-ammarrah akan menuju kepada Tauhid yang berujung pada limpahan rahmat Ilahi. Sifat dari an-nafs al-ammarrah inilah yang membawa manusia gampang terpengaruh bisikan Iblis, namun sekaligus bisa membawa ke jalan yang teguh di dalam Tauhid.

Kesadaran ‘aku’ pada an-nafs al-ammarrah ini lebih tinggi derajatnya dibanding kesadaran ‘aku’ pada an-nafs al-hayawaniyyah atau pada an-nafs al-musawwilah. Namun, justru di dimensi inilah keberadaan manusia ditentukan: apakah ia akan jatuh ke dimensi yang rendah, yakni ke keburukan Iblis yang terlaknat; atau ke pintu Tauhid yang membawa limpahan rahmat Ilahi. Dimensi durrah al-ahmar atau an-nafs al-ammarrah ini adalah tahap awal dari anak tangga pertama pengetahuan ruhaniah yang wajib dilampaui oleh mereka yang berjuang menuju jalan Allah.

Pada dimensi ini pun Abdul Jalil disadarkan melalui al-ima’ bahwa apa yang disaksikannya itu bukanlah di luar dirinya, melainkan ada di dalam diri sendiri. Karena itu, secara manusiawi ia pun memiliki bakat untuk melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang disaksikannya di dimensi ini, yakni orang-orang yang terpengaruh an-nafs al-ammarrah dan bisikan jahat iblis.

Pancaran bulatan cahaya merah menyala itu tiba-tiba bergetar dan cahayanya berpendar-pendar menyilaukan. Sedetik sesudahnya, bulatan itu melesat dengan kecepatan luar biasa ke arah Abdul Jalil, diikuti kera raksasa. Ia tercekat galagapan. Kesadarannya terisap ke arus gaib yang sangat kuat yang menyeretnya ke arah mulut kera raksasa. Ia memekik ngeri, namun tak sedikitpun suara keluar dari mulutnya. Menyadari itu, buru-buru ia menacapkan konsentrasi hanya kepada Allah.

Selama beberapa detik ia merasakan tubuhnya terseret arus gaib yang kuat. Gelap dan terang silih berganti memasuki kesadarannya. Anehnya, ia mendapati dirinya tidak berada di dalam perut kera raksasa, tetapi terus menembus ke arah bulatan cahaya merah. Ia terkesima takjub. Dan mendadak ia sudah berada di hamparan samudera tanpa batas yang berwarna hijau terang. Bulatan cahaya merah menyala berganti menjadi hijau terang.

Berbeda dengan keadaan di dimensi hitam, kuning, dan merah yang telah dilampauinya, di dimensi serba hijau terang ini Abdul Jalil merasakan kesedihan dan kegembiraan silih berganti menguasai kesadarannya.

Beberapa detik merasakan kilasan kesedihan dan kegembiraan datang dan pergi, ia ganti menyaksikan kilasan bayangan raksasa berkulit hijau dengan wajah menunduk sedih muncul dari bulatan cahaya yang menerangi dimensi itu. Begitu muncul, raksasa berkulit hijau itu langsung rukuk. Meski kejadian itu berlangsung sangat cepat, Abdul Jalil sempat melihat betapa wajah raksasa hijau itu mirip dengan wajahnya. Bedanya, sang raksasa mempunyai taring sebesar buah randu.

Tiba-tiba sang raksasa memperdengarkan suara seperti orang menguap. Dan sedetik sesudah itu dari mulutnya menghambur berpuluh, beratus, bahkan beribu makhluk sekecil ibu jari kaki berkulit hijau. Bagai rayap mengerumuni ratunya, demikianlah makhluk-makhluk itu mengerumuni raksasa hijau yang masih rukuk.

Dengan terheran-heran, Abdul Jalil menyaksikan betapa sang raksasa sambil tetap rukuk terus meratap-ratap dengan air mata bercucuran. Ratapannya diikuti oleh makhluk-makhluk kecil di sekitarnya. Suara gaduh dan hingar-bingar terdengar memenuhi segenap penjuru. Rupanya, selama berpuluh-puluh tahun sang raksasa melakukan rukuk dalam keadaan puasa. Hasratnya hanya satu, yakni ingin menjadi seorang manusia paripurna (insanal-kamil). Dia sangat sadar dengan ketidaksempurnaan dirinya yang jauh dari sifat-sifat manusia paripurna.

Sang raksasa acap kali terlihat bingung karena pada saat berbuka puasa dan tidak rukuk ia mendapati dirinya terseret masuk ke dimensi an-nafs al-ammarrah dan an-nafs al-musawwilah. Namun, secepat itu pula ia segera sadar dan memaki-maki dirinya sendiri. Sang raksasa tidak segan-segan mencela perbuatannya yang tidak terpuji. Ia selalu menyesali kesalahannya. Namun, bagaikan seorang pelupa, ia cenderung mengulang-ulang perbuatan serupa. Dan bagai berputar-putar di labirin yang membingungkan, dia terus-menerus terombang-ambing antara rasa sedih yang mengalir dari penyesalan diri dan rasa gembira yang mengalir dari kesadaran terhadap luasnya rahmat Allah, Sang Penguasa samudera tobat.

Kilasan-kilasan pemandangan di dimensi serba hijau itu adalah manifestasi dari durrah al-khadhr (mutiara hijau). Dimensi ini merupakan gambaran ruhaniah dari wujud niscaya ar-ruh yang merupakan anasir asap dari keberadaan jiwa manusia, yakni pengejawantahan an-nafs al-lawwammah (QS al-Qiyamah: 2), yaitu nafsu yang mencela dan menyesali diri. Dari dimensi an-nafs al-lawwammah inilah lahir kesadaran manusia tentang keberadaan dirinya yang belum sempurna yang masih memiliki sifat-sifat hewan (bahimiyyah), kebuasan (syuba’iyyah), setani (syaithaniyyah), dan keilahian (rububiyyah) yang melahirkan sifat-sifat yang bertentangan, yakni rakus, kufur, fasik, syahwat, pikiran jahat, dusta, marah, zalim, iri hati, benci, dendam, takabur; dan juga rasa sesal, taubah, tawadhu’, Dzauq, dan khauf.

Kesadaran ‘aku’ pada an-nafs al-lawwammah ini jauh lebih tinggi derajatnya dibanding kesadaran ‘aku’ pada an-nafs al-hayawaniyyah, an-nafs al-musawwilah, dan an-nafs al-ammarrah. Sebab, ‘aku’ pada an-nafs al-lawwammah sangat sadar diri dengan berbagai kekurangannya sebagai hamba (‘abid) yang tidak sempurna. Itu sebabnya, an-nafs al-lawwammah ini cenderung membawa manusia kepada jalan Allah melalui muhasabah, taubah, kaba’ir, mujahadah, dan takhal li. An-nafs al-lawwammah adalah anak tangga kedua dari tangga pengetahuan ruhaniah untuk menuju Allah.

Pada dimensi durrah al-khadhr yang serba hijau itu Abdul Jalil disadarkan oleh al-ima’ bahwa ia pun sebagaimana manusia lain memiliki bakat untuk menjadi raksasa hijau yang rindu dengan kesempurnaan diri, namun selalu terperangkap ke dalam tindakan tercela yang tak layak dilakukan manusia paripurna.

Kembali bulatan cahaya berwarna hijau terang yang menyinari dimensi an-nafs al-lawwammah mendadak bergetar. Sedetik kemudian, bulatan itu melesat cepat ke arah Abdul Jalil. Sesudah itu, raksasa yang sedang rukuk mendadak bangkit dan melompat ke arahnya dengan mulut terngaga siap menerkam. Ia terperangah. Rasa ngeri menerkamnya.

Pada saat kengerian mencapai puncaknya, ia merasakan kesadarannya terseret arus gaib yang berkumpar-kumpar. Kemudian ia terlempar ke mulut raksasa. Gelap dan terang silih berganti memasuki kesadarannya. Suara-suara meraung terdengar memenuhi segenap pendengarannya.

Sesaat setelah itu, ia mendapati dirinya berada di hamparan samudera luas tanpa batas cakrawala yang seluruhnya berwarna biru terang. Bulatan cahaya hijau pun berganti memancarkan biru kemilau. Di dimensi serba biru ini, ia merasakan kegembiraan menguasai samudera perasaannya.

Beberapa jenak kemudia muncul raksasa berkulit biru terang dari arah bulatan cahaya. Tak berbeda dengan raksasa berkulit hijau, raksasa berkulit biru ini berwajah mirip dengan dirinya. Hanya saja, taringnya tidak sebesar taring raksasa hijau.

Raksasa berkulit biru terang memiliki hasrat yang sama dengan raksasa hijau, yakni ingin menjadi manusia paripurna. Itu sebabnya, dia terlihat sibuk melakukan berbagai amaliah ibadah fardhu maupun sunnah. Bibirnya tak henti-henti berdzikir menyebut Asma Allah. Tangannya bergerak memutar biji tasbih. Namun, pada saat-saat tertentu dia kelihatan termangu-mangu merenungkan lintasan khayalan tentang kehidupan duniawi yang menyenangkan.

Raksasa biru itu meski terlihat beribadah, pikirannya tidak seutuhnya mengarah kepada Allah. Lintasan-lintasan bayangan bersifat keduniaan sering memasuki hatinya yang kemudian mengalir ke alam pikirannya. Dia cenderung terperangkap pada jaring-jaring khayal yang ditebarnya sendiri. Dia sering mengukur-ukur berapa besar pahala yang telah diperolehnya. Bahkan acap kali muncul kefasikan di dalam hatinya yang mempertanyakan keadilan Ilahi yang membiarkan dirinya tetap sebagai raksasa kulit biru, meski telah berpuluh tahun melakukan amaliah ibadah agar bisa menjadi manusia paripurna.

Dalam panggung kehidupan manusia, raksasa berkulit biru dapat digambarkan sebagai manusia yang mampu mencegah dirinya dari perbuatan-perbuatan tercela dan mengarahkan perbuatannya ke jalan Allah. Namun demikian, manusia pada tingkatan ini belum mampu membebaskan hati (qalb) dari “lintasan pikiran” yang bersifat nafsiyah dan syaithaniyyah. “Lintasan pikiran” di hatinya ini jika dibiarkan akan mempengaruhi akal (‘aql) dan pikiran (fikr). Dan jika dibiarkan terus akan bermuara pada perbuatan fasik.

Kilasan-kilasan pemandangan di dimensi serba biru adalah manifestasi dari durra al-azraq (mutiara biru) atau gambaran ruhaniah dari wujud niscaya al-khafi yang merupakan anasir angin dari jiwa manusia, yakni pengejawantahan an-nafs al-mulhamah (QS asy-Syams: 7-8). Dari dimensi durrah al-arzaq ini memancar sifat-sifat Tauhid yang membawa manusia pada keyakinan tentang lahir dari “lintasan pikiran” (khawathir) di hati cenderung mengganggunya. Karena, “lintasan pikiran” itu selain ada yang bersifat Ilahiah dan ruhaniah, juga ada yang bersifat nafsaniyyah dan syaithaniyyah . An-nafs al-mulhamah adalah anak tangga ketiga Pengetahuan ruhaniah pada jalan menuju Allah.

Pada dimensi durrah al-azraq itu Abdul Jalil disadarkan bahwa, seperti manusia lainnya, ia pun memiliki kecenderungan menjadi makhluk yang belum sempurna menjadi manusia paripurna; manusia yang masih beroleh “lintasan pikiran” pada qalb-nya dari nafsu ananiyyah dan syaithaniyyah.

Keluar dari dimensi biru, ia masuk ke dalam dimensi putih. Di sini ia merasakan ketenangan, kebahagiaan, dan kedamaian.

Saat mengarahkan pandangan ke bulatan cahaya yang sekarang berwarna putih, ia menyaksikan sesosok bayangan muncul. Sosok itu berupa laki-laki tampan, berkulit putih, berhidung mancung, bermata bulat, berambut hitam, dan tubuhnya menebar bau harum kesturi. Laki-laki itu berdiri tegak penuh keagungan. Anehnya, wajahnya sangat mirip dirinya.

Beberapa saat kemudian tubuh laki-laki itu secara ajaib terbelah menjadi dua. Belahan yang pertama tetap menjadi laki-laki berkulit putih tampan berwajah mirip Abdul Jalil. Belahan yang kedua berubah menjadi sosok perempuan yang sangat cantik jelita; kulitnya putih, hidungnya mancung, matanya bulat hitam memancarkan pesona, rambutnya hitam, dan dari tubuhnya menebar bau harum yang memabukkan penciuman. Tubuh perempuan itu benar-benar indah dan sangat sempurna. Belum pernah ia menyaksikan perempuan sesempurna itu, baik kecantikan, keayuan, kemolekan, maupun kesintalan tubuhnya. Anehnya, wajah perempuan itu sepintas juga sangat mirip dengan wajahnya sehingga mereka seolah-olah saudara kembar.

Seiring dengan kemunculan laki-laki dan perempuan sempurna dan bulatan cahaya berwarna putih, Abdul Jalil menyaksikan kilasan-kilasan gambaran dari berjuta-juta orang berkulit putih yang berkumpul di hamparan taman yang sangat luar biasa menakjubkan; bangunan-bangunan untuk melepas lelah yang sangat indah. Bunga-bunga aneka warna terhampar di antara rerumputan hijau. Buah-buahan segar bergantungan di pohon-pohon yang rendah dahannya. Air sungai dari susu mengalir deras. Telaga madu terhampar memukau. Dan berjuta-juta bidadari cantik dengan mata bersinar laksana bintang beterbangan dengan sayap-sayap putih. Orang-orang berkulit putih itu bercengrama dengan bidadari-bidadari di atas tilam sutera sambil menikmati makanan dan minuman. Mereka tertawa riang mendengar alunan musik surgawi yang mengiringi nyanyian bidadari-bidadari yang melantunkan kasidah-kasidah yang syair-syairnya memuji kebesaran Ilahi.

Kilasan-kilasan pemandangan yang disaksikan Abdul Jalil di dimensi yang serba putih itu adalah manifestasi dari durrah al-baidha’ (mutiara putih) atau gambaran ruhaniah dari wujud niscaya al-akfa yang merupakan anasir cahaya dari keberadaan jiwa manusia, yakni pengejawantahan an-nafs al-muthma’innah (QS al-Fajr: 27) yang memancarkan sifat syukur, qana’ah dzauq, mahabbah, zuhud, sabar, ridho, ikhlas, dan ingat mati. An-nafs al-muthma’innah adalah anak tangga keempat Pengetahuan pada jalan menuju Allah. Pada dimensi durrah al-baidha’ yang serba putih ini terletak perbendaharaan al-Ilmu (‘ilmu al-yaqin) yang menjadi wahana menuju Dia.

Pada dimensi durrah al-baidha’, ia disadarkan oleh al-ima’ bahwa itulah citra surgawi yang berada di dirinya yang merupakan citra kodrati tiap manusia. Itu sebabnya, jika ingin menikmati kelezatan surgawi maka hendaknya ia memasuki dimensi itu dan tinggal abadi di situ. Pada dimensi itulah seluruh kenikmatan dan kelezatan dirasakan manusia, baik dalam hal hawa, jenis makanan, jenis minuman, jenis pakaian, maupun jenis kesyahwatan.

Bulatan cahaya putih terang yang menerangi hamparan luas tanpa batas itu mendadak memancarkan cahaya yang berpendar-pendar menyilaukan mata. Sedetik kemudian, bulatan cahaya itu melesat dengan kecepatan luar biasa ke arahnya. Ia terkesima takjub ketika menyaksikan hamparan luas di depannya terlipat dengan garis cakrawala bergerak tak beraturan. Kilasan-kilasan gambar taman-taman yang indah dengan seluruh penghuninya melenyap. Yang tersisa dari bentuk-bentuk yang mewujud di hamparan luas itu hanya sosok laki-laki berkulit putih dan perempuan cantik yang berwajah mirip dirinya.

Ketika kilauan cahaya yang berpendar-pendar itu makin dekat dan bertumpang tindih tak beraturan, ia menyaksikan sosok laki-laki tampan itu tiba-tiba merentangkan kedua tangannya. Pada saat yang sama, sosok yan perempuan juga melakukan hal serupa.

Dengan kedua tangan terbuka, dua sosok manusia yang bagai kembar itu bergerak maju saling mendekat. Makin lama jarak keduanya makin dekat. Ketika tinggal sejengkal, sosok laki-laki dan perempuan itu bagai memiliki daya isap saling menarik. Keduanya kemudian beradu. Berangkulan. Melekat.

Peristiwa aneh yang menakjubkan itu membuat Abdul Jalil terkesima takjub. Dua sosok manusia yang berangkulan dan melekat itu mendadak melakukan gerakan memutar. Makin lama makin cepat seperti gasing. Dalam hitungan detik, keduanya sudah tidak lagi terlihat bentuknya. Putaran yang cepat itu membuat keduanya mewujud dalam bentuk cahaya bulat dan panjang seperti tongkat.

Ketika putaran bertambah cepat, terjadilah peristiwa yang menggetarkan; cahaya bulat dan panjang bagai gasing itu meledak dengan suara gemuruh disertai percikan cahaya kilau-kemilau yang memburat ke berbagai arah. Di antara pancaran cahaya kemilau itu menyembul sosok laki-laki tampan berkulit putih yang wajahnya mirip Abdul Jalil. Sosok itu berdiri penuh keagungan. Sendirian. Sosok yang perempuan lenyap tanpa bekas.

Belum usai peristiwa menakjubkan itu berlangsung, tiba-tiba peristiwa menakjubkan yang lain terjadi. Dari tubuh laki-laki tampan itu memancar cahaya berpendar-pendar.

Bagaikan mimpi, ia menyaksikan cahaya yang memancar dari tubuh laki-laki itu terbelah dua secara vertikal. Keduanya sama-sama menyilaukan. Cahaya yang memancar dari tubuh bagian kanan mulai dari kepala kanan hingga ke kaki bersinar kemilau laksana pancaran cahaya intan dipantulkan. Cahaya yang memancar dari tubuh bagian kiri mulai dari kepala kiri hingga ke kaki bersinar kemilau laksana pancaran cahaya perak. Dan secara ajaib, dua cahaya yang berbeda itu berkali-kali berganti tampat dari kanan ke kiri dan sebaliknya.

Peristiwa yang disaksikan Abdul Jalil, terutama tampilnya laki-laki yang dipancari dua cahaya itu adalah manifestasi dari nur al-baidha’ (cahaya putih) atau gambaran ruhaniah dari wujud niscaya ana yang merupakan citra dari jiwa pertama Adam, yakni pengejawantahan dari an-nafs al-wahidah (QS al-A’raf: 189), sumber asal kejadian manusia. An-nafs al-wahidah ini dicipta dengan “kedua belah tangan” Allah (QS Shad: 75), yaitu pancaran hakiki al-Jalal (Mahaagung) dan al-Jamal (Mahaindah).

Al-Jalal adalah manifestasi ketakterbandingan Allah (tanzih). Sifat-sifat Keagungan-Nya mencakup al-‘Azhim (Mahaagung), al-Qahhar (Mahagagah), al-Qawiy (Mahakuat), al-Jabbar (Mahaperkasa), al-Muntaqim (Maha Penyiksa).

Al-Jamal adalah manifestasi keserupaan Allah (tasybih) yang terdiri atas sifat rahmah dan althaf (Pemurah) dari Kehadiran Ilahi. Sifat-sifat Keindahan-Nya mencakup al-Lathif (Mahalembut), ar-Rahman (Maha Pengasih), ar-Rahim (Maha Penyayang), al-Halim (Maha Penyantun), al-Waliy (Maha Melindungi), al-Karim (Maha Pemurah), al-Hayyu (Mahahidup), ash-Shabur (Maha Penyabar).

