SELAMAT DATANG Para Pencari Cinta Sejati,Tanpa Membenci,Tanpa Menyalahkan,Tanpa Kesombongan,Tanpa Membedakan,Semoga Engkau Mendapat Rahmat Alloh~Raden Bagus Langlang Jagat

road to sufi

road to sufi

Monday, January 23, 2017

30 Thariqah-(7) Tharîqah Rifâ’iyah




30 Thariqah-(7) Tharîqah Rifâ’iyah


Biografi Pendiri

Tharîqah yang pendiriannya dinisbatkan kepada seorang wali quthub yang menjadi tonggak tharîqah dan tokoh para wali besar yaitu
Syaikh Sayyid Ahmad al-Rifa`i bin (1)Sayyid `Ali, bin (2)Sayyid Yahya, bin (3)Sayyid Tsabit, bin (4)Sayyid Hazim, bin (5)Sayyid Ahmad, bin (6)Sayyid Ali, bin (7)Sayyid Hasan al-Rifa`ah, bin (8)Sayyid al-Mahdi, bin (9)Sayyid Abu Qasim Muhammad, bin (10)Sayyid Hasan, bin (11)Sayyid Husain, bin (12)Sayyid Musa al-Tsani, bin (13)Sayyid Ibrahim al-Murtadha, bin (14) Imam Musa al-Kadzîm, (15)bin Imam Ja`far Shadiq, bin (16)Imam Muhammad al-Baqir, bin (17)Imam Zainal Abidin Ali, bin (18)Sayyid Imam Abi Abdillah al-Husain, bin (19)Sayyidina Ali wa Sayyidatina Fatimatuz Zahra‟, binti (20)Sayyidil Khalqi Sayyidina Muhammad Saw.

Beliau dilahirkan di Ummi Abidah daerah pertengahan antara Bashrah dan Bagdad yaitu daerah yang masyhur di Irak tepatnya hari Kamis pada pertengahan pertama bulan Rajab, yakni pada tahun 512 H., (A‟lâm al-Shûfiyah, halaman: 412-413).

Pengembaraannya dalam menuntut ilmu dimulai dengan belajar Fiqih madzhab Syafi'i dari pamannya yang bernama Syekh Abi Bakrin al-Wasiti al-Anshari. Beliau sempat mengajar kitab al-Tanbih, lalu masuk Tharîqah kemudian menempa dirinya dengan sungguh-sungguh. Ia tinggalkan gemerlap dunia dan memusatkan perhatian pada tharîqah sehingga menjadi seorang wali besar dan sangat ahli dalam ilmu tharîqah. Imam Rifa`i memiliki banyak sâlik yang sangat menghormatinya. Menurut Ibnu Khalkan dan lainnya, santri-santrinya terkenal dengan nama Rifa`iyah atau Ahmadiyah atau Bathaihiyah, Para santrinya memiliki hal-hal yang aneh dan menakjubkan, (Nûr al-Abshâr, halaman: 252).

Syaikh Syamsuddin Sibtu bin al-Zauji dalam kitab Tarikhnya mengatakan, bahwa disamping Imam Rifa`i yang memiliki berbagai karamah dan maqâm, santri-santrinya juga luar biasa. Mereka kadang menaiki binatang buas dan bermain-main dengan ular. Di antara mereka bahkan ada yang memanjat pohon kurma kemudian menjatuhkan diri ke tanah, namun tak merasa sakit sedikitpun, (Jâmi‟ al-Karâmât al-Auliyâ‟, juz 1, halaman: 402).

Menurut Imam Jalaluddin al-Suyuti, Imam Rifa`i ini menyandang mandat (ijazah) tharîqah dari (1)Syaikh Ahmad al-Wasithi al-Qârî, dari (2)Syaikh Abil Fadhal bin Kamikh al-Kâmakhâni, dari (3)Syaikh Ghulam bin Tarakkân, dari (4)Syaikh Abi Ali al-Rauzabati, dari (5)Syaikh `Ali al-„Ajami, dari (6)Syaikh Abi Bakar al-Syibli, dari (7)Imam Abul Qasim al-Junaidi aI-Baghdadi, dari (8)Imam as-Sari as-Saqathi, dari (9)Imam Abi Mahfud al-Karkhi, dari (10)Syaikh Imam Dawud al-Thâ‟i, dari (11)Syaikh Habib al-Ajami, dari (12)Syaikh Imam Hasan al-Bishri, dari (13)Suami al-Batûl, dan anak dari paman Rasûlullâh, Maulana Amiril Mu‟minin al-Imam Ali bin Abi Thalib Krw., dari (14)Sayyidil Makhluqin wa Imamin Nabiyyin wal Mursalin Sayyidina Muhammadin Saw., (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 107).

