SELAMAT DATANG Para Pencari Cinta Sejati,Tanpa Membenci,Tanpa Menyalahkan,Tanpa Kesombongan,Tanpa Membedakan,Semoga Engkau Mendapat Rahmat Alloh~Raden Bagus Langlang Jagat

road to sufi

road to sufi

Sunday, January 22, 2017

30 Thariqah –(6) Tharîqah Qâdiriyah




30 Thariqah –(6) Tharîqah Qâdiriyah

Biografi
Nama Qâdiriyah diambil dari nama pendirinya yaitu Syaikh Abdul Qâdir al-Jilani yang memiliki nama lengkap al-Imam Muhyiddin Abu Muhammad Abu Shâlih Abdul Qâdir bin Abi Shâlih Musa Jangki Dausat al-Jilani, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 112).
Beliau dilahirkan di desa Busytiru kota Jilan pada bulan Ramadhan tahun 470 H./1077 M. Dan beliau wafat pada malam sabtu 8 Rabi‟ul akhir tahun 561 H/1166 M. di kota Baghdad, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 184 dan Adhwa‟, halaman 24).

Silsilah beliau baik dari bapak maupun dari ibu sambung sampai Rasûlullâh Saw.
Nasab dari ayah adalah Syaikh Abdul Qâdir bin Abu Shâlih Jangki Dausat bin Abdillah bin Yahya al-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullâh al-Tsani bin Musa al-Juni bin Abdullâh al-Mahdi bin Hasan al-Mustanna bin Hasan al-Sibthi bin Ali bin Abi Thâlib, suami Sayyidatina Fatimah al-Zahra binti Rasûlullâh Saw.
Nasab dari ibu adalah Syaikh Abdul Qâdir bin Syarifah Ummul Khair Fatimah binti Abdullâh Sauma‟i al-Zahid bin Abu Jamaluddin Muhammad bin Mahmud bin Thâhir bin Abu al-Atha‟ Abdullâh bin Kamaluddin Isa bin Abi Alauddin Muhammad al-Jawad bin Ali al-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Imam Ja‟far al-Shâdiq bin Muhammad al-Baqir bin Zaenal Abidin bin Husain al-Syahid bin Ali bin Abi Thâlib, suami Sayyidatina Fatimah al-Zahra binti Rasûlullâh Saw., (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 112 dan Adhwa‟, halaman: 23).

Beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang sudah masyhur keutamaan dan kelimuannya. Ayah beliau adalah seorang `ulamâ‟ yang masyhur keilmuan, wira‟i dan ketakwaannya. Beliau wafat ketika Syaikh Abdul Qâdir masih kecil.
Beliau juga memiliki saudara laki-laki bernama Abdullâh seorang pemuda yang ahli ilmu dan ibadah tetapi wafat pada usia muda. Tepatnya ketika Syaikh Abdul Qâdir meninggalkan Jilan dan memasuki kota Baghdad.
Sedangkan ibu beliau adalah seorang perempuan yang masyhur dengan kebaikan dan kemuliaannya. Beliau wafat ketika syaikh Abdul Qâdir sudah berada di Baghdad, (Adhwa‟, halaman: 25).

Sejak usia 10 tahun syaikh Abdul Qâdir sudah dikawal malaikat sebagaimana diceritakan oleh al-Tadafi bahwa syaikh Abdul Qâdir berkata: “Sejak kecil malaikat datang kepadaku setiap hari, aku tidak tahu kalau dia adalah malaikat, karena berwujud manusia. Ia mengantarkanku dari rumah ke tempatku belajar dan menyuruh teman-temanku agar memberikan tempat kepadaku dan dia bersamaku sampai aku pulang, maka pada suatu hari aku bertanya: siapakah engkau? Dia menjawab: aku adalah malaikat yang Allâh Swt. kirimkan kepadamu untuk menemanimu selama di tempat belajar, padahal setiap hari aku mempelajari sesuatu yang orang lain tidak mungkin mempelajarinya dalam satu minggu”, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 186).

Beliau meninggalkan Jilan pada usia 16 tahun dan menetap di Irak hingga mendapat perintah dari Nabi Khidir As. agar memasuki kota Baghdad pada usia 18 tahun, pada saat al-Taimi wafat yakni pada tahun 488 H. Di kota inilah beliau menimba ilmu, melakukan pengembaraan dan bermujahadah hingga tampak keberhasilannya, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 164).

