30 Thariqah-(2) Tharîqah Malâmatiyah
Malâmatiyah adalah nama tharîqah yang mulai berkembang pada
pertengahan abad ke 3 H. di NaisAbûr kota Khurosan.
Tharîqah ini juga dikenal denga nama al-Qushâriyah atau
al-Hamduniyah kedua nama ini dinisbatkan kepada Hamdun bin Ahmad bin Amarah
al-Qashar (w. 271 H). Beliau yang menyebarkan tharîqah Malâmatiyah ini.
Nama lengkapnya adalah Abû Shâlih Hamdûn bin Ahmad bin
Ammarah Al-Qushshâr Al-NaisAbûri, tidak diketahui tahun kelahirannya, beliau
wafat tahun 271 H. di kebumikan di pemakaman al-Khairah dalam kitab Thabaqât
al-Shûfiyah, hlm 109, dikebumikan pemakaman Khaidah dalam kitab al-Thabâqat
al-Kubra, hlm. 121, Beliau terkenal sebagai ulama fikih Madzhab Sufyan bin Sa‟id
al-Tsauri (77-161 H), dan Sufi.
Syaikh SyihAbûddin Abi Hafs Umar al-Suhrawardi (539-632 H.)
membahas tharîqah Malâmatiyah dalam kitab Awârif al-Ma‟ârif, halaman: 82, dan
juga diambil dari kitab al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah,
juz 1, halaman: 165 nomor: 243, Arti Malâmatiyah adalah orang-orang yang
mengharapkan hinaan dan cacian terhadap diri sendiri.
Syaikh Hamdun al-Qashar melihat kenyataan manusia, bahwa
nafsu itu menggunakan banyak metode untuk meluapkan kesenangan (syahwat). Sementara
ikhlâs yang benar itu sangat langka dan sulit untuk sampai pada maqâm ikhlas.
Ada pendapat lain bahwa tharîqah Malâmatiyah disandarkan
kepada Abû Hafs al-Haddad al-Malamati (w. 204 H.), beliau yang meletakkan
dasar-dasar tharîqah Malâmatiyah ini sebagai berikut:
1. Kaum yang mengisi waktu dengan beribadah kepada Allâh Swt.
yang Haq;
2. Selalu menjaga sirrinya;
3. Mereka mencela diri sendiri ketika macam-macam ibadah yang
dilakukan diketahui orang lain;
4. Mereka menampakkan perbuatan-perbuatan yang jelek dan
menyimpan rapat-rapat kebaikannya sehingga orang lain mencelanya karena yang
mereka lihat adalah perbuatan lahir semata;
5. Pengikut Tharîqah ini akan mencela diri sendiri jika orang
lain mengetahui sisi batinnya,
(al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjûb, halaman: 259. Mengutib dari
kitab al-Malâmatiyah wa al-shufiyah, halaman: 89).
Syaikh Abû Hafs al-Haddad al-Malamati mengambil pelajaran
dari Syaikh Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H.) dari Ibrâhîm ibn Adhan bin
Mansur bin Zaid bin Jabir bin Tsa‟labah bin Ajali (w. 160 H.)
dari Hasan Basri dari Saiyidina „Ali dari Nabi Muhammad.
Nama tharîqah ini tidak disandarkan kepada pendiri atau
pengembang tharîqah ini tetapi diambil dari ciri khusus penganut Malâmatiyah
yaitu suka mencela diri sendiri ) ). Kata Malâmatiyah berasal dari kata Laum ) yang berarti mencela, mengecam
dengan keras (Warson Munawir, al-Munawir: 1392).
Maksudnya adalah pengikut tharîqah Malâmatiyah meyakini bahwa
diri tidak memiliki bagian apapun di dunia ini secara mutlaq, mereka merasa
tenang dan bahagia ketika dicela karena mereka berkeyakinan bahwa dirinya
sangat jelek, hal ini dilakukan untuk melawan tabiat nafsu yaitu suka pamer
(Riya‟), cinta dunia, jabatan, (al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjûb, halaman: 259).
“Hai orang-orang yang
beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak
Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allâh Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui ”(Qs. al-Maidah: 54)
Pengikut Malâmatiyah memandang bahwa hubungannya dengan Allâh
Swt. adalah rahasia (sirri) sehingga tidak patut untuk diketahui orang lain.
