Al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid Abu Qasim al-Qawariri al-Khazzaz al-Nahawandî al-Baghdadi al-Syafi'i,atau lebih dikenal dengan Al-Junaid al-Baghdadî, lahir 220 H di Nihawand, Persia, dan Imam Junayd meninggal dunia pada Jumat, 298 H / 910 M (versi lain: 297 H/910 M) dan dimakamkan di dekat makam pamannya sekaligus gurunya, Syaikh Sari as-Saqati, di Baghdad.
Keluarganya bermukim di Baghdad, tempat ia belajar hukum Islam mazhab Imam Syafi'i, dan akhirnya menjadi qadi kepala di Baghdad. Dia mempelajari ilmu fiqih kepada Abu Tsur al-Kalbi yang merupakan murid langsung dari Imam Asy-Syafi'i,
Al-Junaid mempelajari ilmu tasawuf dari pamannya sendiri, Syekh
as-Sari as-Saqti hingga pada akhirnya ketinggian ilmu Al-Junaid menjadi
dirinya sebagai ulama yang memiliki banyak murid dan pengikut.
Demikianlah, bahwa kecintaannya terhadap ilmu tasawuf sangatlah tinggi,
hal ini diungkapkannya dengan berkata:
“Apabila saya telah mengetahui suatu ilmu yang lebih besar dari Tasawuf, tentulah saya telah pergi mencarinya, sekalipun harus merangkak.”
Tasawuf, Ilmu Paling Mulia
Al-Junaid berkata, “Jika Anda mengetahui bahwa Allah swt. memiliki ilmu dibawah atap langit ini yang lebih mulia daripada ilmu tasawuf, dimana kita berbicara di dalamnya dengan sahabat-sahabat dan teman kita, tentu aku akan berjalan dan menuju ilmu tadi.”
Makna Hakikat Terdalam...
“Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya."
” Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. tanpa keterikatan apa pun.”
“Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.”
Dia berkata pula, “Para Sufi adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.”
Selanjutnya
dia juga menjelaskan lagi,
“Tasawuf adalah dzikir bersama, penyampain
yang disertai bimbingan, dan tindakan yang didasari Sunnah.”
Salah satu murid Al-Junaid adalah Mansur al-Hallaj. Pada suatu saat ia mengalami
dilema yang sangat berat untuk diputuskan. Hal ini terjadi, ketika ia menerima
gugatan pengaduan tentang kesalahan dan penyimpangan Al-Ḥallaj dalam
pemikirannya. Pada satu sisi, ia sangat memahami pemikiran dan gejolak spritual
yang dirasakan oleh Al-Hallaj. Namun ketika Al-Hallaj banyak mengumbar pernyataan
spritual (shathaḥat) yang membuat umat Islam yang awwab menjadi bingung.
Berdasarkan keputusan sidang pengadilan, ia terpaksa, dalam kedudukannya
sebagai kepada Qadi Baghdad, menandatangani surat kuasa untuk menghukum mati
Al-Hallaj. Pada surat itu ia menulis “Berdasarkan syari’at, ia bersalah.
Menurut hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui.”
Al-Junaid dikenal sebagai tokoh sufi yang sangat menekankan pentingnya keselarasan antara
praktik dan doktrin tasawuf dengan kaidah-kaidah syari’at. Salah satu ungkapan
Al-Junaid tentang ilmu tasawuf yang dikutip oleh al-Kūrânī dalam Itḥâf
al-dhakī adalah ucapannya: “pengetahuan kami ini terlepas dari al-Qur’an
dan al-Sunnah.” Dengan ini mengindikasikan bahwa ajaran tasawuf menurut
Al-Junaid haruslah tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
"Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah engkau lupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau
berbuat kerusakan di bumi, Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan." (Al Quran, surah AI-Qashash : 77)
Pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tak terlalu peduli.