Sifat-sifat al-Jalal berlawanan dengan sifat al-Jamal. Namun, dari pertentangan dua sifat itulah mengejawantah hakikat al-Kamal (Kesempurnaan). Dengan demikian, Adam yang dicipta dengan “kedua tangan” Allah, yakni al-Jalal dan al-Jamal, secara asasi memiliki sifat-sifat sempurna (kamal). Sifat-sifat sempurna Adam itu termanifestasikan pada keberadaan Adam yang dicipta sesuai gambar-Nya (kholaq al-insan ‘alashurah ar-Rahman). Dan lantaran itu, seluruh malaikat diperintahkan sujud kepada Adam (QS Shad: 72).

Pada manifestasi nur al-baidha’ atau gambaran ruhaniah dari wujud niscaya ana yang merupakan citra dari jiwa pertama Adam, yakni pengejawantahan an-nafs al-wahidah, Abdul Jalil disadarkan oleh al-ima’ bahwa saat itu ia tidak berada di mana-mana kecuali di dalam dirinya sendiri. Dan sosok bercahaya yang dijumpainya bukanlah orang lain, melainkan dirinya sendiri. Dua pancaran cahaya yang berganti-ganti memancar dari tubuh manusia bercahaya itu adalah citra dari dua nafs yang menyatu dalam satu kesatuan an-nafs al-wahidah. Cahaya yang memancar di sebelah kanan adalah manifestasi an-nafs al-mardhiyyah yang memancar dari dinding al-Jalal. Sedang cahaya yang memancar di sebelah kiri adalah manifestasi an-nafs ar-radhiyyah yang memancar dari taman al-Jamal.

Pada pengejawantahan an-nafs al-wahidah inilah terletak jiwa pertama Adam, citra al-insan yang di dalamnya disemayami Ruh Ilahi, yakni Adam Ma’rifat yang tanpa hijab dapat berhubungan dan berwawansabda dengan al-Khaliq, malaikat, dan Iblis. Pada an-nafs al-wahidah itu bersemayam bashirah (mata bathin), yakni piranti yang bersumber dari al-Bashir. Melalui bashirah itu Adam dapat menyaksikan alam gaib. Inilah derajat Adam Ma’rifat. Inilah perbendaharaan al-Bashir (‘ain al-yaqin) yang menjadi piranti utama untuk menyaksikan Keagungan-Nya.

Ketika Abdul Jalil sedang terkesima takjub menyaksikan keajaiban manifestasi an-nafs al-wahidah dalam wujud citra Adam Ma’rifat yang berwajah mirip dirinya, dengan tubuh memancarkan cahaya, tiba-tiba ia menyaksikan citra Adam Ma’rifat itu memancarkan cahayan yang sangat menyilaukan. Ia terperangah takjub. Sedetik kemudian, ia merasakan kesadarannya terisap oleh cahaya yang memancar dari citra Adam Ma’rifat.

Isapan cahaya itu sangat dahsyat. Bagaikan anak panah lepas dari busurnya, kesadaran Abdul Jalil melesat dan menancap ke citra Adam Ma’rifat. Namun, ia tidak tahu apakah kesadarannya sudah berada di dalam atau masih di luar citra Adam Ma’rifat. Ia hanya menyaksikan kilasan-kilasan cahaya berkumpar-kumpar dalam aneka bentuk ketika melintasi tirai-tirai gaib.

Kemudian ia mendapati kesadarannya berada di suatu hamparan luas tanpa batas. Namun, kali ini ia tidak melihat bulatan cahaya. Sejauh mata memandang yang terpampang hanya keluasan yang kosong tanpa bentuk dan tanpa pusat cahaya. Anehnya, tempat ini terang benderang di segenap penjuru. Lebih aneh lagi, ia seperti dapat melihat ke segala arah. Tidak ada arah depan. Tidak ada arah belakang. Tidak ada kanan. Tidak ada kiri. Semuanya terlihat dengan terang dan jelas. Tidak ada bentuk apa pun. Seluruhnya hening. Sunyi. Sepi. Hampa.

Ia tidak merasakan perasaan apa pun baik sedih, kecewa, susah, senang, gembira, damai, maupun bahagia. Ia juga tidak merasakan sejuk, hangat, panas, maupun dingin. Pun tidak ada rasa sakit, letih, lesu, lemah, kuat, sehat, nikmat, ataupun lezat. Seluruh rasa telah terhapus. Seluruh citra manusiawinya seolah-olah sirna.

Ketika sedang termangu takjub menghayati pengalaman aneh itu tiba-tiba ia merasakan kesadarannya terbelah seperti kelopak bunga yang mekar. Kemudian secara ajaib ia saksikan sosok dirinya dalam wujud sebesar ibu jari tangan melayang-layang di atas kelopak kesadarannya. Sosok sebesar ibu jari tangan itu memancarkan cahaya putih kehijau-hijauan yang berkilau bagai permata zamrud disinari cahaya matahari. Sosok itulah satu-satunya wujud di tengah hamparan luas tanpa batas yang disaksikan oleh kesadarannya.

Sosok sebesar ibu jari tangan itu adalah manifestasi dari ar-ruh al-idhafi, yakni ruh-Nya yang ditiupkan ke dalam diri al-basyar (QS Shad: 72). Ruh ini memiliki sifat manusiawi sekaligus ilahiah. Lantaran itu disebut ar-ruh al-idhafi, yakni ruh yang “dinisbatkan” kepada Allah.

Berbeda dengan pengalaman melintasi dimensi-dimensi nafs sebelumnya, di hadapan sosok sebesar ibu jari tangan yang mirip dirinya itu ia tidak mendapati al-ima’ menyeruak dari kedalaman jiwanya. Al-ima’ yang ia dapatkan justru berasal dari sosok itu. Inti percakapan itu berbunyi:

“Jangan syak dan ragu lagi, o Abdul Jalil, bahwa akulah kesadaran ‘aku’ yang terpendam dan tersuci dari kesadaran kemanusiaanmu. Akulah hakikat keberadaanmu yang sejati. Sebab, engkau tiada lain adalah bayangan dari keberadaan sejatiku. Engkau adalah Buah Tauhid segar dari Pohon Kehidupan (syajarah al-hayy) yang tumbuh di Taman Alam Raya (al-jannah al-kauniyyah). Engkaulah salah satu buah terbaik di antara buah yang baik yang dilahirkan untuk manusia (QS Ali ‘Imran: 110), yakni buah yang tumbuh dari Ranting Kesempurnaan (kamaliyyah) yang merupakan cabang dari Dahan Pengetahuan (ma’rifat).”

“Bersyukurlah engkau, o Buah Tauhid, bahwa Dia telah menjadikan sinar untukmu dalam makna: Wa ja’alna lahu nuran (QS al-An’am: 122) yang memancarkan nikmat-Nya yang tak terhitung (QS Ibrahim: 34) sehingga engkau menjadi Buah Tauhid mulia yang tumbuh dari benih Adam dalam makna: Wa laqad karamna bani Adam (QS al-Isra: 70). Engkaulah Buah Tauhid yang ditetapkan oleh-Nya untuk mengetahui hakikat benih yang menjadi asal kejadianmu yang terangkum dalam makna: Innani ana Allah la ilaha illa ana fa’budni (QS Thaha: 14). Bahkan engkau ditetapkan olehnya untuk mengetahui Gudang Simpanan benih (al-kanziyyah) dalam makna: Kuntu kanzan makhfiyyan (hadits Qudsi).”

“Jika aku adalah Buah Tauhid yang mulia yang tumbuh dari benih Adam,” ujar Abdul Jalil, “berarti ada buah yang lain yang tidak termasuk ke dalam kumpulan Buah Tauhid. Dan apakah yang Tuan maksud dengan perumpamaan buah, benih, dahan, cabang, dan ranting itu bermakna dunia ini adalah gambaran simbolik dari sebatang Pohon Dunia (syajarah ad-dunya) yang tumbuh di Taman Alam Raya (al-jannah al-kauniyyah)?”

“Ketahuilah, o Buah Tauhid, bahwa Pohon Dunia yang tumbuh di Taman Alam Raya ini tegak di atas Akar Kehendak (al-Iradah) yang dinaungi Dahan-Dahan Kuasa (al-Qudrah). Dari Dahan-Dahan Kuasa ini muncul dua anak cabang yang berbeda. Pertama, Anak Cabang Pengetahuan (ma’rifat) yang membelah menjadi Ranting Kesempurnaan (kamaliyyah). Kedua, Anak Cabang Ketidaktahuan (nakirah) yang membelah menjadi Ranting Kekufuran (al-kufriyyah).”

“Dari Ranting Kesempurnaan akan muncul Buah Tauhid. Buah-Buah Tauhid itulah yang disebut ashhab al-yamin (kelompok kanan). Di dalam kumpulan ashhab al-yamin terdapat buah-buah segar dan ranum yang disukai Sang Penanam, yakni buah al-muqarrabin, al-muttaqin, as-shiddiqin, al-‘arifin, al-muhibbin.”

“Sedang dari Ranting Kekufuran akan muncul Buah Kekufuran (kufriyyah). Buah-Buah itulah yang disebut ashhab asy-syimal (kelompok kiri). Kumpulan ashhab asy-syimal berisi buah-buah busuk berulat yang tidak disukai Sang Penanam, yakni buah al-munafiqin, al-kafirin, al-fasiqin, al-musyrikin, al-kadzibin, azh-zhalimin.”

“Ketahuilah, o Buah Tauhid, bahwa keberadaan ashhab al-yamin dan ashhab asy-syimal adalah keniscayaan dari keberadaan Pohon Dunia. Karena itu, Sang Pemilik (Malik al-Mulki) Pohon Dunia dan Taman Alam Raya akan memerintahkan para pemetik yang dipimpin oleh Izrail untuk mengambil Buah Tauhid yang terikat dalam kumpulan ashhab al-yamin dengan cara yang baik (husn al-khatimah). Buah-Buah Tauhid itu akan ditempatkan di Keranjang Penantian (al-barzakh) yang baik untuk dipersembahkan kepada Sang Pemilik saat Hari Pemilihan tiba (yaum al-hisab). Saat dihidangkan, buah-buah terpilih itu akan ditempatkan dalam Talam ‘Iliyyn yang tak terbayangkan keindahannya untuk dijadikan “santapan” Sang Pemilik. Bahkan, bagi Buah-Buah Tauhid yang benar-benar terpilih dan disukai Sang Pemilik, begitu dipetik akan langsung dipersembahkan sebagai “santapan” kesukaan Sang Pemilik.”

“Sementara itu, Buah Kekufuran setengah busuk dan yang busuk berulat, yang terikat dalam kumpulan ashhab asy-syimal akan dipetik dengan cara yang sangat buruk (su’ul al-khatimah). Buah-Buah itu akan dikuliti di Keranjang Penantian yang buruk (‘adzab al-qubr). Saat datang Hari Pemilihan (yaum al-hisab), mereka akan dipilah dan dipilih di urutan paling akhir. Demikianlah, mereka akhirnya dilemparkan ke lubang-lubang pembuangan sesuai tingkat kebusukannya. Buah-Buah terbuang itu akan dijauhkan dari Sang Pemilik dan ditempatkan di lubang Sijjin yang tak terbayangkan keburukan dan kenistaannya.”

“Bagaimana dengan peristiwa pemetikan massal buah-buah busuk seperti pada zaman Nuh, Syuaib, Shalih, dan Luth?” tanya Abdul Jalil. “Apakah itu berarti Buah Kekufuran lebih banyak jumlahnya dibanding Buah Tauhid? Jika sudah demikian, kenapa Pohon Dunia tidak ditebang saja?”

“Ketahuilah o Buah Tauhid, bahwa pada musim-musim tertentu yang ditentukan oleh Kehendak-Nya (al-Iradah) dan Kuasa-Nya (al-Qudrah) maka Sang Maha Penyesat (al-Mudhill), Yang Maha Mencabut (al-Qabidh), Maha Membinasakan (al-Mumit), Maha Menyiksa (al-Muntaqim), dan Maha Memberi Bahaya (adh-Dharr) akan meniupkan angin ablasa yang berembus melintasi negeri kesengsaraan membawa benih-benih pohon zaqqum. Ketika angin ablasa meniup maka benih-benih dari pohon zaqqum akan menimbulkan kerusakan dahsyat pada Pohon Dunia.

“Benih-benih itu ketika jatuh di daun, dahan, dan ranting Pohon Dunia akan berubah secara ajaib menjadi ulat-ulat yang sangat ganas. Ulat-ulat jelmaan itu kemudian bergerak menggeragoti buah, bunga, daun, ranting, dan bahkan dahan Pohon Dunia. Saat itulah kebusukan dan kebinasaan menimpa Pohon Dunia. Bahkan secara cepat Buah-Buah Tauhid dari kumpulan ashhab al-yamin yang tumbuh di ranting kamaliyyah ikut membusuk. Demikianlah, dalam tempo singkat hampir seluruh buah di Pohon Dunia itu membusuk, kecuali beberapa butir saja.”

“Melalui Kehendak-Nya dan Kekuasaan-Nya pula Sang Maha Penjaga (al-Muhaimin), Yang Maha Memelihara (al-Hafizh), Maha Penyelamat (as-Salam), Maha Pengasih (ar-Rahman), Maha Penyayang (ar-Rahim), dan Maha Pengampun (al-Ghaffar) saat itu meninggalkan Pohon Dunia. Dan jika sudah demikian, tak perlu dijelaskan lagi apa yang harus dilakukan oleh Sang Pemilik terhadap Buah-Buah Kekufuran yang sudah membusuk dan membahayakan Pohon Dunia.”

Selama ini Pohon Dunia tumbuh sebagai bukti Kebesaran dan Keagungan Sang Pemilik. Itu sebabnya, berbagai kerusakan yang terjadi di antara buah, dedaunan, serta dahan Pohon Dunia hanya dibersihkan pada bagian yang rusak itu saja. Namun, suatu hari ketika Pohon Dunia sudah sangat tua maka Sang Pemilik Yang Maha Menyiksa (al-Muntaqim), Maha Mengakhiri (al-Mu’ahkhir), Maha Membinasakan (al-Mumit), Maha Menista (al-Khafidh), dan Maha Mencabut (al-Qabidh) akan menebang Pohon Dunia untuk dijadikan kayu bakar Tungku Jahanam.”

“Ketahuilah, o Buah Tauhid, bahwa saat Pohon Dunia dijadika kayu bakar Tungku Jahanam maka para pecinta Pohon Dunia akan ikut terbakar. Makin kuat kecintaan buah-buah terhadap Pohon Dunia maka akan semakin dekat ia ke Tungku Jahanam. Sementara orang-orang yang tidak mencintai Pohon Dunia atau orang-orang yang menjadikan Pohon Dunia sebagai tempat tumbuh sementara akan terhindar dari Tungku Jahanam. Karena, mereka termasuk ke dalam kelompok Buah Tauhid dari kumpulan ashhab al-yamin yang dipersembahkan kepada Sang Pemilik.”

“Apakah benih-benih dari pohon zaqqum yang berubah menjadi ulat perusak itu yang kemudian disebut ulat dajjala?” tanya Abdul Jalil.

“Engkau telah tahu akan itu.”

Ketika ia hendak melanjutkan pertanyaan demi pertanyaan, tiba-tiba ia merasakan kesadarannya ditarik oleh kumparan gaib yang memiliki daya isap luar biasa. Ia tersentak. Citra ar-ruh al-idhafi yang menampak dalam wujud orang yang mirip dirinya, namun besarnya hanya seibu jari tangan itu, mendadak lenyap. Sesaat setelah itu, ia menyaksikan kilasan warna-warni memasuki penglihatannya. Kemudian terang dan gelap berganti-ganti.

Sepersekian detik setelah mengalami peristiwa mencengangkan, ia tersentak kaget bagai terbangun dari mimpi menggetarkan. Saat membuka mata, bentuk yang pertama kali dilihatnya adalah tongkat Misykat al-Marhum yang berdiri tegak di hadapannya dalam jarak sekitar satu depa. Wujud tongkat Misykat al-Marhum yang dilukis warna warni itu sangat mengagetkannya. Tongkat itu mengingatkannya pada dimensi-dimensi dari nafs-nafs yang baru saja dilampauinya. Bagian ujung terbawah tongkat, misalnya, dicat warna hitam, sesudah itu kuning, merah, hijau, biru, putih, dan emas. Di atas warna emas ada batu bulat sejenis kaca yang bening. Kaca bulat itukah citra simbolik dari ar-ruh al-idhafi?

Ketika sedang merangkai-rangkai dan mengait-ngaitkan pengalaman menakjubkan yang baru saja dialaminya dengan warna-warna tongkat, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara Misykat al-Marhum yang menyitir sebuah hadits, “Istafti qalbaka wa in aftauka wa aftauka wa aftauka. Mintalah fatwa kepada qalb-mu walau orang lain telah berfatwa kepadamu, telah berfatwa kepadamu, telah berfatwa kepadamu.”

Abdul Jalil menarik napas berat. Meski sangat ingin bertanya, akhirnya ia mengurungkan niatnya. Ia sepertinya menangkap sasmita betapa dengan disitirnya hadits itu maka sangatlah tidak sopan jika ia masih bertanya lagi soal ini dan itu. Itu sebabnya, sebagai tanda memahami isyarat yang dilontarkan Misykat al-Marhum, ia bangkit dari duduk dan kemudian dengan segenap rasa hormat dan takzim mencium kedua kakinya.

Saat mencium kaki Misykat al-Marhum, sekilas di kalbunya terlintas penyesalan karena ia harus kembali lagi ke dunia yang penuh kesengsaraan dan derita. Abdul Jalil jujur mengakui bahwa apa yang telah dialaminya dengan memasuki dimensi di mana ar-ruh al-idhafi bersemayam itu adalah tempat yang paling luar biasa nikmatnya yang sebelumnya tak pernah dirasakannya. Sebenarnya ia sangat tidak ingin meninggalkan dimensi itu. Ia ingin terus tinggal di situ.

Bagaikan mengetahui lintasan perasaan dan kilasan pikiran Abdul Jalil, Misykat al-Marhum mengingatkan, “Jangan engkau anggap ar-ruh al-idhafi yang telah engkau jumpai itu adalah akhir dari perjalananmu. Sebab ar-ruh al-idhafi hanyalah guru sejati tempat engkau bertanya tentang berbagai hal, baik yang ukhrawi maupun duniawi. Dia seibarat bola kaca di atas tongkat ini. Di atas pelambang bola kaca ini masih ada yang tak tampak dan tak dapat dilambangkan, yaitu ar-Ruh al-Haqq. Di atas ar-Ruh al-Haqq masih ada lagi yang lebih tak dapat dilambangkan dan disetarakan sesuatu, yaitu al-Haqq.”

“Saya paham Tuan,” kata Abdul Jalil sambil meneteskan air mata, “namun setelah melewati pengalaman tadi saya seperti tidak sanggup lagi menjalani kesengsaraan dan penderitaan hidup di dunia ini. Saya ingin tinggal di sana.”

