SELAMAT DATANG Para Pencari Cinta Sejati,Tanpa Membenci,Tanpa Menyalahkan,Tanpa Kesombongan,Tanpa Membedakan,Semoga Engkau Mendapat Rahmat Alloh~Raden Bagus Langlang Jagat

road to sufi

road to sufi

Saturday, January 21, 2017

30 Thariqah-(2) Tharîqah Malâmatiyah




30 Thariqah-(2) Tharîqah Malâmatiyah

Malâmatiyah adalah nama tharîqah yang mulai berkembang pada pertengahan abad ke 3 H. di NaisAbûr kota Khurosan.
Tharîqah ini juga dikenal denga nama al-Qushâriyah atau al-Hamduniyah kedua nama ini dinisbatkan kepada Hamdun bin Ahmad bin Amarah al-Qashar (w. 271 H). Beliau yang menyebarkan tharîqah Malâmatiyah ini.
Nama lengkapnya adalah Abû Shâlih Hamdûn bin Ahmad bin Ammarah Al-Qushshâr Al-NaisAbûri, tidak diketahui tahun kelahirannya, beliau wafat tahun 271 H. di kebumikan di pemakaman al-Khairah dalam kitab Thabaqât al-Shûfiyah, hlm 109, dikebumikan pemakaman Khaidah dalam kitab al-Thabâqat al-Kubra, hlm. 121, Beliau terkenal sebagai ulama fikih Madzhab Sufyan bin Sa‟id al-Tsauri (77-161 H), dan Sufi.
Syaikh SyihAbûddin Abi Hafs Umar al-Suhrawardi (539-632 H.) membahas tharîqah Malâmatiyah dalam kitab Awârif al-Ma‟ârif, halaman: 82, dan juga diambil dari kitab al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 1, halaman: 165 nomor: 243, Arti Malâmatiyah adalah orang-orang yang mengharapkan hinaan dan cacian terhadap diri sendiri.
Syaikh Hamdun al-Qashar melihat kenyataan manusia, bahwa nafsu itu menggunakan banyak metode untuk meluapkan kesenangan (syahwat). Sementara ikhlâs yang benar itu sangat langka dan sulit untuk sampai pada maqâm ikhlas.
Ada pendapat lain bahwa tharîqah Malâmatiyah disandarkan kepada Abû Hafs al-Haddad al-Malamati (w. 204 H.), beliau yang meletakkan dasar-dasar tharîqah Malâmatiyah ini sebagai berikut:

1. Kaum yang mengisi waktu dengan beribadah kepada Allâh Swt. yang Haq;
2. Selalu menjaga sirrinya;
3. Mereka mencela diri sendiri ketika macam-macam ibadah yang dilakukan diketahui orang lain;
4. Mereka menampakkan perbuatan-perbuatan yang jelek dan menyimpan rapat-rapat kebaikannya sehingga orang lain mencelanya karena yang mereka lihat adalah perbuatan lahir semata;
5. Pengikut Tharîqah ini akan mencela diri sendiri jika orang lain mengetahui sisi batinnya,
(al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjûb, halaman: 259. Mengutib dari kitab al-Malâmatiyah wa al-shufiyah, halaman: 89).

Syaikh Abû Hafs al-Haddad al-Malamati mengambil pelajaran dari Syaikh Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H.) dari Ibrâhîm ibn Adhan bin
Mansur bin Zaid bin Jabir bin Tsa‟labah bin Ajali (w. 160 H.) dari Hasan Basri dari Saiyidina „Ali dari Nabi Muhammad.
Nama tharîqah ini tidak disandarkan kepada pendiri atau pengembang tharîqah ini tetapi diambil dari ciri khusus penganut Malâmatiyah yaitu suka mencela diri sendiri ) ). Kata Malâmatiyah berasal dari kata Laum ) yang berarti mencela, mengecam dengan keras (Warson Munawir, al-Munawir: 1392).
Maksudnya adalah pengikut tharîqah Malâmatiyah meyakini bahwa diri tidak memiliki bagian apapun di dunia ini secara mutlaq, mereka merasa tenang dan bahagia ketika dicela karena mereka berkeyakinan bahwa dirinya sangat jelek, hal ini dilakukan untuk melawan tabiat nafsu yaitu suka pamer (Riya‟), cinta dunia, jabatan, (al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjûb, halaman: 259).

