SELAMAT DATANG Para Pencari Cinta Sejati,Tanpa Membenci,Tanpa Menyalahkan,Tanpa Kesombongan,Tanpa Membedakan,Semoga Engkau Mendapat Rahmat Alloh~Raden Bagus Langlang Jagat

road to sufi

road to sufi

Saturday, January 21, 2017

30 Thariqah-(3) Tharîqah Junaidiyah

30 Thariqah-(3) Tharîqah Junaidiyah

Biografi

Beliau adalah Abû al-Qâsim al-Junaid ibn Muhammad al-Junaid al-Kharaz al-Qawariri al-Baghdâdi memiliki julukan (laqab) Abû al-Qâsim. Ayah beliau adalah seorang penjual kaca, karenanya gelar beliau “al-Qawariri” adalah disandarkan kepada profesi ayahnya tersebut. Al-junaid sendiri belakangan mendapat julukan al Kharaz, yang artiya pedagang sutera, karena memang ia seorang pedagang sutera di kota Baghdad. Keluarga al-Junaid berasal dari Nahawand, namun beliau dilahirkan dan tumbuh di Irak, (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman: 5)

Al-Junaid adalah salah seorang shûfi terkemuka di samping seorang ahli fiqih. Dalam fiqih beliau bermadzhab kepada Imâm Abû Tsaur. Al-Junaid sudah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam madzhab tersebut dalam umurnya yang baru 20 tahun. Beliau lama bergaul dan belajar kepada pamannya sendiri, yaitu Imam Sarri as-Saqthi, lalu kepada al-Harits al-Muhasibi, Muhammad ibn al-Qashshab al-Baghdâdi yang termasuk teman pamannya dan shufi terkemuka lainnya. Di kalangan shufi al-Junaid dikenal sebagai pemuka dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid al-Thâ-ifah al-Shûfiyyah, (Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 370).
Al-Junaid salah seorang shufi yang memiliki jasa besar dalam menjaga kemurnian tashawwuf. Faham-faham dan akidah-akidah menyesatkan yang hendak masuk dalam ajaran tashawwuf habis dibersihkan oleh beliau. Karena itu, banyak ungkapan-ungkapan beliau yang di kemudian hari menjadi landasan utama dalam usaha menjaga kebenaran tashawwuf dan kemurnian ajaran Islâm.

Abû Alî al-Raudzabari berkata: “Saya mendengar al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli ma‟rifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang tidak bisa lagi baginya untuk berbuat apapun, Artinya menurutnya orang tersebut boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan”, al-Junaid berkata kepadanya: “Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala amal perbuatan akan gugur”. Ini bagiku adalah suatu pendapat yang sangat berbahaya. Seorang pelaku zina dan seorang yang mencuri jauh lebih baik dari pada orang yang memiliki pendapat seperti itu. Sesungguhnya orang-orang yang „Ârif Billâh adalah mereka yang mengerjakan seluruh amal perbuatan sesuai perintah Allâh Swt., karena hanya kepada-Nya amal perbuatan itu kembali. Andaikan aku hidup dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikit pun selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allâh Swt. kecuali bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkan-Nya. Inilah keyakinan yang terus memperkuat ma‟rifat-ku dan memperkokoh keadaanku”.

Muhammad Ibn Abdullâh al-Razi berkata: Saya mendengar Abû Muhammad al-Jariri berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata: “Kita tidak menjalankan tashawwuf dengan banyak bicara saja (al-Qîl Wa al-Qâl). Tapi kita melakukannya dengan lapar (puasa), meninggalkan kelezatan dunia dan melepaskan segala hal-hal yang menyenangkan dan yang indah. Karena tashawwuf adalah kemurnian hubungan dengan Allâh Swt. yang dasarnya menghindari kesenangan dunia, (Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 372).

Sebagai mana pernyataan Haritsah di hadapan Rasûlullâh Saw.: “Aku hindarkan diriku dari dunia, aku hidupkan malamku dan aku laparkan siang hariku…”.