Misykat al-Marhum menghentakkan tongkatnya ke tanah. Bumi bergetar. Abdul Jalil merasakan hatinya kecut. “Seorang laki-laki (ar-rajul) yang telah dipilih-Nya adalah manusia sejati (ar-rijal) yang tidak boleh memilih-milih Tempat (makan) dan Waktu (zaman). Sebab, bagi laki-laki terpilih, kemuliaan yang dianugerahkan kepadanya bukan lagi kemuliaan dalam hal makan (tempat), melainkan kemuliaan dalam makanah (tingkatan). Laki-laki yang terpilih sudah merangkum tingkatan-tingkatan dalam kelapangan tempat itu (manzil fi al-bisath). Maknanya, jika engkau beranggapan bahwa di maqam ar-ruh al-idhafi itu engkau harus berhenti maka engkau telah terjebak ke dalam lingkaran nafsumu yang halus. Karena, laki-laki yang terpilih sudah tidak menduduki maqam (la maqam). Sebab, laki-laki terpilih selalu bersama-Nya, Yang Tak Terikat maqam.”

“Laki-laki sejati yang telah dipilih-Nya tidak juga boleh terikat oleh zaman dari Taman Alam Raya, apalagi zaman dari Pohon Dunia. Sebab, laki-laki yang sudah terpilih selalu bersama Sang Waktu Abadi (ad-Dahr). Dia berada di dalam lingkaran zaman hanya untuk menunggu panggilan Sang Waktu Abadi. Lantaran itu, berada di mana pun dan pada saat kapan pun dia tidak boleh memilih-milih yang disukai nafsunya. Bahkan jika harus ditempatkan di neraka jahanam pun dia tidak boleh menolak, karena laki-laki yang terpilih selalu bersama-Nya, Sang Pencipta (al-Khaliq) yang tidak terikat dan tidak terpengaruh oleh ciptaan-Nya (makhluk).”

Manusia pada hakikatnya tidak memiliki kehendak, meski sebesar zarah, sebab yang maha berkehendak hanyalah Allah, Rabb alam semesta (QS at-Takwir: 29). Itu sebabnya, dalam hal kelahiran, perkawinan, peruntungan nasib baik dan buruk, dan kematian adalah mutlak ditentukan oleh-Nya. Tidak satu makhluk pun bisa menentukan apakah dirinya harus menjadi manusia, jin, malaikat, hewan, atau tetumbuhan. Pun tidak seorang juga dapat memilih lahir di dunia sebagai laki-laki atau perempuan. Tidak juga orang dapat memilih harus lahir dari keluarga kaya atau keluarga terhormat. Bahkan seseorang tidak dapat mengatur apakah dirinya harus mati dalam keadaan husn al-khatimah atau su’u al-khatimah. Semua yang mengatur Allah. Mutlak.

Sekalipun apa yang diyakini oleh Abdul Jalil ini secara konseptual tidak ditolak oleh umat Islam pada umumnya, pada tingkat praktik hal itu jarang diterima apalagi dijalankan secara konsekuen. Maksudnya, kaum Muslimin umumnya lebih memilih dan berusaha menjadikan diri mereka sebagai sesuatu yang serba menyenangkan dan menguntungkan. Jika disuruh memilih jenis kelamin, misalnya, seorang Muslim cenderung akan memilih laki-laki. Kalau disuruh memilih status maka mereka cenderung memilih lahir dari keluarga yang kaya dan terhormat. Bahkan kalau disuruh memilih istri maka mereka akan memilih istri cantik, kaya, bangsawan, dan salehah. Begitu juga jika disuruh memilih martabat, pangkat, dan derajat hidup maka akan dipilihnya hidup yang serba dilimpahi rezeki, dilingkari kemewahan, ditaburi puja dan puji, dijejali kesenangan dan kelezatan. Jika mati akan memilih husn al-khatimah dan masuk surga tanpa hisab.

Bertolak dari keyakinan yang kuat tentang kemutlakkan kehendak Allah yang sangat berbeda dalam tataran praktik dibanding pemahaman kaum Muslimin seumumnya, Abdul Jalil tidak mempersoalkan tetek bengek ukuran yang digunakan orang untuk memuaskan hawa nafsunya. Ini setidaknya dibuktikan saat ia menerima keputusan-Nya untuk menikah dengan perempuan yang belum pernah ia lihat wajahnya.

Cerita tentang pernikahan itu bermula dari perintah Misykat al-Marhum agar ia segera menemui Syaikh Abdul Malik al-Baghdady untuk menyampaikan pesan khusus. Abdul Jalil secara lisan diperintahkan untuk memohon kepada Syaikh Abdul Malik al-Baghdady agar diperkenankan memasuki mahligai Adam Ma’rifat yang merupakan manifestasi an-nafs al-wahidah. Misykat al-Marhum tidak menjelaskan makna di balik pesannya itu, kecuali mengisyaratkan bahwa perjalanan menuju-Nya tidak akan sampai jika belum memasuki mahligai Adam Ma’rifat.

Sebagai salik yang mampu berkomunikasi dengan ar-ruh al-idhafi, akhirnya ia menangkap makna di balik pesan Misykat al-Marhum. Ia diberi tahu oleh ar-ruh al-idhafi, melalui al-ima’, bahwa ujung di balik pesan Misykat al-Marhum itu pada hakikatnya adalah ketentuan-Nya yang menghendaki agar dirinya menikah dengan perempuan yang dipilihkan olah Syaikh Abdul Malik.

Sejak mengalami peristiwa menakjubkan memasuki nafs-nafs, ia merasa ada yang aneh pada dirinya, terutama saat menunaikan titah Misykat al-Marhum untuk menjumpai Syaikh Abdul Malik. Semestinya, dengan mengetahui makna di balik titah itu, ia akan memikirkan atau sedikitnya memperoleh lintasan pikiran tentang perempuan yang bakal dijodohkan dengannya. Sebagai manusia yang waras tentu ia akan membayangkan, meski sepintas, perempuan yang bakal dinikahinya: Apakah tubuhnya gemuk, cebol, matanya buta sebelah, giginya merongos, hidungnya melengkung seperti paruh rajawali, atau tangannya lumpuh sebelah?

Namun, nalurinya sebagai laki-laki dari bangsa manusia ternyata tidak terjadi sebagai kemestian. Ia justru merasa benaknya seperti hamparan putih yang tidak ternoda oleh sepercik pun bias angan-angan atau lintasan khayalan, dan berbagai limpahan ilham justru memancar dari mahligai ar-ruh al-idhafi bagaikan mata air yang tak pernah kering. Ini benar-benar peristiwa aneh yang sempat membuatnya terheran-heran dan meragukan kewarasan dirinya. Bahkan ia sedikit pun tidak sempat membayangkan sifat perempuan yang bakal dipilih menjadi istrinya itu: Apakah dia berperangai buruk, berani kepada suami, pemarah, pemalas, jorok, suka mengomel, pecinta duniawi, atau suka berselingkuh?

Ketika lintasan-lintasan pikiran dan perasaan yang selalu mengganggu ketenangan jiwanya benar-benar sirna, ia baru menangkap kebenaran kata-kata Misykat al-Marhum yang menyatakan bahwa seorang ar-rajul tidak boleh memilih "makan" dan "zaman." Di mana pun berada, ar-rajul selalu bersama Sang Pencipta yang tidak terikat apalagi terpengaruh oleh makhluk. Keadaan ini secara ruhaniah baru dirasakan dan dipahaminya kini. Keadaan ini memang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata dari bahasa manusia.

Sebenarnya, dulu ia pernah mengalami keadaan seperti ini, yakni saat kesadaran fawa’id-nya tersingkap membuka selubung lawami’ dan zawa’id. Namun, ketersingkapan itu terasa sangat jauh berbeda dengan yang dialami saat ini. Tersingkapnya hijab ana yang menyelubungi ar-ruh al-idhafi benar-benar telah mengubah sifat dan perilakunya secara dahsyat. Sebelum ini ia selalu menelaah dan mengkaji terlebih dahulu apa yang ia pikirkan dan apa yang bakal ia lakukan, kini semuanya berubah. Benaknya bagaikan langit biru yang luas dan kosong dari gumpalan awan. Nalarnya bagaikan langit cerah dipancari matahari al-ima’ yang bersinar di cakrawala ar-ruh al-haqq.

Dengan perubahan itu ia memasuki mahligai perkawinan sebagai sebuah keniscayaan dari garis kehidupan yang sudah ditentukan oleh-Nya. Maksudnya, ia sudah mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan pribadi maupun ukuran-ukuran syari’at. Ia sepenuhnya pasrah kepada ketentuan-Nya dengan mematuhi perintah Misykat al-Marhum agar menjalankan dan mematuhi apa pun yang diperintahkan Syaikh Abdul Malik. Lantaran itu, ia pun tidak mempertanyakan siapakah Syaikh Abdul Malik yang dimaksud Misykat al-Marhum.

Syaikh Abdul Malik al-Baghdady, orang yang ditunjuk Misykat al-Marhum untuk menerima pesan bersifat ruhaniah, ternyata ulama besar penganut paham Syi’ah Muntadhar. Dia sangat dihormati masyarakat dan dihormati penguasa. Tidak gampang menemuinya sebab dia selalu dilingkari oleh pengikut-pengikutnya yang setia yang siap berkorban nyawa untuknya.

Sekalipun sudah tinggal barang satu dasawarsa di Baghdad, Abdul Jalil hanya mendengar berita-berita tentang kebesaran ulama Syi’ah Muntadhar itu terutama dari Ali Anshar at-Tabrizi. Ia sejauh ini tidak mengetahui di bagian kota Baghdad mana syaikh termasyhur itu tinggal. Melalui Ali Anshar pula ia menyampaikan keinginan untuk menjumpai ulama masyhur itu dengan menuturkan bahwa ia membawa pesan dari Misykat al-Marhum.

Entah ada hubungan apa antara Misykat al-Marhum dan Syaikh Abdul Malik, yang jelas beberapa saat kemudian ia sudah didaulat untuk menemui pemimpin Syi’ah itu. Dan ternyata, Syaikh Abdul Malik tinggal di rumah sederhana yang tak jauh dari pemondokan Ali Anshar. Kediaman Syaikh Abdul Malik dilingkari oleh rumah dan pondokan para penganut Syi’ah sehingga membentuk pemukiman orang-orang Syi’ah.

Syaikh Abdul Malik, ternyata salah seorang dari anggota Jama’ah Karamah al-Aulia’ yang ikut dalam pertemuan para wali di Jabal Uhud. Itu sebabnya, saat Abdul Jalil masih tercekat kaget, Syaikh Abdul Malik memberi isyarat agar Abdul Jalil menyembunyikan identitas dirinya yang sebenarnya. Abdul Jalil yang memahami maksud Syaikh Abdul Malik hanya mengangguk dan harus bersikap takzim seolah-olah mereka tidak saling mengenal. Ia harus menempatkan diri sebagai orang awam yang sangat hormat dalam memuliakan ulama masyhur.

Sekalipun sudah berusaha bersikap takzim dan memuliakan, adanya hubungan bersifat khusus antara Syaikh Abdul Malik dan dirinya tidak bisa ditutup-tutupi. Hal itu setidaknya terungkap saat tanpa hujan dan tanpa angin, segera setelah Abdul Jalil menyampaikan pesan Misykat al-Marhum, tiba-tiba saja Syaikh Abdul Malik memanggil Ali Anshar dan pengikutnya yang bernama Ali Akbar al-Hamadani. Kemudian tanpa diduga-duga, dia menyatakan akan menikahkan Abdul Jalil dengan puteri bungsunya yang bernama Fatimah, yang usianya belum genap lima belas tahun.

Pada malam pertama perkawinan, ketika angin musim semi menebarkan wangi asap dupa dan harum bunga-bunga, Abdul Jalil tegak memandangi mempelai wanita yang tidur di atas tilam hijau terbuai mimpi indah. Ada suasana aneh dan asing merayap diam-diam di relung-relung jiwanya. Ia merasa betapa liku-liku kehidupannya membentangkan keindahan yang menakjubkan, meski di hampir setiap sudut jalan ia dapati telaga air mata kepedihan.

Rasa aneh dan asing yang dialami Abdul Jalil itu makin lama makin menguak tirai kesadaran hakiki tentang adanya tangan gaib dengan jari-jemari lembut yang diam-diam dan tanpa diketahui telah mengatur setiap gerak dan langkahnya. Ia sadar bahwa pada hakikatnya ia tidak memiliki kehendak pribadi. Semua adalah kehendak-Nya. Perkawinannya dengan Fatimah binti Abdul Malik al-Baghdady ini pun bukanlah kehendak pribadinya. Itu sebabnya, ia merasa aneh dan asing ketika harus memasuki mahligai perkawinan yang menakjubkan ini.

Keanehan yang dianggap menakjubkan ini ada kaitannya dengan mempelai perempuan, yaitu kemiripan yang nyaris sempurna antara mata Fatimah dan mata almarhumah Nafsa. Tanpa sadar diam-diam ia menggumam, “Ya Allah, mengapa mempelaiku secantik Nafsa yang telah merenggut perhatianku? Mengapa dia yang telah engkau jadikan mempelaiku harus mirip dengan Nafsa? Apakah Engkau sengaja menguji keteguhan hatiku kepada-Mu?”

Dalam ketermanguan di tengah ketakjuban dan keanehan, ia mendengarkan suara ar-ruh al-haqq mengumandang di cakrawala jiwanya melalui al-ima’. “Jika Dia sudah berkehendak maka ikutilah kehendak-Nya, meski samudera api dan padang ilalang pedang menghadang di hadapanmu. Jika payung kemuliaan-Nya ditudungkan di atas kepalamu maka bernaunglah di bawah-Nya walau hari terang tanpa hujan setetes pun. Sebab, sebagaimana Dia memuliakan siang yang terang benderang oleh pancaran cahaya mentari, demikianlah Dia memuliakan malam dengan kilau-kemilau cahaya bintang-bintang yang gemerlap laksana permata.”

“Perkawinan adalah penyatuan ajaib dua jiwa yang terpisah oleh rentangan waktu dan hamparan taman semesta. Sebab, dengan penyatuan gaib itulah engkau akan menemukan dirimu berkembang biak dan beriap-riap memenuhi penjuru bumi. Tanpa penyatuan gaib antara dua jiwa yang dipisahkan maka engkau akan tinggal dalam ketunggalan jiwamu yang merana di atas bumi manusia. Namun, hendaklah engkau senantiasa ingat bahwa jiwa yang menjadi pasanganmu hanyalah nuansa angin sejuk yang berembus dan menari-nari di hadapanmu. Engkau boleh menikmatinya sesuka hatimu, namun tetaplah ingat jangan sekali-kali engkau sampai terbelenggu dengan kesejukan dan kenikmatan pasanganmu.”

“Mempelaimu adalah kapal dan engkau nahkoda. Jangan biarkan kapalmu gampang hanyut dipermainkan ombak samudera. Engkaulah nahkoda yang mengemudikan dan membimbing arah kapal hingga sampai ke pelabuhan harapan. Engkaulah nahkoda yang menentukan arah kapal. Engkaulah nahkoda yang mengetahui berapa penumpang yang patut naik ke dalam kapalmu. Jangan biarkan penumpang gelap memasuki kapalmu. Jangan biarkan bajak laut menghadang laju kapalmu. Dan sebagaimana nahkoda yang setia pada hukum-hukum kelautan agar kapal selamat sampai tujuan maka demikianlah hendaknya engkau mengarahkan bahteramu di bawah bimbingan hukum-hukum-Nya. Tetaplah engkau berpedoman pada gerakan matahari di siang hari dan pada cahaya bintang di malam hari yang diliputi kegelapan.”

Pengalaman baru memasuki mahligai perkawinan adalah penyingkapan kesadaran baru tentang makna ketunggalan hakiki yang menyelubungi keragaman dan keberbedaan hidup manusia. Hal itu baru disadarinya ketika ia menapaki liku-liku jalan terjal menuju puncak tertinggi mahligai perkawinan. Keindahan pemandangan, kemerduan nyanyian, kelembutan belaian, kekaguman pesona, kesucian mahligai, dan keharuman desah napas ketika sampai ke puncak; luluh. Lebur. Menyatu. Tunggal.

Saat berada di puncak penyatuan itulah ia mendapati kenyataan bahwa dirinya bukanlah seorang suami dan bukan pula seorang laki-laki. Abdul Jalil merasakan kesadaran dirinya lenyap. Menyatu dalam nikmat. Dan rasa nikmat itu setidaknya pernah dirasakannya saat ia memasuki gambaran ruhaniah dari wujud niscaya ana yang merupakan pengejawantahan an-nafs al-wahidah. Dengan kenyataan ini, menurut hematnya, berarti setiap manusia secara fitrah dikaruniai anugerah oleh-Nya untuk mengenal jati dirinya yang sejati.

Dengan membandingkan antara pengalaman ruhani ketika memasuki nafs-nafs dan pengalaman saat menapaki puncak mahligai perkawinan, Abdul Jalil sampai pada kesimpulan bahwa pada tiap-tiap tirai kesadaran di mana an-nafs disingkapkan maka akan terbit kesadaran baru dengan tingkat rasa yang makin lama makin tidak tergambarkan oleh kata-kata. Dan sejauh itu, puncak kenikmatan yang pernah dilewatinya justru saat ia memasuki dimensi putih kehijau-hijauan yang menjadi persemayaman ar-ruh al-idhafi yang sebesar ibu jari. Kenikmatan di dimensi yang tak tergambarkan itulah yang menyebabkan ia ditegur keras oleh Misykat al-Marhum karena ingin terus berdiam di situ menikmati kenikmatan tak tergambarkan.

Kini, dengan memahami makna hakiki perkawinan sebagai wujud niscaya dari penyatuan an-nafs al-wahidah, Abdul Jalil memiliki wahana paling dahsyat dalam mengendalikan hasrat dan desakan naluriah dari nafsu-nafsu yang melingkari keberadaan jati dirinya. Sambil berbisik lembut penuh kegembiraan ia melantunkan nyanyian jiwanya.

“O jiwa-jiwa liar, jiwa-jiwa buas, jiwa-jiwa merana, jiwa-jiwa rindu, jiwa-jiwa gembira, jiwa-jiwa bahagia. Langit kegirangan telah tersingkap gaunnya. Tujuh samudera cinta yang berisi air jernih keindahan telah menanti kehadiran kalian di pintu pelabuhan al-wahidah. Pasanglah kemudimu. Bentangkan layarmu. Ikuti hembusan angin buritan. Selaraskan lambung bahteramu dengan alunan ombak.”

“Alangkah nikmatnya berbicara dan bercanda dengan angin yang memainkan gelombang samudera. Di sini, di tengah samudera kebebasan, yang ada hanya bahtera dan sang nahkoda, yang berayun-ayun mengikuti tarian ombak samudera. O meliuklah layar perahu yang sudah condong diempas angin. Usir rasa takutmu ketika gelombang besar membawa bahtera ke puncak ombak dan kemudian terempas. Hilanglah, o bahteraku. Tenggelamlah, o nahkoda dan semua penumpangku. Dan tiada yang menampak di cakrawala pemandanganku kecuali samudera. Air.”

“O jiwa-jiwa liar, jiwa-jiwa buas, jiwa-jiwa merana, jiwa-jiwa rindu, jiwa-jiwa gembira, jiwa-jiwa bahagia yang tenggelam di lautan ketunggalan semesta. O jiwa-jiwa yang menjelma ikan, berenanglah di samuderamu yang sejati. Namun, ingatlah selalu bahwa titah-Nya menempatkanmu sebagai penghuni tanah daratan. Engkaulah citra keagungan dan kesempurnaan Adam. Kembalilah ke mahligai sejatimu dengan ridho dan diridhoi-Nya. Kembali dan nikmati ketunggalan mesramu dalam ingatan sunyi-Nya!”