Syaikh Muhammad bin Yahya al-Tadafi al-Hambali di dalam kitab Qalaid al-Jawahir mengatakan ketika syaikh Abdul Qâdir tahu bahwa mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimat dan juga menjadi obat bagi jiwa-jiwa yang sakit, beliau bersemangat untuk menghasilkan berbagai macam disiplin ilmu.
Setelah menyelesaikan al-Qur‟an beliau belajar ilmu fiqih dari:
(1) Syaikh Abu al-Wafa Ali bin Aqil al-Hambali,
(2) Syaikh Abu al-Khattab Mahfudz al-Kalwadzani al-Hambali,
(3) Syaikh Abu al-Hasan Muhammad bin al-Qadhi Abu Ya‟la Muhammad bin al-Husain bin Muhammad bin al-Farra‟ al-Hambali,
(4) Syaikh al-Qadhi Abu Sa‟id al-Mubarrok bin Ali al-Mukharimi al-Hambali.

Sedangkan ilmu adab beliau belajar dari syaikh Abi Zakariya Yahya bin Ali al-Tibrizi. Beliau mendengarkan Hadits dari
(1) Syaikh Abu Ghalib Muhammad bin al-Hasan al-Baqilani,
(2) Syaikh Abu Sa‟id Muhammad bin Abdul Karim bin Khasyisya,
(3) Syaikh Abu al-Ghanaim Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Maimun al-Farsi,
(4) Syaikh Abu Bakar Ahmad bin al-Muzhaffar,
(5) Syaikh Abu Ja‟far bin Ahmad bin al-Husain al-Qari al-Siraj,
(6) Syaikh Abu al-Qasim Ali bin Ahmad bin Bannan al-Karkhi,
(7) Syaikh Abu Thâlib Abdul Qâdir bin Muhammad bin Yusuf,
(8) Syaikh Abdur Rahman bin Ahmad,
(9) Syaikh Abu al-Barakat Hibatullâh bin al-Mubarrak,
(10) Syaikh Abu al-„Izzi Muhammad bin al-Mukhtar,
(11) Syaikh Abu Nashar Muhammad,
(12) Syaikh Abu Ghalib Ahmad,
(13) Syaikh Abu Abdillah Yahya,
(14) Syaikh Abu al-Hasan bin al-Mubarrak bin al-Thuyur,
(15) Syaikh Abu Manshur Abdur Rahman al-Qazaz,
(16) Syaikh Abu al-Barakat Thalhah al-„Aquli.
Beliau juga mempelajari fiqih al-Syafi‟i dan fan-fan (cabang-cabang) ilmu lainnya.
Sedangkan beliau belajar tashawwuf dari
(1) Syaikh Abi al-Khair Hammad al-Dabbas bin Muslim bin Dawud al-Dabbas sekaligus belajar ilmu adab dan suluk kepada beliau,
(2) Syaikh Abi Sa‟id al-Mubarak bin Ali al-Mukharimi,
(3) Syaikh Abu Ya‟qub Yusuf bin Ayyub bin Yusuf al-Hamdani, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 165).

Dalam setiap tahunnya santri madrasah dan pesantren di Baghdad yang telah menyelesaikan pendidikannya kurang lebih tiga ribu santri, sehingga dalam jangka waktu tiga puluh tiga tahun santri yang telah menyelesaikan pendidikannya mencapai seratus ribu santri. Mereka menyebar keseluruh penjuru dunia, diantaranya Abu al-Fath Nashar bin al-Mina beliau menjadi masyâyikh Hanabilah setelah wafatnya syaikh Abdul Qâdir, Ahmad bin Abu Bakar bin al-Mubarak Abu al-Sa‟ud al-Harim, al-Hasan bin Muslim mendirikan pesantren di al-Qadisiyah, Mahmud bin Utsman bin Makarim al-Nu‟al, Umar bin Mas‟ud al-Bazzaz yang banyak sekali khâlifah yang bertaubat atas bimbingan beliau, Abdullâh al-Jaba`i yang berasal dari desa Jabah Libanon sebelumnya beliau adalah orang nasrani yang diboyong ke Damaskus kemudian masuk Islâm yang mana oleh Zainuddin „Ali bin Ibrahim bin Najah salah satu sahabat Syaikh Abdul Qâdir dibeli kemudian dimerdekakan dan mengirimnya ke syaikh Abdul Qâdir di Baghdad pada tahun 540 H. untuk belajar ilmu agama dan menetap di sana hingga syaikh Abdul Qâdir wafat, yang kemudian disusul oleh al-Muwafiq bin Qudamah penyusun kitab al-Mughni kemudian beliau berangkat ke Asbihan dan mengajar di sana hingga beliau wafat pada tahun 605 H, Hamid bin Mahmud al-Haroni yang kemudian bertemu dengan Nuruddin Zanki, Zainuddin bin Ibrahim bin Najah al-Anshari al-Dimiski beliau mengajar di madrasah syaikh Abdul Qâdir di Baghdad yang kemudian berangkat ke Damaskus dan Mesir, (Adhwa‟, halaman: 175).