Mereka sangat suka untuk menyembunyikan rahasia tersebut. Jika rahasia ini
terungkap maka akan membuat kekasihnya cemburu, karena orang yang terpaut
dengan kekasihnya tidak menyukai orang lain datang kepada kekasihnya. Bahkan
dalam kecintaan yang tinggi, seseorang akan membenci pada orang lain yang
memperlihatkan perhatian pada kekasihnya.
Rasûlullâh Saw. Adalah panutan, Imâm bagi ahli haqiqat,
panutan bagi para pecinta (Muhibbin). Diceritakan dalam kitab Shirah bahwa nabi Muhammad Saw. dalam
awal penyampaian risalah kenabian banyak menghadapi hinaan, cacian, makian,
perkataan kotor, perbuatan-perbuatan yang menyakitkan, bahkan
nabi pernah dilempari batu hingga berdarah tetapi nabi
menghadapi dengan sabar dan do‟a yang baik.
Pengikut tharîqat ini merasa kuatir membuat kecemburuan di
hati manusia ketika keadaan dan rahasia-rahasia itu terungkap pada manusia
dengan pujian dan sanjungan yang patut diungkapkan. Maka pengikut
Malâmatiyah malah sengaja melakukan perbuatan-perbuatan yang
bisa menarik hinaan dan kebencian manusia. Sudah menjadi sunnatullah bahwa
ketika Allâh Swt. cinta kepada seorang hamba-Nya akan memberi potensi kepada
makhluk untuk berbuat yang menyakitkan agar engkau tidak merasa tentram kepada
mereka (Syarh al-Hikam, juz 2, halaman: 57-58),
dan Allâh Swt. menjadikan seluruh alam untuk mencacinya,
tetapi Sâlik
Malâmatiyah
tidak memperdulikan hinaan dan cacian demi menyelamatkan rahasia-rahasianya
bersama Allâh Swt. (kekasihnya), Sâlik menyembunyikan segala bentuk kebaikan dari pandangan manusia
untuk menyelamatkan rahasia-rahasianya sehingga manusia tidak melihat kebaikan
yang melekat pada diri Sâlik dan tidak membuat mereka kagum, Sâlik merasa
tenang dan senang terhadap hinaan, untuk menghilangkan sifat ujub, Sâlik
menampakkan perbuatan-perbuatan jelek dan menyembunyikan perbuatan baik. Ini
adalah pokok ajaran yang kuat dalam jalan menuju kepada Allâh Swt., karena
tidak ada hijab
bahaya yang
lebih sulit dibuka dibanding manusia yang menganggap dirinya lebih baik dari
orang lain.
Sifat pada `ujub
muncul didorong
oleh 2 hal, yaitu:
1. Mencari kedudukan dan pujian di hadapan manusia. Contoh;
seseorang melakukan amal kebaikan untuk mendapatkan simpati manusia, lalu dia
memuji diri sendiri dan melihatnya sebagai orang yang penuh kebaikan;
2. Suatu perbuatan seseorang untuk memperoleh simpati manusia
lain lalu mereka memujinya dan orang tersebut merasa `ujub (merasa lebih baik dari yang
lain).
Imâm Ghazali dalam kitab Raudhah al-Thâlibîn, bab ke 15 dan
al-Majmû‟ al-Rasâil, halaman: 132. menyatakan wajib bagi hamba menjaga amal
dari 10 hal (yang bisa merusak amal) yaitu: sifat nifaq, riya‟, mencampur amal,
ingin mendapat imbalan, merusak amal, penyesalan terhadap amal baik, „ujub,
malas dalam amal, meremehkan dan takut dicaci-maki manusia.
Allâh Swt. menutup anugerah kepada kekasih-Nya yang menempuh
jalan kepada-Nya sehingga amal perbuatannya tidak disukai makhluk walaupun
perbuatannya baik, karena mereka tidak bisa melihat hakikat dan kesungguhannya
walaupun amal perbuatannya banyak. Karena manusia tidak melihat sekitarnya dan
kekuatan jiwanya.