Beliau juga menyandang mandat Tharîqah dari pamannya (1)Sayyid Syaikh Manshur al-Batha‟i al-Robbani, dari pamannya (2)Syaikh Abil Manshur al-Thayyib, dari (3)Syaikh Abi Sa`id Yahya al-Bukhari al-Wasithi, dari (4)Syaikh Abi Ali al-Qurmuzi, dari (5)Syaikh Abil Qasim al-Sundusi al-Kabir, dari (6)Syaikh Abi Muhammad Ruwaim al-Baghdadi, dari (7)Syaikh Abil Qasim al-Junaidi, dari (8)Syaikh Sari al-Saqathi, dari (8)Syaikh Ma‟ruf ibn Fairuz al-Karkhi, dari (9)Imam Ali bin Musa al-Ridha, dari ayahnya (10) Imam Musa al-Kadzîm dari ayahnya (11) Imam Ja‟far al-Shâdiq, dari ayahnya (12)Imam Muhammad al-Baqir dari ayahnya (13)Imam „Ali Zainal „Abidin, dari (14)al-Imam Amiril Mu‟minin Asadullah Sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw., dari (15)Rasûlullâh Saw., (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 107 dan Thabâqat al-Kubra, halaman: 200).

Imam Rifa`i sering melihat Nur kebesaran Allâh Swt. Ketika hal itu terjadi, maka dirinya meleleh seperti genangan air. Maka berkat Rahmat Allâh Swt., kemudian mengeras sedikit demi sedikit hingga kembali ke wujud semula. Ia berkata pada santri-santrinya, "Sekiranya bukan karena kemurahan Allâh Swt., niscaya aku tidak akan kembali pada kalian". Di dalam kitab Thabâqat karya Abdul Wahab Ibnu as-Subki terdapat kisah, bahwa ada seekor kucing yang tidur di lengan baju Imam Rifa`i, Ketika waktu shalat tiba, ia menggunting lengan bajunya dengan pelan-pelan agar tidak membangunkan si kucing. Seusai shalat dan si kucing telah bangun dari tidurnya, ia jahit lengan bajunya sehingga tersambung kembali, (Thabâqat al-Kubra, halaman: 204).

Imam Rifa`i pernah mengambil air wudhu‟ pada musim dingin, ketika terlihat ia sedang meluruskan lengan tangannya dalam waktu yang cukup lama dan tidak menggerakkan sama sekali, lalu ada seorang mu`adzin bernama Ya`qub mendatanginya dan langsung mencium tangannya.
"Ya'qub, engkau telah mengganggu si lemah ini", kata Imam Rifa`i seraya menunjuk sesuatu yang berada di lengannya.
"Apakah itu?" Tanya Ya'qub.
"Ada seekor nyamuk yang sedang menikmati rezekinya dari lenganku. Karena engkau mencium tanganku, nyamuk itu pergi”, jawab Imam Rifa`i.
Di antara kata-kata Imam Rifa`i yang terkenal, "Aku telah mencoba menempuh semua jalan menuju kepada Allâh Swt. Namun aku tak menemukan jalan yang lebih mudah, lebih dekat dan lebih pantas selain dari kefakiran, kehinaan dan susah", (Nûr al-Abshâr, halaman: 253).

Dalam kitab Thabâqat karya Imam al-Sya`rani diterangkan bahwa Imam Rifa`i selalu memulai salam kepada setiap orang yang dijumpai sampai kepada seekor hewan atau anjing sekalipun. Bila mendengar kabar adanya orang sakit, ia akan menjenguknya meski orang yang sakit tersebut tinggal di tempat yang jauh. Ia akan kembali dari menjenguk orang yang sakit tersebut setelah satu hari atau dua hari, (Thabâqat al-Kubra, halaman: 203).

Imam Rifa`i keluar ke jalan untuk menunggu orang buta lewat. Bila ada orang buta lewat, ia ambil tangannya dan menuntunnya. Bila melihat orang tua renta, maka ia mendatangi penduduk desa dan berpesan dengan mengutip sabda Rasûlullâh Saw., "Barangsiapa yang memuliakan orang sudah tua renta (Muslim), maka Allâh Swt. akan menunjuk orang yang akan memuliakannya di hari tuanya nanti". Bila datang dari perjalanan dan hampir sampai di Ummi Abidah desanya, Imam Rifa`i mengumpulkan kayu bakar. Kayu bakar tersebut diikat, lalu dipanggul di pundaknya. Yang demikian juga diikuti oleh sâlik-sâliknya. Setelah sampai di desanya, kayu bakar tersebut ia bagikan kepada para janda, orang miskin, orang lumpuh, orang sakit, orang buta dan orang tua renta, (Thabâqat al-Kubra, halaman: 203).