Pemahaman seperti itu jelas kurang tepat. Sebab banyak sufi tidak mengartikan zuhud seperti itu. Sufi terkenal, Al-Junayd (210-298 H), misalnya, justru sangat tidak menyukai sikap zuhud demikian. Menurut dia, zuhud model itu hanya akan membawa orang, termasuk sufi, pada kondisi yang tidak menggembirakan. Masa orang tidak peduli pada keadaan sekitarnya. Masa orang tidak perlu mencari nafkah bagi diri dan keluarga. Masa untuk memenuhi kebutuhannya sendiri pun mengharap uluran tangan orang lain. Masa...
Aplikasi zuhud, menurut Al-Junayd, bukanlah meninggalkan kehidupan dunia sama sekali, melainkan tidak terlalu mementingkan kehidupan duniawi belaka. Jadi, setiap Muslim termasuk juga para sufi, tetap berkewajiban untuk mencari nafkah bagi penghidupan dunianya, untuk diri dan keluarganya. Letak zuhudnya adalah, bila ia memperoleh rezeki yang lebih dari cukup. ia tidak merasa berat memberi kepada mereka yang lebih memerlukannya.
Berdasarkan pemahaman dan penghayatan Al-Junayd tentang zuhud ini, maka tak berlebihan kalau kemudian Al-Junayd disebut sebagai "Sufi yang moderat". Selain itu, meski ia seorang sufi, ia tak melulu membicarakan soal tasawuf saja, tetapi juga berbagai masalah lain yang berhubungan dengan kemaslahatan umat Islam. Inilah juga yang membuat Al-Junayd agak beda dengan para sufi pada umumnya.
Misalnya. Al-Junayd sangat peduli terhadap berbagai penyakit yang timbul di masyarakat. Menurut dia, di dalam masyarakat lebih banyak ditemukan orang yang sakit jiwa ketimbang mereka yang sakit jasmani. Itu lantaran jiwa lebih sensitif dan lebih rapuh ketimbang fisik, sehingga jiwa lebih mudah menderita. Lebih lanjut, penyakit jiwa ini lebih merusak jika dibandingkan dengan penyakit fisik. Sebab penyakit tersebut lebih mudah menggerogoti jiwa dan moral manusia. Sedangkan jika jiwa seorang sudah rusak, maka dengan mudah ia akan terseret pada berbagai perbuatan yang menyalahi ajaran agama, yang lebih jauh akan menggiringnya masuk ke dalam neraka. (AI-Qushairy, AI-Risalah ai-Qushairiyah - Dar al-Kutub al-'Arabiyah al-Kubra. Kairo. 1912, hi. 10)
Al-Junayd, nama lengkapnya, Abu AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn Al-Junayd, memang seorang pedagang barang pecah belah. Makanya, orang menjulukinya AI-Qawariri, yang artinya barang pecah belah. Al-Junayd sendiri belakangan mendapat julukan Al-Khazzaz, yang artinya pedagang sutera, karena memang ia seorang pedagang sutera di kota Baghdad.
Al-Junayd pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan Al-Junayd, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik.
Menginjak usia 20 tahun Al-Junayd belajar ilmu hadis dan fiqih kepada Abu Thawr (wafat 240 H). Abu Thawr adalah seorang faqih terkenal di Baghdad kala itu. Banyak muridnya yang kemudian menjadi ahli hukum terkemuka.
Di bawah bimbingan guru ini Al-Junayd tumbuh menjadi seorang faqih yang handal. Tanda-tandanya memang sudah kelihatan sejak ia masih belajar. la sering mengemukakan pendapat tentang suatu hukum tertentu dan pendapatnya itu sangat tepat untuk berbagai persoalan fiqih (al-mas'alah al-fiqhiyah).
