Syekh Ahmad ar-Rifa`i
Sayyidina Ahmad ar-Rifa`i (Imam dari Tariqat Sufi Rifa'i) diberikan penglihatan berada di Surga Keempat dan melihat Samudera yang demikian besar, dan dia pikir itu adalah air, tetapi ketika dia mendekatinya ternyata samudera pasir, bukan air. Ia tidak bisa melihat batas awal, atau akhirnya.
Semakin dia mendekat hingga sampai
kesetiap partikel pasir, ia menemukan bahwa setiap butir pasir itu sendiri
adalah seluruh alam semesta! Dan di sana ia mendengar suara adzan memanggilnya,
dan Nabinya adalah Sayyidina Muhammad (saw). "Dia mendengar azan seperti
azan kami, dan mengatakan ini adalah dunia yang bukan fotocopy dari dunia ini
atau sama satu sama lainnya, dan Nabi (saw) adalah Nabi untuk setiap dunia ini,
yaitu dunia dalam diri mereka. Inilah pengetahuan rahasia yang dicapai oleh
Sayyidina Ahmad ar-Rifa `i (q). Akbar al-akbar!"
Syaikh Ahmad Al-Rifa'i, tokoh
sufi di mana Tarikat Rifa'iyyah dibangsakan, yang lahir dengan nama Ahmad bin
Shalih, diketahui memiliki sejumlah nama seperti Ahmad bin Abi'l Hasan
Al-Rifa'i, Ahmad bin Ali Abul Abbas, Syaikh Ahmad kabir Rifa'i, atau nama
lengkapnya Sidi Ahmad bin Yahya bin Huzain bin Rifa'ah.
Ia dilahirkan pada
bulan Muharram tahun 500 Hijriah/ September 1106 Masehi tetapi ada juga yang
menyatakan kelahirannya pada bulan Rajab tahun 512 H/ Oktober-November 1118
Masehi. Sebagian sumber menyebut Syaikh Ahmad Rifa'i lahir di Marokko, tetapi
sumber yang kuat menyatakan ia lahir di Qaryah Hassan, dekat Basrah di Irak.
Menurut satu cerita, nama Rifa'i berkaitan dengan nama Suku Rifa'i yang tinggal
di Makkah sejak tahun 217 H tetapi pindah ke Sevilla di Spanyol. Pada masa
kakek Syaikh Ahmad Rifa'i pada tahun 450 H, datanglah keluarga Rifa'i ke
Basrah. Oleh karena datang dari barat, maka kakek Syaikh Ahmad Rifa'i memakai
nama Al-Maghribi. Sebagian meriwayatkan, ayah dari Syaikh Ahmad Rifa'i yang
pindah dari Maghrib ke Irak, tinggal di kota Ummu ‘Ubaidah di Batha'ih.
Menurut riwayat, ketika berusia 7
tahun ayahanda Syaikh Ahmad Rifa'i wafat di Baghdad. Ia kemudian diasuh
oleh pamannya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, yang tinggal di Basrah. Asy-Sya'rani
dalam kitab Lawaqihul Anwar menuturkan bahwa Syaikh Mansyur Al-Batha'ih adalah
seorang syaikh thariqah. Dalam sejarah hidup Syaikh Ahmad, ia pertama
kali belajar Ilmu Fiqih Mazhab Syafi'i dengan mempelajari Kitab Al-Tanbih dari
Syaikh Abul Fadl Al-Wasithi, akan tetapi belakangan ia lebih cenderung
kepada ilmu tasawuf. Kecenderungan kepada tasawuf itu kemungkinan disebabkan
oleh lingkungan keluarganya yang menganut gerakan sufisme dan bahkan paman yang
mengasuhnya adalah guru besar (syaikh) tarikat. Bahkan di bawah bimbingan
sang paman, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, Syaikh Ahmad Rifa'i memasuki dunia
tasawuf secara mendalam sampai ia menggantikan kedudukan sang paman sebagai
syaikh.
Syaikh Sholah ‘Azham, penulis
masalah-masalah tasawuf asal Mesir, menuturkan kisah pemilihan syaikh yang
patut menggantikan kedudukan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih yang sudah tua dan
sakit-sakitan. Syaikh Mansyur Al-Batha'ih ingin memilih khalifah penggantinya.
Para murid dan pengikut yang berjumlah ribuan memohon kepada Syaikh
Mansyur Al-Batha'ih agar secepatnya memilih putera Syaikh Mansyur Al-Batha'ih
sendiri yang bernama Ahmad untuk menggantikan kedudukan syaikh. Namun Syaikh
Mansyur Al-Batha'ih malah memilih Ahmad bin Shalih, keponakannya yang sejak
kecil telah diasuhnya. Para murid dan pengikut sangat kecewa dengan pilihan
Syaikh Mansyur Al-Batha'ih. Mereka diam-diam menghadap isteri Syaikh Mansyur
Al-Batha'ih, memohon agar bersedia membujuk suaminya untuk membatalkan
pilihannya pada Ahmad bin Shalih dan memilih Ahmad bin Mansyur sebagai
pengganti.
Faham dengan keinginan murid-murid
dan pengikutnya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih berencana mengadakan sayembara
model sufi. Satu hari dipanggilnya sepuluh orang murid senior, termasuk
puteranya, Ahmad bin Mansyur, dan keponakannya, Ahmad bin Shalih. Masing-masing
mereka diberi seekor burung merpati dan sebilah pisau disertai perintah untuk
berlomba menyembelih burung tersebut, dengan syarat dilakukan di tempat
tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapa pun. Lalu para peserta sayembara
itu berhamburan ke berbagai arah untuk menjalankan tugas masing-masing.