Diantara kata-kata Imam Rifa`i yang terkenal; "Di antara tanda tenang bersama Allâh Swt. adalah merasa resah bersama orang-orang kecuali para wali. Sebab tenang bersama mereka (para wali) berarti tenang bersama Allâh Swt”. Selain itu ia pernah berkata, "Sesuatu yang lebih dekat dengan murka Allâh Swt. adalah melihat (dengan perasaan bangga) pada diri sendiri, tingkah laku dan amalnya. Yang lebih parah dari itu adalah meminta imbalan atas amal (ibadah)”. Diantara karamah Imam Rifa`i adalah ketika sedang mengajar di atas kursinya, maka orang yang jauh sekalipun akan mendengar seperti berada di dekatnya. Bahkan, semua penduduk desa sekitar pun turut mendengar seperti berada di tempat pengajiannya sekalipun orang tuli juga bisa mendengar pengajiannya, meski hanya ucapannya saja.

Sebelum meninggal dunia Imam Rifa`i menderita sakit perut. Dalam keadaan demikian, ia mengeluarkan kotoran (berak) setiap hari seperti biasanya selama sebulan lamanya.
Ia ditanya akan hal itu, "Dari mana asal semua (kotoran) ini, sedangkan Engkau tidak pernah makan atau minum selama 20 hari?"
Ia menjawab, "Ini semua berasal dari dagingku, tapi sekarang dagingku telah habis dan hanya tinggal otakku. Sekarang dari otak yang akan keluar, besok aku akan berangkat menuju Allâh Swt”. Setelah itu keluar kotoran putih dua atau tiga kali, lalu ia wafat pada waktu dhuhur yakni pada hari Kamis 12 Jumadil Ula tahun 578 H. Kalimat terakhir yang beliau ucapkan adalah 2 kalimat sahadat

'ASHADUALLA ILAHAILALLAH WA ASHADU ANA MUHAMMADAR RASULULOH'
Pada hari meninggalnya banyak sekali orang yang melayat. Ia dikebumikan di kuburan Yahya al-Bukhari, (Thabâqat al-Kubra, halaman: 206).

Cabang-cabang Tharîqah al-Rifa`iyah
Abu Shayyad penulis biografi tokoh-tokoh al-Rifa`iyah dan cabang-cabangnya dalam kitabnya Tanwirul Absar fi Thabâqati Sadat al-Rifa`iyah, sebagaimana dikutip oleh Trimingham, bahwa cabang tharîqah al-Rifa`iyah merupakan yang tersebar di dunia Islâm, antara lain:

1. Ajlaniyah;
2. A‟zabiyah (didirikan oleh Muhyiddin Ibrahim Abu Ishaq al-A‟zab, cucu Ahmad al-Rifa`i)
3. Aziziyah
4. Haririyah (didirikan Abu Ali al-Hariri yang wafat tahun 645 H/1248 M, dari Hawran, Bashrah)
5. „Ilmiyah atau Alamiyah
6. Jabartiyah (didirikan di Yaman oleh Ahmad Abu Isma‟il al-Jabarti)
7. Jandaliyah (didirikan oleh Jandal ibn Ali al-Jandali di Hums)
8. Kiyaliyah
9. Nuriyah
10. Qathaniyah (didirikan oleh Hasan al-Rifa`i di Damaskus)
11. Sabsabiyah
12. Sa‟adiyah atau Jibawiyah (didirikan di Jiba dekat Damaskus pada 736 H/1335 M, oleh Sa‟aduddin al-Jiwabi ibn Yusuf as-Syaibani)
13. Shayyadiyah (didirikan oleh Izzuddin Ahmad as-Shayyad yang dinamai juga Hafidz al-Rifa`i)
14. Syamsiyah
15. Thalibiyah (didirikan oleh Thalib al-Rifa`i wafat 638 H/1284 M)
16. Wasitiyah
17. Zainiyah
18. Baziyah di Mesir
19. Haidhariyah (didirikan oleh seorang Turki, Quthbuddin Haidar az-Zawuji wafat 617 H/1220 M)
20. Ilwaniyah (didirikan oleh Safi‟udin Ahmad al-Ilwan)
21. Habibiyah (didirikan oleh Muhammad al-Habibi, zawiyah didirikan di Kairo pada 1247 H/1831 M)
22. Malakiyah
23. Syunbukiyah-Wafa‟iyah, dua tharîqah yang tergabung (didirikan oleh Abu Muhammad Abdullah Talhah as-Syunbuki pada abad X, dengan Abul Wafa Tajul Arifin 417-501 H/1026-1107 M)
24. Uqailiyah, tharîqah yang bergabung (didirikan oleh Uqail Hakkari dai Umariyah, Syiria).
Menurut Tirmingham nomor 1-17 kemungkinan besar ada pada abad XIX, sedangkan nomor 20-24 berada di Mesir, (Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, halaman: 220-221).

