MAQAM
SUFI Menurut Ibn Atha’illah
Mengenai
maqām, Ibn Atha’illah membaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;
1.
Maqam taubat
2. Maqam
zuhud
3. Maqam
shabar
4. Maqam
syukur
5. Maqam
khauf
6. Maqam
raja’
7. Maqam
ridha
8. Maqam
tawakkal
9. Maqam
mahabbah
1. Maqam
Taubat
Taubat
adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai maqam
ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah
tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar.
Cara
taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan
berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan
instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati
perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bersyukur
kepada-Nya.Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya berupa
kemaksiatan,maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.
Untuk
mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa
irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yangada. Termasuk bentuk
ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas
kehendak-Nya.
Sedangkan
hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaiksangka (husn adz-dzon)
kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya
ia tidak menganggap bahwa dosanya itusangatlah besar sehingga menyebabkan
dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.
2. Maqam
Zuhud
Dalam
pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam; Zuhd Ẓahir Jalīseperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam
perkara ḥalal,seperti:
makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasanduniawi. Dan Zuhd
Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan
zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
Hal yang
dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung(ta’ammul). Jika seorang
sālik benar-benar merenungkan dunia ini, makadia akan mendapati dunia hanya
sebagai tempat bagi yang selain Allah,dia akan mendapatinya hanya berisikan
kesedihan dan kekeruhan. Jikalausudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap
dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām zuhd
tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapatrasa cinta kepada
dunia, dan rasa ḥasud
kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang
dikatakan oleh Ibn‘Aţā’illah:
”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau ḥasud kepada mereka yang diberi
kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia
yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena
mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau
disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.
Inti dari
zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia
yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak
didapat.
Seorang
salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali tidak memiliki
apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua; yaitu saat kenikmatan dunia
tidak ada dan saat kenikmatan dunia itu ada. Ini dimaksudkan bahwa jika
kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka dia akan menghargainya dengan
bershukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena Allah. Sebaliknya, jika
nikmat sirna dari dirinya, maka dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih.
3. Maqam
Sabar
Ibn
‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam:
1. sabar terhadap perkara haram,
2. sabar
terhadap kewajiban, dan
3. sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan
usaha.
Sabar
terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia.Sedangkan sabar
terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah
kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan
melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk
meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
“Sabar
atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban
adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban
ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala
angan-angannya bersama Allah”.
Sabar
bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri.Namun, sabar adalah
suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salikdan orang-orang yang
dipilih-Nya.
Maqam
sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan
Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.
4. Maqam
Syukur
Shukur
dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam;
1. shukur dengan
lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakannikmat yang didapat.
2. shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam
bentuk ketaatan.
3. shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya
Allah Sang Pemberi Nikmat,segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia
semata-matadari-Nya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:
“Dalam
shukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; shukur lisan yaitu
memberitakan kenikmatan (pada orang lain), shukur badan adalah beramal dengan
ketaatan kepada Allah, dan shukur hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang
Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata
dari Allah.”
Ibn
‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang berilmu adalah dengan
menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia
lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan
menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk shukur orang yang
diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan
perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Lebih
lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2 bagian;
shukur ẓāhir
dan shukur bāţin. Shukur ẓāhir
adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Sedangkan shukur bāţin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala
bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.
Manfaat
dari shukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng,
dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak
menshukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya
kenikmatan tersebut. Dan jikadia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan
menjadi pengikat kenikmatantersebut.
Allah berfirman:
لَئِنْ
شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ
(Jikakalian bershukur [atas nikmat-Ku)
niscaya akan kutambah [kenikmatanitu]).
Jika
seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya,
maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang
telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.
Lebih
lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu bershukur
kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak
terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi
Nikmat.
Meskipun
pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dariAllah, shukur kepada
makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Diaharus bershukur terhadap apa
yang telah diberikan orang lain kepadanya,karena hal ini adalah suatu tuntutan
shari‘at, seraya mengakui danmeyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan
tersebut adalah dariAllah.
Pengejawantahan
shukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan
keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada
manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk.
Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat
kepada Allah. Dengan akal inimanusia dapat berpikir, berangan-angan, dan
berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan
menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah
yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan shukur.
5 & 6 . Maqam
khauf dan Raja
Seorang
salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas sirnanya ḥal dan maqamnya, karena dia tahu
bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah.
KetikaAllah berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan hal yang ada pada
dirisalik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
“Bukti
dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia
memiliki ucapan yang baik dan perilaku yangterpuji maka dia tak akan terputus
maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum
kepastian dan kehendakAllah terwujud.”
Khauf
seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi dengan
rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah pembangkit dari rajā’. Maqām
khauf adalah maqām yang membangkitkan maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika
khauf tidak ada.
Ibn
‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu rajā’
maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allahkepadanya berupa anugerah
maqām, hal dan berbagai kenikmatan yang diaterima. Jika dia ingin agar terbuka
baginya pintu khauf, maka hendaknyadia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya
berupa peribadatan danketaatan penuh pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn
‘Atā’illah:
”Jika
engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, makalihatlah segala
sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkauingin agar Allah
membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yangtelah kau berikan
kepada-Nya.”
Rajā’
bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’
hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan
atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk menyertakan
rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya
kepadaAllah secara kontinu.
Jika rajā’
sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin menguatkan khauf yang
ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pastiakan disertai dengan rasa takut
akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan
rajā’ akan menjadi penguat khauf.
7 & 8 . Maqam
Ridha dan Tawakkal
Riḍa dalam pandangan Ibn ‘Ata'illah
adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini
didasarkan pada
QS.al-Mā’idah ayat 119:(Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka ridha
kepada Allah),
dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang
yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang ridha kepada Allah).
Maqam
ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi ridha
adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika maqam
ridha sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqāmtawakkal juga akan
terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām ridha dan maqām
tawakkal. Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan
menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang
teguh kepada-Nya,dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām
tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada
dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam
QS. Hūd ayat 123: (…kepada-Nya
lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah
kepada-Nya).
Sebagaimana
maqām-maqām lainnya, maqām ridha dan tawakkal tidak akanbenar jika tanpa
menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakanbahwa angan-angan itu
bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah,
dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh
kepada-Nya atas segala urusannya,dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya
segala bentukangan-angan.
“Perencanaan
(tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal
kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan
berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi
semua hal tersebut, maka tiadalagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah
terhadap perjalanan takdir.Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait
dengan maqām tawakkal dan ridha, hal ini jelas, karena seorang yang ridha maka
cukup baginya perencanaan Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia menjadi
perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan perencanan-Nya.
Apakahengkau tidak tahu bahwa cahaya ridha telah membasuh hati dengan
curahanperencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang ridha terhadap Allah
telah dianugrahkan baginya cahaya ridha atas keputusan-Nya, maka tiada
lagibaginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah
ridha kepada qadhā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan
kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang
lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan
mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan
meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar
ridha akan qadhā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang
(yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencanaberkatalah mereka “Bahwasanya
kami ini kepunyaan Allah, dan kami(semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”
Jika
seseorang ditimpa bencana hendaklah dia ridha, hatinya tidak boleh mendongkol.
Ridha dengan qadhā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang,
dengan rasa senang hati dan lapang dada.
Meridhai
qadhā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai
oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meridhai kekufuran dan
kemaksiatan.
Ridha
dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan muliaserta
membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, jugadapat mendapatkan
hiburan yang sempurna di kala menderita segalabencana. Dialah obat yang sangat
mujarab untuk menolak penyakit gelapmata hati. Dengan ridha atas segala
ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang
wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga
merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih sukamengoreksi segala amal
perbuatan pada masa-masa yang lampau, agarseseorang dapat mengubah dan
memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.
Menyerah
kepada qadhā’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh
mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan ini,
barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini,sebagaimana firman Allah
SWT.:
Hai orang
yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yangberkata kepada saudara-saudara
mereka tatkala mereka bepergian di bumi,atau sedang bertempur : Sekiranya
bersama-sama kami, niscaya merekatidak akan mati, dan tidak akan terbunuh. Yang
demikian karena Allahhendak jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati
mereka danAllah rnenghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa
yangengkau kerjakan.