Dalam waktu tidak lama,
berdatanganlah para murid senior membawa burung-burung merpati yang telah
tersembelih. Setelah itu, puteranya, Ahmad bin Mansyur datang pula dengan
burung merpati yang telah tersembelih. Hanya Ahmad bin Shalih yang datang
paling akhir dengan burung merpati masih hidup dan belum disembelih.
Di hadapan murid-murid senior dan
puteranya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih bertanya kepada Ahmad bin
Shalih,"Wahai Ahmad, kenapa engkau datang terlambat? Dan kenapa pula
burungmu belum kau sembelih?"
Dengan takzim Ahmad bin Shalih
menjawab,"Maafkanlah saya paman, saya tidak dapat melaksanakan perintahmu.
Sebab saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri. Saya tidak menemukan tempat
seperti yang paman maksudkan. Saya tidak menemukan tempat yang bebas dari
pengawasan. Setiap tempat yang saya datangi senantiasa saya rasakan Allah
selalu hadir dan mengawasinya."
Mendengar jawaban Ahmad bin Shalih,
Syaikh Mansyur Al-Batha'ih dan para murid serta puteranya terpukau. Sebab yang
disampaikan Ahmad bin Shalih itu menunjukkan betapa tinggi tingkat muraqabah
Ahmad bin Shalih. Untuk itu, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih menetapkan pilihan
dengan berkata,"Turiiduna li mahbubikum, wa Allahu yuuridu li
mahbubih" (kalian menghendaki orang yang kalian sukai, tetapi Allah lebih
menghendaki orang yang Dia sukai). Demikianlah, Ahmad bin Shalih Al-Rifa'i
terpilih secara mutlak sebagai pengganti Syaikh Mansyur Al-Batha'ih. Sekali pun
mengganti kedudukan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, namun ajaran yang dikembangkan
Syaikh Ahmad Rifa'i tidak sama persis dengan yang diajarkan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih,
karena Syaikh Ahmad Rifa'i juga memperoleh ijazah dari guru sufi yang lain,
yaitu Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi.
Ketika Syaikh Ahmad Rifa'i
bertemu dengan seorang wali bernama Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi, ia
diberinya pelajaran berupa sindiran:
Sindiran
itu sangat berkesan bagi Syaikh Ahmad Al Rifa'i. Setahun lamanya Syaikh Ahmad
Rifa'i mengulang-ulang perkataan ini.
"Orang yang berpaling.. dia tiada
sampai.
Orang yang ragu-ragu.. tidak mendapat kemenangan.
Barangsiapa tidak
mengetahui waktunya kurang..maka semua waktunya telah kurang."
Setelah setahun Al-Rifa'i datang
kembali menemui Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi dan meminta wasiat lagi. Syaikh
Abdul Malik Al-Kharnubi kemudian berkata,
Syaikh Ahmad Al-Rifa'i kembali mengulang-ulang perkataan itu selama
setahun dan ia banyak mendapat manfaat dari perkataan itu karena perkataan
itu diresapi, dihayati dan diamalkan.
"Sangatlah keji kejahilan bagi
orang-orang yang mempunyai Akal.
Sangatlah keji penyakit pada sisi semua
dokter.
Sangatlah keji sekalian kekasih yang meninggalkan Wushul."
Syaikh Ahmad Rifa'i dikenal sebagai
rujukan ilmu thariqah di jamannya, karena ia dianggap memiliki ilmu
haqiqat yang tinggi dan sebagai wali qutub yang agung dan masyhur sesudah jaman Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany. Ke mana pun ia pergi, para
pengikutnya selalu mengikutinya. Itu sebanya, para pengikutnya dikenal dengan
sebutan "Al-Thoifah Al-Rifa'iyah".
Dijuluki dengan
Muhiyyudin dan Sayyid al- ‘arifin (penghulu para ‘arif). Berasal dari Maghribi
dan terlahir di Bathaih yang kemudian menjadi tempat tinggalnya.
Kualitas, kemasyhuran dan tingkatan
spiritualnya sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Beliau adalah salah
seorang dari empat orang yang dianugerahi kemampuan menyembuhkan lepra,kebutaan, menghidupkan orang mati, dengan izin Allah. Beliau termasuk salah satu orang
termasyhur di dunia. Muridnya berasal dari berbagai makhluk dan berbagai
negara. Banyaknya tidak terhitung. Tidak ada satu negara muslimpun yang tidak
memiliki zawiyahnya.
Beliau adalah orang yang sering
bermujahadah, beliau juga termasuk salah satu orang yang menguasai berbagai
kondisi spiritual dan rahasia-rahasianya. Kepada beliaulah kepakaran ilmu ini
dinisbathkan. Beliau terangkan berbagai kondisi spiritual dan memberikan solusi
atas berbagai permasalahan dalam posisi mereka. Berbagai pernyataan berkualitas
tinggi dalam tasawuf dinisbathkan kepada beliau.
Beliau termasuk orang tawadhu’ dan
melepaskan dirinya dari dunia, tidak pernah menyimpan apapun. Ketika ada yang
bertanya kepadanya tentang pernyataannya, “Sendiri lebih baik dari pada teman
jelek”. Beliau menjawab,
“di Zaman sekarang ini orang saleh lebih baik dari
pada teman duduk.
Karena memandangnya adalah obat dan tidak ada jalan menuju
keselamatan kecuali tauhid”.
Berkenaan dengan pemutusan hubungan
kepada selain Allah lari dari segala sesuatu kepada Allah dan menninggalkan
apapun selain Allah, beliau menyitir sebuah sya’ir:
Bagaimana kalian bisa bergembira
sedangkan hidup adalah kesedihan
Bagaimana kalian bisa ridha sedangkan
Al-Anaam (sang pencipta murka).
Wahai yang menjadikan antara aku dan
kehidupan
Dan menjadikan antara aku dan alam
kehancuran
Jika Engkau meneriakkan cinta, maka
semua menjadi hancur
Dan semua yang ada di atas tanah
menjadi debu.