Al-Junaid juga berkata: “Seluruh jalan menuju Allâh Swt. tertutup bagi semua makhluk, kecuali bagi mereka yang benar-benar mengikuti Rasûlullâh Saw. dalam setiap keadaannya”.
Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Jika seseorang dengan segala kejujurannya beribadah kepada Allâh Swt. selama satu juta tahun, namun kemudian ia berpaling dari-Nya walau hanya sesaat, maka apa yang tertinggal darinya jauh lebih banyak dibanding dengan apa yang telah ia dapatkan”.

Beliau juga berkata: “Siapa yang tidak hafal al-Qur‟an dan tidak menulis hadits-hadits Rasûlullâh Swt. maka orang tersebut jangan diikuti, karena ilmu kita ini (tashawwuf) diikat dengan al-Qur‟an dan Sunnah”. Sikap wara‟, zuhud, taqwâ, tawâdhu‟, dan kuat dalam ibadah sudah tentu merupakan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa al-Junaid. Suatu ketika beliau ditanya tentang kemegahan dunia, beliau menjawab: “Keberhasilan atas segala kebutuhan dunia adalah dengan meninggalkannya”.
Diriwayatkan dari Ja‟far ibn Muhammad bahwa al-Junaid berkata kepadanya: “Jika Engkau sanggup untuk tidak memiliki peralatan apapun di rumahmu kecuali sehelai tikar maka lakukanlah tashawwuf…!”.

Ja‟far ibn Muhammad berkata: “Dan memang yang ada di rumah al-Junaid hanyalah sehelai tikar”.
Diriwayatkan dari al-Khuldy bahwa al-Junaid al-Baghdadi selama dua puluh tahun tidak pernah makan kecuali satu kali dalam seminggu.
Dalam setiap malam beliau melaksanakan shalat sebanyak 300 raka‟at, (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman: 8).
Sementara di siang hari, al-Junaid menghabiskan waktunya untuk shalat sebanyak 300 raka‟at dan 30.000 kali bacaan tasbîh.

Banyak sekali karâmah yang dianugerahkan oleh Allâh Swt. kepada al-Junaid sebagai bukti kebenaran keyakinan dan jalan yang ditempuhnya. Di antaranya; suatu ketika datang kepadanya seorang Yahudi kafir seraya bertanya: “Wahai Abu al-Qasim, apakah pengertian dari hadits Nabi Saw.:
Takutilah pada firasat seorang mu‟min, karena ia melihat dengan cahaya dari Allâh Swt”. (Artinya penglihatan seorang mu‟min yang saleh itu memiliki kekuatan).

Mendengar pertanyaan spontan dari orang Yahudi itu, al-Junaid sejenak menundukkan kepala. Tiba-tiba al-Junaid berkata: “Wahai orang Yahudi, perkataanmu benar, dan firasatku menyuruh untuk melepaskan simbol kekafiranmu, masuk Islâmlah Engkau karena telah datang waktu bagimu untuk masuk agama Islâm”. Mendapat jawaban demikian, orang Yahudi tersebut langsung masuk Islâm, (Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 374 dan Jâmi‟ al-Karâmât al-Auliyâ‟, juz 2, halaman:10 dan Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman:15 )

Suatu hari, Hadhrat Maulana Syaikh Junaid al-Baghdadi menderita sakit mata. Beliau pun memanggil seorang tabib. Tabib itu berkata: “Jika matamu terasa berdenyut denyut, jangan biarkan matamu itu terkena air,”
Namun ketika tiba waktu shalat, Syaikh Junaid malah berwudhu‟, shalat, kemudian tidur. Ketika ia bangun, matanya telah sembuh. Ia mendengar sebuah suara berkata: “Junaid mengabaikan matanya demi memilih keridha-an Kami. Jika, demi tujuan yang sama, ia memohon ampunan bagi para penghuni neraka, niscaya permohonannya akan Kami kabulkan‟.”
Keesokan harinya, sang tabib kembali mendatangi Syaikh Junaid dan melihat bahwa mata Junaid telah sembuh. “Apa yang telah Engkau lakukan?” tanya sang tabib keheranan. ”Aku berwudhu‟ untuk shalat,” jawab Syaikh Junaid.
Seketika itu pula sang tabib, yang beragama Kristen, mengucapkan dua kalimat syahadat. ”Ini adalah penyembuhan Sang Pencipta, bukan penyembuhan makhluk,” komentar tabib tersebut. “Wahai Syaikh junaid, yang sakit bukan matamu. Engkaulah tabib yang sebenarnya, bukan aku.” Sahut tabib. (Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 376-377).