“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allâh Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui ”(Qs. al-Maidah: 54)

Pengikut Malâmatiyah memandang bahwa hubungannya dengan Allâh Swt. adalah rahasia (sirri) sehingga tidak patut untuk diketahui orang lain. Mereka sangat suka untuk menyembunyikan rahasia tersebut. Jika rahasia ini terungkap maka akan membuat kekasihnya cemburu, karena orang yang terpaut dengan kekasihnya tidak menyukai orang lain datang kepada kekasihnya. Bahkan dalam kecintaan yang tinggi, seseorang akan membenci pada orang lain yang memperlihatkan perhatian pada kekasihnya.

Rasûlullâh Saw. Adalah panutan, Imâm bagi ahli haqiqat, panutan bagi para pecinta (Muhibbin). Diceritakan dalam kitab Shirah bahwa nabi Muhammad Saw. dalam awal penyampaian risalah kenabian banyak menghadapi hinaan, cacian, makian, perkataan kotor, perbuatan-perbuatan yang menyakitkan, bahkan
nabi pernah dilempari batu hingga berdarah tetapi nabi menghadapi dengan sabar dan do‟a yang baik.
Pengikut tharîqat ini merasa kuatir membuat kecemburuan di hati manusia ketika keadaan dan rahasia-rahasia itu terungkap pada manusia dengan pujian dan sanjungan yang patut diungkapkan. Maka pengikut

Malâmatiyah malah sengaja melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa menarik hinaan dan kebencian manusia. Sudah menjadi sunnatullah bahwa ketika Allâh Swt. cinta kepada seorang hamba-Nya akan memberi potensi kepada makhluk untuk berbuat yang menyakitkan agar engkau tidak merasa tentram kepada mereka (Syarh al-Hikam, juz 2, halaman: 57-58),
dan Allâh Swt. menjadikan seluruh alam untuk mencacinya, tetapi Sâlik Malâmatiyah tidak memperdulikan hinaan dan cacian demi menyelamatkan rahasia-rahasianya bersama Allâh Swt. (kekasihnya), Sâlik menyembunyikan segala bentuk kebaikan dari pandangan manusia untuk menyelamatkan rahasia-rahasianya sehingga manusia tidak melihat kebaikan yang melekat pada diri Sâlik dan tidak membuat mereka kagum, Sâlik merasa tenang dan senang terhadap hinaan, untuk menghilangkan sifat ujub, Sâlik menampakkan perbuatan-perbuatan jelek dan menyembunyikan perbuatan baik. Ini adalah pokok ajaran yang kuat dalam jalan menuju kepada Allâh Swt., karena tidak ada hijab bahaya yang lebih sulit dibuka dibanding manusia yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain.
Sifat pada `ujub muncul didorong oleh 2 hal, yaitu:

1. Mencari kedudukan dan pujian di hadapan manusia. Contoh; seseorang melakukan amal kebaikan untuk mendapatkan simpati manusia, lalu dia memuji diri sendiri dan melihatnya sebagai orang yang penuh kebaikan;
2. Suatu perbuatan seseorang untuk memperoleh simpati manusia lain lalu mereka memujinya dan orang tersebut merasa `ujub (merasa lebih baik dari yang lain).