Syaikh Syamsudin Abu Mudzafar Yusuf
Sabt ibn Jauzi dalam kitab tarikh karangannya menyatakan salah seorang
syaikh kami berkisah, “Pada suatu malam di pertengahan bulan sya’ban, aku
mendatangi Syaikh Ahmad Rifa’i dan mendapati sekitar 100 ribu orang sedang
berkumpul. ‘Ini adalah kumpulan yang sangat besar kataku kepadanya. Beliau
balik berkata, ‘Engkau akan mendapat kerugian sebagaimana yang didapat
Hamman jika terbetik dalam hatimu bahwa akulah pemimpin kumpulan ini’”.
Syaikh Abu Farj AbduRrahman bin Ali Ar-Rifa’i
keponakan dari saudara perempuannya berkisah, “pada suatu hari aku duduk di
tempat yang membuatku dapat mendengar perkataan dan melihat beliau dengan
jelas. Saat itu beliau duduk seorang diri, tidak didampingi oleh siapapun.
Tiba-tiba seseorang turun dari langit dan duduk di hadapannya. Beliau berkata,
‘ Selamat datang utusan dari timur.’ ‘Dua puluh hari sudah aku tidak makan dan minum. Aku ingin engkau memberi
makan keinginanku’, ujar orang tersebut.
‘Apa keinginanmu ?’ tanya
beliau.
Orang itu memandang ke lima ekor
angsa yang sedang terbang dan berkata, ‘ Aku ingin salah satu dari angsa
tesebut, panggang. Dua potong roti dan secangkir beasar air dingin’.
‘Akan aku berikan semua yang engkau
minta’. Jawab sang Syaikh.
Kemudian beliau memandang ke arah angsa-angsa tersebut sambil berkata, ‘penuhi permintaan orang ini’. Tak lama kemudian salah seekor dari mereka turun dalam keadaan terpanggang. Setelah itu Syaikh mengulurkan tangannya mengambil dua buah batu yang ada di sampingnya yang kemudian berubah menjadi dua potong roti hangat. Kemudian beliau mengulurkan tangannya ke udara dan saat turun tangan tersebut telah menggenggam cawan besar merah berisi air. Orang tersebut makan dan minum lalu kembali terbang kearah datangnya tadi.
Kemudian beliau memandang ke arah angsa-angsa tersebut sambil berkata, ‘penuhi permintaan orang ini’. Tak lama kemudian salah seekor dari mereka turun dalam keadaan terpanggang. Setelah itu Syaikh mengulurkan tangannya mengambil dua buah batu yang ada di sampingnya yang kemudian berubah menjadi dua potong roti hangat. Kemudian beliau mengulurkan tangannya ke udara dan saat turun tangan tersebut telah menggenggam cawan besar merah berisi air. Orang tersebut makan dan minum lalu kembali terbang kearah datangnya tadi.
Seiring dengan perginya orang
tersebut, Syaikh bangkit dan memungut tulang-tulang angsa tadi, meletakkannya
di tangan kiri dan mengusapnya dengan tangan kanannya seraya berkata, “hai
tulang belulang yang berserakan, dengan perintah Allah terbanglah engkau. BismiallahiRrahmaanirrahiim.
Seketika itu pula angsa tersebut terbang ke udara menghilang dari pandangan
kami. “
Syaikh Jalaludin Abdurrahman
As-Suyuti berkata dalam kitabnya At-tanwir bab imkanrukyatin Nabiyyi SAW
(Dimungkinkannya melihat RasuluLlah SAW), “Syaikh Ahmad Rifa’i berdiri di depan
makam RasuluLlah SAW kemudian beliau bersya’ir
Ketika
jauh,
rohku yang kukirim sebagai wakilku
untuk menciumi tanah kuburmu.
Sekarang yang
diwakilkan telah hadir,
sekarang ulurkanlah tangan kananmu
agar beruntung kedua
bibirku.
Seketika itu pula keluarlah tangan RasuluLlah SAW dari kuburnya.
Diriwayatkan salah seorang
sahabatnya sering melihat beliau duduk di kursi As-Shidq dalam mimpimya, namun
ia tidak pernah mengabarkan hal tersebut kepada beliau. Dan sang syaikh
diriwayatkan memiliki seorang isteri yang berlidah tajam dan berperangai kasar.
"Suatu hari orang tadi
menghadap beliau dan mendapati isteri tersebut sedang memukulkan penyulut lampu
ke punggungnya hingga hitam bajunya tanpa sedikitpun dilawan oleh sang syaikh.
Sahabat tersebut keluar dan menemui para sahabat yang lain kemudian berkata,
“Wahai saudara-saudara, sang syaikh mendapat perlakuan demikian dan demikian…..
namun kalian dam saja.”. Salah seorang berkata, “Maharnya lima ratus dinar dan
beliau adalah orang yang miskin”. Sahabat tadi berlalu dan mengumpulkan 500
dinar kemudian pergi menghadap sang Syaikh dan meletakkan uang tersebut di
hadapannya.
Apa ini ?“ tanya sang syaikh
kepada sahabatnya tersebut.
“Ini mahar perempuan yang telah
berbuat ini dan itu kepada engkau” jawabnya.
“Tahukah engkau” ujar sang syaikh,
“Jika bukan karena kesabaranku atas pukulan dan mulutnya, engkau tidak akan
melihatku duduk di kursi Ash-Shidq. “
Syaikh Syamsudin Sabth Ibn Jauzi
dalam kitab tarikh berkata, “Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Abu Abas bin Rifa’i
adalah syaikh orang-orang Bathaih, beliau tinggal di Umm Ubaidah dan
dianugerahi berbagai karamah dan maqam. Diantara para sahabatnya ada yang
menunggangi hewan buas dan bermain dengan ular. Ada pula yang memanjat dan
melemparkan dirinya dari pohon kurma tertinggi tanpa cedera sedikitpun. Mereka
semua berkumpul satu kali dalam semusim.”