Termasuk santri beliau adalah Ahmad bin al-Mubarak al-Marqo‟ati, Muhammad bin al-Fath al-Harami, kedua-duanya menjadi pembimbing madrasah syaikh Abdul Qâdir di Baghdad. Syaikh Abu al-Fathi al-Harowi menjadi pembimbing karena khidmat kepada syaikh Abdul Qâdir, beliau mengatakan “Aku berkhidmat kepada syaikh Abdul Qâdir selama empat puluh tahun dan selama itu aku menyaksikan syaikh Abdul Qâdir mengejarkan shalat subuh dengan wudhu‟nya shalat isyâ‟, dan ketika beliau hadats seketika itu juga beliau wudhu‟ dan shalat dua rakaat, setiap mengerjakan shalat isyâ‟ beliau masuk ke ruang khalwat dan tidak seorang pun boleh masuk, sedangkan beliau tidak keluar kecuali ketika fajar sudah terbit”.

Dan termasuk murid beliau adalah Syu‟aib Abu Madyan, Abu Amr Utsman bin Marzuk bin Humaid bin Tsalamah al-Qurasyi beliau menetap di Mesir dan menjadi guru di sana. Dan pernah melaksanakan ibadah haji bersama dengan syaikh Abdul Qâdir.
Imam al-Syathnufi menyebutkan dalam kitab Bahjah al-Asrar `ulamâ‟-`ulamâ‟ besar dan para wali yang telah belajar ilmu dan tharîqah dari syaikh Abdul Qâdir. Kebanyakan dari mereka adalah ahli fatwa, ahli hukum (pengadilan) atau orang yang mumpuni di bidang ilmu syari‟at khususnya hadits, fiqih, al-Qur‟an.

Murid-murid beliau yang ahli di bidang hukum (pengadilan),
(1) Abu Ya‟la Muhammad al-Fara`,
(2) Qadhi al-Qudhah Abu Hasan „Ali,
(3) al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan,
(4) Qadhi al-Qudhah Abu al-Qasim Abdul Malik bin „Isa bin Darbas al-Maridini,
(5) al-Imam Abu Amr Utsman,
(6) al-Qadhi Abu Thâlib Abdur Rahman Mufti Irak,
(7) syaikh al-Qudhah Abu al-Fath Muhammad bin al-Qadhi Ahmad bin Bakhtiyar al-Wasithi yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Munadi, (Adhwa‟, halaman:: 177).

Murid-murid beliau di bidang fatwa:
(1) Abu Abdillah Muhammad bin Samdawaih al-Sharfini,
(2) Ahmad bin Muhammad bin Samdawaih al-Sharfini,
(3) Abu Bakar Abdullâh bin Nashar bin Hamzah al-Tamimi al-Bakri al-Baghdadi penyusun kitab Anwar al Nazhir fi Ma‟rifati Akhbari al-Syaikh Abdul Qâdir,
(4) al-Imam Abu Amr Utsman bin Ismail bin Ibrahim al-Sa‟di,
(5) al-Hasan bin Abdullâh al-Dimyati,
(6) Syaikh al-Fuqaha‟ Abu Abdillah bin Sanan,
(7) al-„Allamah Abu al-Baqa‟ Muhammad al-Azhari al-Sharbini,
(8) al-„Allamah Abu al-Baqa‟ Shâlih Bahauddin,
(9) al-„Allamah Abu al-Baqa‟ Abdullâh bin al-Husain bin al-„Akbari al-Bashri al-Dharir,
(10) Abu Muhammad al-Hasan al-Farisi,
(11) Abdul Karim al-Farisi,
(12) Abu al-Fadhl,
(13) Ahmad bin Shâlih bin Syafi‟ al-Hambali,
(14) Abu Ahmad Yahya bin Barokah bin Mahfuzh al-Daibaqi al-Babishri al-„Iraqi,
(15) Abu al-Qasim Khalaf bin „Iyasy bin Abdul „Aziz al-Mishri,
(16) Najm al-Din Abu al-Faraj Abdul Mun‟im bin „Ali bin Nashir bin Shuqail al-Harani.
Murid-murid beliau yang terkenal ahli fiqh:
(1) Muhammad bin Abi al-Makarim al-Fadhl bin Bakhtiyar bin abi Nashr al-Ya‟qubi,
(2) Abu Abdul Malik Dziyan bin Abu al-Ma‟ali Rasyid bin Nabhan al-„Iraqi,
(3) al-Imam Abu Ahmad yang terkenal memiliki banyak kelebihan, karya tulis dan karamah,
(4) Abu al-Farj Abdur Rahman al-Anshari al-Khazraji yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Hambali,
(5) al-Mufti Abu „ali bin Abdur Rahman al-Anshari al-Khazraji,
(6) Abu Muhammad Yusuf bin al-Muzhaffar bin Syuja‟ al-„Aquli al-Aziji al-Shahari,
(7) Abu al-Abbas Ahmad bin Ismail al-Aziji yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Thabal,
(8) Abu al-Ridha Hamzah bin Abu al-Abbas Ahmad bin Ismail al-Aziji,
(9) Muhammad bin Ismail al-Aziji, (10) Abu al-Fath Nashar bin Fatayan bin Muthahar al-Mutsni,
(11) Ali bin Abi Thâhir bin Ibrahîm bin Naja al-Mufashir al-Wa‟izh al-Anshari. Dan masih banyak lagi yang lain, (Adhwa‟, halaman: 178).

