Shalat Tasbih ~ Menjawab Kontroversi
Tasbih berasal dari kata سَبَحَ – sabaha, yang artinya ‘menjauh’. Ber-tasbih dalam pengertian syariat artinya ‘menjauhkan Allah dari segala sifat kekurangan dan kejelekan’.
Dengan
begitu, ketika kita bertasbih, maka kita menunjukkan keluarbiasaan Allah
dalam segala hal, tanpa ada kekurangan sedikitpun.
Ada 7 surat
yang dimulai dengan ucapan tasbih: Surat al-Isra’ (17:1), Surat al-Hadid
(57:1), Surat al-Hasyr (59:1), Surat al-Hasyr (59:1), Surat as-Shaf
(61:1), Surat at-Taghabun (64:1), Surat al-A’la (8:1).
Dalam
al-Quran, banyak perintah agar kita ber-tasbih kepada Allah swt dalam
segala keadaan. Di antaranya adalah ayat-ayat berikut.
Maka
bersabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan
memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan
bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di
siang hari, supaya kamu merasa senang (Thoha/20: 130)
Dan
bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, karena kamu berada dalam
penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu
akan berdiri (at-Thur/52: 48)
Maka
bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan
mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu
pada waktu petang dan pagi. (al-Mu’min/40: 55)
KEISTIMEWAAN TASBIH
1. Kalimat yang paling dipilih Allah swt
Suatu kali Rasulullah ditanya apakah ucapan yang paling unggul? Rasulullah menjawab,
مَا اصْطَفَى اللهُ لِمَلاَئِكَتِهِ أَوْ لِعِبَادِهِ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ
‘Yang dipilih Allah swt terhadap para malaikat-Nya dan hamba-Nya adalah ucapan: Subhanallahi wa bihamdihi’ (Riwayat Muslim)
2. Memberatkan timbangan amal
Rasulullah bersabda,
كَلِمَتَانِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيْلَتَانِ فِى الْمِيْزَانِ حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ
‘Ada dua
kalimat yang keduanya ringan diucapkan di lidah namun memberatkan
timbangan amal dan keduanya disukai oleh ar-Rahman, yaitu: Subhanallahi
wa bi hamdihi subhanallahil azhim’ (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3. Menghapus dosa yang banyak
Rasulullah bersabda,
مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبَدِ الْبَحْرِ
Barangsiapa
yang mengucapkan: Subhanallahi wa bi hamdihi 100x maka Allah dihapuskan
kesalahan meskipun kesalahannya itu sebanyak buih lautan’ (Riwayat
Bukhari dan Muslim)
4. Punya perkebunan kurma di surga
مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِى الْجَنَّةِ
‘Barangsiapa
yang mengucapkan: Subhanallahil azhimi wa bi hamdihi, maka ditanamkan
baginya satu pohon kurma di surga’ (Riwayat at-Tirmidzi)
5. Terhindar dari kesedihan dan penyakit-penyakit berat (misal: stroke)
Suatu kali
Qabishah al-Makhariq mendatangi Rasulullah dan berkata, ‘Wahai
Rasulullah, ajarkan aku beberapa kalimat (ucapan) yang dengannya Allah
memberi manfaat kepadaku, karena sungguh umurku sudah tua dan aku merasa
lemah untuk melakukan apapun’. Lalu Rasulullah berkata, ‘Adapun untuk
duniamu, maka ketika engkau selesai shalat Shubuh, maka ucapkanlah tiga
kali:
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
Jika engkau
membacanya, maka engkau terhindar dari kesedihan, kusta (lepra),
penyakit biasa, belang, lumpuh akibat pendarahan otak (stroke)…’
(Riwayat Ibnu as-Sunni dan Ahmad)
6. Senjata menghadapi persoalan besar
Diriwayatkan
dari Abu Hurayrah, bahwa jika Rasulullah menghadapi persoalan penting,
maka beliau mengangkat kepalanya ke langit sambil mengucapkan:
Subhanallahil azhim, dan jika beliau bersungguh-sungguh dalam berdoa,
maka beliau mengucapkan: Ya hayyu ya qoyyum (Riwayat at-Tirmidzi)
7. Senjata menghadapi krisis pangan
Rasulullah bersabda,
طَعَامُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي زَمَنِ الدَّجَّالِ طَعَامُ الْمَلاَئِكَةِ: التَّسْبِيْحُ وَالتَّقْدِيْسُ، فَمَنْ كَانَ مَنْطِقُهُ يَوْمِئِذٍ التَّسْبِيْحَ أَذْهَبَ اللهُ عَنْهُ الْجُوْعَ