Ketua para Qadhi Mujiruddin
AbruRrahman Al-Amiri Al-‘Alimi Al-Hanbali Al-Maqdisi dalam kitabnya Al-Mu’tabar
fi abna min ‘abar meriwayatkan, “ Beliau adalah Abu Abbas Ahmad bin Abi
Al-Hasan Ali bin Abi Abas Ahmad yang dikenal dengan sebutan bin Rifa’i beliau
bermadzhab Syafi’i ,berasal dari barat dan tinggal di Umm Ubaidah sebuah desa
di Bathaih.
Sebuah syair darinya :
Bila gelap
tiba, bergolak kalbuku mengingat-Mu
Tangisku
bak cicitan burung merpati.
AL-Alamah Syamsudin bin Nashirudin
Ad-Dimasyqi berkata, “Kami belum pernah mendengar bahwa guru kami Syaikh Abu
Abas Ahmad bin Rifa’i merupakan keturunan salah seorang dari para Imam
sebagaimana yang dinyatakan oleh beberapa imam, atau nasab yang shalih dari Ali
bin Abi Thalib atau kepada keturunan beliau yang mulia. Yang sampai kepada kami,
yang dihafal oleh para Hufadz dan yang kami anggap kuat, beliau adalah
Abu Abas Ahmad bin Syaikh Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad bin Yahya bin Hazim bin
Ali bin Rafa’af Al-Maghribi. Berasal dari Iraq dan kata Rifa’i dinisbathkan
kepada kakek buyutnya.
Adalah ayahnya syaikh Abi Al-Hasan
Ali yang datang dari Maghrib dan menetap di Bathaih. Beliau mengawini saudara
perempuan Syaikh Manshur ahli zuhud ,dan dari perkawinan tersebut lahirlah
Syaikh Ahmad Rifa’i. Ayahnya meninggal dunia ketika beliau masih dalam
kandungan dan beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 500 H. Beliau diasuh
oleh paman dari ibunya sejak saat itu.
Beliau belajar kepada pamannya,
kepada Abi Al Hasan Ali Al-Qaari Az-Zahid dan lainnya. Kemudian beliau menjadi
pemimpin kaum ‘aarif dan salah seorang wali terbesar dalam sejarah. Beliau wafat
17 tahun setelah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilli, pada bulan Jumadil Ula 587 H”.
Sedangkan Ketua Qadhi Jamaluddin Abu
Mahasin Yusuf At-Tadafi mengatakan, “Beliau
adalah Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Yahya bin Hazim bin Ali bin Tsabit bin Ali
bin Al-Husain Al-Asghar bin Al-Mahdi bin Muhammad bin Qasim bin Musa bin
AbdurRahim bin Saleh bin Yahya bin Muhammad bin Ibrahim bin Musa bin Kadzim bin
Ja’far As’Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin
Ali bin Abi Thalib.”
Ajaran Syaikh Ahmad Rifa'i
Ajaran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa'i
banyak diriwayatkan oleh ‘Abdul Wahhab Al-Sya'rani dalam buku At-Thabaqat
al-Kubra. Ajaran zuhud, misal, menurut Syaikh Ahmad Rifa'i adalah landasan
keadaan yang diridlai dan tingkatan-tingkatan yang disunnahkan. Langkah pertama
salik menuju Allah adalah mengarahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Siapa
yang belum menguasai landasan kezuhudan, maka langkah-langkah selanjutnya akan
sulit menemukan yang benar. Sedang ma'rifat, menurut Syaikh Ahmad Rifa'i, adalah
kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yaqin sehingga
tersingkaplah hakikat realitas-realitas yang benar-benar meyakinkan. Dalam
riwayat lain, dikisahkan Syaikh Ahmad Rifa'i berkata,
"Cinta mengantar pada
rindu dendam,
sementara ma'rifat mengantar pada kefanaan - ketiadaan
diri."
Ajaran Syaikh Ahmad Rifa'i tidak
lepas dari rebana sebagai pengiring dzikir dan shalawat. Menurut riwayat, suatu
saat Syaikh Ahmad Rifa'i berdzikir dalam keadaan fanaa. Tubuhnya terangkat ke
atas dan dalam keadaan tidak sadar ia menepuk-nepuk dadanya. Allah
memerintahkan kepada malaikat untuk memberinya rebana di dadanya. Tetapi Syaikh
Ahmad Rifa'i tidak ingat apa-apa akibat terlalu khusyuknya. Sejak saat itu,
rebana menjadi bagian dari ajaran tarikat Ar-Rifa'iyyah.
Untuk menuju kepada Tuhan, Al-Rifa'i
mengajarkan dzikir yang diformulasi dengan irama dan intonasi suara yang
lantang dengan tujuan supaya yang tidur bangun dan yang alpa menjadi ingat.
Oleh karena cara berdzikir yang berirama itu, dunia Barat menyebut dzikir
Tarikat Rifa'iyyah dengan sebutan Darwis Menangis, terutama karena suara-suara
ganjil yang dihasilkan pada dzikir berjama'ah Tarikat Rifa'iyyah. Ada pula yang
menyebut dzikir Rifa'iyyah dengan sebutan Dzikir Arra, yaitu "dzikir
menggergaji" terutama yang dijalankan Tarikat Rifa'iyyah di Asia Tengah
dan Turki. Sebagian penganut Tarikat Rifa'iyyah menyatakan tidak tahu pasti
apakah Dzikir dengan suara lantang itu diajarkan oleh Syaikh Ahmad Rifa'i sendiri
atau ada pengaruh dari Tarikat Yasawiyyah yang dibangsakan kepada Syaikh Ahmad
Yasawi, di mana Syaikh Ahmad Yasawi dikenal sebagai pelopor dzikir lantang
karena ia seorang sastrawan sufi.