Berangkat dari pengalaman ruhani yang telah dilaluinya, Abdul Jalil menyadari tentang makna perkawinan yang menjadi keniscayaan dari rahmat-Nya. Lantaran itu, Dia menyeru agar hamba-Nya tidak meninggalkan perkawinan. Sebab, perkawinan bukan hanya bermakna mengembangbiakkan ketunggalan diri (mufrad) menjadi banyak (jamak), melainkan juga mengarahkan jiwa-jiwa yang beragam sifatnya ke mutiara samudera ketunggalan.

Sekalipun Abdul Jalil sudah memaknai hakikat perkawinan sebagai keniscayaan dari kemanunggalan citra keadaman dirinya, ia tetap merasa rindu dengan kenikmatan tak tergambarkan saat memasuki dimensi putih kehijau-hijauan tempat persemayaman ar-ruh al-idhafi. Ia menyadari dirinya tidak akan pernah jenuh dengan gairah jiwa yang membawanya ke puncak mahligai perkawinan, sebagaimana ikan tidak pernah jenuh dengan air. Jauh di relung lubuk jiwanya senantiasa tersembunyi kehausan seekor ikan untuk merasakan kesegaran air dari lautan rahasia yang terletak di balik samudera tempatnya tinggal sekarang ini.

Kehausan itu telah menjadikannya tekun dan giat kembali menapaki tangga istighfar, salawat, tahlil, dan nafs al-haqq. Ia yakin bahwa puncak dari kemabukan dan ketunggalan semesta yang memuaskan hasrat ruhaninya bukanlah bersemayam di puncak mahligai perkawinan dengan mengenakan mahkota raja al-wahid, melainkan membiarkan utuh seluruh kesadarannya untuk direngkuh dalam sayap-sayap ketunggalan Ahadiyyah. Dan itu hanya mungkin dicapai melalui pemaknaan hakiki nafs al-haqq sebagaimana yang telah diajarkan hadrat Abu Bakar ash-Shiddiq dan diperjelas dengan citra kemuliaan Misykat al-Marhum.

Ia sendiri merasakan perbedaan besar saat menapaki tangga istighfar, salawat, tahlil, dan nafs al-haqq sebelum dan sesudah melintasi mahligai perkawinan. Kini, ia merasakan kebebasan dan keleluasaan, betapa perjalanan ruhaninya tidak lagi seperti menaiki anak tangga, tetapi bagai melintasi hamparan permadani luas.

Hikmah di balik perkawinan Abdul Jalil dengan Fatimah binti Abdul Malik al-Baghdady ternyata sulit diuraikan dengan penjelasan manusiawi. Sebab, mahligai perkawinan itu bukan sekadar telah menyingkap hakikat ketunggalan manusia secara jasmani dan ruhani, melainkan telah pula membuka cakrawala baru dalam memandang kehidupan di alam semesta ini. Hal itu terutama dirasakannya setelah ia terlibat perbincangan lebih akrab dengan mertuanya.

Bertolak dari pemahaman baru tentang kehidupan yang harus dilaluinya, Abdul Jalil menjadi paham kenapa Misykat al-Marhum begitu keras menegurnya saat ia menyatakan ingin tenggelam dalam ketenangdamaian persemayaman ar-ruh al-idhafi. Ia juga menyadari kenapa setelah itu Misykat al-Marhum justru menitahkannya untuk menikah dengan cara yang begitu menakjubkan. Ternyata, di balik kelebihan dari kemuliaan yang telah diperolehnya dari Sang Pencipta, ia harus memainkan satu peran dalam kehidupan di dunia. “Suka atau tidak suka kita harus menjalankan peran itu dengan utuh. Dan di situlah ketulusan perjuangan para kekasih diuji oleh Sang Pengasih,” ungkap Syaikh Abdul Malik.

“Berarti pertautan ‘abid dengan Ma’bud bukan akhir perjalanan?” tanya Abdul Jalil minta penegasan.

“Jika engkau berpikir bahwa pencarian seorang salik hanya berakhir pada pertautan antara kekasih (auliya’) dan Sang Pengasih (al-Waly) maka engkau tidak akan masuk ke dalam Jama’ah. Kemuliaan (karamah) dari anggota-anggota Jama’ah adalah ketulusan dan kesungguhan mereka dalam menjalankan peran di tengah perkembangan umat. Itu sebabnya, cinta (hubb) tulus kami kepada-Nya diungkapkan lewat kepasrahan dalam menerima panggilan cinta-Nya, meski untuk itu kami harus menapaki jalan terjal dan berliku-liku penuh marabahaya.”

“Keterpanggilanku ke dalam Jama’ah justru kualami setelah kukorbankan kepentingan pribadiku di tengah gemuruh kehidupan duniawi yang diwarnai perjuangan mempertahankan keutuhan warisan Ahlul Bait. Saat itulah gerbang Benteng-Nya terbuka. Aku terisap masuk. Lebur. Luluh. Larut ke dalam isi Benteng-Nya yang ternyata tak berisi apa-apa, kecuali kekosongan dan kehampaan yang tidak tergambarkan dan tidak terbandingkan.”

“Kenikmatan dan kelezatan tak tergambarkan yang kudapati di dalam Benteng-Nya ternyata bukanlah akhir dari perjuanganku dalam mengungkapkan kecintaan terhadap-Nya. Sebab, aku harus keluar dari Benteng-Nya sebagai pejuang yang memihak kepada salah satu golongan yang teraniaya. Ini adalah tugas berat yang teramat berat. Sebab, telah kuketahui dengan pasti bahwa keteraniayaan dari golongan yang kepada mereka itu aku berpihak pada dasarnya adalah keteraniayaan yang dibuat oleh-Nya sendiri. Dengan demikian, aku sadar sesadar-sadarnya bahwa yang kujalani ini adalah sandiwara kehidupan belaka yang ujung dari akhir kisahnya adalah kemuliaan dan keagungan-Nya jua.”

Penjelasan demi penjelasan yang dipaparkan Syaikh Abdul Malik menyadarkan Abdul Jalil tentang betapa berat sebenarnya tanggungan yang harus dipikul seorang anggota Jama’ah. Ia bukan saja harus memainkan peran-peran yang bersifat kelompok dengan sekat-sekat golongan dan nasab, melainkan yang tak kalah berat adalah mengarungi samudera fitnah yang menjadi selubung jari diri anggota Jama’ah. Menyadari hal itu, rasa hormat Abdul Jalil kepada mertuanya semakin bertambah tinggi. Dia tidak saja telah menyerahkan permata hatinya kepada pemuda yang belum dikenalnya, tetapi mertuanya itu dengan segala ketulusan telah menjalankan perannya selama bertahun-tahun tanpa mengeluh.
 
~ Bag 15. Al-Malamatiyyah

Ketika Abdul Jalil menginjak usia tiga puluh tiga tahun, sepekan setelah kelahiran puteri pertamanya yang diberi nama Aisyah (kelak diganti nama Zainab oleh kakeknya, dan dijuluki Ratu Arafah yang diijazahkan kepada Raden Sahid/Susuhunan Kalijaga untuk dinikahi sebagai tanda bahwa Raden Sahid telah memperoleh tataran ruhani dari Syaikh Datuk Abdul Jalil/Syaikh Siti Jenar), ia diperintahkan oleh mertuanya untuk meninggalkan Baghdad dan mengembara ke arah timur dengan tujuan akhir negeri Jawa. Perintah itu berkaitan dengan penunjukan Abdul Jalil sebagai pengganti kedudukan Syaikh Abdurrahman Muttaqi al-Jawy.

Ia sendiri tidak terkejut dengan petunjuk mertuanya itu. Sebab, jauh sebelumnya ia telah menangkap sasmita bahwa cepat atau lambat mertuanya bakal memerintahkan dirinya pergi. Namun, yang tak pernah diduganya adalah perintah itu mengharuskannya pergi seorang diri dengan meninggalkan istri dan anaknya di Baghdad.

Sesaat pikirannya sempat teringat jalan pada hidupnya yang selalu ditandai oleh perpisahan dengan orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Jauh dikedalaman relung-relung hatinya terbersit rasa kecewa sebagai ayah sekaligus suami muda yang masih terikat oleh jalinan benang-benang kasih dengan puteri sulung dan istri tercinta. Sentakan-sentakan kasih naluri kebapakan menggerus hatinya ketika membayangkan berpisah dengan buah hatinya.

Untunglah perasaan itu tidak berlangsung lama. Mertuanya dengan penuh kearifan menguraikan makna rahasia di balik tugas-tugas yang harus diembannya, termasuk keharusan menikah dan beranak-pinak. “Dia selalu menguji kekasih-Nya dengan ujian-ujian berat dan berliku-liku sampai benar-benar terbukti bahwa kekasih-Nya sungguh-sungguh mencintai-Nya dan memutuskan hubungan kasih dengan yang lain.”

“Apakah kepergian saya ini demi keselamatan Fatimah dan Aisyah?” tanya Abdul Jalil tiba-tiba.

“Engkau sudah paham maksudku,” sahut Syaikh Abdul Malik al-Baghdady. “Itu semua aku jalankan sekadar mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.”

Abdul Jalil menarik napas panjang. Ia sadar bahwa kepergiannya dari Baghdad merupakan sebuah kemestian yang berkenaan dengan tugas yang diembannya dan untuk menghindari keburukan yang diam-diam disulut oleh Ali Anshar at-Tabrizi. Atas dasar itulah kepergian Abdul Jalil tidak disertai istri dan puterinya. Ia menyadari bahwa mertuanya yang arif itu tentu menangkap gelagat tidak baik dari gerakan fitnah yang dilakukan Ali Anshar. Kebencian Ali Anshar kepadanya muncul dari sesuatu yang sebenarnya tidak pernah ia harapkan, yakni pernikahannya dengan Fatimah.

Sejak menikahi puteri bungsu Syaikh Abdul Malik al-Baghdady, ia sudah menangkap benih-benih ketidaksenangan dan kebencian Ali Anshar dari mimik wajah, sikap, dan lontaran ucapan-ucapan yang keluar dari relung-relung terdalam jiwanya yang dipenuhi oleh iri hati dan dendam kesumat.

Semula, Abdul Jalil hanya bisa meraba-raba mengapa Ali Anshar mendadak berubah sikap kepadanya. Meski sejak awal ar-ruh al-idhafi telah membisikkan tentang ketidaksukaan Ali Anshar kepadanya, ia belum mengetahui latar lahirnya kebencian itu. Ia baru paham setelah Syaikh Abdul Malik al-Baghdady dengan bahasa isyarat mewanti-wanti agar ia berhati-hati terhadap Ali Anshar. Karena, laki-laki asal Tabriz itu sejak lama memendam perasaan cinta kepada Fatimah. “Ali Anshar berpikir engkau telah merampas Fatimah dari pelukan harapannya. Karena itu, dia akan melakukan apa saja untuk merebut kembali harapannya.”

“Tapi Ayahanda, bukankah semua ini di luar kehendak saya?” sahut Abdul Jalil. “Bukankah saya tidak pernah bermimpi apalagi merencanakan pernikahan dengan Fatimah? Bukankah Ali Anshar tahu hal itu? Bukankah ini semua bukan keinginan saya pribadi?”

“Bagi mereka yang terhijab seperti Ali Anshar, penjelasan apa pun tidak akan bisa meyingkapkan tirai kesadarannya,” jelas Syaikh Abdul Malik al-Baghdady.

“Kenapa Allah menempatkan Ali Anshar sebagai musuh saya?”

“Itu sudah menjadi hukum-Nya dan berlaku bagi siapa saja.”

“Hukum-Nya?” sergah Abdul Jalil heran.

“Ketahuilah, o Anakku, bahwa telah menjadi hukum-Nya di mana setiap kemuliaan dilimpahkan kepada seseorang maka akan muncul orang lain yang iri hati dan berujung pada dendam kesumat. Ini berlaku sejak manusia pertama dicipta. Ketika seluruh malaikat diperintahkan-Nya untuk sujud kepada Adam maka dimunculkan-Nya iblis yang iri hati dan menolak kemuliaan Adam. Namun, Adam diam saja tidak memberikan perlawanan. Dan Allah jua yang akhirnya berurusan dengan iblis.”

“Saya paham, Ayahanda,” ujar Abdul Jalil. “Apakah itu berarti saya tidak perlu menanggapi Ali Anshar? Biarlah Allah sendiri yang mengurusnya?”

Syaikh Abdul Malik al-Baghdady tersenyum.

Setelah mendengar uraian mertuanya, diam-diam Abdul Jalil merasa iba kepada Ali Anshar. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali berdiam diri saja, membiarkan gelombang fitnah yang dialamatkan kepadanya semakin dahsyat gelegaknya. Abdul Jalil membiarkan harga diri, kehormatan, dan keberadaan dirinya diluluhlantakkan oleh fitnah-fitnah keji. Ia sadar segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya pada hakikatnya bukanlah miliknya. Semua milik Allah. Karena itu, biarlah Ali Anshar berurusan langsung dengan Sang Pemilik Sejati.

Puncak kepasrahan Abdul Jalil atas segala kepemilikan ditandai dengan kerelaannya melepaskan keterikatan dengan anak dan istri. Ini sungguh ujian terberat. “Ya Allah,” keluhnya dalam hati, “menghadapi ujian seperti ini saja sudah begini susahnya. Sungguh tak terbayangkan betapa berat hati sahabat-Mu Ibrahim al-Khalil a.s. saat Engkau perintahkan menyembelih putera tunggal yang disayanginya.”

Akhirnya setelah bergulat mengatasi keterbatasan diri, ia tanpa berkata apa pun kemudian mencium tangan mertuanya dan dengan gejolak perasaan mengharu biru lantas meninggalkan anak dan istri tercinta. Ia sadar bahwa galau yang dirasakan menyesaki dadanya itu adalah akibat wajar dari hakikat kemanusiaan yang masih menjadi bagian dari kehidupannya. Itu sebabnya, sepanjang perjalanan ia lebih banyak membenamkan diri mengingat Allah dan berusaha sekuat tenaga melupakan rentangan kenangan bersama istri dan puteri sulungnya. “Engkau yang telah mempertemukan kami, Engkau pula yang kini memisahkan kami. Karena itu, hanya kepada Engkau jua semua urusan aku pasrahkan,” batinnya.

Kepedihan hatinya sedikit terobati ketika ia menemui Ahmad Mubasyarah at-Tawallud untuk menumpang kapal menuju Surat, Gujarat. Ia seperti menemukan muara yang membebaskannya dari pusaran aliran kenangan.

Sambil tersenyum lebar, Ahmad at-Tawallud menganjurkan agar Abdul Jalil secepatnya menikah lagi sesampainya di Gujarat. Anjuran sahabatnya itu tentu terasa mengejutkan. Bayangkan, bagaimana mungkin dalam keadaan sedih karena meninggalkan anak yang masih bayi dan istri yang masih sangat muda di bawah tanggungan mertua, ia bisa melakukan perkawinan baru lagi. Sungguh ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mertua yang sangat dihormatinya itu jika ia mengikuti anjuran Ahmad at-Tawallud.

Ahmad at-Tawallud menangkap jalan pikiran Abdul Jalil. Dia seraya tertawa, “Ketahuilah, o saudaraku, memiliki istri-istri dan perempuan-perempuan sebagaimana disahkan oleh syari’at bukanlah bertujuan untuk melampiaskan hasrat nafsu syahwat, apalagi untuk memamerkan kejantanan. Sekali-kali tidak demikian. Istri-istri dan perempuan-perempuan yang kita miliki itu adalah sarana yang harus kita gunakan untuk melepas keterikatan kita pada satu objek yang kita cintai. Sebab, cinta seorang laki-laki kepada satu perempuan sangat kuat daya rekatnya dibanding cinta seorang laki-laki kepada banyak perempuan.”

“Benarkah demikian, o Tuan Yang Mulia?” tanya Abdul Jalil minta penegasan.

“Soal perempuan, engkau memang belum banyak pengalaman,” sahut Ahmad at-Tawallud serius, “namun aku yakin ingatanmu tentang seorang perempuan bernama Nafsa tentu sulit dihilangkan. Bukankah istrimu memiliki kemiripan dengan Nafsa? Bukankah lantaran itu engkau mencintainya?”

“Benarlah apa yang Tuan katakan,” Abdul Jalil menunduk jengah.

“Ketahuilah, o Saudaraku,” ujar Ahmad at-Tawallud, latar di balik syari’at yang membolehkan laki-laki menikahi lebih dari satu perempuan adalah berkaitan dengan kecintaan kepada Allah. Karena itu, syarat keadilan yang dimaksud dalam ketentuan hukum Ilahi bukanlah keadilan dalam membagi cinta terhadap istri-istri, melainkan dalam mengarahkan kiblat cinta kepada-Nya. Sebab, dengan mencintai-Nya maka keadilan akan terwujud dengan sendirinya. Jadi, keadilan di situ jangan diartikan keadilan membagi perhatian kepada masing-masing istri menurut pertimbangan nalar suami atau nilai-nilai yang dianut masyarakat. Dengan demikian, istri-istri dan perempuan-perempuan yang kita miliki itu adalah sarana untuk mengarahkan kiblat cinta hanya kepada-Nya.”

“Karena itu, o Saudaraku, nikahilah perempuan yang tidak mirip Nafsa dan tidak mirip istrimu. Sebab, jika bayangan Nafsa masih melekat dalam ingatanmu, meski sangat lembut dan halus, maka engkau tetap membentangkan hijab dengan-Nya. Engkau masih menduakan Dia dengan yang lain. Engkau harus tahu bahwa Dia sangat pencemburu dan Dia tidak sudi diduakan,” jelas Ahmad at-Tawallud.

“Astaghfirullah!” seru Abdul Jalil menyadari kekeliruannya selama ini. Di benaknya kemudian merentang gambaran tentang mertuanya yang memiliki empat orang istri dan sekitar tujuh istri yang dinikah dengan mut’ah. Rupanya, selama ini ia telah salah memahami mertuanya yang mulia itu. Ia tidak memahami makna di balik kehidupan rumah tangga mertuanya. Padahal, sejatinya mertuanya itu telah mengarahkan kiblat cinta hanya kepada-Nya dengan melepaskan hal-hal duniawi, termasuk dalam bentuk istri, perempuan, serta anak-anak. Ya, Allah memang hanya menghendaki satu kiblat hati dari kekasih yang dicintai-Nya. Itu berarti, yang selain Allah hanyalah bunga-bunga kehidupan duniawi yang nisbi dan maya.

Menyadari kekeliruannya, Abdul Jalil akhirnya berjuang sekuat daya untuk mengarahkan kiblat hati dan pikirannya kepada Allah yang tak berbentuk rupa dan tak tersentuh pancaidera. Ia ingin menghapus kenangan indah tentang Nafsa, Fatimah, dan Aisyah. Betapa sulit. Betapa rumit. Betapa berat.

Setelah sepanjang perjalanan dari Basrah ke Surat berjuang keras mengarahkan kiblat hati dan pikiran melalui anak tangga istighfar, salawat, tahlil, dan nafs al-haqq, ia mulai merasakan betapa kejernihan pikiran dan hatinya telah membukakan cakrawala baru tentang kebenaran yang memancar dari ar-ruh al-idhafi. Ini dialaminya saat kapal berlabuh di pelabuhan Diu. Tiba-tiba saja ia memutuskan untuk turun di situ. Lewat sebuah surat yang dititipkan kepada nahkoda, ia memberi tahu Ahmad at-Tawallud, pembimbing ruhaninya, bahwa ia tidak jadi turun di Surat. Karena, petunjuk ar-ruh al-idhafi menuntunnya demikian.