Imâm Ghazali dalam kitab Raudhah al-Thâlibîn, bab ke 15 dan al-Majmû‟ al-Rasâil, halaman: 132. menyatakan wajib bagi hamba menjaga amal dari 10 hal (yang bisa merusak amal) yaitu: sifat nifaq, riya‟, mencampur amal, ingin mendapat imbalan, merusak amal, penyesalan terhadap amal baik, „ujub, malas dalam amal, meremehkan dan takut dicaci-maki manusia.
Allâh Swt. menutup anugerah kepada kekasih-Nya yang menempuh jalan kepada-Nya sehingga amal perbuatannya tidak disukai makhluk walaupun perbuatannya baik, karena mereka tidak bisa melihat hakikat dan kesungguhannya walaupun amal perbuatannya banyak. Karena manusia tidak melihat sekitarnya dan kekuatan jiwanya.
Para Sâlik Malâmatiyah tidak „ujub (menganggap baik) terhadap dirinya sendiri, sehingga mereka mampu menjaga dirinya dari „ujub. Barangsiapa senang terhadap perbuatan baik manusia tidak senang terhadapnya. Barangsiapa memilih dirinya sendiri maka kebaikan tidak akan memilihnya.
Azazil (nama asli Iblis) (Nashâih al-Îbâd, halaman: 57) sangat dicintai makhluk. Sementara Allâh Swt. dan para malaikat tidak menyukai Iblis. Karena Azazil atau Iblis menganggap dirinya lebih baik dari nabi Adam As., sehingga Iblis tidak disukai dan akhirnya mendapat laknat Allâh Swt.
Malaikat merupakan makhluk Allâh Swt. yang sangat menyukai kebaikan sehingga anak Adam As. tidak menyukai kebaikan
.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Pada ayat tersebut mirip ungkapan malaikat yang sangat mencintai amal baik, sedangkan reaksi dari anak Adam adalah tidak menyukai para malaikat. Sementara para malaikat pada saat mengungkapkan hal itu tidak mempunyai sifat „ujub (membanggakan) terhadap diri sendiri.
Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Sehingga para malaikat disenangi kebaikan, sebagaimana firman Allâh Swt:...Maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.
Mulamatiyah juga dikenal dengan Mulamiyah, Mulamiyah adalah orang yang tidak menampakkan sesuatu yang ada dalam batin terhadap lahirnya akan tetapi mereka adalah bersungguh-sungguh dalam menyempurnakan keikhlasan, dan mereka juga adalah pimpinan dan Imâm ahli thariqah (jalan menuju Allah) dan juga pemimpin alam semesta, di antaranya adalah Nabi Muhammad saw. dan mereka meletakkan sesuatu sesuai dengan ketetapan alam ghaib artinya mereka tidak menyalai kehendak dan pengetahuan Allah, mereka tidak menafikan sebab musabab terjadinya sesuatu kecuali pada peniadaan dan penetapan yang sesuai pada tempatnya. Barang siapa yang meniadakan sebab musabab pada tempat yang seharusnya ditetapkan maka dia termasuk orang-orang bodoh. Barangsiapa berpedoman pada tempat penetapan dengan peniadaan maka dia termasuk menyekutukan dan mengingkari. Wali mulamiyah merupakan orang yang masuk pada kategori sabda Rasulullâh Saw.
 (al-Ta‟rifât, halaman: 227, Jâmi‟ al-Karâmât al-Auliyâ‟, juz 1, halaman: 67).

Mu‟amalah Tharîqah Malâmatiyah

1.       Malamah Istiqamah Sirri:
Sâlik selalu menyendiri dalam amal ibadahnya, selalu bersungguh-sungguh menjaga agamanya, dan hubungan muamalahnya. Sehingga para manusia mencaci-maki sementara Sâlik ini tidak memperdulikan dan mengabaikan hinaan tersebut.
Sâlik dalam tahap ini meniadakan sifat munafik dalam hati, meninggalkan riya‟, tidak takut dihina makhluk, tetap berjalan pada prinsip-prinsip tiap ahwal, sanjungan dan hinaan terasa sama oleh Sâlik, (Kasyf al-Mahjûb, halaman: 261).
Diceritakan bahwa Syaikh Abû Thahir al-Harami pada suatu hari menunggang keledai yang berjalan menuju ke arah pasar, salah satu muridnya menghalau keledai tersebut dengan memegang tali kendalinya. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berteriak “ini (Abû Thahir al-Harami) adalah syaikh Zindiq, dan disahut oleh orang-orang pasar yang lain”. Ketika mendengar teriakan ini, salahsatu murid ingin membalas dengan melempari batu terhadap penghina tanpa kehendak gurunya. Lalu syaikh Abû Thahir al-Harami berkata kepada muridnya: “Jika Engkau tetap diam aku akan menunjukkan sesuatu kepadamu agar engkau bisa selamat dari cobaan ini.” Maka muridpun diam. ketika keduanya kembali ke tempat pemondokannya, maka sang guru berkata kepada muridnya: ambillah kotak itu dan keluarkan isinya berupa beberapa surat, kemudian sang guru berkata kepada muridnya: Lihatlah!, Saya telah memberikan surat ini kepada beberapa orang, dan masing-masing dari mereka memberikan julukan yang berbeda diantaranya memberikan julukan syaikh seorang pemimpin, dan yang lain memberikan julukan syaikh seorang yang cerdas, ada yang memberikan julukan syaikh seorang yang zuhud, ada yang memberikan julukan syaikh al-Haramain dan lain-lain, semuanya adalah laqab bukan sebuah nama. Semua itu mengatakan dengan dasar keyakinan mereka masing-masing.