Dalam kitab at-Thabaqat al-Kubra
diterangkan, pada saat mengajar Syaikh Ahmad Rifa'i suaranya terdengar
oleh orang-orang yang tinggal jauh dari tempatnya seolah semua bisa
mendengar apa yang disampaikan sama seperti orang yang dekat dengan
tempatnya mengajar. Saat Syaikh Ahmad Rifa'i mengajar, penduduk di sekitar
Ummi Abidah beramai-ramai keluar dari rumahnya untuk mendengarkan apa
yang disampaikan oleh Syaikh Ahmad Rifa'i. Konon, orang yang tuli
pun jika hadir mengaji, akan dibukakan pendengarannya oleh Allah sehingga
bisa mendengar apa yang disampaikan Syaikh Ahmad Rifa'i. Para guru
tarikat banyak yang hadir untuk mendengarkan wejangan Syaikh Ahmad
Al-Rifa'i. Mereka biasanya menggelar sajadah sebagai tempat duduk. Setelah
Syaikh Ahmad Al-Rifa ‘i selesai memberi pelajaran, mereka pulang sambil
menempelkan sajadah ke dada mereka masing-masing. Setelah sampai di
rumah, mereka dengan lancar bisa menjelaskan semua yang telah
mereka dengar kepada para muridnya.
Dari berbagai ajaran Al-Rifa'i yang
paling menonjol dan terkenal adalah Dabus, suatu didikan yang luar biasa
ganjil.Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimensions of Islam (1975) menganggap
Tarikat Rifa'iyyah sebagai tarikat ganjil karena melatih murid-muridnya untuk
tahan api, melukai diri sendiri dengan benda-benda tajam, berjalan di atas
pecahan kaca, mematukkan diri dengan ular berbisa, memakan kaca, ditusuk
benda-benda runcing (dabus), dengan anggapan murid-murid yang mencapai tahap
fana tidak lagi memiliki rasa sakit karena sangat dzikir kepada Allah.
Asy-Sya'rani mengomentari kedudukan
Al-Rifa'i dalam kedudukan tasawuf dengan ungkapan,"Dia adalah
seorang tokoh dalam tasawuf, mengenal berbagai keadaan kaum sufi, dan banyak
menuingkap masalah-masalah posisi mereka. Setiap kali ia keluar, ia selalu
diikuti orang banyak. Dia memiliki murid."
Keanehan dalam berbagai hal, tidak
hanya dimiliki Al-Rifa'i, banyak hal aneh yang juga sering terjadi pada diri
murid Syaikh Ahmad Rifa'i seperti mampu masuk ke dalam api yang sedang
menyala, menjinakkan binatang buas seperti harimau, membuat hewan buas patuh
dan menuruti apa yang mereka katakana, sehingga singa pun dapat dijadikan
kendaraan oleh mereka. Di Mesir banyak cerita tentang bagaimana murid-murid
Tarikat Rifa'iyyah menolong orang-orang yang dipatuk ular cobra. Pendek
kata, berbagai keajaiban ditunjukkan oleh murid-murid Tarikat Rifa'iyyah.
Keteladanan Hidup Syaikh Ahmad Rifa'i
Salah satu dari sekian banyak
budi pekerti yang diteladankan Syaikh Ahmad Rifa'i adalah
seringnya ia mengunjungi tempat orang-orang berpenyakit kusta. Ia tidak
sekedar mengunjungi, tetapi mencuci bersih pakaian orang-orang
berpenyakit kusta yang sangat menjijikkan menurut pandangan umum itu.
Dipeliharanya orang-orang yang sedang sakit itu dengan mengantarkan makanan
untuk mereka dan ia juga turut makan bersama-sama mereka tanpa
merasa jijik.
Ketika Syaikh Ahmad Al Rifa'i datang
dari perjalanan dan telah dekat dengan kampungnya, maka dipungutnya
kayu bakar. Setelah itu dibagi-bagikannya kayu bakar itu kepada
orang-orang sakit, orang buta, orang-orang tua dan orang yang
membutuhkannya. Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Mendatangi orang-orang yang
semacam itu adalah wajib bagi kita dan bukan sekedar sunnah. Nabi Saw
bersabda : "Barang siapa yang memuliakan orang tua muslim, maka Allah akan
meluluhkan orang untuk memuliakannya jika ia sudah tua".
Setiap berada dijalan, Syaikh Ahmad
Rifa'i selalu menunggu lewatnya orang buta, di mana saat ada orang
buta lewat lalu dipegang dan dituntun serta diantar sampai ke
tujuan. Syaikh Ahmad Rifa'i memiliki kasih sayang bukan hanya kepada manusia,
tetapi juga kepada binatang. Dikisahkan satu saat ada seekor anjing
menderita penyakit kusta. Kemana saja anjing itu pergi, ia selalu diusir
orang. Anjing itu kemudian dipelihara oleh Syaikh Ahmad Al-Rifa'i. Anjing
itu dimandikan dengan air panas, lalu diberi obat dan makanan, sampai anjing
itu sembuh dari penyakit yang dideritanya. Kalau ada orang yang bertanya
tentang apa yang telah diperbuatnya Syaikh Ahmad Rifa'i selalu
berkata , "Aku selalu membiasakan pekerjaan yang baik."
Syaikh Ahmad Rifa'i kalau kebetulan
dihinggapi nyamuk akan membiarkannya. Ia tidak mengijinkan orang lain
untuk mengusirnya. Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Biarkanlah dia
meminum darah yang dibagikan Allah kepadanya."