Kehadiran Abdul Jalil di Diu ternyata sudah ada yang mengetahui. Ini terbukti saat baru saja keluar dari pelabuhan, ia sudah disambut oleh seorang Hindi bernama Adamji Muhammad yang mengaku utusan Syaikh Abdul Ghafur Mufarridun al-Gujarati, salah seorang anggota Jama’ah, yang tinggal di Ahmadabad. Abdul Jalil hanya tersenyum menyalami Adamji Muhammad. Ia mafhum dengan kewaskitaan Syaikh Abdul Ghafur.

Adamji Muhammad adalah lelaki jangkung dan tampan yang berusia sekitar lima puluhan tahun. Kumisnya yang melengkung panjang dipelintir melingkar ke atas. Pakaiannya terbuat dari katun kasar warna putih. Pada bagian pinggangnya dililit kain katun hitam yang berfungsi sebagai ikat pinggang. Pada kin hitam itulah dia menyelipkan sebilah belati berbentuk bulan sabit. Sementara rambutnya yang tergerai sebahu pada bagian atasnya ditutupi surban putih.

Adamji sangat terbuka. Itu sebabnya segera setelah menemukan Abdul Jalil, serta merta dia menyampaikan pesan guru yang menjadi panutan hidupnya. “Sesuai pesan Pir (guru ruhani) kami, Syaikh Abdul Ghafur al-Gujarati, maka kami sambut kehadiran Tuan sebagai calon menantu kami. Kami mohon agar Tua berkenan menikahi puteri kami yang bernama Shafa.”

“Benarkah demikian pesan Yang Mulia Syaikh Abdul Ghafur?” Abdul Jalil mengerutkan kening. Bersamaan dengan itu, bayangan Ahmad at-Tawallud melintas di benaknya. Betapa aneh liku-liku kehidupan yang dilewatinya. Beberapa hari lalu sahabatnya memberi saran agar ia secepatnya menikah setiba di Gujarat. Ternyata baru saja ia menginjakkan kaki di pelabuhan Diu, seseorang bernama Adamji Muhammad sudah mendaulatnya untuk menikahi puterinya, atas petunjuk Syaikh Abdul Ghafur.

“Memang demikianlah pesan Pir kami,” sahut Adamji serius. “Kami tidak berani menentang titah beliau. Kami juga tidak berani membawa-bawa nama besar beliau tanpa hak.”

“Tuan belum mengenal saya,” Abdul Jalil menguji. “Bagaimana Tuan bisa begitu yakin bahwa saya orang baik?”

“Tuan,” kata Adamji tegas, “Pir kami adalah Aulia keramat. Bagi kami, apa pun yang diucapkannya adalah seperti ucapan Allah. Beliau tidak punya kepentingan apa pun dengan dunia ini. Karena itu, apa saja yang beliau kemukakan pasti bukan untuk kepentingan pribadi.”

“Berbahagialah Tuan yang memiliki Pir seperti beliau, manusia Allah yang hidup sendirian menjauhi keduniaan,” ujar Abdul Jalil.

Negeri Gujarat merupakan tempat leluhur Abdul Jalil menyebarkan dakwah Islamiyah di bawah kibaran bendera kebesaran para Alawiyyin. Namun, karena para Alawiyyin itu memiliki latar paham, doktrin, pandangan, dan pendekatan yang berbeda-beda maka pada gilirannya membuahkan dakwah Islamiyah yang beragam pula.

Madzhab terbesar dari golongan Alawiyyin di negeri Gujarat adalah dari golongan Ismailiyyah yang dipimpin oleh Pir Sadruddin. Madzhab Ismailiyyah beroleh pengikut besar karena memadukan ajaran Islam dan Hindu sedemikian rupa sehingga batas masing-masing ajaran kabur satu dengan yang lainnya.

Sepanjang perjalanan menuju kediaman Syaikh Abdul Ghafur di pinggiran kota Ahmadabad, Adamji menuturkan berbagai ajaran Islam yang dianut orang-orang di sini. Dari cerita Adamji itulah Abdul Jalil mengetahui Islam yang dianut masyarakat Gujarat sangat jauh berbeda dengan Islam yang dijalankan orang di Baghdad.

Para pengikut Pir Sadruddin, menurut Adamji, memiliki keyakinan bahwa Dewa Wisnu menitis tidak dalam sembilan perwujudan, tetapi sepuluh. Karena, kesembilan titisan Wisynu itu – dari Manu hingga Kalki – adalah jelmaan yang kurang sempurna. Untuk itu, diturunkan avatar kesepuluh sebagai penyempurna, yakni Sayidina Ali bin Abu Thalib. “Keyakinan Trimurti disesuaikan dengan Islam, di mana Dewa Brahma turun ke dunia dalam wujud Nabi Muhammad Saw., Dewa Wisynu menitis dalam wujud Ali bin Abu Thalib, dan Dewa Syiwa menjelma dalam wujud Nabi Adam.”

Apakah Tuan penganut paham madzhab Khojah yang diajarkan Pir Sadruddin?” tanya Abdul Jalil

“Tidak Tuan,” Adamji menyergah. “Semula saya adalah seorang brahmin. Nama asli saya Harirar Saratchandra. Itu sebabnya, saya tahu pasti bahwa ajaran madzhab Khojah tidak benar. Saya memeluk Islam dan kemudian menikah atas petunjuk Pir kami Syaikh Abdu Ghafur al-Gujarati.”

Selama berbincang-bincang, Abdul Jalil mengetahui bahwa Adamji Muhammad berasal dari kalangan darah biru. Kakek buyutnya yang beragama Hindu, yakni Siddha Raj, adalah Raja Gujarat. Itu sebabnya, Abdul Jalil menduga Adamji tidak mau mengikuti madzhab Khojah yang umumnya dianut oleh suku-suku berkasta rendah.

Setelah melakukan perjalanan tiga hari dua malam, sampailah mereka di kediaman Syaikh Abdul Ghafur, yakni sebuah ruang kecil di sisi masjid di selatan kota Ahmadabad. Kehadiran Abdul Jalil bersamaan dengan terbitnya matahari pagi. Ia disambut oleh beberapa kerabat Adamji. Pagi itu rupanya Syaikh Abdul Ghafur telah menyiapkan acara khusus, yakni pernikahan Abdul Jalil dengan Shafa binti Adamji Muhammad.

Abdul Jalil yang kebingungan karena tak menduga bakal secepat itu menikah, tidak bisa berbuat sesuatu kecuali menurut saja ketika beberapa orang kerabat Adamji menuntunnya memasuki masjid. Di dalam, ternyata Syaikh Abdul Ghafur sudah duduk bersila di depan mihrab.

Abdul Jalil terhenyak menyaksikan pancaran kewibawaan Syaikh Abdul Gahfur. Lelaki tua dengan janggut yang dicat warna merah itu benar-benar tidak mengesankan seorang tua bangka, tetapi seekor harimau yang menggetarkan hati siapa pun yang menatap matanya. Itu sebabnya, ia memahami kenapa Adamji Muhammad begitu memuliakan kekasih-Nya yang sepanjang hidupnya menyendiri tak pernah menikah. Dan dengan penuh ketakziman, ia mendekati Syaikh Abdul Ghafur dan mencium haribaannya.

Syaikh Abdul Ghafur yang sejak awal duduk tenang bagai patung batu tiba-tiba merangkul dan menepuk-nepuk punggung Abdul Jalil dengan mesra. Saat orang-orang keheranan menyaksikan peristiwa langka itu, dia malah berbisik ke telinga Abdul Jalil.

“Engkau rajawali yang berlidah fasih dan berpikiran jernih, tugasmu menjalankan amanah-Nya makinlama akan makin berat sampai seluruh keluh kesahmu terhapus dan engkau menyaksikan Dia mengejawantah di mana-mana. Itu sebabnya, engkau harus singgah di sini dan bersarang di tebing yang tinggi sampai anak-anakmu lahir. Jika nanti saat engkau terbang bebas mengepakkan sayapmu dan engkau jatuh dibidik panah sang pemburu maka anak-anakmulah yang terus melanjutkan tugasmu.”

“Saya akan mengikuti kemana arus nasib menggiring saya,” ujar Abdul Jalil.

“Karena, engkau memang tidak dapat melawan arus itu,” sahut Syaikh Abdul Ghafur sambil menepuk keras bahu Abdul Jalil.

“Tuan sudah tahu semuanya,” bisik Abdul Jalil, “tapi saya belum apa-apa.”

“Itu hanya soal waktu saja,” bisiknya, “Akhirnya engkau pun akan tahu bahwa kita ini bukanlah orang lain.”

“Saya camkan benar ucapan Tuan.”

“Ketahuilah, o Rajawali Perkasa, bahwa makna perkawinan bagi orang-orang yang berjuang mengiblatkan perasaan cinta kepada Allah adalah ibarat titian emas yang mengantarai dua sisi sungai. Itu berarti, mereka yang sedang menyeberang tidak akan berhenti dan tinggal selamanya di atas titian emas itu. Mereka harus ke seberang untuk menuju ke istana cinta sejati tempat Sang Mempelai duduk di atas mahligai cinta-Nya.”

“Saya camkan fatwa Tuan,” bisik Abdul Jalil lirih.

Al-Malamatiyyah adalah orang-orang paripurna (al-insan al-kamil) yang citra kehidupan lahiriahnya ditandai keanehan, kehinaan diri, dan kemisteriusan. Mereka dianggap aneh oleh manusia awam karena sering kedapatan melakukan hal-hal yang tidak lazim. Mereka bagaikan manusia asing yang hidup di bawah bimbingan nilai, pandangan-pandangan, paham-paham, dan gagasan-gagasan yang berbeda dengan yang seumumnya dianut masyarakat. Sehingga apa yang tampak pada sisi lahiriah para malamit bukanlah ungkapan hakiki sisi batiniah mereka yang sebenarnya. Mereka, misalnya, mengenal Allah dengan sangat sempurna, namun mereka sering kali tidak menampakkan jejak manifestasi Ketuhanan.

Salah seorang di antara al-Malamatiyyah yang dikenal Abdul Jalil di negeri Gujarat adalah Syaikh Abdul Ghafur al-Gujarati. Laki-laki yang tinggal sendirian di masjid itu dapat dikatakan sebagai orang aneh dan misterius. Dikatakan aneh karena dia yang lahir dari kalangan darah biru itu sejak kecil dikenal sebagai orang cerdik dan memiliki sifat-sifat terpuji. Oleh Sultan Mahmud Bigarah, Raja Gujarat yang tidak lain adalah saudara sepupunya, dia ditawari untuk memilih jabatan tinggi sesuai dengan kemampuannya. Namun, seluruh tawaran itu ditolaknya.

Syaikh Abdul Ghafur memilih hidup bebas meninggalkan atribut-atribut kebangsawanannya. Dia tinggalkan istana dan hidup membujang tanpa anak, istri, harta, dan kemuliaan duniawi. Kehidupannya sehari-hari diisi dengan tugas mengumandangkan adzan, mengisi kolam untuk wudhu, dan membersihkan masjid.

Pilihan hidup dan sikap teguh Syaikh Abdul Ghafur tentu saja aneh menurut ukuran wajar manusia. Sebab, pada saat semua orang berlomba-lomba meraih jabatan tinggi, kehidupan mulia di istana, dan berbagai atribut kebangsawanan, dia yang berasal dari lingkungan bangsawan dan diberi kesempatan menduduki jabatan tinggi justru menolak dan memilih hidup di masjid. Kemisteriusan Syaikh Abdul Ghafur terlihat dari pandainya dia menyembunyikan identitas dirinya sehingga nyaris tidak ada yang tahu siapa dia sesungguhnya. Orang-orang yang selama ini mengenalnya sebagai orang sebatangkara yang tinggal di masjid memanggilnya dengan sebutan yang bernada sangat menghina, yakni hadhrat asy-syaikh (Tuan Guru), padahal mereka tahu dia tidak mengajar siapa pun.

Kepandaian Syaikh Abdul Ghafur menyembunyikan identitas dirinya, baik sebagai keluarga raja maupun kekasih yang dicintai-Nya, benar-benar luar biasa sampai-sampai imam masjid yang bernama Muhammad Asad Khan menganggap dia tidak memiliki kemungkinan hidup lain kecuali mengabdi untuk kepentingan masjid. Hanya orang-orang tertentu seperti Adamji Muhammad yang mengetahui bahwa sesungguhnya Syaikh Abdul Ghafur merupakan syaikh dan pir.

Keinginannya menyembunyikan diri dari pengetahuan banyak manusia pada dasarnya berpangkal pada kehendak-Nya juga, yang menempatkan kekasih-Nya itu sebagai manusia sebatangkara yang hidup mengabdi di masjid. Hampir tidak ada orang yang tahu bahwa Imam Shah Pirana, wali keramat yang dijadikan panutan umat muslim Pirana, adalah murid terkasihnya. Betapa Imam Shah Pirana yang dianggap dapat mendatangkan hujan pada musim kemarau dan berbagai perbuatan keramat lain, jika bertemu Syaikh Abdul Ghafur selalu mencium tangan dan kemudian melakukan argya (penghormatan dengan membasuh kaki).

Abdul Jalil sendiri sebagai anggota Jama’ah tentu memahami keanehan dan kemisteriusan Syaikh Abdul Ghafur. Lantaran itu, ia tidak terkejut dengan sikap dan pandangan-pandangannya yang tidak lazim. Dan kemafhumannya itu terbukti ketika beberapa saat setelah akad nikah, Syaikh Abdul Ghafur langsung mengajaknya berziarah ke makam para anggota Jama’ah terdahulu. Abdul Jalil tidak menolak sama sekali, meski ia merasa iba hati kepada Adamji.

Ia paham bahwa di balik maksud Syaikh Abdul Ghafur mengajaknya berziarah, tersembunyi proses pengujian sekaligus penyucian jiwanya dalam memaknai hakikat perkawinan. Bahkan lebih dari itu, sebenarnya ziarah mendadak itu adalah proses pembelajaran khas al-Malamatiyyah sebagaimana dicontohkan oleh Jibril saat mengajak sang Malamit Agung, Muhammad al-Musthafa Saw., mengunjungi nabi-nabi dan rasul-rasul dalam perjalanan Mi’raj. Dalam ziarah ini, Syaikh Abdul Ghafur mengajak Abdul Jalil melakukan silaturahmi kepada para anggota Jama’ah pendahulunya.

Mula-mula, ia diajak berziarah ke makam Syaikh Sayyid Abdul Malik al-Qozam yang terletak di pinggiran kota Ahmadabad. Anehnya, meski ia tidak menjelaskan siapa sebenarnya dirinya, Syaikh Abdul Ghafur mengetahui bahwa ia adalah keturunan Syaikh Sayyid Abdul Malik al-Qozam.

Makam Syaikh Abdul Malik ternyata sangat sederhana dan tidak berbeda dengan makam yang lain. Hal itu sangat jauh dengan bayangan Abdul Jalil selama ini. Berdasarkan cerita uwaknya dan saudara sepupunya, Syaikh Datuk Bayanullah, ia menempatkan harkat leluhurnya itu agak berlebihan. Dalam angan-angannya sempat terlintas bahwa makam leluhurnya itu sedikitnya mendekati bentuk makam Syaikh Abdul Qadir al-Jailany atau Syaikh Abu Nuwas di Baghdad.

Di atas makam Syaikh Abdul Malik tidak ada tanda-tanda bahwa di dalamnya dikuburkan seorang pemuka Alawiyyin. Andaikata yang mengajaknya ziarah bukan Syaikh Abdul Ghafur maka ia tidak akan percaya jika makam sederhana itu merupakan makam leluhurnya yang telah begitu berjasa menyiarkan kebenaran Islam di negeri-negeri timur. Namun, sesaat kemudian ia sadar bahwa Allah seringkali menyelubungi kekasih-Nya dengan hijab-hijab yang tak tertembus sehingga tidak banyak manusia yang tahu siapa sebenarnya kekasih-Nya itu. Dan lantaran Syaikh Abdul Ghafur menjelaskan bahwa leluhurnya adalah anggota Jama’ah Karamah al-Auliya’ maka ia akhirnya menganggap wajar ketersembunyian citra mulia leluhurnya itu.

Syaikh Abdul Ghafur menjelaskan secara singkat tentang hakikat keberadaan alam kubur. Menurutnya, alam kubur adalah alam penyekat yang mengantarai alam dunia dan akhirat. Alam kubur lebih luas dibanding alam dunia, dengan perbandingan alam rahim dan alam dunia.

“Inilah alam kesadaran manusia yang lebih tinggi dibanding alam kesadaran manusia di dunia. Karena, ruh manusia sudah lepas dari penjara tubuh jasad dan perintah-perintah nafsunya. Di alam kubur inilah ruh setiap manusia menyadari keberadaan dirinya. Karena itu, semua manusia akan terkejut dan baru sadar betapa selama ini mereka telah disibukkan oleh urusan benda-benda duniawi dan mengikuti perintah-perintah nafsunya untuk bermegah-megah diri (QS at-Takasur: 1-4).”

“Apakah ruh, jasad, dan nafsu manusia di alam kubur akan terpisah-pisah?” tanya Abdul Jalil meminta penjelasan.

“Karena telah bebas dari jasad dan dari perintah nafsu maka ruh tiap manusia yang mati akan ditempatkan di alam arwah yang membentang dari al-‘Illiyan hingga ke pintu alam barzakh. Namun, tidak berarti ruh masing-masing manusia lepas dan bebas. Sebab, masing-masing ruh tetap memiliki hubungan dengan jasad dan nafsunya. Itu sebabnya, ketika malaikat Rumman datang dan menyiksa ahli kubur yang durhaka, ruhnya dapat menyaksikan dan merasakan betapa pedih dan sengsaranya siksaan itu. Hal itu terjadi karena kesadaran jasad, kesadaran nafsu, dan kesadaran ruh yang terpisah di alam masing-masing itu merasakan kepedihan dan kesengsaraan sesuai kadar kesadaran masing-masing.”

Saat malaikat Munkar dan Nakir datang dan menanyai amaliah ahli kubur, jasad manusia yang selama hidup di dunia terhijab dari kebenaran-Nya tidak akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebab, nafsu dan ruhnya sudah berada di alam barzakh dan alam arwah. Ruh sebenarnya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat, namun ia tidak dapat menyampaikan jawaban kepada jasad karena tersekat oleh alam barzakh. Karena itu, ruh ahli kubur yang durhaka dari detik ke detik mengetahui dengan pasti apa yang bakal menimpanya ketika ditanyai malaikat Rumman dan disusul pertanyaan dari malaikat Munkar dan Nakir. Bahkan saat siksaan bertubi-tubi ditimpakan atas jasadnya di alam kubur, ruhnya di alam arwah dan nafsunya di alam barzakh ikut merasakan pedih dan sakitnya siksaan itu.”

“Berarti, manusia di alam dunia ini kesadaran hidupnya belum sempurna. Justru di alam kuburlah kesadaran masing-masing nafsu dan ruh tersingkapkan secara utuh?” tanya Abdul Jalil minta penegasan.

“Hidup manusia di dunia ibarat mimpi singkat,” kata Syaikh Abdul Ghafur menjelaskan. “Kesadaran macam apa yang bisa ditangkap oleh manusia di dalam mimpi, kecuali bayangan-bayangan tidak wujud? Begitulah ibarat kesadaran duniawi itu.”