‘Makanan
orang beriman pada zaman munculnya Dajjal adalah makanan para malaikat,
yaitu tasbih dan taqdis. Maka barangsiapa yang ucapannya pada saat itu
adalah tasbih, maka Allah akan menghilangkan darinya kelaparan’ (Riwayat
al-Hakim)
Nash hadits sholat tasbih adalah sebagai berikut,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ
المُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعطِيْكُ أَلاَ أَمْنَحُكَ
أَلاَ أَحَبُوِكَ أَلاَ أَفَعَلُ بِـكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ
فَعَلْـتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوْلَهُ وَآخِرَهُ
قَدِيمـَهُ وَحَدِيْثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيْرَهُ وَكَبِـيْرَهُ
سِـرَّهُ وَعَلاَنِيَـتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبـَعَ
رَكَعَاتٍ تَكْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الكِتَابِ وَسُورَةً
فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقِرَائَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ
قُلْتَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُلِ لِلَّهِ وَلاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ
وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا
وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ الرُّكُوعِ
فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِي سَـاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ
سَـاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا
عَشْرًا ثُمَّ تَسْـجُدُ فَتَقُولُهَا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ
فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ
تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ بُصَلِّيَهَا
فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ
جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ
لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَـنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي
عُمُركَ مَرَّةً
“Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah
bersabda kepada Abbas bin Abdul Muththalib, “Hai Abbas, hai pamanku,
maukah engkau aku beri? Maukah engkau aku kasih? Maukah engkau aku beri
hadiah? Maukah engkau aku ajari sepuluh sifat (pekerti)? Jika engkau
melakukannya, Allah mengampuni dosamu: dosa yang awal dan yang akhir,
dosa yang lama dan yang baru, dosa yang tidak disengaja dan yang
disengaja, dosa yang kecil dan yang besar, dosa yang rahasia dan
terang-terangan, sepuluh macam (dosa). Engkau shalat empat rakaat. Pada
setiap rakaat engkau membaca al-Fatihah dan satu surat (al-Quran). Jika
engkau telah selesai membaca (surat) pada awal rakaat, sementara engkau
masih berdiri, engkau membaca, ‘Subhanallah, walhamdulillah, walaa
ilaaha illa Allah, wallahu akbar’ sebanyak 15 kali. Kemudian ruku’, maka
engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat
kepalamu dari ruku’, lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali.
Kemudian engkau turun sujud, ketika sujud engkau ucapkan (dzikir) itu
sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari sujud, maka
engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau bersujud,
lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat
kepalamu, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Maka itulah
75 (dzikir) pada setiap satu rakaat. Engkau lakukan itu dalam empat
rakaat. Jika engkau mampu melakukan (shalat) itu setiap hari sekali,
maka lakukanlah! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) setiap
bulan sekali! Jika tidak, maka (lakukan) setiap tahun sekali! Jika
engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) sekali dalam umurmu.”
Takhrij Hadits
Hadits riwayat Abu Dawud 1297; Ibnu Majah, 1387; Ibnu Khuzaimah, 1216; al-Hakim dalam Mustadrak,
1233; Baihaqi dalam Sunan Kubra, 3/51-52, dan lainnya dari jalan
Abdurrahman bin Bisyr bin Hakam, dari Abu Syu’aib Musa bin Abdul Aziz,
dari Hakam bin Abban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Sanad ini
berderajat hasan.