Thariqah al-Rifâ‟iyah Masuk ke Indonesia

Tharîqah al-Rifâ‟iyah masuk ke Indonesia melalui Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Humaidi as-Syafi‟i al-Idrusy al-Raniry pada tahun 1658 M/1055 H. Beliau lahir di Randir, yaitu sebuah kota pelabuhan di pantai Gujarat India. Pada tahun 1637-1644 M, beliau diangkat menjadi syaikh Islâm pada kerajaan Aceh, yaitu satu jabatan di bawah Sultan yang bertanggung jawab di dalam masalah-masalah agama.
al-Raniry menerima tharîqah tersebut dari seorang guru yang paling terkenal di Gujarat di Ibu kota India yaitu Abu Hafs Umar bin Abdullah Basyaiban al-Tarimi al-Handrami yang dikenal dengan sebutan Sayyid Umar Alaidrus, beliau mengangkat al-Raniry sebagai khalifahnya. sehingga al-Raniri bertanggungjawab menyebarkan Tharîqah ini di wilayah Melayu-Indonesia. Di Indonesia tharîqah al-Rifa`iyah terkenal dengan permainan Dabus dan tabuhan Rebana yang dikenal di Aceh dengan nama Rapa‟i.

Salah satu ciri tharîqah al-Rifa`iyah ialah dzikir yang nyaring dan lantang. Jika para Darwis al-Rifa`iyah berdzikir, maka mereka berdzikir dengan suara yang sangat keras dan meraung-raung. Karena itu, mereka dikenal dengan sebutan “Darwis yang meraung”. Kadang-kadang mereka disebut juga “Darwis yang menangis” kerena suara-suara ganjil yang mereka hasilkan ketika berdzikir.
Menurut Annemarie Shimmel (ahli barat tentang tashawwuf) dalam bukunya Mistical Dimension of Islâm, para Darwis tharîqah al-Rifa`iyah ini terkenal karena mampu mewujudkan kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti memakan ular yang hidup, menusuk-nusuk dan menikam tubuh dengan benda tajam tanpa terluka, bahkan sampai mencukil mata mereka keluar tanpa merasakan kesakitan dan tidak cacat. Namun semua itu, menurut Maulana Abdur Rahman Jami merupakan sesuatu yang tidak diketahui Syaikh dan rekan-rekanya yang shaleh. Menurut para Darwis tharîqah al-Rifa`iyah, mereka melakukan perbuatan itu untuk mencari perlindungan Tuhan dari godaan iblis, (Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, halaman: 221-223).

Ajaran Tharîqah al-Rifa`iyah

Pada dasarnya Tharîqah al-Rifa`iyah dilandasi pada 2 dasar yang tidak mungkin terpisah dari ke duanya, yakni: al-Qur‟an yang mulia dan sunnah nabi Muhammad Saw. yang luhur. Di samping itu tharîqah ini tidak menyampingkan hukum aqli yang tidak keluar dari kedua dalil nash, dan apabila ditemukan di dalam sebagian amal tharîqah sesuatu yang mubah itu hanya semata-mata untuk menenangkan hati, yang pada dasarnya telah di-nash oleh Nabi dan juga sesuai dengan hukum akal agar seseorang tidak bosan dengan amaliyahnya yang bisa berakibat amal shaleh menjadi amal jelek, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 12).

Dasar-dasar Tharîqah al-Rifa`iyah

1. Mengokohkan tauhid sekaligus menyatakan dengan maknanya.
2. Mengagungkan kitab Allâh Swt. dengan mengambil hukum-hukum yang ada di dalamnya serta mengikuti perintah-perintah-Nya.
3. Mengimani kepada apa saja yang datang dari Rasûlullâh Saw. dengan cara mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengamalkan dengan perbuatan serta bersikap ihsan (menyembah kepada Allâh Swt. seakan-akan kamu melihat kepada-Nya dan apabila kamu tidak melihatnya maka Allâh Swt. melihatnya).
4. Melanggengkan hadirnya hati dan berdzikir dengan lisan dengan tanpa hitungan bersamaan dengan keluar masuknya nafas.
5. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah cinta kepada nabi Muhammad Saw. dan keluarganya melebihi segala-galanya dengan membaca shalawat dan salam dengan penuh tatakrama dan hadirnya hati serta khusyu‟ kepada keagungan nabi Muhammad Saw.
6. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah mengikuti akidah Ulama‟ Salaf dan menghargai pendapat Ulama‟ Khalaf.
7. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah mencintai keluarga nabi Muhammad Saw. beserta keluarganya yang suci.
8. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah mengagungkan kedudukan para shahabat nabi Muhammad Saw. dan menjaga kemuliannya, memuji kebaikannya serta menjauhi dari segala sesuatu yang timbul di dalam perselisihan di antara para shahabat.
9. Seorang sâlik Tharîqah al-Rifa`iyah senantiasa mengetahui keagungan Mursyidnya dengan sebenar-benarnya mengalahkan Mursyid yang lain.
10. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah menolak semua bentuk ajaran yang tidak sesuai dengan syar‟i dan akal.
11. Tharîqah al-Rifa`iyah sesuai dengan madzhab empat yang di anut di dalam Islâm, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 12-22).

