30 Thariqah-(3) Tharîqah Junaidiyah
Biografi
Beliau adalah Abû al-Qâsim al-Junaid ibn Muhammad al-Junaid
al-Kharaz al-Qawariri al-Baghdâdi memiliki julukan (laqab) Abû al-Qâsim. Ayah
beliau adalah seorang penjual kaca, karenanya gelar beliau “al-Qawariri” adalah
disandarkan kepada profesi ayahnya tersebut. Al-junaid sendiri belakangan
mendapat julukan al Kharaz, yang artiya pedagang sutera, karena memang ia
seorang pedagang sutera di kota Baghdad. Keluarga al-Junaid berasal dari
Nahawand, namun beliau dilahirkan dan tumbuh di Irak, (Rijâl al-Syarh al-Anfâs
al-Rauhâniyah, halaman: 5)
Al-Junaid adalah salah seorang shûfi terkemuka di samping
seorang ahli fiqih. Dalam fiqih beliau bermadzhab kepada Imâm Abû Tsaur.
Al-Junaid sudah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam madzhab tersebut dalam
umurnya yang baru 20 tahun. Beliau lama bergaul dan belajar kepada pamannya
sendiri, yaitu Imam Sarri as-Saqthi, lalu kepada al-Harits al-Muhasibi,
Muhammad ibn al-Qashshab al-Baghdâdi yang termasuk teman pamannya dan shufi
terkemuka lainnya. Di kalangan shufi al-Junaid dikenal sebagai pemuka dan pimpinan
mereka dengan gelar Sayyid al-Thâ-ifah al-Shûfiyyah, (Tadzkirat al-Auliyâ‟,
halaman: 370).
Al-Junaid salah seorang shufi yang memiliki jasa besar dalam
menjaga kemurnian tashawwuf. Faham-faham dan akidah-akidah
menyesatkan yang hendak masuk dalam ajaran tashawwuf habis dibersihkan oleh beliau. Karena itu, banyak
ungkapan-ungkapan beliau yang di kemudian hari menjadi landasan utama dalam
usaha menjaga kebenaran tashawwuf
dan kemurnian
ajaran Islâm.
Abû Alî al-Raudzabari berkata: “Saya mendengar al-Junaid
berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli ma‟rifat dapat sampai kepada
suatu keadaan yang tidak bisa lagi baginya untuk berbuat apapun, Artinya
menurutnya orang tersebut boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah
diwajibkan”, al-Junaid berkata kepadanya: “Ini adalah perkataan kaum yang
berpendapat segala amal perbuatan akan gugur”. Ini bagiku adalah suatu pendapat
yang sangat berbahaya. Seorang pelaku zina dan seorang yang mencuri jauh lebih
baik dari pada orang yang memiliki pendapat seperti itu. Sesungguhnya
orang-orang yang „Ârif
Billâh adalah
mereka yang mengerjakan seluruh amal perbuatan sesuai perintah Allâh Swt.,
karena hanya kepada-Nya amal perbuatan itu kembali. Andaikan aku hidup dengan
umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikit pun selama umur
tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allâh Swt. kecuali bila
sesuai dengan apa yang telah diperintahkan-Nya. Inilah keyakinan yang terus
memperkuat ma‟rifat-ku dan memperkokoh keadaanku”.
Muhammad Ibn Abdullâh al-Razi berkata: Saya mendengar Abû
Muhammad al-Jariri berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata: “Kita tidak
menjalankan tashawwuf dengan banyak bicara saja (al-Qîl Wa al-Qâl). Tapi kita
melakukannya dengan lapar (puasa), meninggalkan kelezatan dunia dan melepaskan
segala hal-hal yang menyenangkan dan yang indah. Karena tashawwuf adalah
kemurnian hubungan dengan Allâh Swt. yang dasarnya menghindari kesenangan
dunia, (Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 372).
Sebagai mana pernyataan Haritsah di hadapan Rasûlullâh Saw.:
“Aku hindarkan diriku dari dunia, aku hidupkan malamku dan aku laparkan siang
hariku…”.
Al-Junaid juga berkata: “Seluruh jalan menuju Allâh Swt.
tertutup bagi semua makhluk, kecuali bagi mereka yang benar-benar mengikuti Rasûlullâh
Saw. dalam setiap keadaannya”.
Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Jika seseorang dengan segala
kejujurannya beribadah kepada Allâh Swt. selama satu juta tahun, namun kemudian
ia berpaling dari-Nya walau hanya sesaat, maka apa yang tertinggal darinya jauh
lebih banyak dibanding dengan apa yang telah ia dapatkan”.
Beliau juga berkata: “Siapa yang tidak hafal al-Qur‟an dan
tidak menulis hadits-hadits Rasûlullâh Swt. maka orang tersebut jangan diikuti,
karena ilmu kita ini (tashawwuf) diikat dengan al-Qur‟an dan Sunnah”. Sikap
wara‟, zuhud, taqwâ, tawâdhu‟, dan kuat dalam ibadah sudah tentu merupakan
sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa al-Junaid. Suatu ketika beliau ditanya
tentang kemegahan dunia, beliau menjawab: “Keberhasilan atas segala kebutuhan
dunia adalah dengan meninggalkannya”.
Diriwayatkan dari Ja‟far ibn Muhammad bahwa al-Junaid berkata
kepadanya: “Jika Engkau sanggup untuk tidak memiliki peralatan apapun di
rumahmu kecuali sehelai tikar maka lakukanlah tashawwuf…!”.
Ja‟far ibn Muhammad berkata: “Dan memang yang ada di rumah
al-Junaid hanyalah sehelai tikar”.
Diriwayatkan dari al-Khuldy bahwa al-Junaid al-Baghdadi
selama dua puluh tahun tidak pernah makan kecuali satu kali dalam seminggu.
Dalam setiap malam beliau melaksanakan shalat sebanyak 300
raka‟at, (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman: 8).
Sementara di siang hari, al-Junaid menghabiskan waktunya
untuk shalat sebanyak 300 raka‟at dan 30.000 kali bacaan tasbîh.
Banyak sekali karâmah yang dianugerahkan oleh Allâh Swt.
kepada al-Junaid sebagai bukti kebenaran keyakinan dan jalan yang ditempuhnya.
Di antaranya; suatu ketika datang kepadanya seorang Yahudi kafir seraya
bertanya: “Wahai Abu al-Qasim, apakah pengertian dari hadits Nabi Saw.:
Takutilah pada firasat
seorang mu‟min, karena ia melihat dengan cahaya dari Allâh Swt”. (Artinya
penglihatan seorang mu‟min yang saleh itu memiliki kekuatan).
Mendengar pertanyaan spontan dari orang Yahudi itu, al-Junaid
sejenak menundukkan kepala. Tiba-tiba al-Junaid berkata: “Wahai orang Yahudi,
perkataanmu benar, dan firasatku menyuruh untuk melepaskan simbol kekafiranmu,
masuk Islâmlah Engkau karena telah datang waktu bagimu untuk masuk agama
Islâm”. Mendapat jawaban demikian, orang Yahudi tersebut langsung masuk Islâm,
(Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 374 dan Jâmi‟ al-Karâmât al-Auliyâ‟, juz 2,
halaman:10 dan Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman:15 )
Suatu hari, Hadhrat Maulana Syaikh Junaid al-Baghdadi
menderita sakit mata. Beliau pun memanggil seorang tabib. Tabib itu berkata:
“Jika matamu terasa berdenyut denyut, jangan biarkan matamu itu terkena air,”
Namun ketika tiba waktu shalat, Syaikh Junaid malah
berwudhu‟, shalat, kemudian tidur. Ketika ia bangun, matanya telah sembuh. Ia
mendengar sebuah suara berkata: “Junaid mengabaikan matanya demi memilih
keridha-an Kami. Jika, demi tujuan yang sama, ia memohon ampunan bagi para
penghuni neraka, niscaya permohonannya akan Kami kabulkan‟.”
Keesokan harinya, sang tabib kembali mendatangi Syaikh Junaid
dan melihat bahwa mata Junaid telah sembuh. “Apa yang telah Engkau lakukan?”
tanya sang tabib keheranan. ”Aku berwudhu‟ untuk shalat,” jawab Syaikh Junaid.
Seketika itu pula sang tabib, yang beragama Kristen,
mengucapkan dua kalimat syahadat. ”Ini adalah penyembuhan Sang Pencipta, bukan
penyembuhan makhluk,” komentar tabib tersebut. “Wahai Syaikh junaid, yang sakit
bukan matamu. Engkaulah tabib yang sebenarnya, bukan aku.” Sahut tabib.
(Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 376-377).