Hadits ini juga memiliki banyak jalan
yang menguatkan, sehingga sangat banyak ulama Ahli Hadits yang
menguatkannya. Dalam riwayat lain disebutkan,
عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ قَالَ حَدَّثَنِي
رَجُل كَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ يَرَوْنَ أَنَّهُ عَنَّهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ
عَمْرٍو قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ائْتِنِي غَدًا اَحءبُوكَ وَأُثِـيْبُكَ وَأَعْطِيْكَ حَتَّى ظَنَنءتُ
أَنَّهُ يُعْطِينِي عَطِيَّة قَالَ إِذَا زَالَ النَّهَارُ فَقثمْ فَصَلّ
أَرْبَـعَ رَكَعَاتٍ فَذَكَرَ نَحَوَهُ قَالَ ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَـكَ
يَعْنِي مِنْ السَّجْدَةِ الثَّالِيَةِ فَاسْتَوِ جَالِسًا وَلاَ تَقثمْ
حَتَّى تُسَبِّحَ عَشْرًا وَتَحْمَدَ عَشْرًا وَتُكَبِّرَ عَشْرًا
وَتُهَلِّلَ عَشْرًا ثُمَّ تَصْنَعَ ذَلِكَ فِي الأَرْبَعِ الرَّكَعَاتِ
قَالَ فَإِنَّكَ لَوْكُنْتَ أَعُظَمُ أَهْلِ الْـأَرْضِ ذَنْبًا غُفِرَ
لَكَ بِذَلِكَ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أُصَلِّيَهَا تِلْكَ
الـسَّـاعَةَ قَالَ صَلِّهَا مِنْ اللَّيْـلِ وَالنَّهَار
“Dari Abul Jauza’, dia berkata,
‘Telah bercerita kepadaku seorang laki-laki yang termasuk sahabat Nabi.
Orang-orang berpendapat, dia adalah Abdullah bin Amr, dia berkata, ‘Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Datanglah kepadaku
besok pagi. Aku akan memberimu hadiah, aku akan memberimu kebaikan, aku
akan memberimu.’ Sehingga aku menyangka, bahwa beliau akan memberiku
suatu pemberian. Beliau bersabda, ‘Jika siang telah hilang, berdirilah,
kemudian shalatlah empat rakaat’ (Kemudian dia menyebutkan seperti
hadits di atas) Beliau bersabda, ‘Kemudian engkau angkat kepalamu –yaitu
dari sujud kedua-, lalu duduklah dengan sempurna, dan janganlah kamu
berdiri sampai engkau bertasbih sepuluh kali, bertahmid sepuluh kali,
bertakbir sepuluh kali, dan bertahlil sepuluh kali. Kemudian engkau
lakukan itu dalam empat rakaat. Sesungguhnya, jika engkau adalah
penduduk bumi yang paling besar dosanya, engkau diampuni dengan sabab
itu.’ Aku (sahabat itu) berkata, ‘Jika aku tidak mampu melakukannya pada
saat itu?’ Beliau menjawab, ‘Shalatlah di waktu malam dan siang.’” (HR. Abu Dawud, no. 1298).
Juga diriwayatkan Thabarani dan Ibnu Majah, no. 1386, pada akhir hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَلَوْ كَانَتْ ذُنُوْبُكَ مِثْلَ رَمْلِ عَالِجٍ غَفَرَهَا اللهُ لَكَ
“Seandainya dosa-dosamu semisal buih lautan atau pasir yang bertumpuk-tumpuk, Allah mengampunimu.” (Dishahihlan al-Albani dalam Shahih at-Targhib Wat Tarhib, 1/282).
Ulama yang Melemahkan Hadits Shalat Tasbih
Sebagian ulama melemahkan hadits shalat tasbih. Di bawah ini di antara ulama yang melemahkan tersebut:
1. Ketika mengomentari hadits shalat
tasbih yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, Abu Bakar Ibnul A’rabi berkata,
“Hadits Abu Rafi’ ini dha’if, tidak memiliki asal di dalam
(hadits) yang shahih dan yang hasan. Imam Tirmidzi menyebutkannya
hanyalah untuk memberitahukannya agar orang tidak terpedaya dengannya.” (Tuhfzatul Ahwadzi Syarh Tirmidzi, al-Adzkar karya an-Nawawi, hal. 168).
2. Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan hadits-hadits shalat tasbih dan jalan-jalannya, di dalam kitab beliau al-Maudhu’at, kemudian men-dha’if-kan semuanya dan menjelaskan kelemahannya.
