30 Thariqah-(7) Tharîqah
Rifâ’iyah
Biografi Pendiri
Tharîqah yang pendiriannya dinisbatkan kepada
seorang wali quthub yang
menjadi tonggak tharîqah dan
tokoh para wali besar yaitu
Syaikh
Sayyid Ahmad al-Rifa`i bin (1)Sayyid
`Ali, bin (2)Sayyid Yahya, bin (3)Sayyid Tsabit, bin (4)Sayyid Hazim, bin (5)Sayyid Ahmad, bin (6)Sayyid Ali, bin (7)Sayyid Hasan al-Rifa`ah, bin (8)Sayyid al-Mahdi, bin (9)Sayyid Abu Qasim Muhammad, bin (10)Sayyid Hasan, bin (11)Sayyid Husain, bin (12)Sayyid Musa al-Tsani, bin (13)Sayyid Ibrahim al-Murtadha, bin (14) Imam Musa al-Kadzîm, (15)bin Imam Ja`far Shadiq, bin (16)Imam Muhammad al-Baqir, bin (17)Imam Zainal Abidin Ali, bin (18)Sayyid Imam Abi Abdillah al-Husain, bin (19)Sayyidina Ali wa Sayyidatina Fatimatuz
Zahra‟, binti (20)Sayyidil
Khalqi Sayyidina Muhammad Saw.
Beliau
dilahirkan di Ummi Abidah daerah pertengahan antara Bashrah dan Bagdad yaitu
daerah yang masyhur di Irak tepatnya hari Kamis pada pertengahan pertama bulan
Rajab, yakni pada tahun 512 H., (A‟lâm al-Shûfiyah, halaman: 412-413).
Pengembaraannya
dalam menuntut ilmu dimulai dengan belajar Fiqih madzhab Syafi'i dari pamannya
yang bernama Syekh Abi Bakrin al-Wasiti al-Anshari. Beliau sempat mengajar
kitab al-Tanbih,
lalu masuk Tharîqah kemudian
menempa dirinya dengan sungguh-sungguh. Ia tinggalkan gemerlap dunia dan
memusatkan perhatian pada tharîqah sehingga
menjadi seorang wali besar dan sangat ahli dalam ilmu tharîqah. Imam Rifa`i memiliki banyak sâlik yang sangat menghormatinya. Menurut Ibnu
Khalkan dan lainnya, santri-santrinya terkenal dengan nama Rifa`iyah atau Ahmadiyah
atau Bathaihiyah,
Para santrinya memiliki hal-hal yang aneh dan menakjubkan, (Nûr al-Abshâr,
halaman: 252).
Syaikh
Syamsuddin Sibtu bin al-Zauji dalam kitab Tarikhnya mengatakan, bahwa disamping
Imam Rifa`i yang memiliki berbagai karamah dan maqâm, santri-santrinya juga luar biasa.
Mereka kadang menaiki binatang buas dan bermain-main dengan ular. Di antara
mereka bahkan ada yang memanjat pohon kurma kemudian menjatuhkan diri ke tanah,
namun tak merasa sakit sedikitpun, (Jâmi‟ al-Karâmât al-Auliyâ‟, juz 1,
halaman: 402).
Menurut
Imam Jalaluddin al-Suyuti, Imam Rifa`i ini menyandang mandat (ijazah) tharîqah dari (1)Syaikh
Ahmad al-Wasithi al-Qârî, dari (2)Syaikh
Abil Fadhal bin Kamikh al-Kâmakhâni, dari (3)Syaikh
Ghulam bin Tarakkân, dari (4)Syaikh Abi Ali al-Rauzabati, dari (5)Syaikh `Ali al-„Ajami, dari (6)Syaikh Abi Bakar al-Syibli, dari (7)Imam Abul Qasim al-Junaidi aI-Baghdadi,
dari (8)Imam as-Sari as-Saqathi, dari (9)Imam Abi Mahfud al-Karkhi, dari (10)Syaikh Imam Dawud al-Thâ‟i, dari (11)Syaikh Habib al-Ajami, dari (12)Syaikh Imam Hasan al-Bishri, dari (13)Suami al-Batûl, dan anak dari paman
Rasûlullâh, Maulana Amiril Mu‟minin al-Imam Ali bin Abi Thalib Krw., dari (14)Sayyidil Makhluqin wa Imamin Nabiyyin
wal Mursalin Sayyidina Muhammadin Saw., (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul
al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 107).
