SELAMAT DATANG Para Pencari Cinta Sejati,Tanpa Membenci,Tanpa Menyalahkan,Tanpa Kesombongan,Tanpa Membedakan,Semoga Engkau Mendapat Rahmat Alloh~Raden Bagus Langlang Jagat

road to sufi

road to sufi

Saturday, January 21, 2017

30 Thariqah-(4) Tharîqah Ghazâliyah


30 Thariqah-(4) Tharîqah Ghazâliyah

Tharîqah Ghazâliyah dinisbatkan kepada Abu Hamid Muhammad aL-Ghazâli (lahir 450 H./ 1111 M.) Mujaddid abad V. Ghazâliyah merupakan tharîqah yang terbesar di abad V H. dari kelompok Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‟ah. Tharîqah ini menyerap kelebihan-kelebihan dari tharîqah yang mendahuluinya serta memberikan corak yang jelas terhadap tharîqah-tharîqah yang datang setelah abad V sampai sekarang, (al-Adab al-Shufî fi al-Maghrab wa al-Andalus, halaman: 52).

Hamid Muhammad aL-Ghazâli dilahirkan di kota Tunis salah satu kota di Khurasan (450 H./ 1111 M). Orang tuanya seorang pedagang yang bertaqwa, memiliki toko yang menjual hasil tenunan sendiri di kota Khurasan. Orang tuanya sering menghadiri majlis Fuqahâ‟, majlis Wu‟azh (nasihat) untuk mengikuti pengajian, dan selesai pengajian selalu berdo‟a agar diberi anak yang ahli fiqih dan ahli nasihat.
Kesungguhan orang tua Imam Ghazâli berbuah manis yaitu diberi rizki oleh Allâh Swt. dua orang anak laki-laki;
1) bernama Ahmad (Abu Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad al-Thusi al-Ghazâli, yang dijuluki sebagai mujtahid madzhab syafi‟i, Beliau terkenal sebagai penasihat yang tampan wajahnya, pemilik beberapa Karamah dan ahli memberikan Isyarat, beliau menggantikan saudaranya (Imam Ghazâli) mengajar ketika Imam Ghazâli meninggalkan di Nidhamiyah karena melaksanakan zuhud. Beliau meninggal tahun 520 H di Baqzawin. (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, Indonesia: al-Haramain, halaman: 8), dan
2) Muhammad (Imam Ghazâli yang menjadi mujtahid madzhab Syafi‟i), (Muhammad abu Yazid al-Mahdi, A‟lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 383 dan al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, Indonesia: al-Haramain, halaman: 8).

Imam al-Ghazâli memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fiqih dan al-Qur‟an dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Radzakani di kota Thusi, kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr al-Isma‟ili dan menulis buku al-Ta‟liqât. Kemudian pulang ke Thusi, (al-Subki, Thabaqât al-Syafi‟iyah, juz 6, halaman: 195. dan Muhammad abu yazid al-Mahdi, A‟lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 383. dan al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, Indonesia: al-Haramain, halaman: 8. dan Insklopedi Islâm, jilid 2, Jakarta: 1993, halaman: 25)

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain al-Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fiqih mazhab Syafi‟i dan fiqih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang berbeda pendapat dengannya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu al-Juwaini.
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazâli ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para `ulamâ‟ dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H., beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah an-Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun, di sinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal dan mencapai kedudukan yang sangat tinggi, pengajian Imam Ghazâli dihadiri 300 `Ulamâ‟, 100 pimpinan pemerintah Baghdad, penduduk kota Baghdad heran dan mengagungkan Imam Ghazâli, sehingga Imam Ghazâli menjadi `Ulamâ‟ dalam berbagai bidang keilmuan yang sangat berpengaruh di kota Baghdad dan Khurasan, dan dia menjadi tokoh `ulamâ‟ terkemuka di zamannya baik dalam bidang keilmuan, pemikiran, (Muhammad abu Yazid al-Mahdi, A‟lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 385).

Setelah kemasyhuran diperoleh, maka datanglah ujian dan cobaan dari Allâh Swt. berupa keragu-raguan yang mendalam. Beliau meragukan kebenaran yang ditangkap oleh panca indera dan akalnya, beliau berusaha mengobati dengan potensi keilmuan dan akalnya, tapi tidak sembuh bahkan menjadi semakian kuat keraguannya, dalam hatinya terserang oleh badai dalih yang tidak terselamatkan, kecuali dengan pertolongan al-Ilahiyyah, penyakit ini berlangsung dua bulan, sampai Allâh Swt. memberi kesembuhan dengan Nur Ilahi yang dipancarkan ke hatinya, dan Nur Ilahi itu menjadi kunci pokok beberapa pengetahuan.
Imam Ghazâli mengomentari tentang kesembuhannya, “Barang siapa yang menyangka keterbukanya hati hanya dengan sebuah dalil, maka dia mempersempit Rahmad Allâh Swt., padahal Rahmad Allâh Swt. sangat luas”. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw.
Maka Nabi Saw. Menjawab: “Pembuka itu adalah Nur yang ditancapkan kedalam hati”, sedangkan tanda-tandanya adalah; menjauh dari tipu daya dunia dan kembali ke kehidupan akhirat.

Dan akhirnya Imam Ghazâli keluar dari gelapnya keraguan menuju ke cahaya keyakinan dan tenggelam dalam cahaya Ilahi selamanya.
Kemudian Imam Ghazâli pindah menuju negara Syam dan menetap selama dua tahun, dan beliau melakukan `uzlah, khalwat, riyadhah, mujahadah dan membersihkan hati dengan memperbanyak dzikir kepada Allâh Swt.
Kemudian Beliau bertempat di menara masjid Damaskus, dan menutup pintunya agar beliau bisa menyepi dengan Tuhannya, menutup pintu hatinya untuk melaksanakan dzikir dan bertasbih dengan ruh di alam malakut bersama dengan Allâh Swt. Kejadian itu terjadi selama perjalanan ke Baitul Muqaddas, setiap hari masuk di kubah batu dan menutup pintu kubah agar bisa beribadah, munajat, tafakkur, musyahadah dan menghabiskan waktunya untuk Allâh Swt. pada kondisi seperti itu Imam Ghazâli mengarang kitab Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn.

Imam Nawawi mengomentari Kitab Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn bahwa Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn hampir-hampir seperti al-Qur‟an. Syaikh Abu Hasan al-Syadzili memerintahkan kepada murid-muridnya untuk membaca kitab Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, dan beliau berkata, “kitab Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn bisa memberimu keilmuan”, (Muhammad abu Yazid al-Mahdi, A‟lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 387-389).