Suatu saat, Junaid menyuruh semua santrinya untuk membeli ayam di pasar untuk disembelihnya. Namun Junaid memberi syarat bahwa mereka harus menyembelih ayam itu di tempat di mana tak ada yang dapat melihat mereka. Sebelum matahari terbenam, mereka harus dapat menyelesaikan tugas itu.
Satu demi satu santri kembali ke hadapan Junaid, semua membawa ayam yang telah tersembelih. Akhirnya ketika matahari tenggelam, murid muda itu baru datang, dengan ayam yang masih hidup. Santri-santri yang lain menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu tak dapat melaksanakan perintah Syaikh yang begitu mudah.
Junaid lalu meminta setiap santri untuk menceritakan bagaimana mereka melaksanakan tugasnya. Santri pertama berkata bahwa ia telah pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu, menutup semua jendela, dan membunuh ayam itu. Santri kedua bercerita bahwa ia membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam itu ke kamar mandi yang gelap, dan menyembelihnya di sana. Santri ketiga berkata bahwa ia pun membawa ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup matanya sendiri. Dengan cara demikian, ia pikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan ayam itu. Santri yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu memotong ayamnya. Santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan membunuh ayam di sana.
Tibalah giliran santri muda yang tak berhasil memotong ayam. Ia menundukkan kepalanya, malu karena tak dapat menjalankan perintah guru, “Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada tempat di mana Dia (Allâh Swt.) tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia (Allâh Swt.) masih bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia (Allâh Swt.) masih menemaniku. Aku tak bisa pergi ke tempat dimana tak ada yang melihatku, aku merasa dimanapun dan kapanpun aku berada di situ selalu ada Dia (Allâh Swt). Demikian jawaban dari santri muda tersebut.
Al-Junaid wafat hari Jum‟at, riwayat yang lain hari Sabtu tahun 297 H. atau 910 M. Abu Bakar al-„Aththar berkata: “Menjelang al-Junaid wafat kami dengan beberapa orang sahabat berada di sisinya. Beliau dalam keadaan melaksanakan shalat dengan posisi duduk. Setiap kali hendak sujud ia menekuk kedua kakinya. Beliau terus berulang-ulang melakukan shalat, hingga ruh dari kakinya mulai terangkat. Ketika kakinya sudah tidak bisa lagi digerakkan, Abû Muhammad al-Jariri berkata kepadanya: Wahai Abu al-Qasim sebaiknya engkau berbaring!. Kemudian al-Junaid mengucapkan takbir dan membaca 70 ayat dari surat al-Baqarah namun sebelumnya beliau telah mangkhatamkan al-Qur‟an karim. (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman:17)

Sejarah Perkembangan

Awal pendidikan al-Junaid dimulai dengan belajar ilmu pengetahuan agama pada pamannya sendiri, Sari al-Saqathi, yang juga dikenal sebagai seorang shufi yang sangat luas ilmu pengetahuannya. Ketika usianya 20 tahun, al-Junaid mulai belajar hadits dan fiqih pada Abu Thawr, seorang faqih yang kondang di Baghdad. Setelah mempelajari hadits dan fiqih, al-Junaid beralih menekuni tashawwuf, sekalipun sebenarnya dia sudah mulai mengenal ajaran tashawwuf sejak berumur 7 tahun di bawah bimbingan Sari al-Saqati. Selain itu Junaid kecil juga belajar sufisme dari siapa saja sehingga pengetahuan shufismenya semakin hari bertambah luas. Ketika dewasa bisa dibilang ilmu al-Junaid dalam shufisme telah cukup matang.