Beliau
juga menyandang mandat Tharîqah dari
pamannya (1)Sayyid Syaikh Manshur al-Batha‟i
al-Robbani, dari pamannya (2)Syaikh Abil Manshur al-Thayyib, dari (3)Syaikh Abi Sa`id Yahya al-Bukhari
al-Wasithi, dari (4)Syaikh Abi Ali al-Qurmuzi, dari (5)Syaikh Abil Qasim al-Sundusi al-Kabir,
dari (6)Syaikh Abi Muhammad Ruwaim al-Baghdadi,
dari (7)Syaikh Abil Qasim al-Junaidi, dari (8)Syaikh Sari al-Saqathi, dari (8)Syaikh Ma‟ruf ibn Fairuz al-Karkhi, dari
(9)Imam Ali bin Musa al-Ridha, dari ayahnya
(10) Imam Musa
al-Kadzîm dari ayahnya (11) Imam
Ja‟far al-Shâdiq, dari ayahnya (12)Imam
Muhammad al-Baqir dari ayahnya (13)Imam
„Ali Zainal „Abidin, dari (14)al-Imam
Amiril Mu‟minin Asadullah Sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw., dari (15)Rasûlullâh Saw., (Qawa`id al-Mar`iyah fi
Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 107 dan Thabâqat al-Kubra, halaman:
200).
Imam
Rifa`i sering melihat Nur kebesaran
Allâh Swt. Ketika hal itu terjadi, maka dirinya meleleh seperti genangan air.
Maka berkat Rahmat Allâh Swt., kemudian mengeras sedikit demi sedikit hingga
kembali ke wujud semula. Ia berkata pada santri-santrinya, "Sekiranya bukan karena kemurahan Allâh Swt., niscaya
aku tidak akan kembali pada kalian". Di dalam kitab Thabâqat karya
Abdul Wahab Ibnu as-Subki terdapat kisah, bahwa ada seekor kucing yang tidur di
lengan baju Imam Rifa`i, Ketika waktu shalat tiba, ia menggunting lengan
bajunya dengan pelan-pelan agar tidak membangunkan si kucing. Seusai shalat dan
si kucing telah bangun dari tidurnya, ia jahit lengan bajunya sehingga
tersambung kembali, (Thabâqat al-Kubra, halaman: 204).
Imam
Rifa`i pernah mengambil air wudhu‟ pada musim dingin, ketika terlihat ia sedang
meluruskan lengan tangannya dalam waktu yang cukup lama dan tidak menggerakkan
sama sekali, lalu ada seorang mu`adzin bernama Ya`qub mendatanginya dan
langsung mencium tangannya.
"Ya'qub, engkau telah mengganggu si lemah ini",
kata Imam Rifa`i seraya menunjuk sesuatu yang berada di lengannya.
"Apakah itu?" Tanya Ya'qub.
"Ada seekor nyamuk yang sedang menikmati rezekinya
dari lenganku. Karena engkau mencium tanganku, nyamuk itu pergi”,
jawab Imam Rifa`i.
Di antara
kata-kata Imam Rifa`i yang terkenal, "Aku
telah mencoba menempuh semua jalan menuju kepada Allâh Swt. Namun aku tak
menemukan jalan yang lebih mudah, lebih dekat dan lebih pantas selain dari
kefakiran, kehinaan dan susah", (Nûr al-Abshâr, halaman: 253).
Dalam
kitab Thabâqat karya Imam al-Sya`rani diterangkan bahwa Imam Rifa`i selalu
memulai salam kepada setiap orang yang dijumpai sampai kepada seekor hewan atau
anjing sekalipun. Bila mendengar kabar adanya orang sakit, ia akan menjenguknya
meski orang yang sakit tersebut tinggal di tempat yang jauh. Ia akan kembali
dari menjenguk orang yang sakit tersebut setelah satu hari atau dua hari,
(Thabâqat al-Kubra, halaman: 203).
Imam
Rifa`i keluar ke jalan untuk menunggu orang buta lewat. Bila ada orang buta
lewat, ia ambil tangannya dan menuntunnya. Bila melihat orang tua renta, maka
ia mendatangi penduduk desa dan berpesan dengan mengutip sabda Rasûlullâh Saw.,
"Barangsiapa yang
memuliakan orang sudah tua renta (Muslim), maka Allâh Swt. akan menunjuk orang
yang akan memuliakannya di hari tuanya nanti". Bila
datang dari perjalanan dan hampir sampai di Ummi Abidah desanya, Imam Rifa`i
mengumpulkan kayu bakar. Kayu bakar tersebut diikat, lalu dipanggul di
pundaknya. Yang demikian juga diikuti oleh sâlik-sâliknya. Setelah sampai di desanya, kayu
bakar tersebut ia bagikan kepada para janda, orang miskin, orang lumpuh, orang
sakit, orang buta dan orang tua renta, (Thabâqat al-Kubra, halaman: 203).
Diantara
kata-kata Imam Rifa`i yang terkenal; "Di antara tanda tenang bersama Allâh
Swt. adalah merasa resah bersama orang-orang kecuali para wali. Sebab tenang
bersama mereka (para wali) berarti tenang bersama Allâh Swt”. Selain itu ia
pernah berkata, "Sesuatu yang lebih dekat dengan murka Allâh Swt. adalah
melihat (dengan perasaan bangga) pada diri sendiri, tingkah laku dan amalnya.