Karya-karya Imam Ghazâli :

1). Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, 2). Tahâfat al-Falâsafah, 3. al-Iqtishâd fi al-I‟tiqâd, 4. al-Munqidz min al-Dhalâl, 5. Jawâhir al-Qur‟an, 6. Mîzân al-„Amal, 7. al-Muqshid al-Usna fi Mâ‟anî Asma‟ Allâh al-Husna, 8. Faishal al-Tafarruqah baina al-Islâmi wa al-Zindiqah, 9. al-Qisthâs al-Mustaqîm, 10. al-Mustadzharâ, 11. Hujjah al-Haq, 12. Mufshil al-Khilâf fi Ushûl al-Dîn, 13. Kîmiyâ‟ al-Sa‟âdah, 14. al-Basîth, 15. al-Wasîth, 16. al-Wajîz, 17. Khulâshah al-Mukhtashar, 18. Yâqut al-Ta‟wîl fi Tafsîr al-Tanzîl, 19. al-Mustashfa, 20. al-Mankhûl, 21. al-Muntahil fi „Ilmi al-Jadal, 22. Mi‟yâr al-„Ilmi, 23. al-Maqâshid, 24. al-Madhnûn bih „ala Ghairi Ahlih, 25. Misykât al-Anwâr, 26. Mahk al-Nadzor, 27. Asrâru „Ilmi al-Dîn, 28. Minhâj al-„âbidîn, 29. al-Darar al-Fâkhirah fi Kasyf „Ulûmi al-Akhirah, 30. al-Anîs fi al-Wahdah, 31. al-Qurbah ila Allâh „Azza Wajalla, 32. Akhlâq al-Abrâr wa al-Najâh min al-Asyrâr, 33. Bidâyah al-Hidâyah, 34. al-Arba‟în fi Ushûl al-Dîn, 35. al-Dzarî‟ah ila Makârim as-Syarî‟ah, 36. al-Mabâdi‟ wa al-Ghâyât, 37. Talbîs Iblîs, 38. Nashihah al-Mulûk, 39. Syifâ‟ al-„Alîl fi al-Qiyâsi wa al-Ta‟lîl, 40. Iljâm al-„Awâm „an „Ilm al-Kalâm, 41. al-Intishâr, 42. al-„Ulûm al-Dunniyyah, 43. al-Risâlah al-Qudsiyyah, 44. Itsbât al-Nadzor, 45. al-Ma‟khat, 46. al-Qaul al-Jamîl fi al-Radd „ala min Ghairi
al-Injîl, 47. al-Amâlî, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, Indonesia: al-Haramain. Halaman: 23).
Dasar-Dasar Tharîqah Ghazâliyah

Dasar-dasar Tharîqah Ghazâliyah terkumpul dalam istilah al-Qawaid al-„Asyrah, (al-Ghazâli: Majmu‟ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, Dâr al-Fikr: 1996, halaman: 430-432).

1. Niat yang sungguh-sungguh

2. Beramal karena Allâh Swt. tanpa menyekutukan Allâh Swt. dan persekutuan,
Tanda-tandanya adalah;
a. Sâlik tidak menyukai amal yang tidak benar
b. Sâlik memutuskan segala sesuatu selain Allâh Swt., sehingga Sâlik menjauhi makhluk
c. Hendaklah Sâlik meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya merasa aman dari Allâh Swt.
Rasûlullâh Saw. Bersabda: ”Sebagai salahsatu kebaikan Islâm seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berfaidah baginya”
Jika ketiga pokok ini sudah nyata, maka cabang yang tumbuh akan membuahkan dekat kepada Alloh, maka Sâlik hidup di dunia bermakna akhirat

3. Selaras, sesuai dengan kebenaran secara zhahir bathin, tidak menuruti dorongan nafsu, menjauhkan nafsu dari kesenangannya.
Hal itu dilakukan dengan penuh kesabaran dan meniggalkan kesenangan, sesuatu yang lezat, tempat yang indah dan perselisihan yang didorong oleh nafsu. Barangsiapa membiasakan diri dengan hal ini, maka dia dikeluarkan dari hijab (nafsu) lalu masuk ke terbukanya hijab, tidurnya menjadi terjaga dari percampuran dengan mahluk menjadi uzlah bagi Sâlik, dari kenyang menjadi lapar, dari mengaggap diri mulia menjadi hina, dari berbicara menjadi diam, dari mengambil yang banyak menjadi sedikit.

4. Beramal dengan mengikuti nabi Muhammad Saw.
dengan tujuan Sâlik bukan termasuk orang yang mengikuti dorongan kesenangan, tidak ada pandangan kemegahan pada diri Sâlik, karena orang yang sengaja melakukan amal perbuatan wali itu tidak beruntung.

5. Tidak menunda-nunda keinginan yang luhur untuk melakukan amal kebaikan karena menundanya menjadi penyebab kerusakan.

Imam Ghazâli berkata: Jangan meniggalkan amalmu hari ini untuk dilakukan hari esok. Karena amal-amal perbuatan tersusun dari sebagian amal yang lain”. Jika tidak demikian maka Sâlik masuk pada ungkapan: Barangsiapa yang rela dengan sesuatu yang rendah maka dia terhalang mendapat sesuatu yang lebih tinggi. Sâlik yang kamil adalah Sâlik yang mengikuti sunnah Rasûlullâh Saw., bukan orang yang membuat aturan sendiri, bukan orang yang keluar dari aturan atau ahli bid‟ah.

6. Sâlik harus merasa lemah dan hina.
Bukan berarti malas melaksanakan taat dan meniggalkan bersungguh-sungguh tapi bermakna lemah melakukan sesuatu kecuali atas kekuasaan Allâh Swt. yang Maha Pemberi, dan Sâlik memandang mahluk dengan pandangan penuh kewibawaan dan kemuliaan.
Karena sebagian mahluk bisa menjadi lantaran (Wasithah) bagi sebagian yang lain untuk dapat memandang keagungan Allâh Swt.
Karena berdasarkan kebiasaan-kebiasaan Allâh Swt. (Sunnatullâh) tatkala Allâh Swt. menghendaki sesuatu maka Allâh Swt. menetapkan lantaran (wasithah). Jika Allâh Swt. menghendaki menunjukkan keagungan-Nya maka Allâh Swt. menyandarkannya pada selain Allâh Swt. dengan tujuan menjaga kaidah ketertiban.

Ketika engkau mengetahui bahwa segala sesuatu itu berada dalam kekuasaan Allâh Swt. dan kembali pada-Nya lalu engkau merasa sombong, maka engkau telah sombong terhadap-Nya, kecuali dengan sesuatu yang menjadikan engkau sampai kepada-Nya. Maka jadikanlah kelemahanmu dalam kekuasaan Allâh Swt. Jadikan tempatmu sebagai alasan untuk sampai kepada-Nya. Kekuasaanmu (pada saat ini) tidak terbentuk karena telah tercabut dalam proses pembentukan.

7. Khauf dan Raja‟ secara ma‟nawi.
Tidak ada ketenangan dalam keagungan Ihsan, kecuali telah ada kenyataannya. Dalam hal ini ada tuntutan khusnuzhan (perasangka baik)mu dengan sifat murah hati yang baik.