Pada suatu hari ada seekor kucing sedang nyenyak tidur di atas lengan bajunya. Waktu shalat telah masuk. Syaikh Ahmad Rifa'i lalu menggunting lengan bajunya itu karena ia tidak sampai hati mengejutkan kucing yang sedang lelap tidur itu. Seusai shalat, lengan bajunya itu diambil dan dijahit lagi.
Pada suatu hari ada seekor kucing sedang nyenyak tidur di atas lengan bajunya. Waktu shalat telah masuk. Syaikh Ahmad Rifa'i lalu menggunting lengan bajunya itu karena ia tidak sampai hati mengejutkan kucing yang sedang lelap tidur itu. Seusai shalat, lengan bajunya itu diambil dan dijahit lagi.
Jika ada orang minta dituliskan
wafak/azhimah kepadanya, maka Syaikh Ahmad Rifa'i akan mengambil kertas
lalu ditulis tanpa pena. Anehnya, sewaktu ada orang memberikan kertas yang
pernah ditulisnya tanpa pena setahun sebelumnya, ia menolak untuk menulis ulang
di atas kertas itu sambil menjelaskan bahwa kertas itu sudah pernah
ditulisinya.
Budi pekerti mulia lain yang
ditunjukkan Syaikh Ahmad Rifa'i ialah ia tidak mau membalas kejahatan
dengan kejahatan. Apabila ia dimaki orang, ia hanya menundukkan
kepala dan bersujud mencium bumi dan menangis serta meminta maaf
kepada orang yang memakinya. Syaikh Ahmad Rifa'i pernah dikirimi
surat oleh Syeikh Ibrahim al-Basity yang isi suratnya merendahkan martabatnya.
Syaikh Ahmad Rifa'i berkata kepada orang yang menyampaikan surat itu,
"Coba bacalah surat itu!"
Ternyata isi surat itu adalah
"Hai orang yang buta sebelah, hai Dajjal, hai orang yang membikin
bid'ah, dan berbagai macam caci-maki yang menyakitkan hati."
Setelah pembawa surat itu selesai membaca surat, maka surat
itu diterimakan kepada Syaikh Ahmad Rifa'i, dan setelah membaca Syaikh Ahmad
Rifa'i berkata : "Ini semua benar, semoga Allah membalas kebaikan
kepadanya." Lalu Syaikh Ahmad Rifa'i berkata dengan bersyair,
Sebentar kemudian
Syaikh Ahmad Rifa'i berkata : "Tulislah sekarang jawaban balasanku
yang berbunyi :
"Maka tidaklah aku peduli kepada orang yang meragukan aku
yang penting
menurut Allah, aku bukanlah orang yang meragukan."
"Dari orang rendah kepada Tuanku Syaikh Ibrahim.
Mengenai tulisan
Tuan seperti yang tertera dalam surat,
memang Allah telah menjadikan aku
menurut apa yang dikehendaki-Nya
dan aku mengharapkanmu hendaknya sudi
bersedekah kepadaku
dengan mendo'akan dan memaafkanku."
Setelah surat balasan ini sampai pada Syaikh Ibrahim al-Basity dan dibaca
isinya, kemudian Syaikh Ibrahim pergi. Menurut cerita, tidak ada seorang
pun yang tahu ke mana syaikh itu pergi.
Kisah menggemparkan yang pernah
dialami Syaikh Ahmad Rifa'i adalah sewaktu ia melakukan ibadah Haji dan
ketika berziarah ke Makam Nabi Muhammad Saw. Saat itu terlihat
tangan menjulur dari dalam kubur Nabi Saw bersalaman dengan beliau dan
beliau pun terus mencium tangan Nabi Saw tersebut. Kejadian itu disaksikan oleh
banyak orang yang berziarah ke Makam Nabi Saw tersebut. Semua orang
takjub dan terheran-heran dengan peristiwa aneh itu.
Setelah menyaksikan keajaiban gurunya, salah seorang murid Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Qutub!". Syaikh Ahmad Rifa'i menjawab, "Sucikan syak wasangkamu daripada Qutubiyah". Lalu murid itu berkata lagi, "Tuan Guru adalah Ghauts!". Syaikh Ahmad Rifa'i menjawab lagi, "Sucikan syak wasangkamu daripada Ghautsiyah"
Setelah menyaksikan keajaiban gurunya, salah seorang murid Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Qutub!". Syaikh Ahmad Rifa'i menjawab, "Sucikan syak wasangkamu daripada Qutubiyah". Lalu murid itu berkata lagi, "Tuan Guru adalah Ghauts!". Syaikh Ahmad Rifa'i menjawab lagi, "Sucikan syak wasangkamu daripada Ghautsiyah"
Menurut Al-Imam Asy-Sya'rani, jawaban-jawaban Syaikh Ahmad Rifa'i atas simpulan muridnya adalah dalil bahwa Syaikh Ahmad Al-Rifa'i sejatinya telah melampaui "Maqaamat" dan "Athwar", karena ketinggian derajatnya , kualitas maqam-nya, dan dekatnya dengan Allah sehingga tidak diketahuinya maqam, meski terdapat beberapa maqam.
Sebelum
wafat beliau telah
menceritakan kapan waktunya akan meninggal dan sifat-sifat hal ihwalnya
beliau. Beliau akan menjalani sakit yang sangat parah untuk menangung
bilahinya para
makhluk.
Sabdanya, “Aku telah di janji oleh Allah, agar nyawaku tidak melewati semua dagingku (daging harus musnah terlebih dahulu). Ketika Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i sakit yang mengakibatkan kewafatannya, beliau berkata,
“Sisa umurku akan kugunakan untuk menanggung bilahi agungnya para makhluk. Kemudian beliau menggosok-ngosokkan wajah dan uban rambut beliau dengan debu sambil menangis dan beristighfar.