Yang lebih parah dari itu adalah meminta imbalan atas amal (ibadah)”. Diantara
karamah Imam Rifa`i adalah ketika sedang mengajar di atas kursinya, maka orang
yang jauh sekalipun akan mendengar seperti berada di dekatnya. Bahkan, semua
penduduk desa sekitar pun turut mendengar seperti berada di tempat pengajiannya
sekalipun orang tuli juga bisa mendengar pengajiannya, meski hanya ucapannya
saja.
Sebelum
meninggal dunia Imam Rifa`i menderita sakit perut. Dalam keadaan demikian, ia
mengeluarkan kotoran (berak) setiap hari seperti biasanya selama sebulan
lamanya.
Ia ditanya
akan hal itu, "Dari mana asal semua (kotoran)
ini, sedangkan Engkau tidak pernah makan atau minum selama 20 hari?"
Ia menjawab,
"Ini semua berasal dari dagingku,
tapi sekarang dagingku telah habis dan hanya tinggal otakku. Sekarang dari otak
yang akan keluar, besok aku akan berangkat menuju Allâh Swt”.
Setelah itu keluar kotoran putih dua atau tiga kali, lalu ia wafat pada waktu
dhuhur yakni pada hari Kamis 12 Jumadil Ula tahun 578 H. Kalimat terakhir yang
beliau ucapkan adalah 2 kalimat sahadat
'ASHADUALLA ILAHAILALLAH WA ASHADU ANA MUHAMMADAR RASULULOH'
'ASHADUALLA ILAHAILALLAH WA ASHADU ANA MUHAMMADAR RASULULOH'
Pada hari
meninggalnya banyak sekali orang yang melayat. Ia dikebumikan di kuburan Yahya
al-Bukhari, (Thabâqat al-Kubra, halaman: 206).
Cabang-cabang Tharîqah al-Rifa`iyah
Abu
Shayyad penulis biografi tokoh-tokoh al-Rifa`iyah dan
cabang-cabangnya dalam kitabnya Tanwirul Absar fi Thabâqati
Sadat al-Rifa`iyah, sebagaimana dikutip oleh Trimingham,
bahwa cabang tharîqah al-Rifa`iyah merupakan
yang tersebar di dunia Islâm, antara lain:
1.
Ajlaniyah;
2.
A‟zabiyah (didirikan oleh Muhyiddin Ibrahim Abu Ishaq al-A‟zab, cucu Ahmad
al-Rifa`i)
3.
Aziziyah
4.
Haririyah (didirikan Abu Ali al-Hariri yang wafat tahun 645 H/1248 M, dari
Hawran, Bashrah)
5.
„Ilmiyah atau Alamiyah
6.
Jabartiyah (didirikan di Yaman oleh Ahmad Abu Isma‟il al-Jabarti)
7.
Jandaliyah (didirikan oleh Jandal ibn Ali al-Jandali di Hums)
8.
Kiyaliyah
9. Nuriyah
10.
Qathaniyah (didirikan oleh Hasan al-Rifa`i di Damaskus)
11.
Sabsabiyah
12.
Sa‟adiyah atau Jibawiyah (didirikan di Jiba dekat Damaskus pada 736 H/1335 M,
oleh Sa‟aduddin al-Jiwabi ibn Yusuf as-Syaibani)
13.
Shayyadiyah (didirikan oleh Izzuddin Ahmad as-Shayyad yang dinamai juga Hafidz
al-Rifa`i)
14.
Syamsiyah
15.
Thalibiyah (didirikan oleh Thalib al-Rifa`i wafat 638 H/1284 M)
16.
Wasitiyah
17.
Zainiyah
18.
Baziyah di Mesir
19.
Haidhariyah (didirikan oleh seorang Turki, Quthbuddin Haidar az-Zawuji wafat
617 H/1220 M)
20.
Ilwaniyah (didirikan oleh Safi‟udin Ahmad al-Ilwan)
21.
Habibiyah (didirikan oleh Muhammad al-Habibi, zawiyah
didirikan di Kairo pada 1247 H/1831 M)
22.
Malakiyah
23.
Syunbukiyah-Wafa‟iyah, dua tharîqah yang tergabung (didirikan oleh Abu Muhammad
Abdullah Talhah as-Syunbuki pada abad X, dengan Abul Wafa Tajul Arifin 417-501 H/1026-1107
M)
24.
Uqailiyah, tharîqah yang bergabung (didirikan oleh Uqail Hakkari dai Umariyah,
Syiria).
Menurut
Tirmingham nomor 1-17 kemungkinan besar ada pada abad XIX, sedangkan nomor
20-24 berada di Mesir, (Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, halaman:
220-221).