8. Terus-menerus memiliki hak-hak baik hak Allâh Swt. atau hak hamba.
Karena barangsiapa tidak berusaha memenuhi hak, maka harta bendanya bersumber dari pertolongan. Orang yang berusaha terus menerus akan merasa bosan lalu melepaskan kebosanannya itu. Berbeda dengan orang yang menghilangkan (kepemilikan) amal perbuatan dan ucapannya (ikhlâs).
Karena nafsu menyebar sifat bosan baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Nafsu juga menjaga hak-hak hamba sebagaimana perbuatan makhluk ada yang baik dan buruk.
Maka reaksi nafsu Sâlik timbul cinta (ketika baik), timbul benci (ketika perbuatan jelek) dengan apa yang disenangi oleh nafsu akan dicintai dan apa yang dibenci oleh nafsu akan dibenci Sâlik.

9. Melanggengkan murâqabah kepada Allâh Swt. Hati Sâlik tidak lupa kepada Allâh Swt. walaupun sekejap mata.
Barangsiapa hatinya bisa bermurâqabah terus menerus kepada Allâh Swt. maka selainnya akan hilang, lalu Sâlik akan menemukan Allâh Swt. dan kebaikannya. Dengan seperti itu ilmu al-Yaqîn bisa engkau dapatkan yaitu engkau menyaksikan beberapa gerakan, diam suatu benda digerakkan dan didiamkan oleh Allâh Swt.
Kemudian engkau menambah murâqabahmu hingga engkau naik pada ilmu al-Yaqîn dan itu adalah hakikat yakin.

Hakikat muroqobah adalah melirik pada dzat yang mengawasi dengan mengalihkan perhatian kepada-Nya. Muroqobah merupakan keadaan hati yang bisa menjadi buah dari kema‟rifatan, amal dhohir dan amal hati (Batin). Sementara keadaan hati bisa timbul dengan menjaga hati terhadap dzat yang mengawasi, sibuk dengan-Nya, menoleh, melirik, memperhatikan kepada-Nya. Adapun ma‟rifat yang menjadikan buah pada keadaan ini (menjaga hati) adalah adanya guru karena Allâh melihat terhadap perasaan/suara hati, mengetahui terhadap rahasia yang tersimpan, mengawasi terhadap perbuatan hamba, melaksanakan perbuatan yang dilakukan oleh diri manusia.

Sesungguhnya rahasia hati pada hakikatnya terbuka sebagaimana dzohirnya kulit yang ada pada makhluk juga terbuka akan tetapi terbukanya hati lebih kuat. Sehingga ma‟rifat ini ketika menjadi yaqin akan mengurangi keraguan, kemudian ma‟rifat akan menguasai dan memaksa hati, terkadang salik diberi pengetahuan tentang sesuatu yang tidak ada keraguan-keraguan, sehingga salik tidak bisa mengontrol hatinya seperti, salik mengetahui tentang kematian. Ketika ma‟rifat menguasai hati maka hati akan melaksanakan penjagaan pada sisi pengawasan dan ma‟rifat memalingkan angan-angannya hanya kepada Allâh Swt.

Muroqobah dibagi menjadi 2 tingkatan:
1. Muroqobah al-Muqorrobîn, yang dilakukan oleh Shiddiqîn (orang-orang yang memiliki kejujuran dan di akhirat di bawah bendera Abu Bakar al-Shiddiq r.a) adalah muroqobah keagungan dan kemuliaan.
2. Muroqobah al-Waro‟în, yang dilakukan oleh Ashhab al-Yamîn (orang-orang yang bisa mengendalikan lahir, batin dan hati untuk bisa secara yakin memperhatikan Allâh Swt). Adalah melirik pada keagungan, hatinya masih tetap pada batas i‟tidal (lurus) tetap berusaha menoleh pada keadaan dan perbuatan, (Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 4, halaman: 346-347).

10. Sâlik harus mengetahui sesuatu yang wajib bagi Sâlik untuk menyibukkan diri baik secara zhohir dan bathin dengan sungguh-sungguh, karena orang yang merugi dan bodoh.

Syarat-syarat Menjadi Sâlik

Kewajiban Sâlik dan orang yang menginginkan menjalankan tharîqah (murid) untuk menuju kepada Allâh Swt., (Muhammad Amin: Khulashah al-Tashawif fi al-Tashawwuf fi Majmû‟ah Rasâil lil Imam al-Ghazâli, Dâr al-Fikr: 1996. Halaman: 170-171). adalah sebagai berikut:

1. Harus beri‟tiqad yang benar,
2. Taubat nashuha,
3. Meminta maaf dan kerelaan musuhnya sehingga tidak ada hak-hak makhluk yang menjadi tanggungan Sâlik,
4. Belajar ilmu syari‟at menurut kadar, dengan ilmu itu bisa menjalankan perintah Allâh Swt. dan menjauhi larangan Allâh Swt., hukumnya tidak wajib mempelajari selain itu. Adapun mempelajari selain ilmu syari‟at cukup dengan kadar keselamatannya. Seperti yang di lakukan Imam Syibli, beliau berkata: “Aku telah belajar dan berkhidmat kepada 400 orang guru, Aku mempelajari 4000 hadits dari mereka, lalu aku memikirkan dan mendalami hadits itu karena aku melihat keselamatanku ketika mengamalkannya, aku juga melihat bahwa orang-orang dahulu dan orang-orang akhir semuanya masuk dalam kategori hadits

Perjalanan Sâlik dalam Menempuh Tharîqah Berputar dalam 3 Pokok:

1. Khauf (takut kepada Allâh Swt.)
sumber takut kepada Allâh Swt. berasal dari cabang ilmu, tanda tanda khauf adalah Sâlik berlari menuju Allâh Swt.

2. Raja‟ (berharap hanya kepada Allâh Swt),
yang merupakan cabang dari keyaqinan dan tanda-tanda Sâlik yang menempati maqâm raja‟ adalah mencari kepada yang diyakini (Allâh Swt).

3. Cinta,
merupakan cabang dari ma‟rifat, dan tanda-tanda Sâlik yang menempati maqâm cinta adalah mendahulukan terhadap yang dicinta (Allâh Swt.) dari pada dirinya, keluarga, harta, kedudukan dan lain-lain,
jika cahaya (nûr) ma‟rifat sudah terpancar dari hati Sâlik maka Sâlik akan meninggalkan kegelapan maksiat anggota tubuh.
Jika Sâlik dapat keluar dari jeratan kematian maka Sâlik bersyukur kepada Allâh Swt. atas pertolongan dan perlindungan-Nya, Sâlik selalu berusaha mengembalikan segala sesuatu kepada Allâh Swt. karena tidak ada tempat yang patut untuk dijadikan tempat mengungsi dari semua keadaan selain Allâh Swt.,
Sâlik selalu berdo‟a kepada Allâh Swt. minta dizhahirnya dibersihkan dari semua dosa, bathinnya dibersihkan dari cela, dihilangkan kealpaan dari-Nya, dipadamkan syahwat nafsu yang digambarkan sebagai api, istiqamah dalam menjalankan tharîqah.
Karena cahaya siang sebagai tanda akhirat, dunia digambarkan sebagai malam yang gelap, tidur sama dengan mati, (Minhaju al-Arifin, dalam kitab Majmû‟ah al-Rasâil al-Imam al-Ghazâli, halaman: 213).