3. Imam adz-Dzahabi rahimahullah menganggapnya termasuk hadits munkar (Mizanul I’tidal, 4/213. Dinukil dari Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 32, tahqiq Syaikh Abdullah al-Laitsi al-Anshari).
Ulama yang Menguatkan
Namun, sejumlah ulama besar Ahli Hadits telah menguatkan menshahihkan hadits shalat tasbih, di antaranya:
1. Ar-Ruyani rahimahullah berkata dalam kitab al-Bahr, di akhir kitab al-Janaiz,
“Ketahuilah, bahwa shalat tasbih dianjurkan, disukai untuk dilakukan
dengan rutin setiap waktu, dan janganlah seseorang lalai darinya.”
2. Ibnul Mubarak. Beliau ditanya,
“Jika seseorang lupa dalam shalat tasbih, apakah dia bertasbih dalam dua
sujud sahwi 10, 10 (sepuluh, sepuluh)?” Beliau menjawab, “Tidak, Shalat
tasbih itu hanyalah 300 (tiga ratus) tasbih.” Dalam riwayat ini, Ibnul
Mubarak tidak mengingkari shalat tasbih, yang menunjukkan bila beliau
membenarkannya (Al-Adzkar, hal. 169). Imam Tirmidzi rahimahullah berkata, “Ibnul Mubarak dan banyak ulama berpendapat (disyariatkannya) shalat tasbih dan mereka menyebutkan kautamaannya.” (Al-Adzkar, hal. 167).
3. Al-Hafizh al-Mundziri (wafat 656 H)
berkata, “Hadits ini telah diriwayatkan dari banyak sahabat Nabi, dan
yang paling baik ialah hadits Ikrimah ini. Dan telah dishahihkan oleh
sekelompok ulama, di antaranya al-Hafizh Abu Bakar al-Aajuri, Syaikh
kami al-Hafizh Abul Hasan al-Maqdisi, semoga Allah merahmati mereka. Abu
Bakar bin Abu Dawud berkata, “Aku mendengar bapakku berkata, ‘Tidak ada
hadits shahih dalam shalat tasbih, kecuali ini’.” Muslim bin al-Hajjaj
berkata, “Tidaklah diriwayatkan di dalam hadits ini sanad yang lebih
baik dari ini (yakni isnad hadits Ikrimah dari Ibnu Abbas).” (Shahih at-Targhib wat Targhib, 1/281, karya al-Mundziri, tahqiq al-Albani).
4. Imam Nawawi rahimahullah (wafat 676 H), beliau membuat satu bab, Bab: Dzikir-dzikir Shalat Tasbih, di dalam kitabnya al-Adzkar,
hal. 166. Beliau juga menyebutkan perselisihan para ulama tentang
hadits-hadits shalat tasbih, dan beliau termasuk ulama yang menyatakan
disyariatkannya shalat tasbih.
5. Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 689 H) berkata, “Disukai untuk melakukan shalat tasbih.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 47, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan).
6. Syaikh as-Sindi (wafat 1138 H) berkata, “Hadits ini (shalat tasbih) telah dibicarakan oleh huffazh (para ulama ahli hadits). Yang benar, bahwa hadits ini hadits tsabit
(kuat). Sepantasnya orang-orang mengamalkannya. Orang-orang telah
menyebutkannya panjang lebar, dan aku telah menyebutkan sebagian darinya
dalam catatan pinggir kitab (Sunan) Abu Dawud dan catatan pinggir kitab
al-Adzkar karya an-Nawawi.” (Ta’liq dalam Sunan Ibnu Majah, 1/442).
7. Syaikh al-Albani rahimahullah menshahihkan hadits shalat tasbih ini dalam kitab Shahih at-Targhib Wat Targhib, 1/281.
8. Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi
al-Atsari berkata mengomentari perkataan Ibnu Qudamah di atas, “Banyak
ulama telah menshahihkan isnad hadits shalat tasbih, dan lihatlah (kitab
al-Atsar al-Marfu’ah Fil Akhbar al-Maudhu’ah, hal. 123-143, karya al-Laknawi rahimahullah. Beliau telah mengumpulkan hal itu dengan sangat banyak.” (Catatan kaki Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 47, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan).