Murid-murid beliau yang hafal al-Qur‟an dan ahli hadits fiqhiyah:
(1) Abu Hafs Amr bin Abi Nashr bin 'Ali al-Ghazal,
(2) al-Imam Muhammad Mahmud bin Utsman al-Ni‟al,
(3) al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Abdul Wahid al-Maqdisi. Dan masih banyak yang lain.

Sedangkan murid-murid beliau yang menjadi guru tharîqah:
(1) Abu al-Sa‟ud Ahmad bin Abu Bakar al-Harami yang dijuluki Sirajul Auliyâ‟,
(2) al-Syahid abu Abdillah Muhammad bin Abu Ma‟ali,
(3) Abu al-Hasan Ali bin Ahmad bin Wahab al-Aziji,
(4) Syaikh Abdul Aziz bin Dalaf al-Bagdadi yang mana dari beliaulah silsilah tharîqah Qâdiriyah menyebar ke Indonesia. Dan masih banyak yang lain, (Adhwa‟, halaman: 179).

Karya-karya beliau di antaranya:
(1) al-Ghunyah Lithâlib al-Thariq al-Haq,
(2) Futûhât al-Ghaib,
(3) al-Fathur al-Rabbani wal Faidh ar-Rahmani,
(4) al-Fathur al-Rabbani fi Halli al-Fadhi al-Zanjani,
(5) al-Fathur al-Rabbani Lima Dzala fihi al-Zarqani,
(6) Jala‟ al-Khathir fi al-Zhahir wal Bathin,
(7) Aurâd al-Ayyam as-Sabah,
(8) Aurâd al-Auqat al-Khamsah,
(9) Wirid Shalat Kubrâ,
(10) Hizib al-Raja‟,
(11) Hizib al-Washilah,
(12) al-Shalawat wa al-Ad‟iyah,
(13) Asrar al-Isra`,
(14) Sirr al-Asrar,
(15) al-Fuyûdhah al-Rabaniyah,
(16) Tafsir al-Qur‟an al-Karim,
(17) Maratib al-Wujud. Dan masih banyak lagi karya-karya yang lain, (Adhwa‟, halaman: 193).
Tharîqah Qâdiriyah tidak hanya tersebar di wilayah Baghdad akan tetapi Tharîqah Qâdiriyah tersebar ke berbagai penjuru dunia diantaranya (1) Makkah, (2) Madinah, (3) Yaman, (4) Tunisia, (5) Al-Jazair, (6) Libia, (7) Mesir, (8) Syiria, (9) Libanon, (10) Palestina, (11) Senegal, (12) Sudan, (13) Somalia, (14) Turki, (15) Asia Tengah, (16) Cina, (17) Malaysia, (18) Indonesia, (19) Yugoslafia.

Silsilah Tharîqah Qâdiriyah
Silsilah Tharîqah Qâdiriyah adalah sebagai berikut
(1) Allâh Swt.,
(2) Jibril As,
(3) Sayyidina Muhammad Saw.,
(4) Sayyidina Ali ibn Abi Thâlib,
(5) Sayyidina Hasan ibn Ali,
(6) Sayyidina Husain ibn Ali,
(7) Syaikh Ali Zainal Abidin,
(8) Syaikh Muhammad al-Baqir,
(9) Syaikh Imam Ja‟far al-Shâdiq,
(10) Syaikh Musa al-Kazhim,
(11) Syaikh Ali ibn Musa al-Ridha,
(12) Syaikh Ma‟ruf ibn Fairuz al-Karkhi,
(13) Syaikh Sari al-Saqathi,
(14) Syaikh Abu al-Qasim Junaidi al-Baghdadi,
(15) Syaikh Abu Bakar al-Syibli,
(16) Syaikh Abdul Wahid al-Tamimi,
(17) Syaikh Abu al-Farraj al-Tursusi,
(18) Syaikh Abu al-Hasan Ali al-Hakari,
(19) Syaikh Abu Sa‟id Mubarak al-Makhrumi,
(20) Syaikh Abdul Qodir al-Jailani,
(21) Syaikh Abdul Aziz,
(22) Syaikh Muhammad al-Hattaq,
(23) Syaikh Syamsuddin,
(24) Syaikh Syarofuddin,
(25) Syaikh Zainuddin,
(26) Syaikh Nuruddin,
(27) Syaikh Waliyuddin,
(28) Syaikh Hisyamuddin,
(29) Syaikh Yahya,
(30) Syaikh Abu Bakar,
(31) Syaikh Abdul Rahim,
(32) Syaikh Utsman,
(33) Syaikh Kamaluddin,
(34) Syaikh Abdul Fatah,
(35) Syaikh Murad,
(36) Syaikh Syamsuddin (Makkah),
(37) Syaikh Ahmad Khatib Sambas (w. 1307/1878 di Makkah), (Tsamrah al-Fikriyah, halaman: 25).