Imam Ghazâli Memberikan Peringatan kepada Sâlik tentang Perubahan-perubahan Hati Sâlik yang Terbagi 4 Macam

1. Raf‟un: hati Sâlik terangkat dengan melakukan dzikir kepada Allâh Swt. Tanda-tanda terangkatnya hati Sâlik dengan 3 hal :
a). perilaku Sâlik sesuai dengan aturan syari‟at, tharîqah dan hakikat yang telah diatur oleh Allâh Swt. melalui Rasûlullâh Saw. dan para syaikh (mursyid),
b). tidak melanggar aturan,
c). selalu rindu kepada Allâh Swt.

2. Fath: terbukanya hati Sâlik dengan ridha kepada Allâh Swt. Tanda-tanda terbukanya hati Sâlik ada 3 hal :   a). tawakkal,   b). jujur    c). yaqin

3. Khafdh: hancurnya hati Sâlik dengan sibuk terhadap selain Allâh Swt.Tanda-tanda pecahnya hati Sâlik ada 3 hal :    a). „ujub,    b). riya‟,    c). cinta dunia.
4. Waqaf: hati Sâlik berhenti (mati) dengan lupa kepada Allâh Swt. Tanda-tanda hati Sâlik yang mati ada 3 hal:
a). hilangnya kenikmatan taat,
b). tiadanya rasa pahit ketika melakukan maksiat,
c). mencampur barang halal.

Pesan-pesan Imam Ghazâli tentang Dzikir
Jadikan hatimu sebagai kiblat lisan, rasakanlah kehidupan ibadah dan kewibawaan sifat ketuhanan ketika melakukan dzikir, ketahuilah bahwa Allâh Swt. mengetahui rahasia-rahasia hatimu, perbuatan zhahirmu dan mendengar ucapanmu. Maka basuhlah hatimu dengan kesusahan dan hidupkanlah cahaya takut kepada Allâh Swt. Ketika hijab kealpaan hilang di hatinya, maka keberadaan dzikirmu bersama dengan Allâh Swt. serta Allâh Swt. menyebut namamu dalam dzat-Nya.

Allâh Swt. berfiman dalam surat al-„Ankabut: 45
…….Karena Allâh Swt. tidak membutuhkan dzikirmu sementara engkau membutuhkan dzikir kepada Allâh Swt…….

Dzikir dibagi menjadi 2 :
a). dzikir yang murni dengan yang sesuai dengan karakter hati (selalu tertarik dengan tarikan-tarikan Ilahi) dalam hal menghilangkan pandangan hati Sâlik terhadap selain Allâh Swt.,
b.) dzikir yang bersih dengan hilangnya tujuan dzikir (Sâlik berdzikir tidak merasa berdzikir), (Minhaju al-`Arifin dalam kitab Majmu‟ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 214).

Tharîqah ini didirikan oleh al-Ghazâli, seorang shufi, ahli kalam dan ahli filsafat Islâm, karena itu ajaran tashawwufnya sangat moderat dan jauh dari penyimpangan.
Menurutnya, tashawwufnya terdiri dari dua hal: tulus kepada Allâh Swt. dan berbuat baik terhadap manusia adalah shufi, Tulus kepada Allâh Swt. berarti seorang hamba harus mengesampingkan kecenderungan dirinya demi perintah Allâh Swt.
Menurutnya, Tharîqah harus menjalankan dua hal; Melanggengkan dzikir kepada Allâh Swt. dan meninggalkan suatu perkara yang dapat melupakan Allâh Swt. Ini merupakan perjalanan kepada Allâh Swt., bukan pergerakan musafir dalam perjalannya musafir dan bukan perjalanan musafir itu sendiri, tapi kedua menggambungkan keduanya, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, Indonesia: al-Haramain. Halaman: 6).
Berbuat baik terhadap sesama berarti tidak mendahulukan kepentingan di atas kepentingan orang banyak, selama kepentingan mereka tidak bertentangan dengan syara‟, karena barang siapa rela terhadap penyimpangan syara‟, dia bukan seorang shufi. Andaikata mengaku sebagai shufi, itu adalah kebohongan.

Syarat-syarat Masuk Tharîqah Ghazâliyah

Sâlik harus memenuhi beberapa syarat sebelum memasuki tharîqah, menurut al-Ghazâli memerlukan beberapa syarat yang tidak mudah diantaranya:
1. Mengedepankan ilmu dari pada ibadah
Dalam pandangan ilmu al-Ghazâli, mendahulukan ilmu dari pada ibadah menjadi wajib, karena dua hal;

pertama, agar ibadah menjadi sah dan diterima, Kedua, ilmu yang bermanfaat menghasilkan ketakutan dan ketundukan dalam hati kepada Allâh Swt..
Dan hal itu akan mendatangkan ketaatan dan mencegah ma`siat dengan pertolongan dan petunjuk Allâh Swt. Dibalik dua hal ini tidak menyimpan suatu maksud dalam melaksanakan ibadah kepada Allâh Swt. Karena itu, ilmu yang manfaat harus dimiliki seorang shufi, karena itulah masih terdapat prasyarat lain; Pertama, untuk beribadah seorang harus mengetahui sembahannya. Bagaimana menyembah sesuatu yang tidak diketahui keberadaan-Nya dan sifat-sifat-Nya serta apa yang wajib dan yang mustahil bagi-Nya. Barangkali seseorang meyakini sesuatu dalam sifat-sifat-Nya yang menyimpang dari kebenaran, maka ibadah itu laksana debu yang tercerai berai.

Kedua, seseorang harus mengerti apa yang menjadi kewajiban dan apa yang harus ditinggalkan menurut syara‟.
Dari uraian ini, al-Ghazâli melihat bahwa ilmu yang harus dikuasai seseorang pelaku tharîqah ada tiga macam:
a. Ilmu tauhid. Batasan minimal yang harus dikuasai Sâlik adalah apa yang dikenal sebagai ilmu dasar-dasar Agama dan kaidah-kaidah dalam ber-akidah.
b. Ilmu sirr (rahasia). Yaitu ilmu yang berhubungan dengan hati.
c. Ilmu adat yang terlihat. Yaitu ilmu yang berhubungan dengan anggota tubuh, badan dan harta.

Setelah Allâh memberikan pengetahuan kepada apa yang wajib diketahui, apa yang wajib dijalani serta apa yang harus ditinggalkan, seorang murid barulah diperkenankan menghadap Imam/ Syaikh, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, Indonesia: al-Haramain, halaman: 14).

2. Mengedepankan kesungguhan, menghapus sifat tercela, memutuskan seluruh ikatan dan tulus kepada Allâh Swt.
Menurut al-Ghazâli, tharîqah adalah mengedepankan kesungguhan, menghapus sifat tercela, memutuskan semua ikatan dan tulus dengan subtansi cita-cita. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama-tama ia menyendiri dalam zawiyah berkonsentrasi dengan ibadah-ibadah, baik yang fardhu maupun rawatib, dan duduk dengan hati yang hanya dipenuhi keinginan berdzikir kepada Allâh Swt. Kemudian mengulang-ulang sebutan “Allâh” dengan lisannya secara menghadirkan segenap hati dan perasaannya sampai pada suatu kondisi tertentu. Kondisi dimana seandainya gerakan lisan telah berhenti dan beralih menuju alam pikiran, terlihat seakan-akan lafadz itu tetap terucap dari lidahnya karena seringnya pengulangan.