al-Junaid terkenal dengan seorang shufi yang cerdas, memiliki pikiran cemerlang dan selalu cepat tanggap dalam menghadapi segala situasi dan kondisi. Analisisnya terhadap berbagai masalah yang diajukan kepadanya sangatlah tajam, sehingga sering membuat para pendengarnya terkagum-kagum. Padahal sifat dan kemampuannya ini sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Kedudukannya diantara para shufi sangatlah terhormat, bahkan Sari al-Saqathi sendiri sempat mengakuinya. Dalam riwayat dinyatakan, ketika seseorang bertanya kepada Sari al-Saqati, "Apakah seorang murid dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dari gurunya dalam tashawwuf?" Sari al-Saqati menjawab, "Tentu saja bisa, lantaran ada banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut. Ketahuilah bahwa tingkat tashawwuf al-Junaid itu sesungguhnya lebih tinggi dari tingkat yang pernah kucapai." (Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 370)

Lebih jauh al-Junaid menegaskan, bagaimanapun tingginya tingkatan yang telah dicapai, seorang shufi harus tetap meyakini Keesaan Tuhan dan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah Rasul Saw. Dalam ajaran Shufi, delapan sifat harus dilatih. Kaum Shufi memiliki:

1. Kemurahan hati seperti Ibrahim As.;
2. Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun dari Ismail As.;
3. Kesabaran, sebagaimana dimiliki Ya‟kub As.;
4. Kemampuan berkomunikasi dengan simbolisme, seperti halnya Zakaria As.;
5. Pemisahan dari para pendukungnya sendiri, sebagaimana halnya Yahya As.;
6. Jubah wool seperti mantel gembala Musa As.;
7. Pengembaraan, seperti perjalanan Isa As.;
8. Kerendah-hatian, seperti jiwa dari kerendahan hati Muhammad Saw., (Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 387).

Sanad Tharîqah Imam Junaid

Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah al-Rijâl). Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasûlullâh Saw. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islâm tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keIslâman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islâm dipastikan memiliki sanad. Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islâm sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari‟at itu sendiri, Allâh Swt. dan Rasul-Nya.
Di antara sebab “kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasûlullâh Saw. dari berbagai usaha luar yang hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran atau syari‟at Nabi-nabi sebelum nabi Muhammad Saw. Adanya berbagai perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh Nabi-nabi yang bersangkutan adalah karena tidak memiliki sanad. Karena itu para `Ulamâ‟ menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh Allâh Swt. kepada umat nabi Muhammad Saw., di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh Allâh Swt. terhadap umat-umat Nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian ajaran-ajaran Rasûlullâh Saw. akan terus berlangsung hingga datang hari kiamat.
Tentang pentingnya sanad, Imâm Ibn Sirin, seorang `ulamâ‟ terkemuka dari kalangan tabi‟in, berkata:
 “Sesungguhnya ilmu agama ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian”. (Diriwayatkan oleh Imâm Muslim dalam muqaddimah kitab Shahîh-nya).
Imâm „Abdullâh ibn al-Mubarak berkata; “Sanad adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata tentang urusan agama terhadap apapun yang ia inginkan”.
Silsilah tharîqah imâm Junaidî sampai Rasûlullâh Saw. adalah: Imâm Ma‟rûf al-Karkhi dari Imâm „Alî al-Ridlâ, dari Imâm ayahnya sendiri; Imam Musa al-Kadzîm, dari ayahnya sendiri; Imam Ja‟far al-Shâdiq, dari ayahnya sendiri; Imâm Muhammad al-Baqîr, dari ayahnya sendiri; Imam „Ali Zainal „Abidin, dari ayahnya sendiri; Imâm al-Husain (Syahîd Karbala), dari ayahnya sendiri; Imâm „Alî ibn Abî Thâlib, Dari Rasûlullâh Saw. Lihat mata rantai berikut:

Rasûlullâh Saw.
Imâm „Alî ibn Abî Thâlib
Imam al-Husain (Syahîd Karbala)
Imam „Ali Zainal „Abidin
Imîm Muhammad al-Baqîr
Imam Ja‟far al-Shâdiq
Imam Musa al-Kadzîm
Imâm „Alî al-Ridlâ
Imâm Ma‟rûf al-Karkhi
Imâm al-Sirri al-Saqthi
Imâm al-Junaid al-Baghdâdi

Ajaran dan Amalannya
Shalawat Kubrâ:





dikutip :Judul buku: Sabilus Salikin 30 Thariqah
Penyusun: Santri Pondok Pesantren Ngalah
Jumlah halaman:880
Tahun terbit: 2013
sumber: http://www.http://galakgampil.ngalah.net