Al-Kurdy (Syaikh Muhammad Amin al-Kurdy: 1994), Said (2003,37-38), dan Aqib (2004, 125-126) menyebutkan nama-nama tharîqah dari silsilah Sayyidina Ali Ibnu Abi Thalib Ra. Intinya sebagai berikut:
1. Pengamal tharîqah setelah Sayyidina Ali Ibnu Thâlib Ra. wafat disebut golongan “Alawiyah”, yaitu silsilah nomor 4, sampai pada periode Abu Qâshim Junaidi al-Baghdadi.
2. Setelah Abu Qashim wafat sampai periode Syaikh Abdul Qâdir Jailani yaitu nomor 19, disebut golongan pengamal “Junaidiyah” atau “Baghdadiyah”.
3. Setelah Syaikh Abdul Qâdir Jailani sampai dengan masa Syaikh Ahmad Khatib Sambas, yaitu silsilah nomor 34, disebut dengan tharîqah “Qâdiriyah”.
4. Setelah Syaikh Ahmad Khatib wafat, tharîqah yang dipegangi disebut tharîqah “Qâdiriyah wa Naqsyabandiyah”.

Ajaran-ajaran Dasar Tharîqah Qâdiriyah

Syaikh Abdul Qâdir Jailani Ra. menetapkan tujuh ajaran dasar tharîqah Qâdiriyah:
1. Mujahadah: melawan kehendak hawa nafsu dan membelenggu-nya dengan takwa dan takut kepada Allâh Swt. dengan jalan muraqabah (beribadah kepada Allâh Swt. seakan-akan melihat-Nya jika tidak mampu maka yakinlah bahwa Allâh Swt. Maha Melihat).
2. Tawakkal: pada hakikatnya adalah menyerahkan segala urusan kepada Allâh Swt.
3. Akhlak yang mulia baik kepada Allâh Swt. maupun kepada sesama hamba Allâh Swt.
4. Syukur: menurut ahli tahqiq adalah pengakuan nikmat Allâh Swt. dengan cara tunduk kepada-Nya.
5. Sabar. Sabar ada tiga macam:
1) Sabar karena Allâh Swt.;
2) Sabar bersama Allâh Swt.;
3) Sabar atas Allâh Swt..
6. Ridha: ridha atas segala sesuatu yang telah ditentukan oleh Allâh Swt.
7. Jujur: sama antara yang tersembunyi dan yang terbuka, (Adhwa‟, halaman: 132).

Tata Cara Baiat Tharîqah Qâdiriyah

1. Mursyid memberikan pengetahuan tentang akidah tata cara ibadah mengetahui halal haram;
2. Mursyid memerintahkan kepada Sâlik untuk melakukan taubat terhadap seluruh maksiat;
3. Mursyid memerintahkan Sâlik melaksanakan shalat sunnah taubat 2 rakaat;
4. Sâlik duduk iftirasy menghadap kiblat di depan mursyid;
5. Mursyid membaca fatihah sambil menjabat tangan Sâlik;
6. Mursyid berkata dan diikuti oleh Sâlik:
7. Mursyid memerintahkan kepada Sâlik untuk selalu taat kepada Allâh Swt., menjauhi seluruh kemaksiatan, baik maksiat anggota tubuh zhahir dan maksiat hati seperti iri, dendam, riya‟ dan sebagainya.
8. Mursyid berkata dan diikuti oleh Sâlik:
9. Mursyid berkata secara sirri:
10. Mursyid membaca ayat-ayat yang menjelaskan tentang baiat (al-Fath: 10)
11. Mursyid berkata kepada Sâlik “Dengarkanlah kalimat tauhid dariku” tiga kali. “Ucapkanlah 'LA ILAHA ILLALLAH' sambil Sâlik memejamkan kedua mata. Kemudian murid menirukan ucapan mursyid sebanyak tiga kali;
12. Mursyid memerintahkan kepada Sâlik untuk memperbanyak membaca tahlil tanpa dibatasi hitungan di malam dan siang hari menurut batas kemampuan Sâlik;
13. Mursyid berkata “Apakah engkau menerima baiat ini?”, Sâlik menjawab “saya terima”;
14. Mursyid membaca fatihah yang pahalanya dihadiahkan kepada nabi Muhammad Saw., seluruh Nabi dan Rasul, keluarga dan seluruh sahabatnya, seluruh orang-orang mukmin dikhususkan kepada syaikh Abdul Qâdir al-Jilani dan mursyid-mursyid tharîqah Qâdiriyah.
Jika seorang mursyid memandang Sâlik pantas untuk ditambah aurâd (wirid)nya maka mursyid memerintahkan Sâlik dengan macam-macam dzikir tharîqah Qâdiriyah dan harus dilakukan oleh Sâlik.