Yang dideritai oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i ialah sakit “Muntah Berak”. Setiap hari tak terhitung banyaknya kotoran yang keluar dari dalam perutnya. Sakit itu dialaminya selama sebulan. Hingga ada yang tanya,
“Kok, bisa sampai begitu banyaknya yang keluar, dari mana yaa kanjeng syeikh. Padahal sudah dua puluh hari tuan tidak makan dan minum. Beliau menjawab,
“Karena ini semua dagingku telah habis, tinggal otakku, dan pada hari ini nanti juga akan keluar dan besok aku akan menghadap Sang Maha Kuasa".
Setelah itu ketika wafatnya, keluarlah benda yang putih kira-kira dua tiga kali terus berhenti dan tidak ada lagi yang keluar dari perutnya.
Demikian mulia dan besarnya pengorbanan Aulia Allah ini sehingga sanggup menderita sakit menanggung bala yang sepatutnya tersebar ke atas manusia lain.
Sabdanya, “Aku telah di janji oleh Allah, agar nyawaku tidak melewati semua dagingku (daging harus musnah terlebih dahulu). Ketika Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i sakit yang mengakibatkan kewafatannya, beliau berkata,
“Sisa umurku akan kugunakan untuk menanggung bilahi agungnya para makhluk. Kemudian beliau menggosok-ngosokkan wajah dan uban rambut beliau dengan debu sambil menangis dan beristighfar.
Yang dideritai oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i ialah sakit “Muntah Berak”. Setiap hari tak terhitung banyaknya kotoran yang keluar dari dalam perutnya. Sakit itu dialaminya selama sebulan. Hingga ada yang tanya,
“Kok, bisa sampai begitu banyaknya yang keluar, dari mana yaa kanjeng syeikh. Padahal sudah dua puluh hari tuan tidak makan dan minum. Beliau menjawab,
“Karena ini semua dagingku telah habis, tinggal otakku, dan pada hari ini nanti juga akan keluar dan besok aku akan menghadap Sang Maha Kuasa".
Setelah itu ketika wafatnya, keluarlah benda yang putih kira-kira dua tiga kali terus berhenti dan tidak ada lagi yang keluar dari perutnya.
Demikian mulia dan besarnya pengorbanan Aulia Allah ini sehingga sanggup menderita sakit menanggung bala yang sepatutnya tersebar ke atas manusia lain.
Tentang waktu wafatnya Syaikh Ahmad
Rifa'i tidak terdapat keseragaman. Sebagian menyatakan Syaikh Ahmad Rifa'i
wafat tahun 578 H di al-Batha'ih, yang lain menyatakan Syaikh Ahmad
Rifa'i wafat di Umm Ubaidah pada 22 Jumadilawwal 578 H atau 23 September 1183
M. Namun ada pula yang menyatakan Syaikh Ahmad Rifa'i wafat pada
hari Kamis, waktu Dhuhur, tanggal 12 Rabbiul awwal 570 H dengan mengucapkan dua
kalimah syahadat. Ada juga riwayat Beliau wafat pada hari Kamis 12 Jumadil Ula
580 H, di Umm Ubaidah di usia 90 tahun. Kata Rifa’i dinisbathkan kepada orang
yang mempunyai kedudukan tinggi di Maghrib.
Meskipun
banyak bukti sejarah tenang masuknya tarekat Rifa‘iyah di Indonesia seperti di
atas tadi. Namun, belum diketahui dan dijumpai bagaimana bentuk transmisi
tarekat Rifa‘iyah di Indonesia berdasarkan silsilahnya. Apalagi dengan silsilah
gabungan antara tarekat Qadiriyah wa Rifa‘iyah.
Sebuah
manuskrip tua memberikan informasi tentang perkembangan tarekat Qadiriyah wa
Rifa‘iyah di Indonesia, ada dua buah tahun yang terdapat pada kolofon naskah
ini, pertama tahun 1184 H dan kedua tahun 1187 H. Naskah ini memberikan
informasi tentang silsilah tarekat Qadiriyah wa Rifa‘iyah yang berkembang di
Indonesia. Silsilah tersebut dapat dilihat di bawah ini :
(1).Nabi
Muhammas Saw
(2).Ali
bin Abi Thalib
(3).Imam
Husain
(4).Imam
Zainal Abidin
(5).Imam
Muhammad Baqir
(6).Imam
Ja‘far al-Shadiq
(7).Imam
Musa Al-Kazhim
(8).Imam
Ali Musa al-Ridhawiyah
(9).Syekh
Ma‘ruf al-Karkhi
(10).Syekh
Sarri as-Siqthi
(11).Syekh
Abu al-Qasim Junaidi al-Baghdadi
(12).Syekh
Abu Bakar asy-Syibli
(13).Syekh
Abdul Azizi
(14).Syekh
Abdul Wahid at-Tamin at-Tamimi
(15).Syekh
Abu al-Faraj al-Tharthusi
(16).Syekh
Abu Hasan Ali al-Quraysi al-Hakkari
(17).Syekh
Abu Sa‘id al-Mubarak al-Makhzum
(18).Syekh
Muhyiddin Abi Muhammad Sayyid Abdul Qadir al-Jaylani
(19).Sayyid
Abdurrazaq
(20).Sayyid
Syamsuddin Abi Shalih
(21).Sayyid
Zainuddin
(22).Sayyid
Baqaluddin
(23).Sayyid
Nurruddin
(24).Sayyid
Tajuddin
(25).Sayyid
Yasin
(26).Sayyid
Husain al-Qadiri
(27).Sayyid
Muhammad al-Husain al-Ahmadi ar-Rifa‘i
(28).Sayyid
Abdurrahim Rifa‘i
(29).Sayyid
Yusuf ar-Rifa‘i
(30).Sayyid
Abd ar-Rifa‘i Ahmad
(31).Sayyid
Abdullah bin Sayyid Muhammad Al-‘Abd al-Husaini
(32).Syekh
Qasim al-‘Ala’i
Hadzihi
asy-syajarah al-mubaarakah bi ismi asy-Syaikh Qaasim na’khudz a‘la’i muriid al-qaadiri
khalifah al-qaadiriyah wa al-rifa‘iyah syahr Jumadil tarikh thamaniyah sannah 1184 H.