9. Syaikh Salim al-Hilali menshahihkan hadits shalat tasbih dalam kitab beliau Mukaffiratudz Dzunub.
10. Syaikh Abu Ashim Abdullah ‘Athaullah berkata, “Riwayat Abu Dawud; Timidzi; Ibnu Majah; Abdur Razzaq di dalam al-Mushannaf; al-Baihaqi dalam as-Sunan; dan al-Hakim di dalam al-Mustadrak; (derajat hadits) shahih li ghairihi.” (I’lamul Baraya Bi Mukaffiratil Khathaya., hal. 40, taqdim: Syaikh Mushthafa al-Adawi).
11. Selain para ulama di atas, yang
juga termasuk menshahihkan hadits shalat tasbih ini ialah Imam
Daruquthni, Ibnu Mandah, al-Khathib al-Baghdadi, Ibnu shalah, Ibnu Hajar
al-Asqalani, as-Suyuthi, Syaikh Ahmad Syakir, dan lainnya.
Kesimpulan
1. Derajat hadits shalat tasbih adalah shahih li ghairihi, sehingga dapat diamalkan. Adapun para ulama men-dha’if-kannya
atau menyatakan bahwa hadits shalat tasbih adalah palsu, karena tidak
mendapatkan hadits yang kuat sanadnya. Tetapi, hal ini bukan berarti
seluruh sanad hadits shalat tasbih tidak shahih. Karena sebagiannya yang
berderajat hasan, kemudian dikuatkan jalan lainnya, sehingga meningkat
menjadi shahih li ghairihi
2. Shalat tasbih hukumnya sunnah, bukan wajib sebagaimana anggapan sebagian orang.
3. Cara shalat tasbih sebagaimana hadits di atas.
4. Shalat tasbih dilakukan 4 rakaat
dengan satu salam, sesuai dengan zhahir hadits. Ada juga sebagian ulama
yang menyatakan dengan dua salam.
5. Waktunya boleh siang ataupun malam.
Berikut pendapat ulama mengenai hukum shalat Tasbih berjama’ah, yaitu :
1.Berkata al-Kurdy r.m. di dalam Fatawa:
“Shalat Tasbih tidak termasuk shalat yang disunat berjama’ah. Menurut mazhab Syafi’i, shalat sunat yang disyari’at berjama’ah maka disunatkan berjama’ah dan diberikan pahala karenanya dan yang tidak disyari’atkan jama’ah maka tidak disunatkan berjama’ah dan tidak mendapatkan pahala jama’ah karena tidak disyari’atkan berjama’ah tetapi pahala shalat sunat tetap ada dan tidak gugur sesuatupun. Jama’ah tersebut juga tidak makruh. Karena tidak didapati dalam mazhab syafi’i shalat sunat yang makruh berjama’ah sebagaimana yang telah ditetapkan, bahkan apabila diniatkan berjama’ah tersebut untuk mengajarkan orang awam maka itu termasuk cahaya atas cahaya”.