2.       Malamah al-Qashd
Adapun seseorang yang menyengaja tharîqah Malâmatiyah, meninggalkan pangkat dan kedudukan, meninggalkan bergaul dengan makhluk, maka hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Amîrul Mukminîn Utsman Ibn Affan Ra., ketika beliau sedang berada di kebun kurma, beliau sedang memikul kayu sedangkan beliau mempunyai 40 pembantu, lalu seorang pembantu berkata kepadanya, ya Amîral Mukminîn apa yang baginda lakukan? Beliau menjawab: (saya ingin melatih hati saya). Hal ini saya lakukan sampai saya bebas melakukan apapun tanpa adanya halangan antara saya dan kedudukan saya. Hal inipun juga dilakukan oleh Imam Abû Hanifah.
Kisah yang sama juga dikisahkan oleh Abu Yazid al-Busthami ketika beliau hendak ke Madinah, semua orang keluar untuk menyambut dan memuliakannya, dan ketika semua orang memberikan pujian kepadanya, maka masuklah Abu Yazid al-Busthami ke pasar dan beliau mengeluarkan roti dari dalam sakunya dan kemudian memakannya, dan kejadian ini berada pada bulan Ramadhan. Maka kembalilah semua orang dan meninggalkan beliau sendirian.

3.       Malamah al-Tark
Adapun orang yang tharîqahnya meninggalkan pangkat dan kedudukan dan memilih sesuatu yang bertentangan dengan syari‟at, maka dia akan mengatakan: saya adalah orang yang sedang masuk dalam tharîqah malamah, pendapat ini adalah pendapat yang sesat, bahaya yang nyata dan benar-benar gila. Sebagaimana pendapat mayoritas orang-orang pada zaman sekarang, adapun yang dimaksud meninggalkan makhluk adalah menerima makhluk, karena kewajiban seorang manusia pertama adalah diterima oleh makhluk kemudian berusaha untuk menolaknya.
Adapun tharîqah ini disebar-luaskan oleh Hamdûn ibnu Ahmad ibnu „Ammârah al-Qashshâr. Beliau berkata: (al-Malamah adalah meninggalkan keselamatan). Ketika seseorang meninggalkan keselamatannya, maka dia akan melakukan beberapa cobaan dan meninggalkan semua hal-hal yang disenanginya, karena berangan–angan ingin menggapai keagungan Tuhan dan akhirat, sehingga dia cuek dengan makhluk dan meninggalkannya. Semakin cuek dan meninggalkan makhluk, maka semakin dekatlah dia kepada Tuhannya. Maka segala sesuatu yang diterima oleh semua makhluk, itulah keselamatan, dan ini ditujukan kepada Ahlu malamah, agar semua prasangka makhluk berbeda dengan prasangka Ahlu malamah dan prasangka Ahlu malamah berbeda dengan prasangka para makhluk.
Hakikat mahabbah yang terindah adalah berada dalam tharîqah malamah, karena caci makian seorang yang dicintai tidak memberikan dampak pada yang dicintai, dan tidak membuat lari kekasih kecuali masuk ke wilayah kekasihnya, tidak ada getaran jiwa selain kepada kekasihnya, karena tharîqah Malâmatiyah merupakan taman orang-orang yang rindu pada kekasih.
Golongan ini khusus dicaci secara fisik karena keselamatan hati. Derajat ini tidak bisa diperoleh oleh malaikat muqarrabîn karubiyyin ruhaniyyin, manusia (ahli zuhud, ahli ibadah) kecuali Sâlik tharîqah ini yaitu orang-orang yang menjalankan tharîqah dengan memutus tali temalinya hati, (Kasyf al-Mahjûb, halaman: 264-265)
.
Ketetapan Malâmatiyah