Suatu saat, Junaid menyuruh semua santrinya untuk membeli
ayam di pasar untuk disembelihnya. Namun Junaid memberi syarat bahwa mereka
harus menyembelih ayam itu di tempat di mana tak ada yang dapat melihat mereka.
Sebelum matahari terbenam, mereka harus dapat menyelesaikan tugas itu.
Satu demi satu santri kembali ke hadapan Junaid, semua
membawa ayam yang telah tersembelih. Akhirnya ketika matahari tenggelam, murid
muda itu baru datang, dengan ayam yang masih hidup. Santri-santri yang lain
menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu tak dapat melaksanakan perintah
Syaikh yang begitu mudah.
Junaid lalu meminta setiap santri untuk menceritakan
bagaimana mereka melaksanakan tugasnya. Santri pertama berkata bahwa ia telah
pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu, menutup semua
jendela, dan membunuh ayam itu. Santri kedua bercerita bahwa ia membawa pulang
seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam itu ke kamar mandi
yang gelap, dan menyembelihnya di sana. Santri ketiga berkata bahwa ia pun membawa
ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup matanya sendiri. Dengan cara
demikian, ia pikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan ayam itu. Santri
yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu memotong ayamnya.
Santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan membunuh ayam di sana.
Tibalah giliran santri muda yang tak berhasil memotong ayam.
Ia menundukkan kepalanya, malu karena tak dapat menjalankan perintah guru, “Aku
membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada tempat di mana Dia (Allâh
Swt.) tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia (Allâh Swt.) masih
bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia (Allâh Swt.) masih
menemaniku. Aku tak bisa pergi ke tempat dimana tak ada yang melihatku, aku
merasa dimanapun dan kapanpun aku berada di situ selalu ada Dia (Allâh Swt).
Demikian jawaban dari santri muda tersebut.
Al-Junaid wafat hari Jum‟at, riwayat yang lain hari Sabtu
tahun 297 H. atau 910 M. Abu Bakar al-„Aththar berkata: “Menjelang al-Junaid
wafat kami dengan beberapa orang sahabat berada di sisinya. Beliau dalam
keadaan melaksanakan shalat dengan posisi duduk. Setiap kali hendak sujud ia
menekuk kedua kakinya. Beliau terus berulang-ulang melakukan shalat, hingga ruh
dari kakinya mulai terangkat. Ketika kakinya sudah tidak bisa lagi digerakkan,
Abû Muhammad al-Jariri berkata kepadanya: Wahai Abu al-Qasim sebaiknya engkau
berbaring!. Kemudian al-Junaid mengucapkan takbir dan membaca 70 ayat dari
surat al-Baqarah namun sebelumnya beliau telah mangkhatamkan al-Qur‟an karim.
(Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman:17)
Sejarah Perkembangan
Awal pendidikan al-Junaid dimulai dengan belajar ilmu
pengetahuan agama pada pamannya sendiri, Sari al-Saqathi, yang juga dikenal
sebagai seorang shufi yang sangat luas ilmu pengetahuannya. Ketika usianya 20
tahun, al-Junaid mulai belajar hadits dan fiqih pada Abu Thawr, seorang faqih
yang kondang di Baghdad. Setelah mempelajari hadits dan fiqih, al-Junaid
beralih menekuni tashawwuf, sekalipun sebenarnya dia sudah mulai mengenal
ajaran tashawwuf sejak berumur 7 tahun di bawah bimbingan Sari al-Saqati.
Selain itu Junaid kecil juga belajar sufisme dari siapa saja sehingga
pengetahuan shufismenya semakin hari bertambah luas. Ketika dewasa bisa
dibilang ilmu al-Junaid dalam shufisme telah cukup matang.
al-Junaid terkenal dengan seorang shufi yang cerdas, memiliki
pikiran cemerlang dan selalu cepat tanggap dalam menghadapi segala situasi dan
kondisi. Analisisnya terhadap berbagai masalah yang diajukan kepadanya
sangatlah tajam, sehingga sering membuat para pendengarnya terkagum-kagum.
Padahal sifat dan kemampuannya ini sudah tampak sejak masa kanak-kanak.
Kedudukannya diantara para shufi sangatlah terhormat, bahkan Sari al-Saqathi
sendiri sempat mengakuinya. Dalam riwayat dinyatakan, ketika seseorang bertanya
kepada Sari al-Saqati, "Apakah seorang murid dapat mencapai tingkat yang
lebih tinggi dari gurunya dalam tashawwuf?" Sari al-Saqati menjawab,
"Tentu saja bisa, lantaran ada banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut.