Thariqah al-Rifâ‟iyah Masuk ke Indonesia
Tharîqah
al-Rifâ‟iyah masuk ke Indonesia melalui Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji
al-Humaidi as-Syafi‟i al-Idrusy al-Raniry pada tahun 1658 M/1055 H. Beliau
lahir di Randir, yaitu sebuah kota pelabuhan di pantai Gujarat India. Pada
tahun 1637-1644 M, beliau diangkat menjadi syaikh Islâm pada kerajaan Aceh,
yaitu satu jabatan di bawah Sultan yang bertanggung jawab di dalam
masalah-masalah agama.
al-Raniry
menerima tharîqah tersebut
dari seorang guru yang paling terkenal di Gujarat di Ibu kota India yaitu Abu
Hafs Umar bin Abdullah Basyaiban al-Tarimi al-Handrami yang dikenal dengan
sebutan Sayyid Umar Alaidrus, beliau mengangkat al-Raniry sebagai khalifahnya.
sehingga al-Raniri bertanggungjawab menyebarkan Tharîqah ini di wilayah
Melayu-Indonesia. Di Indonesia tharîqah al-Rifa`iyah terkenal
dengan permainan Dabus dan tabuhan Rebana yang dikenal di Aceh dengan nama
Rapa‟i.
Salah satu
ciri tharîqah al-Rifa`iyah ialah
dzikir yang nyaring dan lantang. Jika para Darwis al-Rifa`iyah berdzikir,
maka mereka berdzikir dengan suara yang sangat keras dan meraung-raung. Karena
itu, mereka dikenal dengan sebutan “Darwis yang meraung”.
Kadang-kadang mereka disebut juga “Darwis yang menangis”
kerena suara-suara ganjil yang mereka hasilkan ketika berdzikir.
Menurut
Annemarie Shimmel (ahli barat tentang tashawwuf) dalam bukunya Mistical Dimension of Islâm,
para Darwis tharîqah al-Rifa`iyah ini
terkenal karena mampu mewujudkan kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti
memakan ular yang hidup, menusuk-nusuk dan menikam tubuh dengan benda tajam
tanpa terluka, bahkan sampai mencukil mata mereka keluar tanpa merasakan
kesakitan dan tidak cacat. Namun semua itu, menurut Maulana Abdur Rahman Jami
merupakan sesuatu yang tidak diketahui Syaikh dan rekan-rekanya yang shaleh.
Menurut para Darwis tharîqah al-Rifa`iyah,
mereka melakukan perbuatan itu untuk mencari perlindungan Tuhan dari godaan
iblis, (Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, halaman: 221-223).
Ajaran Tharîqah al-Rifa`iyah
Pada
dasarnya Tharîqah al-Rifa`iyah dilandasi
pada 2 dasar yang tidak mungkin terpisah dari ke duanya, yakni: al-Qur‟an yang
mulia dan sunnah nabi Muhammad Saw. yang luhur. Di samping itu tharîqah ini tidak menyampingkan hukum aqli yang
tidak keluar dari kedua dalil nash,
dan apabila ditemukan di dalam sebagian amal tharîqah
sesuatu yang mubah itu hanya semata-mata untuk menenangkan
hati, yang pada dasarnya telah di-nash oleh
Nabi dan juga sesuai dengan hukum akal agar seseorang tidak bosan dengan
amaliyahnya yang bisa berakibat amal shaleh menjadi amal jelek, (Qawa`id
al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 12).
Dasar-dasar Tharîqah al-Rifa`iyah
1.
Mengokohkan tauhid sekaligus menyatakan dengan maknanya.
2.
Mengagungkan kitab Allâh Swt. dengan mengambil hukum-hukum yang ada di dalamnya
serta mengikuti perintah-perintah-Nya.
3.
Mengimani kepada apa saja yang datang dari Rasûlullâh Saw. dengan cara
mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengamalkan dengan
perbuatan serta bersikap ihsan (menyembah kepada Allâh Swt. seakan-akan kamu
melihat kepada-Nya dan apabila kamu tidak melihatnya maka Allâh Swt.
melihatnya).
4.
Melanggengkan hadirnya hati dan berdzikir dengan lisan dengan tanpa hitungan
bersamaan dengan keluar masuknya nafas.
5. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah
cinta kepada nabi Muhammad Saw. dan keluarganya melebihi segala-galanya dengan
membaca shalawat dan salam dengan penuh tatakrama dan hadirnya hati serta
khusyu‟ kepada keagungan nabi Muhammad Saw.
6. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah
mengikuti akidah Ulama‟ Salaf dan menghargai pendapat Ulama‟ Khalaf.
7. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah
mencintai keluarga nabi Muhammad Saw. beserta keluarganya yang suci.
8. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah
mengagungkan kedudukan para shahabat nabi Muhammad Saw. dan menjaga
kemuliannya, memuji kebaikannya serta menjauhi dari segala sesuatu yang timbul
di dalam perselisihan di antara para shahabat.
9. Seorang
sâlik Tharîqah al-Rifa`iyah senantiasa
mengetahui keagungan Mursyidnya
dengan sebenar-benarnya mengalahkan Mursyid yang
lain.
10. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah
menolak semua bentuk ajaran yang tidak sesuai dengan syar‟i dan akal.