1. Tidak menampakkan dan tidak menyembunyikan kejelekan. Artinya, Sâlik Malâmatiyah melakukan sesuatu dengan ikhlâs, melaksanakan sesuatu dengan kesungguhan hati tidak suka menunjukkan amal (zhahir) dan hal (amal hati atau batin) kepada seseorang;
2. Sâlik Malâmatiyah berpegang teguh pada keikhlâsan, mereka memandang bahwa menyembunyikan ahwal (keadaan hati/batin)merasa nikmat, jika sampai amal ahwal mereka terlihat oleh seseorang sehingga Sâlik merasa gelisah sebagaimana orang yang berbuat maksiat merasa gelisah karena kemaksiatannya diketahui orang;
3. Sâlik Malâmatiyah lebih mengedepankan keikhlâsan, sementara para shufi menghilangkan keikhlâsan.
Abû Ya‟qub al-Susi berkata: “Ketika Sâlik Malâmatiyah menemukan keikhlâsannya secara ikhlâs maka mereka butuh keikhlâsannya dengan ikhlâs”. Sebagian „Ulama‟ berkata: “Ikhlâs yang benar adalah melupakan pandangan kepada makhluk dengan terus menerus memandang kepada Allâh Swt. yang haq, sementara Sâlik Malâmatiyah memandang makhluk sehingga dia menyamarkan amal dan halnya”.
Ja‟far al-Khâlidi bertanya kepada Imâm Junaid (Baghdad, w. 297 H/910 M.) tentang perbedaan ikhlâs dan shiddiq. Imâm Junaid berkata: “Shiddiq adalah pokok dan permulaan, sementara ikhlâs adalah cabang dan yang mengikuti, keduanya juga memiliki perbedaan karena ikhlâs tidak akan muncul sebelum ada perbuatan”.
Imâm Junaid berkata : “Ikhlâs adalah kemurnian dan pemurnian, dimana kemurniannya terbentuk dalam proses pemurnian itu”. Keadaan Sâlik Malâmatiyah berupa keikhlâsan seperti ini, sedangkan proses pemurniannya merupakan keadaan para shufi dan kemurnian yang terbentuk dari proses itu merupakan hasil.

Sâlik Malâmatiyah menyembunyikan keadaan mereka untuk 2 hal:
1. Mewujudkan kejujuran dan keikhlâsannya;
2. Untuk menutupi keadaannya dari rasa cemburu orang lain.

Diceritakan dari Ibrâhîm bin Adham beliau berkata: “Aku sampai di suatu desa bersamaan hujan yang lebat, angin musim dingin mengenaiku, sehingga tambalan bajuku robek, kemudian aku sampai di masjid dan aku tidak diperkenankan masuk ke dalam masjid itu, aku mencoba masuk kedua dan ketiga kalinya sehingga aku lelah tak berdaya. Tiupan angin dingin hampir membinasakanku kemudian aku masuk ke pemandian, aku mengeringkan pakaianku di atas api, sampai-sampai asap api mengenai pakaian dan wajahku, keadaan itu sampai tengah malam”.
Ibrâhîm bin Adham adalah salah satu `ulama‟ besar pada zamannya yang dalam perjalanannya kehujanan, beliau mencari tempat berteduh di masjid, dan oleh petugas masjid sampai tiga kali. Ibrâhîm bin Adham tidak marah dan mencari tempat lain untuk berteduh, (Kasyf al-Mahjûb, halaman: 264-265).