Para Sâlik
Malâmatiyah
tidak „ujub
(menganggap
baik) terhadap dirinya sendiri, sehingga mereka mampu menjaga dirinya dari „ujub. Barangsiapa senang terhadap
perbuatan baik manusia tidak senang terhadapnya. Barangsiapa memilih dirinya
sendiri maka kebaikan tidak akan memilihnya.
Azazil (nama asli Iblis) (Nashâih
al-Îbâd, halaman: 57) sangat dicintai makhluk. Sementara Allâh Swt. dan para
malaikat tidak menyukai Iblis. Karena Azazil atau Iblis menganggap dirinya lebih baik dari nabi Adam As.,
sehingga Iblis tidak disukai dan akhirnya mendapat laknat Allâh Swt.
Malaikat merupakan makhluk Allâh Swt. yang sangat menyukai
kebaikan sehingga anak Adam As. tidak menyukai kebaikan
.
Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan menyucikan Engkau?"
Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Pada ayat tersebut mirip ungkapan malaikat yang sangat
mencintai amal baik, sedangkan reaksi dari anak Adam adalah tidak menyukai para
malaikat. Sementara para malaikat pada saat mengungkapkan hal itu tidak
mempunyai sifat „ujub
(membanggakan)
terhadap diri sendiri.
Keduanya berkata:
"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Sehingga para malaikat disenangi
kebaikan, sebagaimana firman Allâh Swt:...Maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami
dapati padanya kemauan yang kuat.
Mulamatiyah juga dikenal dengan Mulamiyah, Mulamiyah adalah
orang yang tidak menampakkan sesuatu yang ada dalam batin terhadap lahirnya
akan tetapi mereka adalah bersungguh-sungguh dalam menyempurnakan keikhlasan,
dan mereka juga adalah pimpinan dan Imâm ahli thariqah (jalan menuju Allah) dan
juga pemimpin alam semesta, di antaranya adalah Nabi Muhammad saw. dan mereka
meletakkan sesuatu sesuai dengan ketetapan alam ghaib artinya mereka tidak
menyalai kehendak dan pengetahuan Allah, mereka tidak menafikan sebab musabab
terjadinya sesuatu kecuali pada peniadaan dan penetapan yang sesuai pada
tempatnya. Barang siapa yang meniadakan sebab musabab pada tempat yang
seharusnya ditetapkan maka dia termasuk orang-orang bodoh. Barangsiapa
berpedoman pada tempat penetapan dengan peniadaan maka dia termasuk
menyekutukan dan mengingkari. Wali mulamiyah merupakan orang yang masuk pada
kategori sabda Rasulullâh Saw.
(al-Ta‟rifât, halaman:
227, Jâmi‟ al-Karâmât al-Auliyâ‟, juz 1, halaman: 67).
Mu‟amalah Tharîqah
Malâmatiyah
1.
Malamah
Istiqamah Sirri:
Sâlik selalu menyendiri dalam amal ibadahnya, selalu
bersungguh-sungguh menjaga agamanya, dan hubungan muamalahnya. Sehingga para manusia
mencaci-maki sementara Sâlik ini tidak memperdulikan dan mengabaikan hinaan
tersebut.
Sâlik dalam tahap ini meniadakan sifat munafik dalam hati,
meninggalkan riya‟, tidak takut dihina makhluk, tetap berjalan pada
prinsip-prinsip tiap ahwal, sanjungan dan hinaan terasa
sama oleh Sâlik, (Kasyf al-Mahjûb, halaman: 261).