11. Tharîqah al-Rifa`iyah sesuai
dengan madzhab empat yang di anut di dalam Islâm, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul
al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 12-22).
Kewajiban Sâlik
Diwajibkan
bagi sâlik untuk
memenuhi 4 perkara; ilmu, amal, ikhlas dan
khauf (rasa
takut), karena sesungguhnya ilmu tanpa amal atau amal tanpa ilmu adalah mahjub
(terhalang/tidak sampai). Dan sesungguhnya berilmu dan beramal yang tidak
ikhlas akan rugi. Apabila tidak dilandasi rasa takut kepada Allâh Swt., dan khawatir
dari akibat yang akan muncul sampai dia merasa aman di hari pertemuan dengan
Allâh Swt. maka sâlik akan
maghrur (tertipu).
Guru dari Syaikh Imam Rifa`i berkata: Dasar dari tharîqah al-Rifa`iyah adalah
menetapi al-Qur‟an dan al-Sunnah serta meninggalkan hawa nafsu, bid`ah dan juga
sabar di dalam melaksanakan perintah dan amal. Barangsiapa sikap, ucapan dan
perbuatannya di setiap waktu tidak sesuai dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah maka
tidak bisa dijadikan di dalam tharîqahku,
(Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 58).
Tata Cara Bai‟at Tharîqah al-Rifa`iyah
Seseorang
yang akan bergabung dalam Tharîqah al-Rifa`iyah terlebih
dulu harus dibai‟at. Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut;
1.
Berwudhu‟
2. Shalat
taubat 2 rakaat
3. Mursyid
duduk di atas lututnya dan di atas sajadah dengan menghadap kiblat, sedangkan sâlik duduk di atas lututnya menghadap Mursyid sambil menempelkan kedua lututnya pada
kedua lutut Mursyidnya
dengan adab dan khusyu‟
4.
Kemudian Mursyid membaca
surat al-Fatihah 3x kemudian membaca al-Isti‟adzah dan ayat bai‟at:
Kemudian sâlik membaca kalimat tersebut dengan menjabat
tangan Mursyidnya
(jika sâlik laki-laki).
5.
Kemudian Mursyid menyuruh
membaca Istigfar;
Setelah
itu Mursyid berkata pada sâlik: “Saya menetapkanmu menjadi sâlik Tharîqah ini
dan dengan janji ini aku membai‟at kepada Allâh Swt.”, kemudian Mursyid
berkata: “Berdirilah dan duduklah untuk menepati janji menjadi sâlik pada
Tharîqah ini, setelah itu Sâlik berdiri sesuai isyarahnya Mursyid, setelah itu
duduk”, ketika Sâlik duduk Mursyid berkata kepada sâlik:'..ushiika bitaqwallah..'
6.
Kemudian Mursyid mentalqin
sâlik dengan
kalimat tauhid;'..laa ilaha illallah 3x '
seraya
memanjangkan suaranya yang kemudian ditirukan oleh sâlik sambil Mursyid
meletakkan keningnya pada kening sâlik dan meletakkan tangannya Mursyid pada dada sâlik dengan sambil mendo‟akan agar sâlik mendapatkan taufiq, ikhlas dan barakah.
Setelah itu, diakhiri do‟a dengan bacaan al-Fatihah. (jika sâlik laki-laki)
7. Setelah
itu Mursyid dan
sâlik menghadap
kiblat sambil membaca shalawat;
Diakhiri
dengan membaca al-Fatihah yang dihadiahkan kepada nabi Muhammad Saw., para Nabi
dan Rasul, keluarga Nabi Muhammad Saw., para sahabat, dan Imam al-Rifa`i,
berserta keluarganya dan muslimin muslimat. Setelah itu membaca do‟a, (Qawa`id
al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 81-83).
Tata Krama Tharîqah al-Rifa‟iyah
Khidmat
kepada Mursyid dengan tujuan sebagai berikut:
a. Supaya
watak sâlik terbentuk
oleh watak Mursyid sehingga
akhlak sâlik dari
akhlak yang buruk berubah menjadi akhlak yang baik
b. Supaya sâlik terlepas dari pengakuan tipu daya,
merasa mulia dengan Tharîqah ini,
berbicara dengan ucapan yang bisa merusak akidah
c. Supaya sâlik bisa keluar dari kemalasan yang dapat
merubah sâlik menjadi
semangat beramal shalih
d. Supaya sâlik mengamalkan al-Quran dan al-Hadits;
e. Sâlik bisa menjalakan Tharîqah Salafus Shalih yang
selalu menjalankan kebenaran yang bisa menghapus sesuatu yang tidak bermanfaat.
Sehingga sâlik menjadi
dekat dengan ahli al-Haq dan
jauh dari ahli al-Bathil,
terlepas dari pengaruh hujatan orang yang menghujat.