Kewajiban Sâlik

Diwajibkan bagi sâlik untuk memenuhi 4 perkara; ilmu, amal, ikhlas dan khauf (rasa takut), karena sesungguhnya ilmu tanpa amal atau amal tanpa ilmu adalah mahjub (terhalang/tidak sampai). Dan sesungguhnya berilmu dan beramal yang tidak ikhlas akan rugi. Apabila tidak dilandasi rasa takut kepada Allâh Swt., dan khawatir dari akibat yang akan muncul sampai dia merasa aman di hari pertemuan dengan Allâh Swt. maka sâlik akan maghrur (tertipu). Guru dari Syaikh Imam Rifa`i berkata: Dasar dari tharîqah al-Rifa`iyah adalah menetapi al-Qur‟an dan al-Sunnah serta meninggalkan hawa nafsu, bid`ah dan juga sabar di dalam melaksanakan perintah dan amal. Barangsiapa sikap, ucapan dan perbuatannya di setiap waktu tidak sesuai dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah maka tidak bisa dijadikan di dalam tharîqahku, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 58).

Tata Cara Bai‟at Tharîqah al-Rifa`iyah

Seseorang yang akan bergabung dalam Tharîqah al-Rifa`iyah terlebih dulu harus dibai‟at. Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut;
1. Berwudhu‟
2. Shalat taubat 2 rakaat
3. Mursyid duduk di atas lututnya dan di atas sajadah dengan menghadap kiblat, sedangkan sâlik duduk di atas lututnya menghadap Mursyid sambil menempelkan kedua lututnya pada kedua lutut Mursyidnya dengan adab dan khusyu‟
4. Kemudian Mursyid membaca surat al-Fatihah 3x kemudian membaca al-Isti‟adzah dan ayat bai‟at:
Kemudian sâlik membaca kalimat tersebut dengan menjabat tangan Mursyidnya (jika sâlik laki-laki).
5. Kemudian Mursyid menyuruh membaca Istigfar;
Setelah itu Mursyid berkata pada sâlik: “Saya menetapkanmu menjadi sâlik Tharîqah ini dan dengan janji ini aku membai‟at kepada Allâh Swt.”, kemudian Mursyid berkata: “Berdirilah dan duduklah untuk menepati janji menjadi sâlik pada Tharîqah ini, setelah itu Sâlik berdiri sesuai isyarahnya Mursyid, setelah itu duduk”, ketika Sâlik duduk Mursyid berkata kepada sâlik:'..ushiika bitaqwallah..'
6. Kemudian Mursyid mentalqin sâlik dengan kalimat tauhid;'..laa ilaha illallah 3x '
seraya memanjangkan suaranya yang kemudian ditirukan oleh sâlik sambil Mursyid meletakkan keningnya pada kening sâlik dan meletakkan tangannya Mursyid pada dada sâlik dengan sambil mendo‟akan agar sâlik mendapatkan taufiq, ikhlas dan barakah. Setelah itu, diakhiri do‟a dengan bacaan al-Fatihah. (jika sâlik laki-laki)
7. Setelah itu Mursyid dan sâlik menghadap kiblat sambil membaca shalawat;
Diakhiri dengan membaca al-Fatihah yang dihadiahkan kepada nabi Muhammad Saw., para Nabi dan Rasul, keluarga Nabi Muhammad Saw., para sahabat, dan Imam al-Rifa`i, berserta keluarganya dan muslimin muslimat. Setelah itu membaca do‟a, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 81-83).