Dzikir Tharîqah Malâmatiyah
Dalam tharîqah Malâmatiyah dzikir dibagi menjadi 4 macam:

1. Dzikir Lisan: dilaksanakan Sâlik dengan menggunakan lisan sementara hatinya lupa, Sâlik masih mengharapkan pahala atau ingin mencapai maqâm-maqâm tertentu dan ingin diterima di kalangan tertentu. Ini adalah dzikir Sâlik umum;
2. Dzikir Qalb (hati): setelah Sâlik bisa melaksanakan dzikir lisan dengan baik, selanjutnya Sâlik menghentikan dzikir lisan dan beralih melaksanakan dzikir qalb (hati).
Sâlik pada tahap ini menghitung kenikmatan-kenikmatan yang diterima sementara dia lupa terhadap dzat pemberi nikmat, sibuk memperhatikan karunia lupa terhadap pemberi karunia, ingin mendapat pahala, merasa sudah mencapai maqâm-maqâm tertentu. Ini adalah bentuk terendah dari kedudukan terendah dan paling jauh. Munculnya keinginan batin yang memandang pada tujuan sebagai pertimbangan perwujudan awal;
3. Dzikir Sirri: setelah Sâlik melaksanakan dzikir lisan dan qalb lalu Sâlik menghentikan kedua dzikir tersebut dan beralih melakukan dzikir sirri.
Kendala yang ada pada dzikir sirri adalah terpautnya pengaruh dzikir qalb.
Dzikir sirri adalah dzikir keagungan, disebut juga Haibah atau dzikir sifat, ini mulai dirasakan Sâlik sebagai pendekatan (Taqarrub). Dzikir ini menimbulkan rasa takut, tunduk dan khawatir. Timbulnya rasa khawatir (Haibah), rasa wujud dan ini kebalikan Fana‟;
4. Dzikir Ruh: setelah Sâlik bisa melaksanakan dzikir lisan, qalb dan sirri lalu Sâlik menghentikan ketiga dzikir tersebut dan berganti dengan dzikir ruh. Kendala awal yang dialami oleh Sâlik pada dzikir ruh adalah munculnya dzikir sirri terhadap ruh. Ini adalah dzikir musyahadah,
(Majmû‟ah al-Rasâil al-Imâm al-Ghazâli fi Raudhah al-Thâlibîn, halaman: 104-105).

Secara muamalah tharîqah Mulamatiyah menghilangkan kedudukan di dalam hati makhluk dengan cara melakukan sesuatu yang menjadi bahan makian makhluk sehingga hilanglah kedudukan Sâlik Malâmatiyah di dalam hati manusia. Sâlik Malâmatiyah memishakan diri dari kerumunan kehidupan manusia untuk dapat diterima di hadapan Allâh Swt. Merasa tenang dengan menyembunyikan jati diri dan ditolak oleh manusia umum dan diterima oleh Allâh Swt.

Diceritakan bahwa sebagian para raja bermaksud menemui ahli zuhud, ketika raja itu sudah dekat, zâhid (orang zuhud) itu meminta makanan dan minuman yang banyak. Dia (zâhid) makan dengan suapan yang besar. Raja yang melihat tingkah zâhid tersebut lalu memalingkan wajah dan pergi. Sang zâhid berkata: ”Alhamdulillah segala puji bagi dzat yang telah memalingkanmu dariku”.
Untuk menghindari kemuliaan yang diberikan oleh raja atau pemimpin negara, sebagian dari zâhid (bahkan) ada yang meminum-minuman halal yang dimasukkan ke dalam botol khamr (minuman keras). Sehingga para pejabat menyangka bahwa zâhid itu minum khamr, (Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 255).

dikutip :Judul buku: Sabilus Salikin 30 Thariqah
Penyusun: Santri Pondok Pesantren Ngalah
Jumlah halaman:880
Tahun terbit: 2013
sumber: http://www.http://galakgampil.ngalah.net