Ketika sâlik sudah memiliki tanda-tanda yang seperti
di atas, maka Mursyid memerintahkan
sâlik untuk
mengamalkan wirid-wirid sebagai berikut:
1. Membaca
Shalawat nabi minimal 20x
2. Membaca
Istighfar minimal 20x
3. Membaca
dzikir diantaranya membaca laa
illaha ilallah minimal 20x, dibaca setiap selesai
shalat fardhu.
Jika sâlik menemukan kenyamanan dalam berdzikir,
maka Mursyid akan
menambah bilangan dzikir menurut ukuran yang sesuai dengan keadaan sâlik. Jika dipandang perlu, Mursyid memerintahkan sâlik untuk mengobati suatu penyakit bathin
dengan Riyadhah tertentu,
perjalanan wisata, menyendiri, Khalwat,
tidak tidur di malam hari, tahajjud, melakukan khidmah yang memberatkan tubuh
dan bershadaqah. (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah,
halaman: 83-85)
Tata
Cara Wirid
Bacaan
wirid dalam Tharîqah al-Rifa`iyah dijelaskan
di dalam kitab Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul
al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 85-89 sebagai berikut;
1. Membaca
al-Fatihah
2. Membaca
Istighfar 3x
3. Membaca
Tahlil 100x
4. Membaca
Shalawat 10x
5. Membaca
surat al-Dhuha 3x
6. Membaca
surat al-Insyiraah 3x
7. Membaca
surat al-Ikhlas 3x
8. Membaca
surat al-Falaq 3x
9. Membaca
surat al-Naas 3x
10.
Membaca surat al-Fatihah 3x
11.
Membaca basmalah 19x
12.
Membaca doa di bawah ini sebanyak 3x
13.
Membaca doa dibawah ini 3x
14.
Kemudian membaca doa di bawah ini
16.
Kemudian membaca '..Laa ilaha illallah..10x...'
17.
Kemudian membaca shalawat kepada nabi Muhammad Saw. 3x
18.
Kemudian membaca al-Fatihah yang dihadiahkan kepada seluruh umat nabi Muhammad
Saw.
19. Dan
ditutup dengan doa yang dimudahkan oleh Allâh Swt.
Rangkaian
wirid-wirid di atas disebut Tuhfah al-Syarifah/Hizbi Tuhfah
al-Tsaniyah. Dibaca setelah rawatib yang wajib dibaca setiap hari dengan
penuh tata krama dan bagus serta menghayati maknanya. Para Imam Tharîqah al-Rifa`iyah berkata:
sesungguhnya al-Tuhfah al-Tsaniyah termasuk
menjadi penyebab terbesar terbukanya hati sâlik
dan menjadi pintu dikabulkannya do‟a, (Qawa`id al-Mar`iyah fi
Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 85-89)
Jalan yang Harus Ditempuh Sâlik Tharîqah al-Rifa`iyah
Jalan yang Harus Ditempuh Sâlik Tharîqah al-Rifa`iyah
Berikut
beberapa asas (dasar)
dan adab (etika)
sâlik dalam
Tharîqah al-Rifa`iyah yang dijelaskan dalam Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul
al-Tharîqah al-Rifa`iyah;
1. Cinta
kepada Mursyid-nya
2. Hati,
lisan tenggelam dalam cinta kepada nabi Muhammad Saw., berpegang teguh kepada
aturan hukum dan mengikuti sunnah-sunnah Rasul
(Qawa`id
al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 83)
3.
Langgeng dzikir, pikirannya benar, ini adalah ungkapan khudhur seperti pada firman Allâh Swt. surat
ali-„Imran ayat 191.
Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka, (QS. ali-Iman; 191).
Ketika sâlik dalam keadaan (hal, maqâm)
tertentu dan Mursyid telah
melakukan istikharah dan
mendapat isyarat, maka sang Mursyid menambahkan
dzikir kepada sâlik dengan
bacaan dzikir Ismu Dzat,
dengan hitungan yang sesuai dengan keadaan sâlik.
Sang Mursyid mengangkat
sang sâlik menjadi
Syausiyah (orang
yang diberi tugas untuk mengurus saudara-saudaranya dalam majelis), jika sâlik sudah bagus dalam melaksanakan tugas
menjadi Syausiyah (khidmah
kepada majelis dzikir dan teman-teman di pondok sufi) maka Mursyid menambahkan dzikir Ismu Dzat menurut kemampuan dan keadaan sâlik.
Jika sâlik mampu memperbaiki khidmat (pengabdiannya) tanpa memandang
kelebihannya atas makhluk lain, serta tetap melaksanakan ratîb (urutan wirid) yang diterima, menjaga
adab, maka Mursyid mengangkat
sâlik ke
martabat al-Niqâbah (pemimpin
majelis), lalu Mursyid memerintahkan
sâlik untuk
berdzikir Asmaul Husna.
Artinya; “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu.... ”(al-A‟raf; 180).