Diceritakan bahwa Syaikh Abû Thahir al-Harami pada suatu hari
menunggang keledai yang berjalan menuju ke arah pasar, salah satu muridnya
menghalau keledai tersebut dengan memegang tali kendalinya. Tiba-tiba ada
seorang laki-laki berteriak “ini (Abû Thahir al-Harami) adalah syaikh Zindiq, dan disahut oleh orang-orang
pasar yang lain”. Ketika mendengar teriakan ini, salahsatu murid ingin membalas
dengan melempari batu terhadap penghina tanpa kehendak gurunya. Lalu syaikh Abû
Thahir al-Harami berkata kepada muridnya: “Jika Engkau tetap diam aku akan
menunjukkan sesuatu kepadamu agar engkau bisa selamat dari cobaan ini.” Maka
muridpun diam. ketika keduanya kembali ke tempat pemondokannya, maka sang guru
berkata kepada muridnya: ambillah kotak itu dan keluarkan isinya berupa
beberapa surat, kemudian sang guru berkata kepada muridnya: Lihatlah!, Saya telah
memberikan surat ini kepada beberapa orang, dan masing-masing dari mereka
memberikan julukan yang berbeda diantaranya memberikan julukan syaikh seorang
pemimpin, dan yang lain memberikan julukan syaikh seorang yang cerdas, ada yang
memberikan julukan syaikh seorang yang zuhud, ada yang memberikan julukan
syaikh al-Haramain dan lain-lain, semuanya adalah laqab bukan sebuah nama. Semua itu
mengatakan dengan dasar keyakinan mereka masing-masing.
2.
Malamah
al-Qashd
Adapun seseorang yang menyengaja tharîqah Malâmatiyah,
meninggalkan pangkat dan kedudukan, meninggalkan bergaul dengan makhluk, maka
hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Amîrul Mukminîn Utsman Ibn Affan Ra.,
ketika beliau sedang berada di kebun kurma, beliau sedang memikul kayu
sedangkan beliau mempunyai 40 pembantu, lalu seorang pembantu berkata
kepadanya, ya Amîral Mukminîn apa yang baginda lakukan? Beliau menjawab: (saya
ingin melatih hati saya). Hal ini saya lakukan sampai saya bebas melakukan
apapun tanpa adanya halangan antara saya dan kedudukan saya. Hal inipun juga
dilakukan oleh Imam Abû Hanifah.
Kisah yang sama juga dikisahkan oleh Abu Yazid al-Busthami
ketika beliau hendak ke Madinah, semua orang keluar untuk menyambut dan
memuliakannya, dan ketika semua orang memberikan pujian kepadanya, maka
masuklah Abu Yazid al-Busthami ke pasar dan beliau mengeluarkan roti dari dalam
sakunya dan kemudian memakannya, dan kejadian ini berada pada bulan Ramadhan.
Maka kembalilah semua orang dan meninggalkan beliau sendirian.
3.
Malamah
al-Tark
Adapun orang yang tharîqahnya meninggalkan pangkat dan
kedudukan dan memilih sesuatu yang bertentangan dengan syari‟at, maka dia akan
mengatakan: saya adalah orang yang sedang masuk dalam tharîqah malamah,
pendapat ini adalah pendapat yang sesat, bahaya yang nyata dan benar-benar
gila. Sebagaimana pendapat mayoritas orang-orang pada zaman sekarang, adapun
yang dimaksud meninggalkan makhluk adalah menerima makhluk, karena kewajiban
seorang manusia pertama adalah diterima oleh makhluk kemudian berusaha untuk
menolaknya.
Adapun tharîqah ini disebar-luaskan oleh Hamdûn ibnu Ahmad
ibnu „Ammârah al-Qashshâr. Beliau berkata: (al-Malamah adalah meninggalkan
keselamatan). Ketika seseorang meninggalkan keselamatannya, maka dia akan
melakukan beberapa cobaan dan meninggalkan semua hal-hal yang disenanginya,
karena berangan–angan ingin menggapai keagungan Tuhan dan akhirat, sehingga dia
cuek dengan makhluk dan meninggalkannya. Semakin cuek dan meninggalkan makhluk,
maka semakin dekatlah dia kepada Tuhannya. Maka segala sesuatu yang diterima
oleh semua makhluk, itulah keselamatan, dan ini ditujukan kepada Ahlu malamah,
agar semua prasangka makhluk berbeda dengan prasangka Ahlu malamah dan
prasangka Ahlu malamah berbeda dengan prasangka para makhluk.
Hakikat mahabbah yang terindah adalah berada dalam tharîqah
malamah, karena caci makian seorang yang dicintai tidak memberikan dampak pada
yang dicintai, dan tidak membuat lari kekasih kecuali masuk ke wilayah
kekasihnya, tidak ada getaran jiwa selain kepada kekasihnya, karena tharîqah
Malâmatiyah merupakan taman orang-orang yang rindu pada kekasih.