Kondisi ini berlangsung sampai pengaruh lisan benar-benar hilang disusul oleh gerakan batin dan hati secara terus-menerus. Setelah itu barulah yang tertinggal dalam hati hanya sebatas makanan yang dimaksud, tidak lagi mengindahkan huruf-huruf dan struktur-struktur kalimat. Seorang murid hanya berikhtiar sampai batas ini. Setelah itu hanya berkewajiban menjaga diri dari rasa was-was yang bisa mengganggu konsentrasinya. Jika semua ini telah dilewati, ia tinggal menanti apa yang akan muncul padanya, sebagaimana terjadi pada para wali. Dan itu adalah sebagian dari yang dialami para Nabi.

Simâ‟ dan Adabnya

Derajat pertama dalam simâ‟ yaitu faham pada sesuatu yang didengar dan bisa menangkap ma‟na sesuatu yang didengar oleh pendengar, kemudian pemahaman tersebut membuahkan al-wajdu (keadaan hati), al-wajdu bisa menggerakan anggota tubuh lahir tanpa pertimbangan, hal ini disebut al-Idlthirâb, adapun gerakan yang menggunakan pertimbangan disebut dengan al-roqsh (menari dengan gerakan teratur) dan al-Tashfîq (menari sambil tepuk tangan).

Simâ‟ bagi salik bisa menghasilkan keadaan jiwa bermuamalah kepada Allâh, merubah keadaan salik dari keadaan (hâl) satu ke keadaan (hâl) lainnya karena tidak ada tujuan bagi murid kecuali ma‟rifat, wushûl kepada Allâh dengan cara musyâhadah secara sirri dan membuka tutup hati, hal-hal yang terjadi ketika salik simâ‟, adakalanya salik mencela dirinya sendiri atau menerima percakapan atau menerima sesuatu, atau menolak atau wushûl atau diam atau mendekat atau menjauh atau rindu kepada penantian atau rindu pada yang akan terjadi atau muncul harapan atau putus asa atau galau/kesediahan atau merasa tentram atau bisa menerima janji dst, (Ihya‟ „Ulûm al-dîn, juz 2, hlm. 257).
Adab simâ‟, Salik harus mengikuti aturan ilmu tentang ma‟rifat kepada Allâh dan sifat-Nya jika tidak maka simâ‟ bisa berakibat buruk pada salik.

Melanggengkan Dzikir, Pikir dan Wirid

Tharîqah Ghazâliyah memiliki perhatian besar terhadap dzikir, fikir dan wirid. Dengan dzikir terus-menerus akan melahirkan rasa cinta (mahabbah), dan dengan fikir yang tidak terputus akan mencapai ma‟rifat.
Tharîqah Ghazâliyah berusaha mengantarkan murid menuju ma‟rifat dan mahabbah kepada Allâh Swt. selama di dunia. Seorang hamba jika telah mencintai Allâh Swt. selama di dunia, dia akan meninggalkan dunia ini dengan kecintaannya kepada-Nya.
Demikian pula jika telah mencapai ma‟rifat kepada Allâh Swt. di dunia, ia akan mati dalam keadaan ma‟rifat kepada-Nya. Jika seorang hamba mati dalam keadaan ma‟rifat dan mahabbah kepada Allâh Swt., jalan untuk menuju pertemuan dengan Allâh Swt. di akhirat akan terhampar di hadapannya. Jika telah bertemu Allâh Swt. di akhirat, maka ia telah selamat.
Al-Ghazâli berkata: “Tidak ada keberuntungan selain bertemu kepada Allâh Swt. Dan tidak ada jalan untuk bertemu dengan-Nya, kecuali mati dalam keadaan ma‟rifat dan mahabbah kepada-Nya. Mahabbah tidak akan tercapai tanpa membiasakan dzikir kepada kekasih. Dan ma‟rifat kepada-Nya tidak akan tercapai tanpa berfikir tentang sifat-sifat-Nya. Tidak ada eksistensi selain Allâh Swt. dan perbuatan-Nya. Tidak mudah untuk dapat berdzikir dan berfikir sebelum meninggalkan hal-hal keduniaan, kecuali sebatas keperluan dharuratnya. Semua itu tidak akan tercapai secara sempurna tanpa menyita waktu siang-malam dengan kegiatan dzikir dan fikir.
Dengan dasar ini al-Ghazâli menyusun wirid-wirid untuk siang dan malam yang bertujuan mensucikan hati, membersihkan dan menghiasinya dengan dzikir kepada Allâh Swt. dan perasaan dekat kepada-Nya.
Di samping kumpulan wirid yang disusunnya, al-Ghazâli juga membuat rincian untuk wirid-wirid siang maupun malam.

Wirid siang ia rinci menjadi tujuh dalam empat waktu:
1. Satu wirid antara waktu shubuh hingga terbit matahari.
2. Dua wirid antara waktu terbit hingga tengah hari.
3. Dua wirid antara tengah hari dan waktu `ashar.
4. Dua wirid antara `ashar dan maghrib.

Wirid malam, yang terinci menjadi lima dan terbagi dalam lima waktu:
1. Satu wirid dari terbenam matahari sampai hilang mega merah.
2. Satu wirid dari waktu `Isyâ‟ sampai menjelang waktu tidur masyarakat.
3. Satu wirid di waktu tidur.
4. Satu wirid selepas tengah malam hingga menjelang seperenam akhir malam.
5. Satu wirid dalam seperenam akhir malam (waktu sahur).

Selain wirid-wirid yang terbagi secara terperinci itu, al-Ghazâli memposisikan fikir sebagai ibadah yang harus dijalankan murid sebagaimana ibadah-ibadah lain. Jadi, dalam fikir terkandung makna dzikir kepada Allâh Swt. dengan dua kelebihan:
Pertama, kelebihan dalam ma‟rifat, karena fikir merupakan kunci menuju ma‟rifat dan pembuka al-kasyf.
Kedua, kelebihan dalam mahabbah, di mana hati tidak akan merasa cinta sebelum meyakini kebesaran-Nya. Sementara keagungan-Nya tidak akan terbaca sebelum mengetahui sifat-sifat-Nya, kekuasaan-Nya dan keajaiban ciptaan-Nya. Jadi, dari fikir tercapai ma‟rifat, dan ma‟rifat muncul rasa kagum (pengagungan) dan dari rasa kagum tumbuh rasa cinta.
Dikatakan bahwa dzikir juga dapat menumbahkan rasa senang (al-„uns), yang merupakan bagian dari mahabbah. Akan tetapi, rasa cinta yang lahir melalui ma‟rifat lebih kuat dan lebih agung.
Perbandingan mahabbah orang „ârif (ahli ma‟rifat) dengan ahli dzikir yang tidak melihat dengan sempurna, bagaikan kecintaan orang yang menyaksikan keindahan seseorang dan ketinggian budi pekerti serta tingkah lakunya dengan rasa cinta orang yang sekedar mendengar sifat-sifatnya tanpa pernah melihatnya secara langsung. Maka kecintaannya terhadap orang yang didengar kebaikannya tidak seperti kecintaan orang yang menyaksikan kebaikan itu secara langsung. Karena berita bukanlah sebagaimana penglihatan.
Dan alasan ini, sesungguhnya rasa cinta seorang „ârif berbeda dengan rasa cinta ahli dzikir. Imam al-Ghazâli berkata:

“Hamba yang membiasakan dzikir kepada Allâh Swt. dengan hati dan lisan, dan membenarkan risalah Nabi Saw. dengan keimanan yang tulus, tiada ungkapan mereka akan keindahan sifat-sifat Allâh Swt. pada diri mereka selain sebagai anugerah paling indah yang mereka yakini dengan membenarkan dzat yang telah menghiaskannya pada diri mereka, Orang „ârif adalah mereka yang menyaksikan keagungan dan kebaikan dengan mata bathin yang lebih tajam daripada mata lahir, karena tidak ada seorang pun yang sanggup menyentuh substansi keagungan dan keindahan-Nya, Hal itu tidak terjangkau oleh siapapun. 0rang hanya sanggup menyaksikan sebatas apa yang terbuka baginya. Keindahan Tuhan tiada bertepi, demikianpun hijab-Nya”.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkatan tertinggi dan urutan dzikir dalam tharîqah Ghazâliyah adalah dzikir lisan, hati dan terakhir secara bersama, dan terakhir adalah dzikir dengan lisan saja.

Rincian Wirid dalam Tharîqah Ghazâliyyah

Wirid siang
Wirid Siang terperinci menjadi 7, masing-masjng memiliki waktu tertentu:
1. Dari shubuh hingga matahari terbit, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 335-342)., susunannya sebagaimana keterangan al-Ghazâli berikut ini:
Ketika bangun dan tidur, hendaknya berdzikir kepada Allâh dengan bacaan:
 
Bacaan ini disempurnakan hingga selesai sebagaimana telah ditulis dalam buku kumpulan do‟a-do‟a. Selama berdo‟a memakai pakaian dengan niat menutup aurat sebagai pelaksanaan perintah Allâh Swt. Berdo‟a kepada Allâh Swt. dalam beribadah tanpa bermaksud riya‟, kemudian menuju ke kamar mandi (jika ada perlunya), mendahulukan kaki kiri dan membaca do‟a yang telah di sebutkan dalam kitab thaharah saat masuk atau keluar. Kemudian bersiwak (membersihkan mulut) dan berwudhu‟ dengan tetap memperhatikan hal-hal sunnah serta membaca do‟a yang telah disebutkan dalam kitab thaharah. Di sini kami hanya menyebutkan salahsatu bentuk ibadah sekedar untuk memperlihatkan sisi susunan dan urutannya saja.
Selepas wudhu‟ mengerjakan shalat sunnah dua raka‟at, lebih utama dikerjakan di rumah sebagaimana telah dilakukan Rasûlullâh Saw. Selesai shalat di rumah atau di masjid membaca do‟a yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas:
 
Kemudian keluar rumah menuju masjid dengan berjalan tenang, tidak tergesa-gesa dan tetap sopan sebagaimana anjuran sunnah. Memasuki masjid dengan mendahulukan kaki kanan sambil membaca do‟a masuk masjid. Di dalam masjid diusahakan mencari tempat atau barisan paling awal jika memungkinkan. Tidak memaksakan diri jika tempatnya telah penuh sebagaimana dijelaskan pada bab shalat jum‟at.
Melaksanakan shalat sunnah fajar dua raka‟at jika belum mengerjakannya di rumah, disusul bacaan do‟a-do‟a. Jika sudah melaksanakan shalat sunnah fajar dua raka‟at di rumah, hendaknya melaksanakan shalat tahiyyat di masjid. Kemudian duduk menanti jama‟ah, lebih utama bersegera melaksanakan jama‟ah, karena Rasûlullâh Saw. selalu datang di awal waktu shubuh. Tidak baik meninggalkan shalat berjamaah, khususnya Shubuh dan `Isyâ‟ karena pada keduanya terdapat banyak keutamaan.
Selesai shalat sunnah fajar dua raka‟at sebaiknya membaca istighfâr dan tasbih hingga datang saat shalat Shubuh berjama‟ah.
 
Melaksanakan shalat fardhu dengan tetap menjaga etika lahir maupun bathin. Usai shalat, duduk di masjid berdzikir hingga terbit matahari. Sebaiknya tidak berbicara, akan tetapi yang dilakukan hingga terbit matahari adalah empat hal: berdo‟a, mengulan-gulang dzikir, membaca al-Qur‟an dan bertafakkur (merenung).
Do‟a selesai shalat dimulai dengan bacaan:
 
Membuka do‟a dengan cara Rasûlullâh Saw., yaitu dengan bacaan:
 
Membaca semua do‟a, atau menghafal sejumlah do‟a yang dianggap sesuai dengan keadaannya atau yang mudah bagi lisannya. Semua amalan yang diuraikan aI-Ghazâli di atas berdasarkan pada sunnah Rasul, namun tidak menyebutkan hadits-hadits itu, karena khawatir akan membutuhkan pembahasan yang sangat panjang.
Tujuan kajian adalah memberi gambaran secara umum tentang tharîqah-tharîqah shufi. Adapun penjabarannya terdapat pada karangan-karangan para syaikh dan imam tharîqah.
Selesai berdo‟a dilanjutkan membaca dzikir berulang-ulang, karena dalam pengulangannya ada keutamaan. Dalam mengulang bacaan dzikir tidak perlu terlalu banyak, paling sedikit mengulangi setiap bacaan 3 atau 7 kali dan paling banyak 70 atau 100 kali, dan ukuran sedangnya 10 kali.
Mengulangi bacaan dzikir disesuaikan dengan kelonggaran waktu, yang lebih banyak lebih besar keutamaannya. Yang sedang dan yang baik adalah mengulanginya sepuluh kali, Yang demikian lebih memungkinkan untuk dilakukan secara teratur, meski hanya sedikit. Setiap pekerjaan yang tidak mungkin pelaksanaannya secara tetap dalam skala besar, maka yang sedikit tapi terus menerus adalah lebih utama dan lebih terasa pengaruhnya dalam hati. Berikut beberapa bacaan dziklr yang mudah dijaga:

Kesepuluh bacaan dzikir ini jika masing-masing diulang sepuluh kali maka akan mencapai 100 kali. Hal ini lebih utama dari pada mengulang satu bacaan dzikir l00 kali, karena setiap bacaan mempunyai keutamaan dan pengaruh yang berbeda dalam hati.
Bacaan-bacaan ayat al-Qur‟an yang disunnahkan adalah:
 


 
Adapun tafakkur sebagai salah satu bentuk pendekatan didasarkan pada dua hal berikut:

Pertama, berpikir akan hal-hal yang bermanfaat dalam bidang mu`âmalah, seperti: bermuhasabah atau introspeksi terhadap perbuatan silam, menata serta menahan diri dari kemaksiatan, mengingat-ingat kekurangan demi perbaikan serta meluruskan niat baik dalam berhubungan dengan orang lain maupun diri sendiri.
Kedua, berpikir tentang hal-hal yang bermanfaat dalam bidang mukâsyafah, seperti: berfikir tentang nikmat Allâh Swt. tampak maupun tidak tampak untuk menambah ma‟rifat, memperbanyak rasa syukur atas nikmat-nikmat-Nya dan hukuman-hukuman-Nya untuk menambah ma‟rifat serta kepatuhan terhadap-Nya.
Tharîqah yang paling baik adalah yang di dalamnya tercakup empat hal di atas: do‟a, dzikir, bacaan ayat al-Qur‟an dan fikir. Itulah aktifitas yang seharusnya dilakukan selesal shalat shubuh.