Tata Krama Tharîqah al-Rifa‟iyah

Khidmat kepada Mursyid dengan tujuan sebagai berikut:
a. Supaya watak sâlik terbentuk oleh watak Mursyid sehingga akhlak sâlik dari akhlak yang buruk berubah menjadi akhlak yang baik
b. Supaya sâlik terlepas dari pengakuan tipu daya, merasa mulia dengan Tharîqah ini, berbicara dengan ucapan yang bisa merusak akidah
c. Supaya sâlik bisa keluar dari kemalasan yang dapat merubah sâlik menjadi semangat beramal shalih
d. Supaya sâlik mengamalkan al-Quran dan al-Hadits;
e. Sâlik bisa menjalakan Tharîqah Salafus Shalih yang selalu menjalankan kebenaran yang bisa menghapus sesuatu yang tidak bermanfaat. Sehingga sâlik menjadi dekat dengan ahli al-Haq dan jauh dari ahli al-Bathil, terlepas dari pengaruh hujatan orang yang menghujat.
Ketika sâlik sudah memiliki tanda-tanda yang seperti di atas, maka Mursyid memerintahkan sâlik untuk mengamalkan wirid-wirid sebagai berikut:
1. Membaca Shalawat nabi minimal 20x
2. Membaca Istighfar minimal 20x
3. Membaca dzikir diantaranya membaca laa illaha ilallah minimal 20x, dibaca setiap selesai shalat fardhu.
Jika sâlik menemukan kenyamanan dalam berdzikir, maka Mursyid akan menambah bilangan dzikir menurut ukuran yang sesuai dengan keadaan sâlik. Jika dipandang perlu, Mursyid memerintahkan sâlik untuk mengobati suatu penyakit bathin dengan Riyadhah tertentu, perjalanan wisata, menyendiri, Khalwat, tidak tidur di malam hari, tahajjud, melakukan khidmah yang memberatkan tubuh dan bershadaqah. (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 83-85)

Tata Cara Wirid
Bacaan wirid dalam Tharîqah al-Rifa`iyah dijelaskan di dalam kitab Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 85-89 sebagai berikut;
1. Membaca al-Fatihah
2. Membaca Istighfar 3x
3. Membaca Tahlil 100x
4. Membaca Shalawat 10x
5. Membaca surat al-Dhuha 3x
6. Membaca surat al-Insyiraah 3x
7. Membaca surat al-Ikhlas 3x
8. Membaca surat al-Falaq 3x
9. Membaca surat al-Naas 3x
10. Membaca surat al-Fatihah 3x
11. Membaca basmalah 19x
12. Membaca doa di bawah ini sebanyak 3x
13. Membaca doa dibawah ini 3x
14. Kemudian membaca doa di bawah ini













































 15. Kemudian membaca al-Fatihah 3x
16. Kemudian membaca  '..Laa ilaha illallah..10x...'
17. Kemudian membaca shalawat kepada nabi Muhammad Saw. 3x
18. Kemudian membaca al-Fatihah yang dihadiahkan kepada seluruh umat nabi Muhammad Saw.
19. Dan ditutup dengan doa yang dimudahkan oleh Allâh Swt.
Rangkaian wirid-wirid di atas disebut Tuhfah al-Syarifah/Hizbi Tuhfah al-Tsaniyah. Dibaca setelah rawatib yang wajib dibaca setiap hari dengan penuh tata krama dan bagus serta menghayati maknanya. Para Imam Tharîqah al-Rifa`iyah berkata: sesungguhnya al-Tuhfah al-Tsaniyah termasuk menjadi penyebab terbesar terbukanya hati sâlik dan menjadi pintu dikabulkannya do‟a, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 85-89)
  
Jalan yang Harus Ditempuh Sâlik Tharîqah al-Rifa`iyah
Berikut beberapa asas (dasar) dan adab (etika) sâlik dalam Tharîqah al-Rifa`iyah yang dijelaskan dalam Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah;
1. Cinta kepada Mursyid-nya
2. Hati, lisan tenggelam dalam cinta kepada nabi Muhammad Saw., berpegang teguh kepada aturan hukum dan mengikuti sunnah-sunnah Rasul
(Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 83)
3. Langgeng dzikir, pikirannya benar, ini adalah ungkapan khudhur seperti pada firman Allâh Swt. surat ali-„Imran ayat 191.
Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka, (QS. ali-Iman; 191).
Ketika sâlik dalam keadaan (hal, maqâm) tertentu dan Mursyid telah melakukan istikharah dan mendapat isyarat, maka sang Mursyid menambahkan dzikir kepada sâlik dengan bacaan dzikir Ismu Dzat, dengan hitungan yang sesuai dengan keadaan sâlik. Sang Mursyid mengangkat sang sâlik menjadi Syausiyah (orang yang diberi tugas untuk mengurus saudara-saudaranya dalam majelis), jika sâlik sudah bagus dalam melaksanakan tugas menjadi Syausiyah (khidmah kepada majelis dzikir dan teman-teman di pondok sufi) maka Mursyid menambahkan dzikir Ismu Dzat menurut kemampuan dan keadaan sâlik.
Jika sâlik mampu memperbaiki khidmat (pengabdiannya) tanpa memandang kelebihannya atas makhluk lain, serta tetap melaksanakan ratîb (urutan wirid) yang diterima, menjaga adab, maka Mursyid mengangkat sâlik ke martabat al-Niqâbah (pemimpin majelis), lalu Mursyid memerintahkan sâlik untuk berdzikir Asmaul Husna.
Artinya; “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu.... ”(al-A‟raf; 180).
Ini menunjukkan bersihnya hati sâlik dan dapat dipersiapkan menjadi pemimpin dengan syarat:
a. Dapat melakukan khidmat dengan ikhlas;
b. Tidak menganggap diri memiliki keagungan;
c. Bisa mengendalikan jiwa;
d. Tambah tawadhu‟ kepada Allâh dan makhluk;
e. Tetap berpegang teguh pada syari‟at dalam semua keadaan.
Pada tahap ini setelah istikharah dan mendapat isyarat, Mursyid mengangkat sâlik tersebut menjadi khalifah (sebagai pengganti nabi Muhammad Saw. dalam memberikan ajaran Tharîqah ini). Dalam proses ini terjadi pertautan hati antara hati sâlik, Mursyid sampai seterusnya ke semua silsilah Syaikh Ahmad al-Rifa`i hingga ke Rasûlullâh Saw., (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 89).