“sekarang hijrah Nabi saw 1187 pada tahun alif pada bulan Rabi‘ul Akhir dalam dua belas hari bulan fi yaum sabt pada masa itu. tamat surat ini daripada naskhahnya wallahu a‘lam.
Hijrah Nabi 1187 pada tahun dal akhir dalam dua puluh hari bulan Zulqaidah pada hari Ithnain pada masa itu lah mualim mengambil wadha’ daripada gurunya tuan Khalifah yang duduk dalam Bandar Natar yang memegangkan hukum segala anak Aceh Qadi oleh baba mu‘alim, tamat kalam” ‘Inilah tarekat daripada Sayyid Yusuf yang khadim kan kepada Muhammad Amin wallahu a’lam”.
Setelah itu pada naskah ini dimulailah bacaan al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi, para istrinya, sahabatnya, anaknya Fatimah dan ccunya Hasan Husain kemudian para Tabi‘in dan Tabi’ Tabi’in dari kalangan Anshar dan Muhajirin dan kepada ulama yang mujtahid yang empat dan kemudian kepada Syekh Abdul Qadir al-Jaylani dan kemudian secara khusus kepada Syekh Ahmad Rifa’i, dan kemudian kepada Syekh Ahmad bin ‘Alwan, dan kemudian secara khusus kepada Syekh Ahmad yang dikenal dengan ‘Abd ar-Rifa‘i bin Yusuf, dan kemudian secara khusus kepada Muhammad Amin bin Abdul Faqar bin Abdullah bin al-marhum Yusuf."
Dalam penjelasan teks ini mungkin dapat dihubungkan dengan keterangan di atas bahwa Muhammad Amin merupakan cicit dari Sayyid Yusuf dan juga memperjelas tentang penggabungan antara tarekat Qadiriyah dan Rifa‘iyah.
Tarekat Rifaiyah
mempunyai tiga ajaran dasar, yaitu :
1.
Tidak meminta sesuatu
2.
Tidak menolak
3.
Tidak menunggu
Sementara itu,
menurut asy-Syarani, tarekat ini menekankan pada :
1.
ajaran asketisme (zuhud)
2.
Makrifat (puncak tertinggi dalam
ajaran tasawuf)
Dalam pandangan
Syekh Ar-Rifai, sebagaimana diriwayatkan asy-Syarani, asketisme merupakan
landasan keadaan-keadaan yang diridhai dan tingkatan-tingkatan yang disunahkan.
Asketisme adalah langkah pertama orang menuju kepada Allah, mendapat ridha dari
Allah, dan bertawakal kepada Allah. Menurut Syekh Ar-Rifai, "Barang siapa
belum menguasai landasan kezuhudan, langkah selanjutnya belui lagi benar."
Mengenai
makrifat... Syekh Ar-Rifai berpendapat bahwa penyaksian adalah kehadiran dalam
makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yakin dan tersingkapnya hakikat realitas-realitas
secara benar-benar yakin. Menurutnya, cinta mengantar rindu dendam, sedangkan
makrifat menuju kefanaan ataupun ketiadaan diri.Irhamni MA dalam tulisannya mengenai Syekh Ahmad
Ar-Rifai mengungkapkan bahwa pendiri Tarekat Rifaiyah ini semasa hidupnya
pernah mengubah sebuah puisi bertema
"Cinta Ilahi"
Andalkan malam
menjelang,
begitu gairah kalbuku
mengingat-Mu.
Bagai merpa
terbelenggu atau meratap tanpa jemu.
Di atasku awan
menghujani derita dan putus asa.
Di bawahku lautan
menggelora/ kecewa Tanyalah atau biarlah mereka bernyawa.
Bagaimana tawanan-Nya
bebaskan tawanar lainnya.
Sementara dia bisa
dipercaya tanpa Nya.
Dan, dia tidak
terbunuh, kematian itu istiroh baginya.
Bahkan, dia tidak
dapat mai sampai bebas karenanya
Syair di atas merupakan
salah satu bentuk asketisme yang dilakukan Syekh Ahmad Rifa dalam mencapai
hakikat tertinggi mengenal Alloh. Tentu saja, wirid
dan zikir antara satu tarekat dengan lainnya berbeda-beda. Termasuk dalam hal
lelaku atau gerakan zikir ini. Namun, satu hal yang menjadi kesamaan hampir
dalam seluruh tarekat adalah zikir kalimat tahlil, yakni
La llaha illallah (tiada
Tuhan kecuali Allah).
Kalimat ini
senantiasa dibaca secara berulang-ulang. Bentuk lainnya berupa zikir vokal yang
diucapkan secara teratur oleh kaum Rifaiyah dalam zawiyah mereka.
Dalam beberapa
cabang Rifaiyah, para pengikut mengucapkan berbagai doa dan selalu melafalkan
nama Allah [asmaulhusna). Misalnya,
Allah, Wu
(Dia),
Hayy (Yang
Hidup),
Haqq (Yang
Nyata),
Qayyum (Yang
Mandiri),
Rahman (Yang
Pengasih),
Rahim (Yang
Penyayang), dan lainnya.
Ciri khas Tarekat Rifaiyah terletak pada zikirnya. Zikir kaum Rifaiyah ini disebut darwis melolong karena dilakukan bersama-sama dan diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukannya sampai mencapai suatu keadaan. Saat itu, mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, misalnya berguling-guling dalam bara api, tetapi tidak terbakar sedikit pun..