Selanjutnya beliau menjelaskan apabila dikuatirkan dengan melaksanakan shalat tasbih berjama’ah muncul i,tiqad orang awam bahwa shalat tasbih disunatkan berjama’ah, ketika itu tidak jauh, maka dibenarkan pengingkarannya, bahkan wajib atas pihak yang berwenang. 1
2.Berkata al-Imam Abdullah bin Husen baafaqiih dan Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madny :
“Dimubahkan berjama’ah pada umpama shalat Witir dan Tasbih, maka tidak dimakruhkan dan dan tidak ada pahala pada demikian. Namun apabila diniatkan mengajar orang yang shalat dan menggemarkan mereka, maka baginya berpahala” 2
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa shalat tasbih tidak termasuk shalat sunat berjama’ah. Namun demikian pelaksanaan shalat tasbih dengan cara berjama’ah untuk mengajarkan atau menggemarkan orang awam melaksanakan shalat tasbih dapat dibenarkan. Tindakan yang sama dengan ini, dapat juga dilihat pada tindakan Sayidina Abbas r.a yang menjiharkan fatihah pada shalat jenazah, padahal shalat jenazah termasuk shalat yang tidak sunnah menjiharkannya. Tindakan Saiyidina Abbas tersebut adalah untuk memberitahu kepada orang awam bahwa membaca fatihah adalah termasuk sunnah, sebagaimana tersebut dalam riwayat berikut :
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَلَى جَنَازَةٍ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ قَالَ لِيَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ
Artinya : Dari Thalhah bin Abdullah bin Auf, beliau berkata : “Aku shalat jenazah dibelakang Ibnu Abbas r.a. Beliau membaca fatihah kitab. Kemudian berkata : “Supaya mereka mengetahui sesungguhnya bacaan tersebut adalah sunnah”. (H.R. Bukhari)3
Yang dimaksud dengan membaca fatihah tersebut adalah dengan menjiharkannya, karena disebutkan “membaca fatihah”, gunanya untuk memberitahukan bahwa membaca fatihah adalah sunnah. Kalau tidak dibaca dengan jihar, tentunya perkataan “supaya mereka mengetahui” tidak bermakna. Memaknai membaca fatihah pada hadits di atas dengan cara jihar juga disebut oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitab Fathul Barri4. Dua hadits riwayat Hakim di bawah ini menjadi penguat dalam memaknai membaca fatihah pada hadits di atas dengan membaca secara jihar, yaitu :
1.Syarruhubail berkata :
حضرت عبد الله بن عباس صلى بنا على جنازة بالأبواء وكبر ثم قرأ بأم القرآن رافعا صوته بها ثم صلى على النبي صلى الله عليه وسلم ثم قال : اللهم عبدك وابن عبدك وابن أمتك يشهد أن لا إله إلا أنت وحدك لا شريك لك ويشهد أن محمدا عبدك ورسولك أصبح فقيرا إلى رحمتك وأصبحت غنيا عن عذابه يخلى من الدنيا وأهلها إن كان زاكيا فزكه وإن كان مخطئا فاغفر له اللهم لا تحرمنا أجره ولا تضلنا بعده ثم كبر ثلاث تكبيرات ثن انصرف فقال : أيها الناس إني لم أقرأ عليها إلا لتعلموا أنها السنة
Artinya : Aku hadir bersama Abdullah bin Abbas melakukan shalat atas jenazah dengan kami di Abuwa’. Beliau bertakbir kemudian membaca ummul qur’an dengan mengangkat suaranya dan kemudian bershalawat kepada Nabi SAW. Kemudian beliau mengatakan : “Allahumma ‘abdaka wa ibnu ‘abdika wa ibnu ummatika yasyhadu anlaa ilaha illa anta wahdaka laa syarika laka wa yasyhadu anna muhammadan ‘abduka warasuluka ashbaha faqiran ila rahmatika wa ashbahtu ghaniyan ‘an ‘azabihi yakhli minaddunya wa ahlihi in kana zakiyan fa zakkihi wa inkana mukhthi-an faghfir lahu. Allahumma la tahrimna ajrahu wa la tazhlilna ba’dahu. Kemudian melakukan takbir tiga kali lalu beliau berpaling dan berkata : “Hai manusia !. Seseungguhnya aku tidak membaca ummul qur’an kecuali supaya kalian mengetahui sesungguhnya ummul qur’an itu adalah sunnah.” H.R.Hakim)5
2. Sa’id bin Abi Sa’id berkata :
صلى بنا ابن عباس على جنازة فجهر بالحمد لله ثم قال : إنما جهرت لتعلموا أنها سنة هذا حديث صحيح على شرط مسلم