Khalwat Mingguan Setiap Bulan Muharram
Khalwat pada bulan Muharram diisyaratkan terhadap para pengikut Tharîqah al-Rifa`iyah. Khalwat ini dilaksanakan pada tanggal 11 Muharram sampai sore tanggal 27 Muharram.
Tata cara khalwat Muharram sebagai berikut:
1. Menyendiri di pondok yang telah disediakan, tanpa bercampur dengan wanita
2. Melanggengkan wudhu‟ (jika batal langsung berwudhu‟)
3. Tidak berbicara yang tidak ada faedahnya
4. Tidak banyak berbicara kecuali darurat
5. Tidak keluar rumah atau pondok kecuali darurat
6. Tidak memakan makanan yang bernyawa
7. Setelah shalat fardhu membaca;
8. Membaca ratib yang wajib
9. Membaca ' yaa wahaab' tanpa hitungan berbarengan dengan keluar masuknya nafas, menutup kedua mata, menghilangkan getaran hati
10. Menghadirkan wajah Mursyid yang memberikan pencerahan
11. Ketika sâlik merasakan getaran hati, maka sâlik membuka kedua mata dan mengakhiri khatam dengan al-Fatihah ditujukan kepada silsilah Tharîqah al-Rifa`iyah
12. Anjuran dzikir pada minggu pertama khalwat
a. Hari pertama membaca "laa ilaha illallah"  sebanyak-banyaknya
b. Hari ke dua membaca "yaa Allah" sebanyak-banyaknya
c. Hari ke tiga membaca "yaa Wahaab" sebanyak-banyaknya
d. Hari ke empat membaca "yaa Hayyun" sebanyak-banyaknya
e. Hari ke lima membaca " yaa Majiidu" sebanyak-banyaknya
f. Hari ke enam membaca "yaa Mu' thii" sebanyak-banyaknya
g. Hari ke tujuh membaca "yaa Quduus" sebanyak-banyaknya, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 90-91).
Adab Mursyid dalam Khidmad terhadap Tharîqah
Adapun adab Mursyid dalam khidmad terhadap Tharîqah sebagai berikut:
1. Sempurna lahir batin
2. Menjalankan syari‟at
3. Taat beragama
4. Mengetahui pokok-pokok, rukun, adab, khalwat, jalwat, dzikir, wirid, tata cara suluk, rahasia-rahasia tharîqah
5. Berpedoman dengan teguh pada syari‟at nabi Muhammad Saw.
6. Orang yang selalu berharap baik (memberi nasihat) kepada teman-teman, sâlik dan selalu cinta terhada mereka tanpa meminta imbalan
7. Berpegang teguh terhadap Allâh Swt.
8. Mengagungkan terhadap tanda-tanda kebesara Allâh Swt
9. Mengetahui keadaan dan tindakan Shahib al-Tharîqah
10. Mengetahui ketentuan-ketentuan Shahib al-Tharîqah yang Agung
11. Mengikuti jejak perilaku dan perjuangannya
12. Berakhlak dengan akhlaknya
13. Menuntun para sâlik mengikuti syari‟at, tana menoleh terhadap pendapat-pendapat ahli filsafah
14. Menjalankan sunnah-sunnah nabi Muhammad Saw.
15. Bertindak keras terhada Ahlu al-Bid‟ah, berbuat lembut terhadap Ahlu al-Haq
16. Melepaskan diri dari pengakuan, membanggakan diri, sombong, suka dihormati manusia
17. Memberi ijazah tanpa pamrih apapun, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 103).