9. Maqam
Mahabbah
Imam
al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maḥabbah adalah maqām tertinggidari sekian maqām-maqām dalam
tarekat. Dia menggambarkan bahwa maḥabbah adalah tujuan utama dari semua maqām.
Namun, Ibn
‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep mahabbah bahwa dalam
mahabbah seorang sālik harus menanggalkan segalaangan-angannya. Dia berpendapat
demikian karena alasan bahwa sālik yangtelah sampai pada mahabbah (cinta) bisa
jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari
sini tampak bahwarasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk
mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah
orangyang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yangdicintainya,
dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yangdicintainya, yang dalam konteks
ini adalah Allah SWT.
”...mahabbah
(cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqām, titik puncak dari
seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah mahabbah, karena mahabbah adalah hasil
dari seluruh maqām, menjadi akibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang,
ridha dan lainsebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum mahabbah kecuali hanya
menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd
danlain sebagainya...”
Untuk
dapat mencapai hal tersebut diatas, maka seorang salik disyaratkan terlebih dulu
mengambil baiat (janji)pada seorang gurutarekat (Mursyid). Dimana tugas seorang
guru Mursyid adalah membimbing dan mengarahkan agar seorang salik tidak
terjerumus kedalam kesesatan.Baiat Tarekat merupakan pintu utama memasuki dunia
tasawuf.
Istilah
Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakikat
atau dengan kata lain pengalaman Syari'at, yang disebut "Al-Jaraa"
atau "Al-Amal", sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan
tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
1) Tarekat
adalah pengamalan syari'at, melaksanakan beban ibadah (dengan
tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah),
yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
2) Tarekat
adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai
dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun
yang tidak (batin).
3) Tarekat
adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal
mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang
diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan)
di bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang
mencita-citakan suatu tujuan.
Maqam
Hakikat
Istilah
hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran.
Kalau
dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk
mencari
suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan
definisinya
sebagai berikut :
a.
Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma'ruf mengatkan :
"Hakikat
adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai
suatu tujuan...sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan
dengan mata hatinya".
b. Imam
Al-Qasyairiy mengatakan:
"Hakikat
adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan,
disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan oleh
Allah kepada hamba-Nya".
Hakikat
yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan
selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang
dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam tingkatan
keyakinan:
1)
"Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan
indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan
tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;
2)
"Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis
pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
3)
"Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani
Shufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah
lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran
Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh
keputusan akal".
Pengalaman
batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa
erat kaitan antara hakikat dengan mari"fat, dimana hakikat itu merupakan
tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma'rifat merupakan tujuan akhirnya.
Maqam
Marifat
Istilah
Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui
atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan
Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah
ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf. Kemudian
istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf;
antara lain:
a. Dr.
Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang
mengatakan:
"Marifat
adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib
adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
b.
Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat
adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan
hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
c. Imam
Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rigfat
membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan
membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat
ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."
Tidak
semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan
ma'rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma'rifat,
memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun
Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi
bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
a. Selalu
memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya.
Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
b. Tidak
menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang
bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf,
belum tentu benar.
c. Tidak
menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu
bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari
sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan
kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya
sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga
Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat yang
dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya,
karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu
rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat
ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:
a. Imam
Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat,
bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia
melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya
dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada
lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.
b.
Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai
warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam
Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya
lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa
musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun
hanya sekejap mata saja.
c. Sahal
bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu adalah
keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi
bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada
kelupaan dirinya. Keempat
tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran
Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat,
Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara
terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
Dengan
cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hambatidak akan
mengalami kegagalan dan tidak pula mengalamikesesatan.
Demikian
ulasan singkat kami tentang maqam (kedudukan) dan hal(keadaan) dalam dunia
tasawuf atau dunia para Wali Allah, semoga kitasemua dapat menempuh
tahapan-tahapan dalam tasawuf. Wallah A’lam Bishawab