Wiridan pagi dan sore yang wajib dilakukan oleh Sâlik tharîqah Qâdiriyah adalah:
Ketika mursyid memandang Sâlik mampu, maka mursyid menambah beberapa macam wirid yang lain. Setelah selesai melakukan wirid Sâlik dianjurkan untuk membaca al-Fatihah yang pahalanya dihadiahkan kepada mursyid tharîqah dan seluruh silsilah tharîqahnya, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba‟du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma‟atsiri, halaman: 276-277).

Adab Sâlik terhadap Diri Sendiri

1. Ber-i‟tiqat dengan benar yakni i‟tiqat ahlu sunnah wal jama‟ah;
2. Berpegang teguh terhadap al-Qur‟an dan al-Hadits serta mengamalkannya, yaitu melakukan perintah dan menjauhi larangan baik hukum asal atau furû`;
3. Jujur;
4. Bersungguh-sungguh sampai Sâlik menemukan hidayah petunjuk dan tanda-tanda (wushul kepada Allâh Swt). Bersungguh-sungguh memadamkan jilatan syahwatnya dan hawa nafsunya. Karena i‟tiqat yang benar bisa menaghasilkan ilmu hakikat. Bersungguh-sungguh bisa menetapkan Sâlik menempuh jalan hakikat;
5. Wajib bagi Sâlik melakukan amal secara ikhlâs karena Allâh Swt., supaya Sâlik tidak sia-sia menjalankan tharîqahnya;
6. Sâlik harus menyembunyikan karamah-karamahnya, karena syaikh Abdul Qâdir al-Jilani berkata: “Wali tidak akan menampakkan karamahnya kecuali diizinkan oleh Allâh Swt”. Karena salah satu dari sarat kewalian adalah menyembunyikan karamah;
7. Sâlik tidak berhubungan dengan orang-orang yang memiliki pandangan hidup yang sempit, orang-orang yang beramal dengan sia-sia yaitu orang yang mencari qâla dan qîla (orang yang menambah keilmuan tanpa melakukan amal), tidak bergaul dengan orang-orang yang tidak menyukai amal ibadah, tidak bergaul terhadap orang yang suka memerintahkan beramal terhadap Islâm dan iman, tapi dia tidak melakukan dengan dasar.
8. Hendaknya Sâlik tidak kikir dengan shadaqah;
9. Seyogyanya Sâlik ridha dengan keadaan yang hina (di hadapan mahluk), lapar, menyembunyikan amal yang baik, senang dengan hinaan manusia, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba‟du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma‟atsiri, halaman: 281-282).

Adab Sâlik terhadap Mursyid

1. Tidak melawan mursyid lahir batin;
2. Tidak durhaka kepada mursyid, karena orang yang durhaka adalah orang yang meniggalkan adab;
3. Sâlik harus memiliki husnuzhan (berprasangka baik) kepada mursyid walaupan mursyidnya melakukan perbuatan yang tidak disukai menurut kaca mata syara‟, karena mursyid berusaha memberikan kalam matsal dan isyarah kepada Sâlik;
4. Jika Sâlik melihat aib mursyid maka Sâlik harus menutupinya;
5. Sâlik harus menta‟wil ucapan mursyid sesuai dengan syara‟, jika Sâlik tidak menemukan alasan secara syari‟at maka Sâlik memintakan ampun kepada mursyid, mendoakannya, mendapatkan taufik, ilmu, sadar dan terjaga dari kesalahan;
6. Sâlik tidak beri‟tikat bahwa mursyidnya adalah ma‟shûm (terjaga dari maksiat), tapi mahfuzh (melakukan kesalahan dan meminta maaf);
7. Melanggengkan bersahabat dengan mursyid, karena persahabatan itu bisa menjadi wasilah antara Sâlik dan tuhannya;
8. Hendaknya Sâlik tidak meniggalkan mursyid sampai Sâlik sudah wusul kepada Allâh Swt;
9. Sâlik tidak boleh berbicara di depan mursyid kecuali dalam keadaan dharurat;
10. Sâlik tidak boleh menampakkan kelebihannya di depan mursyid;
11. Sâlik tidak menggelar sajadah di hadapan mursyid kecuali waktu shalat (menampakkan taat ibadah di hadapan mursyid dengan tujuan mendapatkan simpati dari mursyid);
12. Sâlik selalu siap sedia melayani (khidmat)kepada mursyid.
13. Seyogyanya bagi Sâlik diam ketika mursyid memiliki masalah, walaupun jawaban mursyid kurang luas, bahkan Sâlik harus bersyukur kepada Allâh Swt. atas pemberian ilmu, keutamaan dan cahaya dalam hatinya.
14. Hendaknya bagi Sâlik tidak bergerak ketika mendengarkan ucapan mursyid kecuali atas peritah mursyid.
15. Sâlik tidak bersuara dengan keras dihadapan mursyid.
16. Sâlik tidak duduk di tempat duduk yang dikhususkan untuk mursyid.
17. Sâlik tidak beranjak dari tempat duduk atau keluar dari hadapan mursyid, kecuali atas isyarah atau perintahnya, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba‟du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma‟atsiri, halaman: 282-286).