Adab Sâlik terhadap Mursyid
1. Memiliki tata krama yang baik;
2. Khusyu‟, khudhu‟;
3. Mengetahui kedudukan dan derajat Syaikh;
4. Menggerakkan segala kemampuan untuk Syaikh, tidak melawannya, tidak menertawakannya, tidak menggunakan sesuatu yang membuat Sâlik merasa agung dihadapannya;
5. Mengagungkan perintahnya;
6. Menjaga kehormatan Syaikh dan keluarganya, kerabatnya baik Syaikh ada di rumah, bepergian, hidup dan wafatnya;
7. Berserah diri pada Mursyid pada semua keadaan, tidak menjadikan Mursyid sebagai musuh dan sahabat;
8. Sâlik tidak diperkenankan untuk berkunjung kepada orang shaleh/wali tanpa seizin dan perintahnya, Mursyid tidak akan memberikan izin untuk mengunjungi salah satu ulama‟/wali sementara di dalam hati sâlik terdapat perasaan penghormatan yang besar.
Hal ini dilakukan Mursyid untuk mencegah supaya keteguhan hati Sâlik tidak terguncang mengikuti Mursyidnya, karena sâlik di hadapan Mursyid seperti mayat di tangan orang yang memandikan. Sementara Mursyid adalah pengganti (al-Naib) nabi Muhammad Saw. dalam hal menunjukkan jalan yang lurus dan nabi Muhammad Saw. penghulu orang mukmin, para wali dan ulama adalah pewaris para Nabi, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 104).

Kitab-kitab dan Sâlik-sâlik Syaikh Imam al-Rifa`i
Syaikh Imam Rifa`i adalah seorang mu‟alif atau pengarang. Diantara karangan beliau yang sampai pada kita adalah:
Di samping itu Imam Rifa`i memiliki banyak sâlik atau pengikut baik di waktu hidupnya maupun setelah wafat, sampai-sampai Imam Ibnu Muhadzab dalam kitabnya Aza‟ibun Wasitun mengatakan jumlah khalifah/ pengganti Sayyid Ahmad Rifa`i di waktu hidup beliau mencapai 180 ribu. Juga dikatakan begitu istimewanya Sayyid Ahmad Rifa`i, di waktu hidup beliau tidak ada tempat, kota, negara, atau desa, pegunungan, daratan yang tidak ada sâlik atau pengikutnya.
Di antara sâlik atau pengikut beliau yang terkenal adalah:
1. Syekh al Khafid „Izziddin al-Faruqi
2. Syekh Ahmad al-Badawi
3. al-„Arif Billah Abu Hasan al-Syadzili
4. Syaikh Sayyid Abdillah al-Kharaqiyi al-Khasini Ibnu „Amatah
5. Syekh Najmuddin al-Asyfahani Syaikhul Islâm Ibrahim al-Dasuqi
6. Syaikh Ahmad Alwan al-Maliki
7. al-Khafid Jalaluddin al-Suyuti
8. Syaikh Uqail al-Munbaji
9. Syekh Ali al-Khawasi, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 113-114).

Keagungan Imam Rifa`i di Mata Para Ulama‟

Berikut ini pendapat para ulama‟ tentang sosok Imam Rifa`i, antara lain;
1. Syaikh Abdul Wahab al-Sya‟rani berkata: “Beliau adalah sosok wali Ghaustul Akbar dan Quthbul Asyhar dan termasuk salah satu Aimmatil „Arifin (pemimpin para wali) yang menjadi rujukan para wali”.
2. Imam Tajuddin al-Subki berkata: “Beliau adalah syaikh yang zuhud, agung dan termasuk salah satu pemimpinnya para wali (al-„Arifin) yang mempunyai banyak karamah yang agung”.
3. al-Qadhi Abu Suja` al-Syafi‟i mengatakan: “Said Imam Rifa`i adalah sosok yang „alim dan agung, faqih, muhaddits, mufassir bahkan beliau adalah orang yang paling „alim di masanya terhadap kitab Allâh Swt. dan Rasulnya”.
4. Syaikh Ibnu Khalkan berkata: “Beliau adalah seorang laki-laki yang shaleh, faqih yang menjadi pengikut serta penyebar madzhab Syafi`i”.
5. Syaikh Abdu al-Sami‟ al-Hasyimi al-Wasithi mengatakan: “Said Ahmad Rifa`i adalah salah satu tanda (ayat) dari tanda tanda kebesaran Allâh Swt”.
6. Syaikh Manshur al-Batha‟i al-Robbani (guru Imam Rifa`i) berkata: “Saya mengukur diriku dan juga teman-temanku dan membandingkannya dengan Sa`id Ahmad Rifa`i dan aku dapati beliau mengungguli semuanya”.
7. Syaikh Ibnu Atsir al-Jazuri mengatakan: “Beliau adalah sosok yang shaleh yang agung dan bisa diterima orang banyak, beliau juga memiliki banyak Sâlik yang tak terhitung”.

dikutip :Judul buku: Sabilus Salikin 30 Thariqah
Penyusun: Santri Pondok Pesantren Ngalah
Jumlah halaman:880
Tahun terbit: 2013 sumber: http://www.http://galakgampil.ngalah.net