Ini
menunjukkan bersihnya hati sâlik dan
dapat dipersiapkan menjadi pemimpin dengan syarat:
a. Dapat
melakukan khidmat dengan ikhlas;
b. Tidak
menganggap diri memiliki keagungan;
c. Bisa
mengendalikan jiwa;
d. Tambah
tawadhu‟ kepada Allâh dan makhluk;
e. Tetap
berpegang teguh pada syari‟at dalam semua keadaan.
Pada tahap
ini setelah istikharah dan mendapat isyarat, Mursyid
mengangkat sâlik tersebut
menjadi khalifah (sebagai pengganti nabi Muhammad Saw. dalam memberikan ajaran
Tharîqah ini). Dalam proses ini terjadi pertautan hati antara hati sâlik, Mursyid
sampai seterusnya ke semua silsilah Syaikh Ahmad al-Rifa`i hingga ke Rasûlullâh Saw., (Qawa`id
al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 89).
Khalwat
Mingguan Setiap Bulan Muharram
Khalwat
pada bulan Muharram diisyaratkan terhadap para pengikut Tharîqah al-Rifa`iyah.
Khalwat ini dilaksanakan pada tanggal 11 Muharram sampai sore tanggal 27
Muharram.
Tata cara
khalwat Muharram sebagai berikut:
1.
Menyendiri di pondok yang telah disediakan, tanpa bercampur dengan wanita
2.
Melanggengkan wudhu‟ (jika batal langsung berwudhu‟)
3. Tidak
berbicara yang tidak ada faedahnya
4. Tidak
banyak berbicara kecuali darurat
5. Tidak
keluar rumah atau pondok kecuali darurat
6. Tidak
memakan makanan yang bernyawa
7. Setelah
shalat fardhu membaca;
8. Membaca
ratib yang wajib
9. Membaca
' yaa wahaab' tanpa hitungan berbarengan dengan keluar masuknya nafas, menutup kedua mata,
menghilangkan getaran hati
10.
Menghadirkan wajah Mursyid yang
memberikan pencerahan
11. Ketika
sâlik merasakan
getaran hati, maka sâlik membuka
kedua mata dan mengakhiri khatam dengan al-Fatihah ditujukan kepada silsilah
Tharîqah al-Rifa`iyah
12.
Anjuran dzikir pada minggu pertama khalwat
a. Hari
pertama membaca "laa ilaha illallah" sebanyak-banyaknya
b. Hari ke
dua membaca "yaa Allah" sebanyak-banyaknya
c. Hari ke
tiga membaca "yaa Wahaab" sebanyak-banyaknya
d. Hari ke
empat membaca "yaa Hayyun" sebanyak-banyaknya
e. Hari ke
lima membaca " yaa Majiidu" sebanyak-banyaknya
f. Hari ke
enam membaca "yaa Mu' thii" sebanyak-banyaknya
g. Hari ke
tujuh membaca "yaa Quduus" sebanyak-banyaknya, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah
al-Rifa`iyah, halaman: 90-91).
Adab
Mursyid dalam Khidmad terhadap Tharîqah
Adapun
adab Mursyid dalam
khidmad terhadap Tharîqah sebagai
berikut:
1.
Sempurna lahir batin
2.
Menjalankan syari‟at
3. Taat
beragama
4.
Mengetahui pokok-pokok, rukun, adab, khalwat, jalwat, dzikir, wirid, tata cara
suluk, rahasia-rahasia tharîqah
5.
Berpedoman dengan teguh pada syari‟at nabi Muhammad Saw.
6. Orang
yang selalu berharap baik (memberi nasihat) kepada teman-teman, sâlik dan selalu cinta terhada mereka tanpa
meminta imbalan
7.
Berpegang teguh terhadap Allâh Swt.
8.
Mengagungkan terhadap tanda-tanda kebesara Allâh Swt
9.
Mengetahui keadaan dan tindakan Shahib al-Tharîqah
10.
Mengetahui ketentuan-ketentuan Shahib al-Tharîqah yang
Agung
11.
Mengikuti jejak perilaku dan perjuangannya
12.
Berakhlak dengan akhlaknya
13.
Menuntun para sâlik mengikuti
syari‟at, tana menoleh terhadap pendapat-pendapat ahli filsafah
14.
Menjalankan sunnah-sunnah nabi Muhammad Saw.
15.
Bertindak keras terhada Ahlu al-Bid‟ah,
berbuat lembut terhadap Ahlu al-Haq
16.
Melepaskan diri dari pengakuan, membanggakan diri, sombong, suka dihormati
manusia
17.
Memberi ijazah tanpa pamrih apapun, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah
al-Rifa`iyah, halaman: 103).
Adab
Sâlik terhadap Mursyid
1.
Memiliki tata krama yang baik;
2.
Khusyu‟, khudhu‟;
3.
Mengetahui kedudukan dan derajat Syaikh;
4. Menggerakkan
segala kemampuan untuk Syaikh, tidak melawannya, tidak menertawakannya, tidak
menggunakan sesuatu yang membuat Sâlik merasa
agung dihadapannya;
5.