Golongan ini khusus dicaci secara fisik karena keselamatan
hati. Derajat ini tidak bisa diperoleh oleh malaikat muqarrabîn karubiyyin
ruhaniyyin,
manusia (ahli zuhud, ahli ibadah) kecuali Sâlik tharîqah ini yaitu orang-orang
yang menjalankan tharîqah dengan memutus tali temalinya hati, (Kasyf al-Mahjûb,
halaman: 264-265)
.
Ketetapan Malâmatiyah
1. Tidak menampakkan dan tidak menyembunyikan kejelekan.
Artinya, Sâlik
Malâmatiyah
melakukan sesuatu dengan ikhlâs, melaksanakan sesuatu dengan kesungguhan hati
tidak suka menunjukkan amal (zhahir) dan hal (amal hati atau batin) kepada seseorang;
2. Sâlik
Malâmatiyah
berpegang teguh pada keikhlâsan, mereka memandang bahwa menyembunyikan ahwal (keadaan hati/batin)merasa
nikmat, jika sampai amal ahwal
mereka terlihat
oleh seseorang sehingga Sâlik merasa gelisah sebagaimana orang yang berbuat
maksiat merasa gelisah karena kemaksiatannya diketahui orang;
3. Sâlik
Malâmatiyah
lebih mengedepankan keikhlâsan, sementara para shufi menghilangkan keikhlâsan.
Abû Ya‟qub al-Susi berkata: “Ketika Sâlik Malâmatiyah menemukan
keikhlâsannya secara ikhlâs maka mereka butuh keikhlâsannya dengan ikhlâs”.
Sebagian „Ulama‟ berkata: “Ikhlâs yang benar adalah melupakan pandangan kepada
makhluk dengan terus menerus memandang kepada Allâh Swt. yang haq, sementara Sâlik Malâmatiyah memandang makhluk
sehingga dia menyamarkan amal dan halnya”.
Ja‟far al-Khâlidi bertanya kepada Imâm Junaid (Baghdad, w.
297 H/910 M.) tentang perbedaan ikhlâs dan shiddiq. Imâm Junaid berkata:
“Shiddiq adalah pokok dan permulaan, sementara ikhlâs adalah cabang dan yang
mengikuti, keduanya juga memiliki perbedaan karena ikhlâs tidak akan muncul
sebelum ada perbuatan”.
Imâm Junaid berkata : “Ikhlâs adalah kemurnian dan pemurnian,
dimana kemurniannya terbentuk dalam proses pemurnian itu”. Keadaan Sâlik Malâmatiyah berupa keikhlâsan
seperti ini, sedangkan proses pemurniannya merupakan keadaan para shufi dan
kemurnian yang terbentuk dari proses itu merupakan hasil.
Sâlik Malâmatiyah menyembunyikan
keadaan mereka untuk 2 hal:
1. Mewujudkan kejujuran dan keikhlâsannya;
2. Untuk menutupi keadaannya dari rasa cemburu orang lain.
Diceritakan dari Ibrâhîm bin Adham beliau berkata: “Aku
sampai di suatu desa bersamaan hujan yang lebat, angin musim dingin mengenaiku,
sehingga tambalan bajuku robek, kemudian aku sampai di masjid dan aku tidak
diperkenankan masuk ke dalam masjid itu, aku mencoba masuk kedua dan ketiga
kalinya sehingga aku lelah tak berdaya. Tiupan angin dingin hampir
membinasakanku kemudian aku masuk ke pemandian, aku mengeringkan pakaianku di
atas api, sampai-sampai asap api mengenai pakaian dan wajahku, keadaan itu
sampai tengah malam”.
Ibrâhîm bin Adham adalah salah satu `ulama‟ besar pada
zamannya yang dalam perjalanannya kehujanan, beliau mencari tempat berteduh di
masjid, dan oleh petugas masjid sampai tiga kali. Ibrâhîm bin Adham tidak marah
dan mencari tempat lain untuk berteduh, (Kasyf al-Mahjûb, halaman: 264-265).