Artinya : Kami melakukan shalat jenazah bersama Ibnu Abbas. Beliau membaca alhamdulillah secara jihar. Kemudian beliau berkata : “hanya saja aku menjiharkannya adalah supaya kalian mengetahui sesungguhnya hal itu adalah sunnah. Berkata Hakim : “Ini adalah hadits shahih atas syarat Muslim”. (H.R. Hakim) 6
Umar juga pernah menjihar doa iftitah shalat beliau karena ingin mengajarkannya kepada manusia sebagaimana disebut dalam hadits di bawah ini :
عن عبدة أن عمر بن الخطاب كان يجهر بهؤلاء الكلمات يقول : سبحانك اللهم وبحمدك تبارك اسمك وتعالى جدك ولا إله غيرك
Artinya : Dari ‘Abdah, sesungguhnya Umar bin Khatab menjihar kalimat-kalimat itu dengan mengatakan : “Subhanakallahumma wa bihamdika tabaaraka ismuka wa ta’ala jadduka wa la ilaha ghairaka” (H.R. Muslim) 7
*TATA CARA SHALAT SUNAT TASBIH 4 RAKAAT 2 SALAM :
Usholli sunatan tasbih arba'a Roka'atin lillahita'ala
Allahu Akbar
Secara umum, shalat tasbih sama dengan tata cara shalat yang lain, hanya saja ada tambahan bacaan tasbih yaitu:
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
Lafadz ini diucapkan sebanyak 75 kali pada tiap raka’at dengan perincian sebagai berikut.- Sesudah membaca Al-Fatihah dan surah sebelum ruku sebanyak 15 kali,
- Ketika ruku’ sesudah membaca do’a ruku’ dibaca lagi sebanyak 10 kali,
- Ketika bangun dari ruku’ sesudah bacaan i’tidal dibaca 10 kali,
- Ketika sujud pertama sesudah membaca do’a sujud dibaca 10 kali,
- Ketika duduk diantara dua sujud sesudah membaca bacaan antara dua sujud dibaca 10 kali,
- Ketika sujud yang kedua sesudah membaca do’a sujud dibaca lagi sebanyak 10 kali,
- Ketika bangun dari sujud yang kedua sebelum bangkit (duduk istirahat) dibaca lagi sebanyak 10 kali.
surat yang lazim dibaca :
Rakaat pertama : surat At takatsur ( Al haakumut takaastur... )
rakaat ke kedua : surat Al Ashr ( Wal ashri...)
rakaat ke tiga : Surat Al Kafirun ( Qulyaa aayuhal kaafirun... )
rakaat ke empat : surat Al ikhlas ( Qulhu... )
Rakaat pertama : surat At takatsur ( Al haakumut takaastur... )
rakaat ke kedua : surat Al Ashr ( Wal ashri...)
rakaat ke tiga : Surat Al Kafirun ( Qulyaa aayuhal kaafirun... )
rakaat ke empat : surat Al ikhlas ( Qulhu... )
*Qoola Rosulullah saw : Hai abbas, pamanku!
maukah paman menerima yang istimewa ? Saya tujukan sepuluh hal yang kau terima
bilamana mengamalkan kesepuluh hal itu ialah :
1. diampuni Allah dosamu yang lalu
2. Diampuni dosa-dosa yang belakang
3. Diampuni Allah semua dosamu yang lama
4.Maupun dosa-dosa yang baru
5. Diampuni Allah dosamu yang terlanjur
6. maupun dosa-dosa yang disengaja
7. Diampuni Allah dosamu yang kecil
8. maupun dosa dosa yang kecil
9. Diampuni allah semua dosamu yang nyata
10. maupun dosa-dosa yang samar
untuk memperoleh yang sepuluh hal itu hendaklah kamu
shalat Tasbih (H.R Abu Daud & Tarmidzi )
" shalat Tasbih ini dilakukan satu hari satu
kali, kalau bisa tiap malam.kalau tidak bisa dapat seminggu sekali, jika masih
tidak bisa, kerjakanlah sekalipun hanya seumur hidupmu ! " Demikianlah
sabda Nabi saw.
apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh akan dapat
memberikan ketenangan jiwa, sehingga dapat merasakan dan menikmati arti hidup
yang sesungguhnya dibawah ridha Rabbil 'Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
1.Sayyed ‘Alwi bin Ahmad as-Saqaf, al-Fawaidul Makkiyah, dicetak dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, Usaha keluarga, Semarang, Hal. 176
2.Sayyed Abdurrahman bin Muhammad A’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.67
3.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 89, No. Hadits : 1335
4.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 204
5.Hakim, al-Mustadrak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 512, No. Hadits : 1329
6.Hakim, al-Mustadrak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 510, No. Hadits : 1323
7.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 299, No. Hadits : 399