2. Antara terbit matahari sampai waktu Dhuhâ, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 342-343).
Yaitu pertengahan antara terbit matahari hingga tergelincir. Kurang lebih 3 jam pertama waktu siang atau seperempat dan waktu siang jika siang hari dihitung 12 jam. Pada waktu kedua ini terdapat dua amalan:
Pertama, shalat Dhuhâ. Kedua, aktifitas sosial yang bermanfaat bagi masyarakat, berupa menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, tolong-menolong antar sesama dalam kebaikan, mendatangi majelis ta‟lim dan segala macam aktifitas yang membawa kemanfaatan bagi sesama.
Jika tidak ada satupun dari kegiatan sosial yang dilakukan, cukuplah kembali melakukan empat amalan sebagaimana waktu pertama, yaitu: do‟a, dzikir, membaca ayat al-Qur‟an dan tafakkur.

3. Dan waktu Dhuhâ hingga tengah hari, yang meliputi dua amalan, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 343):
Pertama, bekerja memenuhi kebutuhan hidup dengan hati tetap mengingat Allâh Swt. Kedua, beristirahat dengan melakukan tidur sejenak menjelang shalat Dhuhur.

4. Amalan saat selesai shalat Dhuhur, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 343-344).
Waktu ini dimulai dengan shalat fardhu (dhuhur) serta shalat sunnah sebelum dan sesudah dhuhur yang dilanjutkan membaca dzikir sebagaimana amalan pertama. Amalan-amalan tersebut meliputi: do‟a, wirid, membaca ayat-ayat al-Qur‟an dan fikir.

5. Saat menjelang waktu shalat `Ashar, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 344).
Melakukan I‟tikaf di masjid, memperbanyak dzikir dan shalat atau melakukan perkara-perkara terpuji lainnya hingga datang waktu `Ashar.

6. Amalan di waktu `Ashar, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 344).
Melaksanakan shalat sunnat empat raka‟at melaksanakan shalat `Ashar dilanjutkan dengan amalan wirid seperti pertama.

7. Ketika matahari terlihat kekuning-kuningan seakan luruh ke bumi, karena cahayanya terhalang asap dan debu permukaan bumi, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 344-345).

Wirid yang dibaca saat ini seperti halnya yang pertama: do‟a, wirid, membaca al-Qur‟an dan fikir. Disunnahkan membaca istighfâr dan membaca Surat al-Syamsi serta al-Lail dengan membaca ta‟awwudz lebih dahulu. Ketujuh wirid yang telah kami jelaskan di atas secara lebih terperinci merupakan amalan-amalan wirid di siang hari.

Wirid pada malam hari.

Berikut penjelasan lebih detail amalan-amalan wirid di malam hari yang terbagi menjadi lima:
1. Waktu masuk shalat Maghrib sampai hilang kemerah-merahan mega di ufuk barat, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 345-346). Usai shalat Maghrib, dilanjutkan shalat sunnah 2 raka‟at. Raka‟at pertama membaca surat al-Kâfirûn dan kedua membaca surat aI-Ikhlâs. Dilaksanakan setelah shalat Maghrib tanpa diselingi ucapan atau tindakan apapun. Kemudian shalat lagi 4 raka‟at agak lebih lama dan mengakhirinya dengan bacaan-bacaan ringan hingga habis waktunya.
2. Dari masuk waktu `Isyâ‟ hingga waktu tidur malam, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 346-347). Urutan-urutan wiridnya sebagai berikut:

a. Melaksanakan shalat sunnat 10 raka‟at, 4 raka‟at sebelum shalat `Isyâ‟ antara adzan dan iqamah dan enam raka‟at
sesudahnya, 2 raka‟at salam dan 4 raka‟at salam. Bacaan al-Qur‟an dalam shalat ini sebaiknya dengan ayat-ayat tertentu, seperti: penutup surat al-Baqarah, ayat kursi, permulaan surat al-Hadîd, dan akhir surat al-Hasyr.

b. Shalat Witir 13 raka‟at. Riwayat terbanyak mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. melaksanakan yang demikian.

c. Shalat Witir sebelum tidur jika tidak terbiasa bangun malam.

3. Pada waktu sebelum tidur, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 348-350).
 Jika tidur dilakukan dengan menjaga etika yang baik, tidak ada salahnya dikategorikan sebagai wirid dan merupakan ibadah. Dalam Ihyâ‟ „Ulûm ad-Dîn, al-Ghazâli menuliskan sepuluh etika saat menjelang tidur, diantaranya: suci dari hadats, bersiwak atau menyikat gigi, menghadap qiblat, menulis wasiat di kertas dan diletakkan di bawah bantal, bertaubat, tidak makan, tidak tidur sebelum mengantuk, berdo‟a sebelum tidur, dzikir sebelum tidur dan berdo‟a saat pikiran setengah sadar.

4. Lepas tengah malam hingga seperenam akhir malam, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 350-352). Waktu ini dipergunakan untuk shalat Tahajjud. Dikatakan tahajjud karena dilaksanakan setelah tidur malam. Selesai membaca do‟a bangun tidur, segera mengambil air wudhu‟. Mengerjakan wudhu‟ lengkap dengan sunnah-sunnahnya, melaksanakan shalat menghadap qiblat dan membaca do‟a iftitah, membaca tasbih, tahmid dan tahlil masing-masing 10 kali.

5. Pada seperenam akhir dan waktu malam, yaitu waktu Sahur, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 352-353). Amalan-amalan pada waktu ini adalah melaksanakan shalat-shalat sunnah dan wirid hingga tiba waktu fajar.
Wirid-wirid di atas adalah susunan al-Ghazâli untuk para murid secara ringkas. Wirid-wirid ini tidak berlaku sama untuk para mursyid.

Enam Kategori Murid

Sebagaimana termaktub dalam kitab Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 353-354, disebutkan bahwa jika dilihat darisudut kemampuannya, keadaan masing-masing murid tidak lepas dari 6 kategori.
1.       Ada kemungkinan seorang murid baru pada tahap hamba („âbid),
2.       atau mungkin sudah mencapai tingkat orang yang mengerti („âlim),
3.       atau mungkin baru sebagai pelajar (muta‟allim),
4.       sebagai orang mumpuni atau profesional (muhtarif)
5.       sebagai wali,
6.       atau bahkan telah mencapai taraf menyatu (muwahid) dengan Yang Mahatunggal.