Adab antar Sâlik

1. Persahabatan harus saling mengalah (al-Itsar: lebih mementingkan sahabat daripada kepentingan dirinya), menerima apa adanya keadaan sahabat, melaksanakan persahabatan degan syarat saling berkhidmat (saling melayani).
2. Sâlik tidak memperdulikan haknya atas seseorang, tapi Sâlik memperdulikan hak orang lain atas dirinya.
3. Menampakkan kekompakan kepada sahabat baik secara ucapan ataupun perbuatan mereka.
4. Meninggalkan perselisihan, perdebatan terhadap sahabat.
5. Tidak boleh menyimpan dendam dalam hati kepada sahabat, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba‟du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma‟atsiri, halaman: 287).

Tata Cara Kholwat 40 Hari Tharîqah Qâdiriyah

1. Tidak berbicara kecuali dengan pembicaraan yang diridhai oleh Allâh Swt.
2. Sedikit makan dan berpuasa lebih baik.
3. Sedikit tidur.
4. Berdzikir setiap tarikan nafas.
5. Berkhalwat di dalam masjid jika memungkinkan, jika tidak memungkikan maka berkhalwat di dekat masjid, untuk menghadiri shalat berjama‟ah.
6. Lebih baik tidak membawa uang.
7. Seyogyanya menghilangkan seluruh keinginan kecuali ridhanya Allâh Swt.
8. Selalu bermuraqabah kepada Allâh Swt. serta melanggengkan dzikir.
9. Menghilangkan kesibukan yang bisa menggagalkan khalwatnya Sâlik.
10. Sâlik menjalankan amalan dari mursyid baik berupa dzikir dan membaca al-Qur‟an.
Dalam hadits Nabi disebutkan:
Barang siapa yang melanggengkan sholat subuh dan isya‟ dengan berjama‟ah selama 40 hari, maka ditulis bebas dari sifat munafiq dan syirik.
Barang siapa yang melakukan „ibadah dengan ikhlas selama 40 hari, maka muncul hikmah dari dalam hati melalui lisan Sâlik, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba‟du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma‟atsiri, halaman: 275).
Wirid Tharîqah Qâdiriyah

Semua pengikut tharîqah Qâdiriyah memiliki wirid yang berbeda baik syighat (lafad) maupun bilangannya antara kelompok satu dengan kelompok lain, karena disesuaikan dengan hasil ijtihad mursyidnya masing-masing kelompok. Wirid-wirid tersebut diambil dari al-Qur‟an al-Karîm, dzikir-dzikir nabawiyah atau diambil dari keduanya seperti membaca al-Qur‟an, istighfâr, do‟a-do‟a, shalawat, tahmid, tasbih dan lain sebagainya.
Yang terpenting dan perlu digaris bawahi, bahwa semua wirid-wirid tersebut adalah ijazah dari Syaikh Abdul Qâdir diantaranya adalah:
1. Setiap selesai shalat lima waktu membaca:
a. Asma` Syarifah:
b. Membaca ta‟awudz yang faidahnya untuk menghilangkan was-was:
c. Membaca:
 
d. Membaca:
2. Setiap ba‟da maghrib dan subuh membaca:
a. al-Fatihah 7 kali;
b. Ayat kursi 7 kali;
c. al-Insyirah 7 kali;
d. al-Qadr 7 kali;
e. al-Kâfirûn 7 kali;
f. al-Nashr 7 kali;
g. al-Lahab 7 kali;
h. al-Ikhlâs 7 kali;
i. al-Falaq 7 kali;
j. al-Nâs 7 kali;
k. Membaca:
l. Ism al-Jalalah 1000 kali;
3. Membaca al-Fatihah setiap hari 100 kali dengan rincian sebagai berikut:
a. Ba‟da Subuh 30 kali;
b. Ba‟da Zhuhur 25 kali;
c. Ba‟da „Ashar 20 kali;
d. Ba‟da Maghrib 15 kali;
e. Ba‟da „Isyâ‟ 10 kali.
f. Dan setiap selesai membaca al-Fatihah sesuai bilangan di atas membaca do‟a sebagai berikut:



Adab Khataman

Menurut Syaikh al-Kurdi dalam kitab Tanwîr al-Qulûb fi Mu‟amalati „Allamil Ghuyûb menyebutkan 8 adab khataman, yaitu:
1. Suci dari hadats dan najis.
2. Di ruangan khusus, sunyi dari keramaian manusia.
3. Khusyu‟ dan hadir hati kepada Allâh Swt., seolah-olah dalam mengabdikan diri kepada-Nya. Jika anda tidak melihat-Nya, maka Dia melihat anda.
4. Peserta yang hadir harus seizin Syaikh .
5. Pintu ditutup, Karena menurut hadits yang diriwayatkan al-Hakim dari Ya‟la bin Syidad:
 
Tatkala aku berada di sisi Rasullullah Saw, tiba-tiba beliau bertanya: ”adakah orang asing diantara kamu? Kami menjawab: Tidak ada, Rasûlullâh Saw., Lantas beliau memerintahkan supaya pintu ditutup dan bersabda: “Angkat tangan kamu”.
Rasûlullâh Saw., telah memasuki ka‟bah bersama dengan Usamah bin Zaid, bilal, Utsman bin Thalhah. Mereka menutupkan pintu. Tatkala mereka membukanya, sayalah orang pertama masuk, ku jumpai bilal dan kutanyakan: apakah Rasûlullâh Saw, shalatnya di dalamnya? Bilal menjawab: “benar, dianara dua tiang arah Yaman”.
6. Memejamkan pelupuk mata dari permulaan sampai akhir.
7. Berusaha sungguh-sungguh melenyapkan lintasan dan getaran dalam hati, sehingga tidak sampai lalai dari mengingat Allâh Swt.
8. Duduk tawarruk, kebalikan dari duduk tawarruk dalam shalat.

Prosesi Khataman

Prosesi khataman biasanya dilaksanakan oleh mursyid atau murid senior, dalam posisi duduk berjama‟ah shalat, maka mulailah membaca berbagai bacaan. Menurut KH. Ramli Tamim dalam kitabnya Tsamrat al-Fikriyyah, bahwa proses khataman dimulai sebagai berikut:
1. al-Fatihah, ke hadirat Nabi Saw, beserta keluarga dan sahabatnya.
2. al-Fatihah, untuk para Nabi dan Rasul, para Malaikat al-Muqarrabin, para Syuhadâ‟. Para Shalihin, setiap keluarga, setiap sahabat, dan kepada arwah bapak kita Adam As., dan ibu kita Hawâ‟. Dan semua keturunan dan keduanya sampai hari kiamat.
3. al-Fatihah, kepada arwahnya Khulafâ‟ al-Râsyidîn (Abu Bakar al-Shiddiq r.a, Umar, Ustman, Ali), semua sahabat awal dan ahkir, para Thabi‟in, Tabi‟it Tabi‟in dan semua yang mengikuti kebaikan mereka sampai hari kiamat.
4. al-Fatihah, untuk arwah para imam Mujtahid dan para pengikutnya, para `ulamâ‟ dan pembimbing, para Qari‟, para Mukhlisin, para imam hadits, mufassir, semua tokoh-tokoh sufi yang ahli tharîqah, para wali baik laki-laki maupun perempuan, Kaum muslimin dan muslimat dari seluruh penjuru dunia.
5. al-Fatihah, untuk semua arwah Syaikh tharîqah Qâdiriyah wa al-Naqsyabandiyah, khususnya Shulthân al-Auliyâ‟ Syaikh Abdul Qâdir al-Jilani, Abul Qâsim al-Junaidi, Sirri Saqathi, Ma‟ruf ibn Fairuz al-Karkhi, Habib al-Ajami, Hasan al-Bashri, Ja‟far Shâdiq, Abu Yazid al-Basthami, Yusuf al-Hamadani, Burhanuddin an-Naqsyabandi, as-Sirhindi. Berikut nenek moyang dan keturunan mereka, ahli silsilah mereka dan orang yang mengambil ilmu dari mereka.
6. al-Fatihah, kepada arwah orang tua kita dan Syaikh-Syaikh kita, keluarga kita yang yang telah mati, orang yang berbuat baik kepada kita, dan orang yang mempunyai hak dari kita, orang yang mewasiati kita, dan orang yang kita wasiati, serta orang yang mendo‟akan baik kepada kita.
7. al-Fatihah, kepada arwah semua mu‟minin-mu‟minat, muslimin-muslimat yang masih hidup maupun yang sudah mati di sebelah barat maupun di sebelah timur, di belahan kanan dan kiri dunia, dan dari seluruh penjuru dunia, semua keturunan Adam As., sampai kiamat.

dikutip :Judul buku: Sabilus Salikin 30 Thariqah
Penyusun: Santri Pondok Pesantren Ngalah
Jumlah halaman:880
Tahun terbit: 2013
sumber: http://www.http://galakgampil.ngalah.net