Dzikir Tharîqah Malâmatiyah
Dalam tharîqah Malâmatiyah dzikir dibagi menjadi 4 macam:
1. Dzikir Lisan: dilaksanakan Sâlik dengan menggunakan lisan
sementara hatinya lupa, Sâlik masih mengharapkan pahala atau ingin mencapai
maqâm-maqâm tertentu dan ingin diterima di kalangan tertentu. Ini adalah dzikir
Sâlik umum;
2. Dzikir Qalb
(hati): setelah Sâlik bisa melaksanakan dzikir lisan
dengan baik, selanjutnya Sâlik
menghentikan
dzikir lisan dan beralih melaksanakan dzikir qalb (hati).
Sâlik pada tahap ini menghitung
kenikmatan-kenikmatan yang diterima sementara dia lupa terhadap dzat pemberi
nikmat, sibuk memperhatikan karunia lupa terhadap pemberi karunia, ingin
mendapat pahala, merasa sudah mencapai maqâm-maqâm tertentu. Ini adalah bentuk
terendah dari kedudukan terendah dan paling jauh. Munculnya keinginan batin
yang memandang pada tujuan sebagai pertimbangan perwujudan awal;
3. Dzikir Sirri: setelah Sâlik melaksanakan
dzikir lisan dan qalb lalu Sâlik
menghentikan
kedua dzikir tersebut dan beralih melakukan dzikir sirri.
Kendala yang ada pada dzikir sirri adalah terpautnya pengaruh dzikir
qalb.
Dzikir sirri
adalah dzikir
keagungan, disebut juga Haibah atau dzikir sifat, ini mulai dirasakan Sâlik
sebagai pendekatan (Taqarrub). Dzikir ini menimbulkan rasa takut, tunduk dan
khawatir. Timbulnya rasa khawatir (Haibah), rasa wujud dan ini kebalikan Fana‟;
4. Dzikir Ruh: setelah Sâlik bisa melaksanakan dzikir lisan, qalb dan sirri lalu Sâlik menghentikan ketiga dzikir
tersebut dan berganti dengan dzikir ruh. Kendala awal yang dialami oleh Sâlik
pada dzikir ruh adalah munculnya dzikir sirri terhadap ruh. Ini adalah dzikir musyahadah,
(Majmû‟ah al-Rasâil al-Imâm al-Ghazâli fi Raudhah
al-Thâlibîn, halaman: 104-105).
Secara muamalah tharîqah Mulamatiyah menghilangkan kedudukan
di dalam hati makhluk dengan cara melakukan sesuatu yang menjadi bahan makian
makhluk sehingga hilanglah kedudukan Sâlik Malâmatiyah di dalam hati manusia. Sâlik Malâmatiyah memishakan diri dari
kerumunan kehidupan manusia untuk dapat diterima di hadapan Allâh Swt. Merasa
tenang dengan menyembunyikan jati diri dan ditolak oleh manusia umum dan
diterima oleh Allâh Swt.
Diceritakan bahwa sebagian para raja bermaksud menemui ahli
zuhud, ketika raja itu sudah dekat, zâhid (orang zuhud) itu meminta makanan dan
minuman yang banyak. Dia (zâhid) makan dengan suapan yang besar. Raja yang
melihat tingkah zâhid tersebut lalu memalingkan wajah dan pergi. Sang zâhid
berkata: ”Alhamdulillah segala puji bagi dzat yang telah memalingkanmu dariku”.
Untuk menghindari kemuliaan yang diberikan oleh raja atau
pemimpin negara, sebagian dari zâhid (bahkan) ada yang meminum-minuman halal
yang dimasukkan ke dalam botol khamr (minuman keras). Sehingga para pejabat
menyangka bahwa zâhid itu minum khamr, (Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman:
255).
dikutip :Judul buku: Sabilus Salikin 30 Thariqah
Penyusun: Santri Pondok Pesantren Ngalah
Jumlah halaman:880
Tahun terbit: 2013 sumber: http://www.http://galakgampil.ngalah.net
dikutip :Judul buku: Sabilus Salikin 30 Thariqah
Penyusun: Santri Pondok Pesantren Ngalah
Jumlah halaman:880
Tahun terbit: 2013 sumber: http://www.http://galakgampil.ngalah.net