Kehandalan Al Junayd juga diakui oleh temannya, Ibnu Durayj (wafat 306 H), seorang faqih terkenal. Ketika ia sedang mengajar pernah ditanya oleh muridnya: "Dari mana pendapat yang demikian itu diperoleh?" Secara jujur Ibnu Duraij menjawab, "Ini merupakan hasil yang saya dapatkan ketika berdiskusi dengan Al-Junayd. Bila saya pertanyaan ini diajukan kepada saya sebelum itu, niscaya saya tidak akan dapat menjawabnya,"
Pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tak terlalu peduli.
Pemahaman seperti itu jelas kurang tepat. Sebab banyak sufi tidak mengartikan zuhud seperti itu. Sufi terkenal, Al-Junayd (210-298 H), misalnya, justru sangat tidak menyukai sikap zuhud demikian. Menurut dia, zuhud model itu hanya akan membawa orang, termasuk sufi, pada kondisi yang tidak menggembirakan. Masa orang tidak peduli pada keadaan sekitarnya. Masa orang tidak perlu mencari nafkah bagi diri dan keluarga. Masa untuk memenuhi kebutuhannya sendiri pun mengharap uluran tangan orang lain. Masa...
Aplikasi zuhud, menurut Al-Junayd, bukanlah meninggalkan kehidupan dunia sama sekali, melainkan tidak terlalu mementingkan kehidupan duniawi belaka. Jadi, setiap Muslim termasuk juga para sufi, tetap berkewajiban untuk mencari nafkah bagi penghidupan dunianya, untuk diri dan keluarganya. Letak zuhudnya adalah, bila ia memperoleh rezeki yang lebih dari cukup. ia tidak merasa berat memberi kepada mereka yang lebih memerlukannya.
Berdasarkan pemahaman dan penghayatan Al-Junayd tentang zuhud ini, maka tak berlebihan kalau kemudian Al-Junayd disebut sebagai "Sufi yang moderat". Selain itu, meski ia seorang sufi, ia tak melulu membicarakan soal tasawuf saja, tetapi juga berbagai masalah lain yang berhubungan dengan kemaslahatan umat Islam. Inilah juga yang membuat Al-Junayd agak beda dengan para sufi pada umumnya.
Misalnya. Al-Junayd sangat peduli terhadap berbagai penyakit yang timbul di masyarakat. Menurut dia, di dalam masyarakat lebih banyak ditemukan orang yang sakit jiwa ketimbang mereka yang sakit jasmani. Itu lantaran jiwa lebih sensitif dan lebih rapuh ketimbang fisik, sehingga jiwa lebih mudah menderita. Lebih lanjut, penyakit jiwa ini lebih merusak jika dibandingkan dengan penyakit fisik. Sebab penyakit tersebut lebih mudah menggerogoti jiwa dan moral manusia. Sedangkan jika jiwa seorang sudah rusak, maka dengan mudah ia akan terseret pada berbagai perbuatan yang menyalahi ajaran agama, yang lebih jauh akan menggiringnya masuk ke dalam neraka. (AI-Qushairy, AI-Risalah ai-Qushairiyah - Dar al-Kutub al-'Arabiyah al-Kubra. Kairo. 1912, hi. 10)
Al-Junayd, nama lengkapnya, Abu AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn Al-Junayd, memang seorang pedagang barang pecah belah. Makanya, orang menjulukinya AI-Qawariri, yang artinya barang pecah belah. Al-Junayd sendiri belakangan mendapat julukan Al-Khazzaz, yang artinya pedagang sutera, karena memang ia seorang pedagang sutera di kota Baghdad.
Al-Junayd pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan Al-Junayd, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik.
Menginjak usia 20 tahun Al-Junayd belajar ilmu hadis dan fiqih kepada Abu Thawr (wafat 240 H). Abu Thawr adalah seorang faqih terkenal di Baghdad kala itu. Banyak muridnya yang kemudian menjadi ahli hukum terkemuka.