Ketahuilah bahwa tingkat tashawwuf al-Junaid itu sesungguhnya lebih tinggi dari
tingkat yang pernah kucapai." (Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 370)
Lebih jauh al-Junaid menegaskan, bagaimanapun tingginya
tingkatan yang telah dicapai, seorang shufi harus tetap meyakini Keesaan Tuhan
dan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya sesuai dengan
al-Qur'an dan Sunnah Rasul Saw. Dalam ajaran Shufi, delapan sifat harus
dilatih. Kaum Shufi memiliki:
1. Kemurahan hati seperti Ibrahim As.;
2. Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun dari Ismail As.;
3. Kesabaran, sebagaimana dimiliki Ya‟kub As.;
4. Kemampuan berkomunikasi dengan simbolisme, seperti halnya
Zakaria As.;
5. Pemisahan dari para pendukungnya sendiri, sebagaimana
halnya Yahya As.;
6. Jubah wool seperti mantel gembala Musa As.;
7. Pengembaraan, seperti perjalanan Isa As.;
8. Kerendah-hatian, seperti jiwa dari kerendahan hati
Muhammad Saw., (Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 387).
Sanad Tharîqah Imam Junaid
Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah
disiplin ilmu (Silsilah
al-Rijâl). Mata
rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal
ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasûlullâh Saw. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu
Islâm tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keIslâman laksana paket
yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islâm dipastikan
memiliki sanad. Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian
ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islâm sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat
syari‟at itu sendiri, Allâh Swt. dan Rasul-Nya.
Di antara sebab “kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasûlullâh
Saw. dari berbagai usaha luar yang hendak merusaknya adalah karena keberadaan
sanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran atau syari‟at Nabi-nabi sebelum
nabi Muhammad Saw. Adanya berbagai perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan
mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya
setelah ditinggal oleh Nabi-nabi yang bersangkutan adalah karena tidak memiliki
sanad. Karena itu para `Ulamâ‟ menyatakan bahwa sanad adalah salah satu
“keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh Allâh Swt. kepada umat nabi Muhammad
Saw., di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh Allâh Swt. terhadap
umat-umat Nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian
ajaran-ajaran Rasûlullâh Saw. akan terus berlangsung hingga datang hari kiamat.
Tentang pentingnya sanad, Imâm Ibn Sirin, seorang `ulamâ‟
terkemuka dari kalangan tabi‟in, berkata:
“Sesungguhnya ilmu agama ini adalah agama,
maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian”.
(Diriwayatkan oleh Imâm Muslim dalam muqaddimah kitab Shahîh-nya).
Imâm „Abdullâh ibn al-Mubarak berkata; “Sanad adalah bagian dari
agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata
tentang urusan agama terhadap apapun yang ia inginkan”.
Silsilah tharîqah imâm Junaidî sampai Rasûlullâh Saw. adalah:
Imâm Ma‟rûf al-Karkhi dari Imâm „Alî al-Ridlâ, dari Imâm ayahnya sendiri; Imam
Musa al-Kadzîm, dari ayahnya sendiri; Imam Ja‟far al-Shâdiq, dari ayahnya
sendiri; Imâm Muhammad al-Baqîr, dari ayahnya sendiri; Imam „Ali Zainal
„Abidin, dari ayahnya sendiri; Imâm al-Husain (Syahîd Karbala), dari ayahnya
sendiri; Imâm „Alî ibn Abî Thâlib, Dari Rasûlullâh Saw. Lihat mata rantai
berikut:
Rasûlullâh Saw.
↓
Imâm „Alî ibn Abî
Thâlib
↓
Imam al-Husain
(Syahîd Karbala)
↓
Imam „Ali Zainal
„Abidin
↓
↓
Imam Ja‟far al-Shâdiq
↓
↓
Imâm „Alî al-Ridlâ
↓
Imâm Ma‟rûf al-Karkhi
↓
Imâm al-Sirri
al-Saqthi
↓
Imâm al-Junaid
al-Baghdâdi
Ajaran dan Amalannya
Penyusun: Santri Pondok Pesantren Ngalah
Jumlah halaman:880
Tahun terbit: 2013 sumber: http://www.http://galakgampil.ngalah.net