Sebenarnya Abdul Jalil hendak bertanya sesuatu hal lagi tentang rahasia alam kubur, namun Syaikh Abdul Ghafur memberinya isyarat agar memejamkan mata dan berkonsentrasi, “Lakukan apa yang pernah diajarkan Ario Abdillah ketika mengajakmu masuk ke alam para Jin!”

Abdul Jalil tercekat kaget. Bagaimana mungkin Syaikh Abdul Ghafur mengetahui hubungannya dengan Ario Abdillah? Bagaimana pula dia bisa tahu bahwa ia pernah memasuki alam para Jin? Namun, kilasan keheranan itu cepat ditepisnya. Ia duduk bersila dan memejamkan mata sambil mengarahkan konsentrasi ke nur yang bersinar di antara kedua matanya. Sebaris kalimat doa rahasia yang diajarkan Ario Abdillah dibacanya dengan khusyuk.

Setelah beberapa detik berkonsentrasi, nur di antara kedua matanya makin terang dan memuncak pada terserapnya kesadaran Abdul Jalil ke dalam pancaran cahaya. Dan sekedipan mata kemudian ia telah berada di sebuah tempat yang benderang disinari cahaya putih kehijauan. Ia mendapati Syaikh Abdul Ghafur telah berdiri di sampingnya.

Tempat itu ditebari aroma wangi yang sangat memikat penciuman yang tidak ada padanannya di dunia. Dengan keheranan ia menyapukan pandangan ke segala penjuru dan menyaksikan betapa cahaya putih kehijauan itu memancar dari berbagai sudut cakrawala. Setelah sadar bahwa cahaya-cahaya itu memancar tanpa lampu, ia mengarahkan pandangan ke depan, yakni pada sehelai tilam yang juga memantulkan cahaya hijau keputih-putihan. Ternyata tebaran aroma wangi itu berasal dari sana.

Syaikh Abdul Ghafur memberi isyarat agar Abdul Jalil mengikutinya. Dengan patuh ia melangkah ke depan tepat di sisi Syaikh Abdul Ghafur, sambil tetap memandang ke arah tilam hijau. Betapa terkejutnya ia menyaksikan sesosok manusia yang mirip dirinya sedang terbujur bagaikan orang tidur. Dengan penuh rasa penasaran ia menegaskan lagi sosok manusia itu. Akhirnya ia mendapati kenyataan bahwa wajah orang itu mirip dengannya, namun lebih tua.

“Itulah jasad leluhurmu, Syaikh Abdul Malik al-Qozam,” ujar Syaikh Abdul Ghafur.

“Beliau kakek buyut saya?” Abdul Jalil tercengang. “Kenapa wajahnya sangat mirip dengan saya?”

“Karena, engkau adalah kegandaan dari dirinya. Dan lantaran kegandaan dari ketunggalan yang berujung pada an-nafs al-wahidah itulah maka di antara seluruh keturunannya hanya engkaulah yang menggantikannya sebagai anggota Jama’ah,” jelas Syaikh Abdul Ghafur.

“Apakah itu bermakna saya adalah titisan beliau?” tanya Abdul Jalil.

“Titisan?” Syaikh Abdul Ghafur balik bertanya dengan tersenyum lebar. “Kalau yang engkau maksud dirimu adalah penjelmaan kakek buyutmu baik jasad maupun ruh maka itu pandangan yang keliru. Namun, jika yang engkau maksud ‘titisan’ adalah dirimu merupakan bagian dari kegandaan kakek buyutmu, yang juga berasal dari ketunggalan an-nafs al-wahidah, maka itu benar adanya. Kenapa kukatakan kegandaan dari ketunggalan? Karena, jasad kakek buyutmu tetap ada dan ruh kakek buyutmu juga tetap ada, meski kegandaannya ada pada dirimu.”

“Saya paham, Tuan,” sahut Abdul Jalil.

Syaikh Abdul Ghafur kemudian menjelaskan bahwa jasad Syaikh Abdul Malik yang terbujur damai di atas tilam hijau adalah gambaran dari manusia yang ketika hidup di dunia telah berhasil mangalahkan dan menundukkan an-nafs al-hayawaniyyah, an-nafs al-musawwilah, an-nafs al-ammarrah, an-nafs al-lawwammah, dan an-nafs al-mulhamah. Itu sebabnya, tubuh fisiknya (al-basyar) yang merupakan manifestasi nafs-nafs-nya itu tidur dengan damai di alam kubur hingga yaum al-qiyamah.

Usai menjelaskan tentang jasad Syaikh Abdul Malik, Syaikh Abdul Ghafur menarik tangan Abdul Jalil ke arah depan. Ia tersentak kaget. Namun, bersamaan dengan kedipan matanya, ia mendapati tilam hijau beserta jasad kakek buyutnya lenyap. Tempat yang disinari cahaya putih kehijauan itu juga lenyap. Sebagai ganti, ia melihat hamparan luas tanpa batas yang disinari cahaya hijau cemerlang.

Di hadapannya tampak tilam hijau yang sangat indah, persis dengan pemandangan di alam kubur, dikitari pohon berbuah ranum dan bunga aneka warna semerbak mewangi. Pada dahan pohon-pohon itu bertengger burung-burung berbulu hijau yang berkicau dengan sangat merdu. Dan jika didengarkan dengan seksama, kicauan itu adalah tasbih yang mengagungkan kebesaran Ilahi. Yang menakjubkan, di atas tilam itu terbujur sosok yang mirip dengan dirinya, namun sekujur tubuhnya memancarkan cahaya. Sosok itu tidur sambil tersenyum seolah diluputi kebahagiaan yang tak tergambarkan.

“Apakah itu nafs al-muthma’innah kakek buyut saya?” tanya Abdul Jalil.

“Engkau sudah paham sekarang,” sahut Syaikh Abdul Ghafur al-Gujarati.

“Apakah ini yang disebut alam barzakh?” ia meminta penegasan.

“Ada dua belas tingkatan dari alam kubur ke alam jabarut, yang disebut dengan barzakh, yakni sekat-sekat,” ujar Syaikh Abdul Ghafur. “Namun, kedua belas tingkat itu tidaklah bisa disebut alam lagi karena hakikat keberadaan kedua belasnya tidak bisa dijelaskan.”

“Saya paham Tuan,” ujar Abdul Jalil. “Kedua belas tingkatan itulah yang dilambangkan dengan kelahiran dan kematian Muhammad al-Mushthafa Saw yang tepat pada tanggal 12, lahir tanggal 12, dan wafat tanggal 12. artinya, beliau turun sebagai manusia tingkatan yang paling bawah, yakni yang kedua belas. Dan beliau naik ke tingkatan yang paling atas, yaitu yang kedua belas.”

“Engkau telah paham.”

“Kenapa yang ada di alam barzakh ini hanya an-nafs al-muthma’innah kakek buyutmu. Sebab, di situ bersemayam pula an-nafs al-wahidah, an-nafs al-mardhiyyah, dan an-nafs ar-radhiyyah kakek buyutmu.”

Syaikh Abdul Ghafur kembali menarik tangan Abdul Jalil ke depan. Ia menurut saja dan sekejap kemudian ia mendapati dirinya berada di suatu hamparan luas tanpa batas cakrawala. Ke mana memandang ia menyaksikan cahaya putih kilau-kemilau memancar penuh keagungan. Di tempat itu ia menyaksikan orang-orang yang tubuhnya memancarkan cahaya gemilang. Dari cahaya yang memancar itu berkumandang indah puji-pujian yang mengagungkan kebesaran Ilahi.

“Di manakah kita, Tuan?” tanya Abdul Jalil heran.

“Tidakkah engkau saksikan sosok yang mirip dirimu di sana?” Syaikh Abdul Ghafur bertanya balik.

Mengikuti arah yang ditunjuk Syaikh Abdul Ghafur, ia menyaksikan sosok bercahaya itu tersenyum memandangnya. Kemudian secara menakjubkan sosok itu mendekat hingga berjarak sekitar dua busur panah.

Syaikh Abdul Ghafur mengucapkan salam dan dibalas oleh sosok tersebut. Dia kemudian meminta Abdul Jalil maju.

Dengan pandang takjub dan heran Abdul Jalil terkesima menyaksikan citra dirinya memancar begitu agung dalam wujud sosok bercahaya kilau-kemilau itu. Ia tercengang ketika tangan kanan sosok bercahaya itu mengusap-usap kepalanya dengan penuh kasih. Saat itu sadarlah ia bahwa sosok itu tiada lain adalah ruh kakek buyutnya.

Melalui al-ima’, ruh Syaikh Abdul Malik menguraikan tentang tugas-tugas yang harus dijalankan Abdul Jalil sebagai penggantinya. Dia menceritakan betapa berat menjalankan tugas sebagai anggota Jama’ah di banding kekasih-kekasih-Nya yang tidak menjadi anggota Jama’ah. Itu sebabnya, Abdul Jalil wajib mutlak memasrahkan segala urusan kepada Sang Pemberi Tugas.

Dia menguraikan liku-liku perjalanannya hingga ditabalkan menjadi anggota Jama’ah. Dia menuturkan betapa berat perjuangannya meninggalkan negeri Qozam membawa anak istri dengan bekal terbatas, di bawah ancaman perampok-perampok padang pasir yang merajalela. Bahkan beberapa saat setelah melintasi Tarim, tiga ekor unta beserta seluruh bebannya telah dirampas.

Dalam keadaan tanpa makanan tanpa air di tengah padang pasir dengan tiga anak yang masih kecil dan istri hamil, ungkapnya, tidak ada yang dapat diperbuat kecuali memasrahkan segala urusan kepada-Nya. Saat itu, sudah tidak dipedulikannya lagi tangisan anak-anaknya yang lapar dan haus atau isak tangis istrinya yang tak berhasil membujuk anak-anaknya agar diam. “Itulah perjuangan terberat yang pernah kualami, yakni mengesampingkan naluri kebapakan untuk semata-mata mengarahkan kiblat iman hanya kepada-Nya.”

Pada saat-saat paling menggetarkan ketika matahari bersinar sangat panas dan tangis anak-anak sudah tersekat di leher yang kering, lewatlah kabilah yang hendak menuju pelabuhan Aden. “Pemimpin kabilah itu mengaku bahwa ia hanya kebetulan saja melintasi tempat itu karena jalur itu memang bukan jalan yang lazim dilaluinya. Ternyata, kabilah itu milik kaum Ismailiyyah yang berpangkalan di Alamut. Dan akhirnya, melalui jaringan Ismailiyyah itulah aku dan keluarga sampai di negeri Hindi dan menyebarkan kebenaran Islam di sana.”

Menurutnya, di antara ujian Allah yang senantiasa mencitrai kehidupan anggota Jama’ah dan orang-orang yang dicintai-Nya adalah lingkaran fitnah yang bagai membelit dari segala penjuru. Semakin besar limpahan karunia Ilahi maka akan semakin besar dan dahsyat pula jaring-jaring fitnah. “Karena itu, pasrahkan semua urusan kepada-Nya sebab hanya Dia yang memiliki segala-galanya. Rencana, alur, pelaksana, hingga akhir dari fitnah itu adalah mutlak kehendak-Nya. Semata-mata untuk membuktikan bahwa Dia adalah Sang Pemilik Mutlak dari kehidupan di alam semesta ini, baik yang kasatmata maupun yang gaib.”

Setelah menuturkan perjalanan hidup, memberi petunjuk ini dan itu, termasuk memberi keleluasaan dalam meminta fatwa dan petunjuk dari para anggota Jama’ah terdahulu, dia kemudian memperkenalkan Abdul Jalil kepada salah seorang anggota Jama’ah yang menggantikan kedudukannya sesaat setelah dia di panggil ke hadirat-Nya. Anggota Jama’ah itu adalah Syaikh Abdurrahman Sajistani yang memiliki nama asli Mainuddin Khisti Sajistani.

Syaikh Abdurrahman Sajistani mengaku dilahirkan di Sajistani, yang terletak di bagian timur Persia. Kepergiannya ke negeri Hindi untuk mendakwahkan Islam adalah atas perintah langsung dari Muhammad al-Mushthafa Saw.. Saat itu, ungkapnya, dia sedang melakukan ziarah ke makam Rasulallah Saw. menjelang bulan Zulhijjah. Ketika sedang berdoa tanpa terasa dia tertidur sekejap di sisi makam. Saat itulah, lanjutnya, tiba-tiba dia beroleh mubasyirah (visi mimpi) didatangi Rasulallah Saw.. “Rasulallah Saw bersabda kepadaku: ‘Allah ‘Azza wa jalla mempercayakan negeri Hindi kepadamu. Pergilah ke tempat bernama Ajmir. Menetaplah di sana. Dengan kehendak Allah, Islam akan berkembang melalui perjuanganmu dan kawan-kawanmu’,” ujar Syaikh Abdurrahman Sajistani.

Dia menguraikan betapa berat perasaannya ketika akan berangkat ke negeri Hindi yang tak pernah dikenalnya. Selain itu, keberangkatannya sangat ditentang oleh keluarganya yang merupakan bangsawan terhormat di Sajistan. Mereka khawatir dia akan terlantar dan sengsara. Namun, tekad menyampaikan kebenaran Islam sesuai petunjuk Rasulallah Saw dilaksanakannya juga.

Perjalanan terberat mencapai Ajmir, ungkapnya, adalah saat melintasi pegunungan Hindukus menuju kota Kandahar. Sebab, selain harus menghadapi tantangan alam yang ganas, daerah tersebut menjadi rebutan antara penguasa Persia dan Syaibanid di satu pihak dan antara penguasa Moghul dan Syafawi di pihak lain. Pencegatan, perampasan, penangkapan, pembunuhan, dan penganiayaan adalah cerita sehari-hari yang membuat orang harus berpikir seribu kali untuk melewati kawasan itu. “Namun, dengan bekal keyakinan bahwa perjalananku ke Ajmir adalah atas kehendak-Nya maka segala berita dan kisah menakutkan itu berhasil kusingkirkan dari benak dan perasaanku. Kiblatku hanya Allah. Dan akhirnya kucapai Kandahar dengan selamat. Dari Kandahar aku langsung ke Lahore, terus ke Panipat, dan akhirnya ke Delhi.”

Selama perjalanan dia merasakan dirinya seperti dibimbing oleh kekuatan gaib yang membuatnya sangat disukai dan dipercaya oleh orang-orang yang baru dikenalnya. Itu terbukti saat dia menyampaikan kebenaran Islam kepada orang-orang yang dijumpainya sepanjang perjalanan dari Delhi ke Ajmir, seruannya diterima dengan sukacita. “Saat memasuki kawasan Rajputana, aku tinggal di rumah keluarga Karamchand Gauda, brahmana yang dihormati di Delhi dan Bengali. Keluarga itu selain tergolong ke dalam Panca Gauda, juga merupakan penasihat ruhaniah raja. Dan justru keluarga itulah yang menerima kebenaran Islam yang aku sampaikan,” papar Syaikh Abdurrahman Sajistani.

Sekalipun ada kekuatan gaib yang membimbingnya dalam menyampaikan kebenaran Islam, dia mengaku hidupnya nyaris tak pernah lepas dilingkari belitan ular-ular fitnah yang berbisa. Tak jarang dia dianggap aneh, hidup tak kenal aturan, pemalas, fasik, munafik, bahkan dituduh tidak waras. “Namun, segala urusan akan selesai jika kita kembalikan kepada Sang Pemilik Mutlak,” ujar Syaikh Abdurrahman Sajistani.

Syaikh Abdurrahman Sajistani kemudian menjelaskan saat dia dipanggil ke haribaan-Nya dan jasadnya disemayamkan di pekuburan kota Ajmir, penggantinya adalah Syaikh Abdul Malik Karim at-Tabrizi yang tinggal di Benggala, yakni bagian timur negeri Hindi. Dia kemudian memperkenalkan Abdul Jalil kepada penggantinya yang memiliki nama asli Jalaluddin at-Tabrizi.

Syaikh Abdul Malik Karim menuturkan perjalanan hidupnya hingga tiba di Benggala. Pilihan hidupnya ini sangat ditentang oleh keluarganya yang hidup dilimpahi kemakmuran di Tabriz. Sikap keluarganya, menurutnya, sangat wajar karena menurut pandangan masyarakat umum tidak ada sesuatu yang bisa diperoleh di Benggala, kecuali kesengsaraan dan kemiskinan.

“Namun, Guruku Syaikh Syihabuddin Suhrawardi telah memberi tahu bahwa aku harus ke Benggala untuk menerima perintah-Nya. Akhirnya, tidak ada yang dapat menghalangi jalanku dalam menunaikan tugas dari-Nya.”

Tugas berat yang harus dipikulnya adalah menghadapi masyarakat berkasta rendah yang hidup dibelit kemiskinan. Dalam banyak hal, dia harus memegang peran sebagai pahlawan pembela kalangan miskin dan rendah itu. Tak jarang, misalnya, dia harus membeli anak-anak petani yang dijual pada saat paceklik. “Anak-anak itulah yang kudidik menjadi mubalig-mubalig tangguh dalam menyebarkan Tauhid dan menyadarkan kaumnya dari keterbelakangan dan kehinaan.”

Tak berbeda dengan kesaksian pendahulunya, dia pun mengungkapkan kisah hidupnya yang dibelit bermacam-macam fitnah membingungkan dan membahayakan. Namun, dengan mengembalikan segala urusan kepada Sang Pemilik Mutlak maka fitnah-fitnah itu akan terhalau dengan sendirinya.

Pengganti Syaikh Abdul Malik Karim adalah Syaikh Abdul Qohar al-Bukhari yang memiliki nama asli Sayyid Jalaluddin al-Bukhari. Dia merupakan keturunan keempat Syaikh Sayyid Ismail al-Bukhari, penyiar agama Islam di Lahore yang termasyhur. Syaikh Abdul Qohar tidak tinggal di Benggala, seperti Syaikh Abdul Malik Karim at-Tabrizi yang digantikannya, tetapi berasal dari wilayah Rajputana, tepatnya di daerah Bahawalpur, di kota kecil Ukh.

Setelah hampir setengah abad mendakwahkan Islam, ia dipanggil ke hadirat-Nya. Penggantinya adalah Syaikh Abdul Hamid al-Qalandar, yang bernama asli Abu Ali al-Qalandar, berasal dari Persia. Selama menjalankan tugas-Nya, dia tinggal di kota Panipat hingga Allah memanggilnya dalam usia seratus tahun lebih.

Setelah mengenal para anggota Jama’ah pendahulunya dan mendapat izin untuk menemui mereka sewaktu-waktu dibutuhkan, Abdul Jalil dengan didampingi Syaikh Abdul Ghafur meninggalkan A’la ‘Illiyin yang menjadi persemayaman ruh para malaikat, rasul, nabi, aulia, dan shiddiqin. Ruh-ruh dari A’la ‘Illiyyin inilah yang pada malam Qadr bersama-sama dengan malaikat turun ke dunia untuk mengatur keseimbangan tiap-tiap urusan dengan melimpahkan kesejahteraan hingga terbit fajar. (QS al-Qadr: 1-5).

Perjalanan kembali dari A’la ‘Illiyyin ternyata tidak sesingkat perjalanan berangkatnya. Ini disadari Abdul Jalil ketika ia melintasi dimensi yang tidak disaksikan saat berangkat menuju ke A’la ‘Illiyyin. Pertama-tama, ia menyaksikan hamparan serba hijau yang dipenuhi burung berbulu hijau yang berkicau merdu dan berkejaran dengan sukacita. Abdul Jalil menduga tempat itu tentunya alam barzakh yang menjadi persemayaman an-nafs al-muthma’innah, an-nafs al-wahidah, an-nafs ar-radhiyyah, dan an-nafs al-mardhiyyah kakek buyutnya. Namun, suasana gembira dan sukacita yang mewarnai tempat itu tidak sama dengan tempat persemayaman an-nafs al-muthma’innah kakek buyutnya yang damai, tenang, tenteram, dan hening.