Di bawah bimbingan guru ini Al-Junayd tumbuh menjadi seorang faqih yang handal. Tanda-tandanya memang sudah kelihatan sejak ia masih belajar. la sering mengemukakan pendapat tentang suatu hukum tertentu dan pendapatnya itu sangat tepat untuk berbagai persoalan fiqih (al-mas'alah al-fiqhiyah).
Kehandalan Al Junayd juga diakui oleh temannya, Ibnu Durayj (wafat 306 H), seorang faqih terkenal. Ketika ia sedang mengajar pernah ditanya oleh muridnya: "Dari mana pendapat yang demikian itu diperoleh?" Secara jujur Ibnu Duraij menjawab, "Ini merupakan hasil yang saya dapatkan ketika berdiskusi dengan Al-Junayd. Bila saya pertanyaan ini diajukan kepada saya sebelum itu, niscaya saya tidak akan dapat menjawabnya,"
Menguasai ilmu fiqih, bagi Al Junayd, mempunyai arti penting dalam
upaya selanjutnya untuk menguasai ilmu tasawuf. la merasa, dengan
menguasai ilmu fiqih yang luas lebih dulu, maka praktek ajaran sufisme
akan tetap dapat dikontrolnya, sehingga tidak keluar dari koridor Al
Ouran dan Hadis.
Seperti pernah dikatakan oleh Al-Makki, setiap orang harus menguasai lebih dulu ilmu hadis dan fiqih bila ingin mendalami dan mempraktekkan ajaran tasawuf, Itu akan menghindarkan sufi dari kemungkinan tersesat, karena belum memiliki pengetahuan dasar yang kuat.
Lebih tegas lagi, Al-Junayd mengungkapkan syarat yang harus dipenuhi bila orang ingin mengajarkan tasawuf. "Saya belajar hukurn pada ulama yang dikenal luas ilmunya tentang hadis, seperti Abu 'Ubayd dan Abu Tsaur. Kemudian saya belajar pada AI-Muhasibi dan Sari Ibn Mughallas. Itulah kunci keberhasilanku. Lantaran ilmu yang kita miliki harus terus dikontrol dan disesuaikan dengan Al Ouran dan Sunnah, Oleh sebab itu, siapa saja yang tidak menguasi ilmu Al Quran, tidak secara formal belajar hadis, dan tidak mendalami hukum sebelum menekuni tasawuf, tidaklah berhak mengajarkan tasawuf."
Nyatanya, Al-Junayd sudah diakui sebagai seorang ahli fiqh, bahkan juga ahli tauhid (teolog). Kalau saja ia tidak mempelajari tasawuf maka ia sudah menjadi seorang faqih yang lebih terkenal. Tetapi karena kemudian ia mendalami tasawuf, akhirnya ia lebih dikenal sebagai seorang sufi.
Ketika penguasa Abbasiyah melakukan mihnah (penyelidikan) terhadap setiap sufi soal kesetiaan mereka kepada pemerintah, Al-Junayd mengatakan bahwa dirinya lebih merupakan seorang faqih ketimbang sufi. Dan itu membuatnya terhindar dari mihnah tersebut..
Tak urung, ada beberapa sufi yang menjadi korban mihnah, ditangkap dan disiksa oleh penguasa, dengan tuduhan ajarannya dianggap menyeleweng dari ajaran Islam dan juga melawan pemerintah. Salah seorang sufi yang terkena jeratan mihnah adalah AI-Hallaj, yang pernah juga berguru pada Al-Junayd.
Seperti diketahui, AI-Hallaj mengajarkan tasawuf wihdatul wujud (Ana Al-Haqq), yang dianggap menyesatkan umat. AI-Hallaj harus menerima hukuman mati. Tapi disinyalir hukuman itu lebih bernuansa politik, karena AI-Hallaj mendukung perjuangan kaum Qaramitah yang menuntut dihapuskannya kesewenang-wenangan pemerintah.