1.„Âbid adalah kategori orang yang hanya melakukan ibadah, tidak memiliki kesibukan selain beribadah. Sekiranya ia meninggalkan ibadah untuk sekedar duduk, maka batal ibadahnya. Urut-urutan wiridnya sebagaimana diterangkan di atas, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 353).

2.„Âlim adalah kelompok orang yang dengan pengetahuannya dapat memberi manfaat kepada orang lain, baik dengan cara memberi fatwa, pengajaran atau melalui karya-karyanya.
Urut-urutan wiridnya berbeda dari wirid „âbid, dia perlu menelaah kitab-kitab terlebih dahulu, menyerap dan menyusun pengetahuannya. Semua itu sudah pasti membutuhkan waktu tersendiri. Jika dapat menggunakan waktunya secara maksimal untuk itu, maka yang terbaik baginya setelah menyelesaikan tulisan dan karangannya adalah menjalankan wirid. Demikian, sebagaimana telah dijelaskan pada bab keutamaan belajar dan mengajar dalam kitab Ihyâ‟ „Ulûm ad-Dîn. Bagaimana tidak, bukankah dalam pengetahuan atau ilmu ada kelanggengan dzikir kepada Allâh Swt. dan perenungan akan pesan-pesan-Nya serta sabda-sabda Rasul-Nya? Hal ini menyimpan manfaat untuk orang lain dan memberikan arahan menuju kehidupan akhirat. Semoga saja satu hal yang dipelajari seseorang akan menjadi ibadah baginya, Jika tidak ada orang mempelajarinya maka usahanya sia-sia.
Keutamaan ilmu di atas ibadah yang dimaksud adalah ilmu yang mendorong manusia mencintai akhirat dan merasa cukup dengan kemewahan dunia. Atau juga ilmu yang menunjukkan mereka jalan menuju akhirat, bukan ilmu yang menambah kecintaan manusia terhadap harta, kedudukan dan pengakuan orang.
Meskipun ilmu lebih utama dalam pandangan aI-Ghazâli, namun harus ada aturan pembagiannya. Tabiat manusia tidak akan sanggup menghabiskan semua waktu dengan terus menerus menulis dan menyusun buku atau karangan. Waktu pagi digunakan untuk wirid, setelah terbit fajar sampai siang hari digunakan untuk muthola‟ah dan mengajar jika dia memiliki murid dan jika tidak, maka waktunya digunakan untuk tafakkur dan memperdalam keilmuannya karena kejernihan hati ada setelah melakukan dzikir, waktu siang digunakan untuk muthola‟ah dan menulis sampai waktu `asyar, setelah `asyar mendengarkan hal-hal yang berfaedah untuk kejernihan hati, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 354).

3.Muta‟allim adalah orang menyibukan diri dengan belajar atau menuntut ilmu. Kesibukan seperti ini lebih utama dari melakukan dzikir dan amalan-amalan sunnah Urut-urutan wiridnya sama dengan „âlim. Bedanya jika „âlim sibuk dengan pekerjaan mengajar, sementara muta‟allim sibuk dengan kegiatan mencari ilmu, (al-Ghazâli, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 354-355).

4.Muhtarif adalah orang yang sanggup melakukan dzikir dalam kondisi apapun. Ketika membutuhkan usaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dia tidak boleh menghabiskan semua waktu dengan beribadah sehingga akan menelantarkan keluarga. Begitu juga sebalikmya, dia tidak lupa melakukan dzikir dan wirid selama melaksanakan kewajibannya terhadap keluarga. Di saat bekerja ia mengingat Allâh Swt., di pasar ia berdzikir dan membaca ayat-ayat al-Qur‟an.
Setelah mencukupi kebutuhan keluarga, ia dapat kembali melaksanakan dzikir. Namun jika tetap melanjutkan pekerjaan dengan terus berdzikir dan bersedekah dari hasil pekerjaannya, itu lebih baik daripada melakukan wirid-wirid yang telah kami susun. Karena ibadah yang memiliki faedah ganda sudah pasti lebih bermanfaat dari pada yang hanya satu faedah. Bersedekah dan berusaha dengan niat ibadah akan memberi manfaat bagi diri sendiri berupa kedekatan dengan Tuhan sekaligus memberi manfaat bagi orang lain. Berkah dan do‟a-do‟a orang lain akan mengalir kepadanya dan melipatgandakan pahalanya.

5.Wali sebagaimana imam atau hakim atau juga pemimpin, dia juga mencurahkan perhatian terhadap persoalan-persoalan kaum muslim. Dialah yang mewakili keperluan umatnya sesuai syari‟at dengan niat tulus. Hal itu lebih baik dari membaca wirid-wirid yang telah disusun. Bidangnya adalah memenuhi keperluan-keperluan masyarakat di waktu siang dengan berpegang pada kaidah-kaidah, sedangkan malam harinya melanggengkan amalan-amalan wirid.

6.Muwahid adalah orang yang telah mencapai derajat menyatu dengan Dzat Yang Maha Tunggal atau dia yang hanya mencintai Allâh Swt., dia yang hanya takut kepada-Nya, yang tidak menerima rizki selain dari-Nya, dan dia yang hanya melihat Allâh Swt. pada setiap pandangannya.
Siapa telah mencapai tingkatan ini dia tidak lagi membutuhkan macam-macam jenis wirid. Wiridnya hanya satu, menghadirkan segenap hati dan perasaan bersama Allâh Swt. setiap saat.
Tidak lagi peduli terhadap persoalan apapun dan tidak lagi mendengar sesuatu pun selain dalam wiridnya hanya berupa ungkapan hati dan renungan pikiran.
Tidak ada yang menggerakkan dan mendiamkan selain Allâh Swt. Seluruh pengalaman yang mereka alami akan menjadi sebab semakin tingginya keadaan mereka.
Bagi mereka, tidak ada kelebihan satu ibadah dari ibadah lainnya, Mereka itulah orang-orang yang telah menuju Allâh Swt. Ini adalah puncak derajat shiddiqin, derajat ini tidak akan tercapai kecuali dengan mengurutkan wirid dan melaksanakan kewajibannya dalam waktu yang panjang.

Inilah diantara bentuk dan gambaran tharîqah al-Ghazâliyah, memperlihatkan pada kita bahwa tharîqah ini tetap berpegang kepada al-Qur‟an dan al-sunnah serta mencontoh etika dan ajaran-ajaran para sahabat, `ulamâ‟ dan tabi‟in. Itulah tharîqah yang sesuai dengan kondisi umat Islâm.

 dikutip :Judul buku: Sabilus Salikin 30 Thariqah
Penyusun: Santri Pondok Pesantren Ngalah
Jumlah halaman:880
Tahun terbit: 2013
sumber: http://www.http://galakgampil.ngalah.net