Syaikh Abdul Ghafur menangkap keheranan Abdul Jalil. Dia kemudian menjelaskan bahwa yang mereka lintasi itu adalah alam barzakh tempat kediaman ruh-ruh orang yang mati syahid menegakkan kalimat Allah. Mereka itulah burung-burung kecintaan-Nya yang setiap saat berkicau mengumandangkan kalimat-kalimat yang memuji keagungan-Nya.

Sesaat sesudah itu, Abdul Jalil berada di taman sangat indah dengan sungai yang mengalir penuh pesona menakjubkan. Taman indah itu ditutupi oleh kubah hijau yang keindahannya tak tergambarkan. Di sepanjang tepinya, ia menyaksikan orang-orang beristirahat sambil mendendangkan nyanyian memuji kebesaran Ilahi. Menurut Syaikh Abdul Ghafur, mereka yang beristirahat di tepi sungai itu adalah ruh-ruh para syuhada yang mati di jalan Allah. Tiap pagi dan sore mereka mendapat rezeki dari dalam taman, diantar oleh para pelayan yang ramah dan cantik luar biasa.

Setelah itu, ia menyaksikan kumpulan orang yang berkerumun di luar pintu gerbang. Mereka dengan sangat bernafsu menyaksikan kenikmatan hidup di dalam taman. Mereka ingin masuk, namun tidak bisa. Menurut Syaikh Abdul Ghafur, mereka adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah, namun hati mereka dinodai oleh pamrih-pamrih pribadi untuk kesombongan diri. Mereka sangat bangga dengan amaliahnya dan suka sekali memamer-mamerkan perjuangannya. Lantaran perbuatannya itu, seluruh amaliah mereka terhapus bagaikan impian.

Abdul Jalil kemudian memasuki dimensi yang menggetarkan dari bagian alam kubur, yakni hamparan taman yang ditumbuhi pohon-pohon berbatang, berdahan, berdaun, dan berbuah kobaran api. Rumput-rumput yang menghampar adalah kobaran api. Sungai-sungai pun dialiri kobaran api. Lalu terpampanglah pemandangan mengerikan. Ia menyaksikan seseorang tubuhnya terbakar. Orang itu berteriak-teriak sambil berlarian ke sana dan ke mari. Menurut Syaikh Abdul Ghafur, tempat itu merupakan alam kubur yang ditempati oleh orang yang mati syahid, namun mempunyai sifat curang dan tidak jujur. “Pemandangan yang engkau saksikan itu adalah orang yang mati syahid, namun punya kebiasaan menyembunyikan rampasan perang. Dia suka melucuti barang-barang dari mayat musuh maupun kawannya sendiri.”

Ia ngeri mendengar penjelasan Syaikh Abdul Ghafur. Sungguh ia tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya keadaan orang yang tidak mati syahid, tetapi melakukan kecurangan dan kejahatan menyembunyikan harta benda yang bukan haknya. Tentunya mereka akan mengalami nasib yang lebih buruk.

Keluar dari taman api, ia memasuki dimensi yang seluruhnya dikobari nyala api. Tepat di tengah-tengahnya terdapat tungku raksasa berkobar-kobar. Di atas tungku itu ia menyaksikan seorang perempuan dalam keadaan telanjang dipanggang dengan kemaluan dan dubur ditusuk lonjoran besi mirip tombak.

Perempuan itu dengan mata terbelalak, tangannya menjambak-jambak rambut, berteriak-teriak, dan berkelojotan menahan sakit tak tertahankan. Tubuhnya melepuh. Leleh. Lalu hangus menghitam. Namun, sesudah itu secara ajaib tubuhnya utuh kembali seperti sediakala. Menurut Syaikh Abdul Ghafru, perempuan itu adalah seorang Muslimah yang taat beribadah, namun memiliki kegemaran berzina.

Sungguh ia tidak bisa membayangkan bagaimana siksaan yang bakal diterima oleh ahli zina yang mengaku muslim dan muslimah, namun tidak pernah menjalankan ibadah kepada Allah. Ia juga tidak bisa membayangkan bentuk siksaan yang bakal dialami ahli zina yang terhijab dari kebenaran hidayah-Nya.

Keluar dari alam kubur ahli zina, ia masuk ke dimensi dengan cahaya merah temaram. Sejauh mata memandang ia hanya menyaksikan genangan darah memenuhi cakrawala. Kemudian, dalam keremangan ia mendapati seorang laki-laki sedang berenang. Sambil berteriak-teriak dengan suara serak, dia mencari batu-batu di dalam genangan darah. Ketika sudah ditemukan dengan lahap dia menelan batu-batu yang kasar dan tajam tersebut. Laki-laki itu berteriak-teriak kesakitan karena mulutnya berdarah dan tenggorokannya luka parah.

Menurut Syaikh Abdul Ghafur, laki-laki sengsara yang berenang dalam genangan darah dan menelan batu-batu itu adalah seorang muslim yang saat hidup di dunia memakan harta hasil riba dan mencurangi ukuran timbangan. Laki-laki itu adalah saudagar mata duitan yang menghalalkan segala cara asalkan bisa meraih keuntungan besar. Dia akan mengalami disiksa sampai yaum al-qiyamah. Sungguh mengerikan nasib orang celaka itu.

Setelah keluar dari persemayaman ahli riba dan ahli mencurangi timbangan, Abdul Jalil memasuki dimensi yang gelap. Di sana ia menyaksikan seorang perempuan tubuhnya luluh lantak dijepit bongkahan batu dan tanah. Tulang-belulangnya patah dan mencuat ke permukaan menembus daging. Tengkorak kepalanya remuk mengeluarkan cairan otak. Ratap tangisnya tak bisa digambarkan dengan bahasa manusia.

Perempuan celaka itu sewaktu hidup di dunia sangat kikir dan aniaya terhadap fakir miskin dan anak yatim. Dia suka sekali mengurangi jatah infak dan sadaqah yang disisihkan suaminya. Bahan makanan yang akan diberikan sebagai zakat dan sadaqah pun digantinya dengan bahan bermutu jelek. Pendek kata, perempuan itu selalu menelikung suaminya di dalam hal nafkah, infak, sadaqah, dan zakat.

Pemandangan yang paling mengejutkan Abdul Jalil saat memasuki alam kubur adalah saat menyaksikan siksaan yang dialami oleh seorang laki-laki yang tubuhnya dibelit dan digigiti oleh puluhan ekor ular berbisa. Laki-laki itu meraung-raung dan melolong-lolong kesakitan. Tubuhnya berkelojotan. Namun, ular-ular itu dengan ganas menyemburkan bisa dan menggigitnya tanpa henti. Seketika ia teringat perjalanannya memasuki dimensi an-nafs al-hayawaniyyah di dalam dirinya.

Kali ini, Syaikh Abdul Ghafur tidak menjelaskan siapa laki-laki celaka yang dibelit dan digigiti ular-ular itu. Namun, Abdul Jalil paham bahwa laki-laki itu pastilah orang yang semasa hidup di dunia terbelenggu oleh an-nafs al-hayawaniyyah. Itu berarti, dia adalah orang yang sangat mendewakan kebendaan, keras kepala, menolak kebenaran yang bersifat ruhani, gampang putus asa, dan mendustakan ayat-ayat Allah.

Kehidupan al-Malamatiyyah adalah kehidupan yang diliputi keanehan-keanehan. Karena perjalanan hidup seorang malamit ditandai oleh pengalaman-pengalaman menakjubkan yang nyaris tidak dialami oleh manusia seumumnya. Lantaran itu, seorang malamit tidak dapat hidup sebagaimana lazimnya manusia karena latar pengalaman telah membentuk pandangan-pandangan, paham-paham, gagasan-gagasan, dan kerangka berpikir yang khas al-Malamatiyyah. Dan lantaran itu pula, seorang malamit sering dinilai tidak waras dan keberadaannya dianggap berbeda dari manusia lain.

Rentang waktu yang panjang dan liku-liku pengalaman yang telah dilampaui Abdul Jalil pun pada gilirannya telah menjadikannya sebagai sosok manusia yang dianggap aneh oleh lingkungannya. Hal itu disadari Abdul Jalil ketika istrinya, Shafa, mengingatkan perlakuannya yang sangat berlebihan terhadap seorang sufi pengembara bernama Syamsuddin al-Habba. Shafa yang belum mengenal aturan dan kebiasaan yang berlaku di kalangan sufi menganggap aneh perlakuan suaminya yang membasuh kaki Syamsuddin al-Habba saat menjelang tidur. Shafa juga menganggap aneh tindakan suaminya yang mengantar Syamsuddin al-Habba mandi dan kemudian menggosok punggung, kaki, dan tangannya. Padahal, dia adalah laki-laki asing tak dikenal, berpenampilan lusuh, dan pakaiannya kumal penuh tambalan.

Abdul Jalil menyadari bahwa istrinya berbeda pandangan dengannya. Ia berusaha menjelaskan bahwa ada aturan-aturan yang harus diikuti oleh pengamal ajaran tasawuf, terutama dalam ikatan persahabatan. Ia menjelaskan bahwa hal itu dipatuhi oleh siapa saja, termasuk Pir Agung Syaikh Abdul Ghafur al-Gujarati. Dan hal itu sudah menjadi peraturan sejak zaman nabi dan rasul yang dilestarikan hingga kini.

“Di dalam persahabatan sejati,” ungkapnya, “kita tidak boleh mengedepankan kepentingan pribadi. Sebab, segala keburukan persahabatan sumbernya dari keakuan diri. Orang yang telah berhasil mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan sahabatnya maka orang itu telah berhasil dalam persahabatan.”

Setelah mengarungi kehidupan bersama Shafa selama beberapa waktu, Abdul Jalil menyadari kebenaran ungkapan Ahmad at-Tawallud tentang makna di balik perkawinannya yang baru. Dengan perkawinannya ini, ia benar-benar dapat mengesampingkan citra Nafsa dan “keterkaitan” jiwa dengan istri pertamanya. Ia merasakan betapa kiblat hatinya kepada Allah makin kuat dan jernih. Ia merasakan dirinya bagai burung terbang bebas di angkasa, yang hanya pulang ke sarang untuk memberikan naungan dan perlindungan kepada burung betina dan anak-anaknya.

Shafa binti Adamji Muhammad akhirnya dapat memahami sikap dan pandangan hidup suaminya yang semula dianggap aneh. Namun, saudara, kerabat, serta tetangganya kebanyakan tetap menganggap suaminya itu sebagai orang aneh. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, mereka melihat suami Shafa berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk berbicara dengan orang-orang mengenai bencana besar yang bakal datang jika mereka lalai terhadap ajaran Ilahi. Tindakan Abdul Jalil itu tentu saja dianggap aneh karena menyia-nyiakan waktu bekerja untuk membicarakan soal-soal yang berkaitan dengan dongeng-dongeng lama.

Karena sering berkeliling, Abdul Jalil memiliki banyak kawan dan kenalan. Namun, yang tetap mengherankan orang-orang adalah kawan-kawannya umumnya terdiri atas para yogi, brahmin, rsi, dan sufi yang hidupnya miskin. Mereka silih berganti datang bertamu untuk membicarakan hal-hal yang tak dipahami masyarakat. Untung saja Adamji Muhammad sejak awal sudah diberi tahu oleh pir panutannya, Syaikh Abdul Ghafur, tentang keanehan putera menantunya itu sehingga kasak-kusuk para tetangga tidak sedikit pun dia hiraukan.

Atas petunjuk Syaikh Abdul Ghafur, Abdul Jalil tinggal di rumah yang terletak di samping tempat tinggal mertuanya. Sebab, ia sering bepergian dan meninggalkan istrinya barang sepekan atau sepuluh hari. Saat-saat itulah Adamji Muhammad akan menjaga Shafa. “Engkau yang menolong kekasih-Nya pasti akan ditolong oleh-Nya. Engkau yang membantunya menyelesaikan tugas-tugasnya, pasti tugas-tugasmu akan diselesaikan-Nya. Sungguh Dia Mahatahu dan Mahaadil,” ujar Syaikh Abdul Ghafur.

Adamji yang patuh pada perintah Syaikh Abdul Ghafur dengan penuh sukacita ikut mengurus dan membantu segala kebutuhan menantunya. Tanpa pernah mengeluh dia menerima kasak-kusuk tetangganya. Dan badai kasak-kusuk pun makin dahsyat ketika Shafa sedang hamil tua, namun suaminya pergi ke kota Surat dan belum diketahui kapan kembali.

Adamji sendiri sekalipun sudah memahami bahwa Abdul Jalil menjalankan tugas-tugas Allah, sesekali masih juga dirayapi rasa heran dengan peri kehidupan putera menantunya itu. Perasaan heran itu dirasakannya setelah secara diam-diam dia mengamati perilaku Abdul Jalil ketika berbicara, berjalan, tidur, makan, menerima tamu, dan bahkan saat berbincang-bincang. Namun, keheranan Adamji Muhammad tak berlangsung lama ketika pir Agungnya menguraikan sifat-sifat Abdul Jalil. “Ia sendiri sebenarnya tidak ingin memiliki perilaku seperti itu. Namun, apa yang bisa ia perbuat jikalau Allah menghendakinya berperilaku demikian,” ujar Syaikh Abdul Ghafur.

“Hamba memahami petunjuk Guru Yang Mulia.”

“Ketahuilah, o Adamji, bahwa engkau sebagai orang lain hanya bisa menilai keberadaan putera menantumu dengan keheranan belaka. Tetapi jika engkau menjadi dia, pasti engkau tidak akan kuat menahan beban derita yang dipikulnya.”

“Hamba paham, Guru Mulia.”

Ketika usianya menginjak tiga puluh lima, lahirlah putera pertamanya dari Shafa yang diberi nama Darbuth – dari gabungan kata ad-Dar (rumah, tempat, kediaman) dan al-Buthun (relung kehampaan) – yang bermakna “rumah persembunyian Khazanah Tersembunyi.” Puteranya dinamakan demikian sebab pada malam menjelang kelahirannya, ia mengalami peristiwa ruhaniah terserap masuk ke dalam relung terdalam dari kehampaan yang ada di dalam dirinya, yang merupakan tempat persemayaman al-Haqq.

Sekalipun pengalaman ruhani itu mirip dengan yang pernah dialaminya di Jabal Uhud saat dibimbing Misykat al-Marhum, namun kali ini terdapat perbedaan-perbedaan, baik dalam gambaran-gambaran manifestasi tiap-tiap dimensi maupun tentang hakikat masing-masing dimensi. Hal itu baru disadari saat ia memasuki dimensi serba hitam, yang merupakan manifestasi an-nafs al-hayawaniyyan. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda baik bentuk-bentuk kilasan maupun suasana yang meliputinya.

Kali ini ia tidak lagi melihat bayangan ular raksasa berkepala empat dengan hewan-hewan melata yang mengerumuninya. Suasana di situ juga tidak sepekat pada pengalaman sebelumnya. Ia hanya menyaksikan hamparan hitam memenuhi segenap penjuru penglihatan batinnya. Kemudian bagai matahari terbit di pagi hari, ia mendapati penglihatan batinnya secara jernih dan terang menyingkapkan keberadaan dimensi hitam itu sebagai manifestasi dari an-nafs al-hayawaniyyah dengan segala sifat dan kecenderungannya.

Namun, kenapa gambaran ular raksasa berkepala empat dengan hewan-hewan melata yang mengerumuninya tidak ada?

Karena, Abdul Jalil telah menyumbat sumber hasrat kebendaan dari hati dan pikirannya. Maka, kilasan gambaran-gambaran bentuk itu terhapus. Gambaran dari bentuk-bentuk itu adalah ilusi maya tidak berwujud yang berasal dari lembah angan-angan dari pikiran yang rendah dan berliku-liku. Gambaran ilusi itu baru bisa mewujud dalam bentuk-bentuk manakala hasrat kebendaan yang memancar dari kedalaman relung an-nafs al-hayawaniyyah dibiarkan mengalir menuju ke sungai pikiran yang juga rendah dan berliku-liku.

Hasrat kebendaan ibarat air. Ilusi maya ibarat lembah angan-angan yang rendah dan berliku-liku. Jika lembah angan-angan itu dialiri air dari sumber hasrat kebendaan maka akan terbentuk aliran sungai nafsu kebendaan yang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya hutan khayalan tentang benda-benda yang menyesatkan. Namun, Abdul Jalil telah berhasil menyumbat sumber yang memancarkan hasrat kebendaan itu. Hal ini mengakibatkan aliran ilusi maya yang ada di dalam relung an-nafs al-hayawaniyyah-nya tidak mengalir lagi. Lembah angan-angan pun kering. Hutan pun hilang. Demikianlah, kilasan gambaran tentang benda-benda terhapus dari pikiran dan hatinya.

Seperti pengalaman yang sudah-sudah, kali itu pun ia merasakan kesadarannya terisap oleh kekuatan dahsyat dan ia terlempar dari dimensi hitam untuk kemudian memasuki dimensi serba kuning.

Di sini pun ia tidak menyaksikan bayangan anjing raksasa berbulu kuning keemasan berkepala empat. Pemandangan yang terhampar di hadapannya hanyalah wujud serba kuning. Kemudian, dengan mata batinnya yang terang benderang ia mengetahui bahwa dimensi serba kuning itu adalah manifestasi dari an-nafs al-musawwilah dengan semua sifat dan kecenderungannya. Dan ketiadaan kilasan bentuk-bentuk apa pun dikarenakan ia sudah menyumbat sumber hasrat kesyahwatan dari pikiran dan hatinya.

Hal serupa dialaminya ketika memasuki dimensi merah. Ia tidak menyaksikan bayangan kera raksasa berbulu merah menyala, karena an-nafs al-ammarrah di dalam dirinya telah tertaklukkan. Pengalaman yang sama terulang kembali saat memasuki dimensi hijau, yang merupakan manifestasi dari an-nafs al-lawwammah, dan dimensi biru yang merupakan manifestasi dari an-nafs al-mulhamah.

Namun, saat memasuki dimensi serba putih yang merupakan manifestasi an-nafs al-muthma’innah, ia mendapati kesaksian baru, terutama tentang makna hakiki dari durrah al-baidha’ dan al-mudhghah. Pada dimensi itu ia memperoleh pencerahan baru tentang ketidakbenaran pengungkapan citra hakiki dari nafs-nafs yang telah dilampauinya.

Pengakuan nafs-nafs sebagai durrah (mutiara), misalnya, baik durrah al-aswad (mutiara hitam), durrah al-ashfar (mutiara kuning), durrah al-ahmar (mutiara merah), durrah al-khadhr (mutiara hijau), dan durrah al-azraq (mutiara biru) pada dasarnya adalah pengakuan yang dilebih-lebihkan. Hakikatnya adalah maya. Sebab, pada kenyataannya, satu-satunya durrah yang nyata dan wujud adalah durrah al-baidha’ yang merupakan manifestasi dari an-nafs al-muthma’innah.