Al-Junayd sendiri sebenarnya juga menentang kesewenang-wenangan itu. Tapi penentangannya tidak lewat gerakan politik seperti muridnya (AI-Hallaj). la hanya bersikap mengambil jarak dengan pemerintahan, misalnya menolak keterlibatan para sufi menduduki jabatan di pemerintahan. Karena hal itu, menurut dia, hanya akan menjadi penghalang muj'ahadah dan ketekunan sufi dalam beribadah. Makanya. ketika dua temannya. Uthman AI-Makki dan Ruwayn bin Ahmad, menerima jabatan sebagai qadhi, Al-Junayd lalu memutuskan hubungan dengan mereka.
Kendati begitu, Al-Junayd tetap dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. Apalagi yang ada kaitannya dengan persoalan pemerintahan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran dan Hadis.
Mengenai keluasan pengetahuan Al-Junayd, diakui oleh AI-Khuldi, "Sebelum ini kami belum pernah menemukan seorang Syekh yang mampu menggabungkan ilmu pengetahuan dengan pengalaman sufistiknya. Banyak syekh memang memiliki ilmu yang luas. Tapi biasanya tidak mempunyai pengalaman mistik yang mendalam. Di sisi lain, ada yang mempunyai pengalaman sufistik yang mendalam, tapi hanya menguasai ilmu pengetahuan ala kadarnya. Al-Junayd memiliki keduanya. Pengalamannya mendalam di bidang sufisme dan ilmu pengetahuannya sangat luas. Bahkan ilmu pengetahuannya, nyaris melebihi pengalaman mistiknya."
Guru dan Murid Al-Junayd
Sebelum seseorang menjadi tokoh sufi, tentulah memiliki guru dan setelah menjadi tokoh sufi, memiliki pula murid-murid. Hanya saja, guru yang mengajari Al-Junayd tentang ilmu tasawuf tidak terlalu banyak. Mereka itu adalah Sari Al-Saqati, AI-Muhasibi, Muhammad Al-Qassab, Ibn AI-Qaranbi, dan AI-Qantari.
Mengenai Al-Saqati ini - nama lengkapnya Abul al-Hasan Sari Ibn al-Mughallis al-Saqati - punya kisah menarik. Selain sebagai sufi, ia juga dikenal sebagai pedagang yang saleh.
Suatu ketika, terjadi kebakaran di pasar Baghdad. Seseorang mengabarkan padanya bahwa tokonya ikut terbakar. Apa katanya?
"Biarlah. Sekarang saya justru menjadi bebas dan tidak perlu lagi mengurus barang-barang tersebut."
Seperti pernah dikatakan oleh Al-Makki, setiap orang harus menguasai lebih dulu ilmu hadis dan fiqih bila ingin mendalami dan mempraktekkan ajaran tasawuf, Itu akan menghindarkan sufi dari kemungkinan tersesat, karena belum memiliki pengetahuan dasar yang kuat.
Lebih tegas lagi, Al-Junayd mengungkapkan syarat yang harus dipenuhi bila orang ingin mengajarkan tasawuf. "Saya belajar hukurn pada ulama yang dikenal luas ilmunya tentang hadis, seperti Abu 'Ubayd dan Abu Tsaur. Kemudian saya belajar pada AI-Muhasibi dan Sari Ibn Mughallas. Itulah kunci keberhasilanku. Lantaran ilmu yang kita miliki harus terus dikontrol dan disesuaikan dengan Al Ouran dan Sunnah, Oleh sebab itu, siapa saja yang tidak menguasi ilmu Al Quran, tidak secara formal belajar hadis, dan tidak mendalami hukum sebelum menekuni tasawuf, tidaklah berhak mengajarkan tasawuf."
Nyatanya, Al-Junayd sudah diakui sebagai seorang ahli fiqh, bahkan juga ahli tauhid (teolog). Kalau saja ia tidak mempelajari tasawuf maka ia sudah menjadi seorang faqih yang lebih terkenal. Tetapi karena kemudian ia mendalami tasawuf, akhirnya ia lebih dikenal sebagai seorang sufi.