Mengagungkan perintahnya;
6. Menjaga
kehormatan Syaikh dan keluarganya, kerabatnya baik Syaikh ada di rumah,
bepergian, hidup dan wafatnya;
7.
Berserah diri pada Mursyid pada
semua keadaan, tidak menjadikan Mursyid sebagai
musuh dan sahabat;
8. Sâlik tidak diperkenankan untuk berkunjung
kepada orang shaleh/wali tanpa seizin dan perintahnya, Mursyid tidak akan memberikan izin untuk
mengunjungi salah satu ulama‟/wali sementara di dalam hati sâlik terdapat perasaan penghormatan yang
besar.
Hal ini
dilakukan Mursyid untuk
mencegah supaya keteguhan hati Sâlik tidak
terguncang mengikuti Mursyidnya,
karena sâlik di
hadapan Mursyid seperti
mayat di tangan orang yang memandikan. Sementara Mursyid adalah pengganti (al-Naib) nabi Muhammad
Saw. dalam hal menunjukkan jalan yang lurus dan nabi Muhammad Saw. penghulu
orang mukmin, para wali dan ulama adalah pewaris para Nabi, (Qawa`id
al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 104).
Kitab-kitab dan Sâlik-sâlik Syaikh Imam al-Rifa`i
Syaikh
Imam Rifa`i adalah seorang mu‟alif atau pengarang. Diantara karangan beliau
yang sampai pada kita adalah:
Di samping
itu Imam Rifa`i memiliki banyak sâlik atau
pengikut baik di waktu hidupnya maupun setelah wafat, sampai-sampai Imam Ibnu
Muhadzab dalam kitabnya Aza‟ibun Wasitun mengatakan
jumlah khalifah/ pengganti Sayyid Ahmad Rifa`i di waktu hidup beliau mencapai
180 ribu. Juga dikatakan begitu istimewanya Sayyid Ahmad Rifa`i, di waktu hidup
beliau tidak ada tempat, kota, negara, atau desa, pegunungan, daratan yang
tidak ada sâlik atau
pengikutnya.
Di antara sâlik atau pengikut beliau yang terkenal
adalah:
1. Syekh
al Khafid „Izziddin al-Faruqi
2. Syekh
Ahmad al-Badawi
3.
al-„Arif Billah Abu Hasan al-Syadzili
4. Syaikh
Sayyid Abdillah al-Kharaqiyi al-Khasini Ibnu „Amatah
5. Syekh
Najmuddin al-Asyfahani Syaikhul Islâm Ibrahim al-Dasuqi
6. Syaikh
Ahmad Alwan al-Maliki
7.
al-Khafid Jalaluddin al-Suyuti
8. Syaikh
Uqail al-Munbaji
9. Syekh
Ali al-Khawasi, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah,
halaman: 113-114).
Keagungan Imam Rifa`i di Mata Para Ulama‟
Berikut
ini pendapat para ulama‟ tentang sosok Imam Rifa`i, antara lain;
1. Syaikh
Abdul Wahab al-Sya‟rani berkata: “Beliau adalah sosok wali
Ghaustul Akbar dan Quthbul Asyhar dan termasuk salah satu Aimmatil „Arifin
(pemimpin para wali) yang menjadi rujukan para wali”.
2. Imam
Tajuddin al-Subki berkata: “Beliau adalah syaikh yang zuhud,
agung dan termasuk salah satu pemimpinnya para wali (al-„Arifin) yang mempunyai
banyak karamah yang agung”.
3.
al-Qadhi Abu Suja` al-Syafi‟i mengatakan: “Said
Imam Rifa`i adalah sosok yang „alim dan agung, faqih, muhaddits, mufassir
bahkan beliau adalah orang yang paling „alim di masanya terhadap kitab Allâh
Swt. dan Rasulnya”.
4. Syaikh
Ibnu Khalkan berkata: “Beliau adalah seorang laki-laki
yang shaleh, faqih yang menjadi pengikut serta penyebar madzhab Syafi`i”.
5. Syaikh
Abdu al-Sami‟ al-Hasyimi al-Wasithi mengatakan: “Said Ahmad Rifa`i adalah salah satu tanda (ayat) dari
tanda tanda kebesaran Allâh Swt”.
6. Syaikh
Manshur al-Batha‟i al-Robbani (guru Imam Rifa`i) berkata: “Saya mengukur diriku dan juga teman-temanku dan
membandingkannya dengan Sa`id Ahmad Rifa`i dan aku dapati beliau mengungguli
semuanya”.
7. Syaikh Ibnu Atsir al-Jazuri
mengatakan: “Beliau adalah sosok yang shaleh yang agung dan bisa diterima orang
banyak, beliau juga memiliki banyak Sâlik yang tak terhitung”.
dikutip :Judul buku: Sabilus Salikin 30 Thariqah
Penyusun: Santri Pondok Pesantren Ngalah
Jumlah halaman:880
Tahun terbit: 2013 sumber: http://www.http://galakgampil.ngalah.net