Terjadinya pengakuan atas durrah berbagai ragam warna maya itu adalah akibat ‘aku’ dari masing-masing nafs telah mengaku-aku keutamaan diri melebihi kenyataan yang sesungguhnya. Ini berbahaya karena nafs-nafs gampang terpengaruh oleh kilasan-kilasan ilusi yang mengalir dari lembah angan-angan, yang mudah terpesona oleh fatamorgana manifestasi Iblis. Dengan ilusi maya itu, nafs-nafs memanifestasikan sifat-sifat Iblis yang berlebihan memuliakan diri sendiri dalam bentuk pemujaan materi, tamak, takabur, ‘ujub, riya, iri hati, cemburu, pemarah, dan pendendam. Penilaian diri berlebihan itulah yang menciptakan ilusi maya tentang musuh menjadi kenyataan. Karena, siapa saja yang dianggap menandingi kemuliaan dirinya akan dianggapnya sebagai musuh. Dan ujung dari kecenderungan ini adalah menganggap malaikat dan bahkan Tuhan sebagai musuh. Sebab, baik malaikat maupun Tuhan dianggap menandingi kemuliaan dirinya. Gejala-gejala pemuliaan diri secara berlebihan seperti itu adalah manifestasi diri dari sifat-sifat dan kecenderungan nafs-nafs yang jauh dari cahaya terang al-Haqq.

Pengalaman itu menyingkapkan kesadaran baru yang lebih jernih dan terang tentang hakikat nafs-nafs. Ia sadar bahwa sisi paling terang yang terentang di antara nafs-nafs yang mendapat pancaran cahaya al-Haqq adalah an-nafs al-muthma’innah, dan sisi yang tergelap adalah an-nafs al-hayawaniyyah. Itu sebabnya, keberadaan an-nafs al-muthma’innah mewujud pada dimensi putih yang disebut durrah al-baidha’, yang wujud jasadnya disebut al-mudhghah.

Berarti, menurut hematnya, pada wujud fisik al-mudhghah (eksistensi ruhaninya disebut qalb) bersemayam hati nur’aini (cahaya mata batin) yang memancari kegelapan hijab-hijab nafs. Pada dimensi inilah medan perang dari perjuangan besar (al-jihad al-akbar) untuk memerangi kecenderungan-kecenderungan nafs digelar, di mana lima pasukan besar nafs (al-bathil) yang menyesatkan, yang muncul dari kegelapan nafs-nafs rendah, berhadapan dengan pasukan ruh (al-haqq) yang muncul dari terang cahaya al-Haqq. Kedua kekuatan dahsyat pasukan besar itu – nafs (gelap) dan ruh (terang) – bertempur untuk saling menguasai Benteng al-mudhghah.

Dari pertempuran dahsyat ini pada gilirannya hanya akan menghasilkan dua kelompok manusia. Kelompok pertama adalah manusia yang telah kalah oleh nafs. Benteng al-mudhghah beserta isinya (qalb) dikuasai oleh pasukan nafs yang berwujud ular, hewan melata, anjing, hewan buas, kera, hewan pemangsa, raksasa-raksasa liar dan ganas, dan berbagai monster mengerikan yang merusak tatanan kehidupan manusia. Kelompok pertama ini akan terperosok ke lembah kebatilan dan jurang kesesatan yang penuh kesengsaraan dan penderitaan. Wujud mereka memang manusia, namun nalurinya binatang dan jiwanya setan terkutuk.

Tanda-tanda utama dari manusia kelompok pertama adalah jika berbicara tentang kehidupan duniawi sangat memesona. Tidak segan mereka menyitir ayat-ayat Allah untuk meneguhkan daya pesonanya. Namun, hidup mereka selalu diwarnai kemudharatan. Mereka tidak bermanfaat bagi manusia lain. Mereka selalu merugikan manusia lain. Mereka menjadi sumber keonaran. Mengutamakan kepentingan pribadi di atas segalanya. Kejahatan akhlak yang mereka lakukan pun tidak pernah terlintas di benak manusia waras. Mereka benar-benar terhijab dari al-Khaliq. Kelompok inilah yang disebut asfala safilin, yang paling rendah di antara yang terendah.

Kelompok kedua adalah manusia yang memenangkan pengaruh ruh dan menaklukkan nafs. Pasukan ruh yang terdiri atas prajurit fawa’id, pengawal ruh, hulubalang sirr, ksatria kafi, menteri akfa, dan Sang Raja Ana al-Haqq, menguasai Benteng al-mudhghah. Merekalah yang disebut mu’minin, shalihin, mujahidun, muttaqin, shiddiqin, muqarrabin, dan muhaimin. Tanda-tanda utama manusia kelompok kedua adalah jika berbicara tentang kehidupan duniawi sangat tidak menarik dan naif karena mereka mengabaikan kebendaan dan kesyahwatan. Hidup mereka dibimbing oleh panglima akhlak. Mereka selalu mengesampingkan kepentingan pribadi untuk kemaslahatan umum. Selalu mendatangkan manfaat bagi manusia lain. Kelompok inilah yang disebut ahsani taqwim, yang terbaik ruhani dan jasmani; yang berkedudukan sebagai insan kamil, manusia paripurna; dan berhak menjadi fi al-ardh, wakil Allah di muka bumi.

Dengan pemahaman baru ini, Abdul Jalil menilai kehidupan manusia justru dimulai dari pengungkapan hakiki dari perjuangan memanifestasikan sifat-sifat dan kecenderungan ruh (al-haqq) untuk memerangi sifat-sifat kecenderungan nafs (al-bathil). Manusia yang hidupnya semata-mata dibimbing oleh sifat-sifat dan kecenderungan nafs maka mereka adalah makhluk yang terhijab, yang pancaran cahaya hati nur ‘aini-nya akan padam. Manusia pada tingkat ini keberadaannya tidak berbeda dengan hewan, bahkan lebih jahat dan lebih berbahaya, karena mereka memiliki senjata akal.

Setelah melintasi dimensi nafs-nafs beserta tirai-tirai hijabnya dan melampaui durrah al-baidha’, Abdul Jalil memasuki dimensi an-nafs al-wahidah. Ia mendapati dimensi ini diterangi cahaya dari qandil yang memancar sangat terang. Inilah lampu yang menyala tanpa api. Inilah dimensi nur al-baidha’. Inilah persemayaman fawa’id. Cahaya dari qandil inilah yang memancar dan menerangi durrah al-baidha’ di mana an-nafs al-muthma’innah bersemayam. Inilah hakikat kemuliaan Adam yang ridho dan diridhoi oleh-Nya.

Dalam mengenali dan memaknai dimensi-dimensi yang ada di dalam dirinya, terutama dimensi nur al-baidha’, Abdul Jalil mendapati keberadaan an-nafs al-wahidah – sebagai satu kesatuan dari bagian an-nafs ar-radhiyah – dan an-nafs al-mardhiyyah seibarat kesatuan antara nyala lampu, sumbu, dan minyak. An-nafs al-wahidah itulah nyala cahaya lampu. An-nafs ar-radhiyah itulah sumbu. An-nafs al-mardhiyah itulah minyak. Demikianlah, an-nafs al-wahidah adalah manifestasi dari fawa’id. An-nafs ar-radhiyah adalah manifestasi dari ruh. An-nafs al-mardhiyah adalah manifestasi dari sirr.

Lebih tegas lagi, an-nafs al-wahidah yang di dalamnya “tersembunyi” fawa’id merupakan manifestasi al-Kamal yang muncul dalam wujud Adam. Sedang an-nafs ar-radhiyah yang di dalamnya ”tersembunyi” ruh adalah manifestasi al-Jalal yang muncul dalam wujud Dinding al-Jalal. Sementara an-nafs al-mardhiyah yang di dalamnya “tersembunyi” sirr adalah manifestasi al-Jamal yang muncul dalam wujud Taman al-Jamal.

Dengan mengenali, memahami, dan memaknai keberadaan dimensi nur al-baidha’, ia menyadari sesadar-sadarnya tentang kemuliaan Adam yang disemayamkan di tengah Taman surgawi yang dilingkari Dinding tak tertembus. Adam sendiri menyaksikan keindahan Taman al-Jamal dan Dinding al-Jalal dengan pandangan bashirah yang merupakan manifestasi dari al-Bashir. Dan lantaran hakikat keberadaan Adam yang begitu mulia, yakni sebagai pengejawantahan Khazanah Tersembunyi, maka seluruh malaikat diperintahkan sujud kepadanya.

Ketika memasuki dimensi paling dalam dari nur al-baidha’, untuk kali keduanya Abdul Jalil menjumpai ar-ruh al-idhafi yang berwujud seperti dirinya dengan pancaran cahaya putih kehijau-hijauan, namun hanya seukuran ibu jari. Inilah manifestasi dari al-khafi yang tiada lain adalah selubung hijab yang disebut hajib ar-Rahman (hijab ar-Rahman). Inilah wilayah gaib yang menjadi pembatas (barzakh) antara makhluk dan al-Khaliq.

Abdul Jalil menyadari sesadar-sadarnya bahwa ar-ruh al-idhafi adalah manifestasi belaka dari al-Haqq yang terselubung dalam kerahasiaan paling rahasia. Itu sebabnya, saat ar-ruh al-idhafi memaparkan berbagai uraian tentang hakikat kebenaran yang menawarkan kemuliaan, keagungan, kehebatan, kekeramatan, serta berbagai kelebihan yang tak dipunyai manusia lain, dengan tegas ia menolaknya. “Saya berharap agar semua keinginan pribadi saya terhapus. Karena, sesungguhnya hanya Allah saja yang memiliki kehendak.”

“Apakah engkau tidak memiliki keinginan bertemu dengan Rabb-mu?” tanya ar-ruh al-idhafi.

“Sesungguhnya, sejak awal perjalanan hidup saya, keinginan saya yang paling tak terkendali adalah bertemu dengan Rabb-ku. Namun, sekarang saya sadar bahwa keinginan kuat yang begitu dahsyat menguasai jiwa saya itu pada dasarnya adalah atas kehendak-Nya jua. Itu sebabnya, saya pasrahkan segala sesuatu yang berkaitan dengan hajat hidup saya kepada-Nya. Dia Mahatahu dan Maha Berkehendak,” ujar Abdul Jalil.

“Tidakkah engkau ingin tahu hakikat terahasia dari keberadaanku?”

“Tuan yang berwujud mirip saya, tentu Tuan lebih tahu tentang hakikat kerahasiaan di balik keberadaan Tuan daripada saya. Namun bagi saya, Tuan adalah manifestasi belaka dari keberadaan al-Haqq. Sebab, menurut keyakinan saya, al-Haqq tidak akan sama dan serupa dengan al-insan. Al-Khaliq tidak bisa dibandingkan dengan makhluk. Dia tidak bisa disetarakan dengan sesuatu (laisa kamitslihi syaiun). Jadi, menurut keyakinan saya, hanya karena Dia, dengan Dia, melalui Dia, dan kehendak Dia semata saya akan menyaksikan kebenaran wujud-Nya entah itu pada tingkat Asma’-Nya, Shifat-Nya, Af’al-Nya, maupun Dzat-Nya. Dan andaikata Dia menetapkan bahwa saya hanya boleh mengenal-Nya dalam wujud manifestasi Tuan maka saya menerima itu sebagai anugerah paling berharga dari-Nya,” ujar Abdul Jalil.

Menyaksikan keteguhan, ketulusan, dan keterbebasan jiwa Abdul Jalil dari pamrih pribadi, ar-ruh al-idhafi memancarkan cahaya sangat terang dari seluruh tubuhnya. Kemudian dengan isyarat, dia memerintahkan Abdul Jalil masuk ke dalam dirinya melalui telinga kirinya.

Perintah itu membuat Abdul Jalil tercengang sejenak, namun ia tidak membiarkan ketakjuban dan keheranan mempengaruhi kesadarannya. Itu sebabnya, dengan gerakan cepat ia bergegas melangkah mendekat. Dengan konsentrasi diarahkan ke telinga ar-ruh al-idhafi, ia menyaksikan peristiwa menakjubkan. Telinga ar-ruh al-idhafi tiba-tiba menjadi sangat besar seibarat gua. Meski demikian, ia tidak tahu pasti apakah dalam hal itu tubuh ar-ruh al-idhafi yang meraksasa hingga telinganya pun sebesar gua atau sebaliknya tubuhnya yang mengecil hingga bisa masuk ke dalam telinga kiri ar-ruh al-idhafi.

Ketika berada di ambang telinga ar-ruh al-idhafi, tiba-tiba ia merasakan kesadarannya terisap oleh kekuatan dahsyat yang menariknya ke arah dalam. Ia tercekat. Kemudian kesadarannya terasa jungkir-balik memasuki kumparan cahaya warna-warni. Sedetik sesudah itu, ia telah berada di hamparan cahaya yang sangat terang.

Hamparan terang itu tanpa wujud bentuk-bentuk, tanpa bayangan, tanpa benda gelap dan terang. Abdul Jalil tercengang menyadari keberadaannya di dimensi asing itu. Sejauh mata batinnya (al-‘ain al-bashirah) memandang, ia hanya menyaksikan gumpalan kabut putih. Dimensi ini sangat asing dan aneh karena tanpa arah timur, barat, selatan, dan utara. Ia bahkan dapat menyaksikan seluruh cakrawala. Inikah dimensi di dalam ar-ruh al-idhafi? Demikian pertanyaannya penuh ketakjuban. Tidak ada apa-apa di dimensi itu: tidak suara, warna, bau, atau rasa. Yang ada hanya kesenyapan. Kelengangan. Kesunyian. Keheningan. Bahkan kehampaan. Anehnya, Abdul Jalil justru merasakan bahwa di dimensi inilah ia berada dalam keadaan sebebas-bebasnya, terbebas dari segala beban; ia merasakan kesadarannya laksana sebutir debu yang terbang melayang-layang dibawa embusan angin. Betapa bebas! Betapa bahagia! Betapa nikmat!

Ketika tengah menikmati kelepasbebasan dengan kebahagiaan tiada tara, tiba-tiba telinga batinnya menangkap al-ima’ yang bergetar dari segenap penjuru cakrawala.

“Inilah Haikal Muqaddas yang merupakan Dar al-Haram persemayaman al-Haqq. Inilah al-Buthun, “persemayaman” Khazanah Tersembunyi yang ditampakkan oleh-Nya dalam penciptaan dirimu. Haikal Muqaddas ini tidak berada di mana-mana, kecuali di dalam dirimu sendiri.”

“Apakah saya diizinkan memasuki altar Haikal Muqaddas agar saya dapat menyaksikan dan menyembah-Nya dengan sebenar-benarnya?”

“Aku Hajibur Rahman, penjaga Haikal Muqaddas, tidak akan mengizinkan siapa pun masuk tanpa izin-Nya.”

“Apakah Tuan mengira kehadiran saya hingga di Haikal Muqaddas ini adalah kehendak saya pribadi dan tanpa izin-Nya? Saya yakin bahwa apa yang saya alami ini adalah atas kehendak-Nya semata. Karena itu, o Hajibur Rahman, mohonkan kepada-Nya agar saya diperkenankan masuk.”

Suasana hening. Senyap. Sepi. Hampa. Namun, sesaat sesudah itu tiba-tiba ia menangkap al-ima’ yang lain lagi.

“Karena Haikal Muqaddas sangat suci dan tidak bisa dimasuki oleh makhluk, maka engkau, makhluk yang berkeinginan memasuki Haikal Muqaddas, hendaknya suci dari semua anasir kemanusiaanmu. Karena itu, o makhluk yang dikasihi-Nya, masuklah engkau ke dalam Haikal Muqaddas melalui pintu al-mir’ah al-hayya’i (cermin memalukan) yang wajib dilalui siapa pun yang ingin masuk ke dalam sini.”

Ia heran dengan perintah itu. Sebab, di segenap penjuru cakrawala dimensi itu tidak terlihat bentuk maupun kilasan gambaran apa pun jua. Namun, seiring dengan keheranannya tiba-tiba gumpalan kabut yang meliputi pandangan mata batinnya menyibak. Kemudian terpampanglah bentangan cermin yang tak diketahui batas tepinya.

Ia terkejut setengah mati menyaksikan bentangan cermin yang terhampar di hadapannya. Sebab, cermin itu tidak saja memantulkan bayangan dirinya, tetapi seluruh perbuatan yang pernah dilakukannya selama hidup terpampang rinci dengan sangat jelas. Sebagai manusia biasa yang tak lepas dari dosa dan kesalahan, terutama memasuki masa-masa remaja, Abdul Jalil tidak mampu menyaksikan rentangan perbuatan yang telah dilakukannya. Ia sangat malu. Bahkan akibat tidak dapat menahan rasa malu, ia menjerit-jerit histeris dan berusaha menutup pandangan mata batinnya. Namun, tidak sedikit pun ia memiliki kekuatan untuk mengatupkan mata batinnya. Puncaknya, ia tidak sadarkan diri.

Entah berapa lama ia pingsan. Namun, saat sadar ia saksikan bentangan cermin lain yang lebih jernih dari cermin sebelumnya. Bahkan begitu jernihnya sehingga bagaikan bukan cermin.

Ia baru mengetahui bahwa yang terbentang di hadapannya adalah cermin yang sangat jernih setelah menyaksikan bayangan dirinya. Begitu sempurnanya bayangan itu, seolah ia menyaksikan dirinya kembar dua. Anehnya, di situ tidak ada bayangan lain. Tidak ada yang lain. Hanya ada dirinya dan bayangan dirinya. Ia tidak dapat berkata-kata, kecuali tercengang dalam pesona ketakjuban.

Ia merasa bingung karena tidak dapat membedakan mana bayangannya dan mana dirinya yang sebenarnya. Ini benar-benar pengalaman menakjubkan sekaligus membingungkan. Ia juga tidak dapat membedakan keakuan dirinya dan keakuan bayangan dirinya. Ia seolah-olah memiliki keakuan ganda, namun kegandaan yang menyatu dalam satu keakuan.

“Siapakah engkau?”

“Engkau adalah aku!”

“Bukahkah engkau hanya bayanganku?”

“Engkaulah yang sebenarnya bayanganku!”

“Jika demikian, siapakah aku dan siapakah engkau?”

“Aku adalah matahari dan engkau adalah bayangan matahari di dalam mangkok berisi air jernih.”

“Apakah engkau Rabb-ku?”

“Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu!”

“Jika demikian, siapakah sejatinya engkau ini?”

“Ana al-Haqq!”

Abdul Jalil terperangah takjub. Ia pandangi dirinya sendiri kemudian ganti memandangi bayangan dirinya di cermin. Ia benar-benar tercekam ke dalam pesona ketakjuban. Kenapa tidak ada wujud lain kecuali aku dan dia, tanyanya keheranan.

Tiba-tiba bayangan dirinya di cermin memancarkan cahaya yang sangat menyilaukan hingga nyaris membutakan mata batinnya. Seiring dengan pancaran cahaya itu, dirinya hilang dan bayangan dirinya pun ikut lenyap. Yang tertinggal hanyalah pancaran cahaya yang sangat terang.

Antara sadar dan tidak, ia merasakan kesadarannya terisap. Bagai memasuki pusat matahari, demikianlah kesadarannya masuk ke dalam cahaya yang terangnya tidak dapat diuraikan dengan kata-kata. Entah apa yang terjadi, namun kesadarannya tiba-tiba hilang. Keakuannya lebur ke dalam keakuan cahaya yang membutakan itu. Dan saat itulah, antara sadar dan tidak, ia menangkap al-ima’.

“Keakuanmu telah tenggelam ke dalam keakuan al-Haqq, Rabb-mu, seibarat bersatunya air dengan anggur di dalam gelas. Engkau telah meraih kemenangan, sebag dengan Rabb-mu engkau akan kembali kepada sumber asalmu, Rabb al-Arbab! Inna li Allahi wa inna ilaihi raji’un!”