Ketika penguasa Abbasiyah melakukan mihnah (penyelidikan) terhadap setiap sufi soal kesetiaan mereka kepada pemerintah, Al-Junayd mengatakan bahwa dirinya lebih merupakan seorang faqih ketimbang sufi. Dan itu membuatnya terhindar dari mihnah tersebut..
Tak urung, ada beberapa sufi yang menjadi korban mihnah, ditangkap dan disiksa oleh penguasa, dengan tuduhan ajarannya dianggap menyeleweng dari ajaran Islam dan juga melawan pemerintah. Salah seorang sufi yang terkena jeratan mihnah adalah AI-Hallaj, yang pernah juga berguru pada Al-Junayd.
Seperti diketahui, AI-Hallaj mengajarkan tasawuf wihdatul wujud (Ana Al-Haqq), yang dianggap menyesatkan umat. AI-Hallaj harus menerima hukuman mati. Tapi disinyalir hukuman itu lebih bernuansa politik, karena AI-Hallaj mendukung perjuangan kaum Qaramitah yang menuntut dihapuskannya kesewenang-wenangan pemerintah.
Al-Junayd sendiri sebenarnya juga menentang kesewenang-wenangan itu. Tapi penentangannya tidak lewat gerakan politik seperti muridnya (AI-Hallaj). la hanya bersikap mengambil jarak dengan pemerintahan, misalnya menolak keterlibatan para sufi menduduki jabatan di pemerintahan. Karena hal itu, menurut dia, hanya akan menjadi penghalang muj'ahadah dan ketekunan sufi dalam beribadah. Makanya. ketika dua temannya. Uthman AI-Makki dan Ruwayn bin Ahmad, menerima jabatan sebagai qadhi, Al-Junayd lalu memutuskan hubungan dengan mereka.
Kendati begitu, Al-Junayd tetap dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. Apalagi yang ada kaitannya dengan persoalan pemerintahan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran dan Hadis.
Mengenai keluasan pengetahuan Al-Junayd, diakui oleh AI-Khuldi, "Sebelum ini kami belum pernah menemukan seorang Syekh yang mampu menggabungkan ilmu pengetahuan dengan pengalaman sufistiknya. Banyak syekh memang memiliki ilmu yang luas. Tapi biasanya tidak mempunyai pengalaman mistik yang mendalam. Di sisi lain, ada yang mempunyai pengalaman sufistik yang mendalam, tapi hanya menguasai ilmu pengetahuan ala kadarnya. Al-Junayd memiliki keduanya. Pengalamannya mendalam di bidang sufisme dan ilmu pengetahuannya sangat luas. Bahkan ilmu pengetahuannya, nyaris melebihi pengalaman mistiknya."
Guru dan Murid Al-Junayd
Sebelum seseorang menjadi tokoh sufi, tentulah memiliki guru dan setelah menjadi tokoh sufi, memiliki pula murid-murid. Hanya saja, guru yang mengajari Al-Junayd tentang ilmu tasawuf tidak terlalu banyak. Mereka itu adalah Sari Al-Saqati, AI-Muhasibi, Muhammad Al-Qassab, Ibn AI-Qaranbi, dan AI-Qantari.
Mengenai Al-Saqati ini - nama lengkapnya Abul al-Hasan Sari Ibn al-Mughallis al-Saqati - punya kisah menarik. Selain sebagai sufi, ia juga dikenal sebagai pedagang yang saleh.
Suatu ketika, terjadi kebakaran di pasar Baghdad. Seseorang mengabarkan padanya bahwa tokonya ikut terbakar. Apa katanya?
"Biarlah. Sekarang saya justru menjadi bebas dan tidak perlu lagi mengurus barang-barang tersebut."
Setelah api dapat dipadamkan, ternyata tokonya tidak terbakar. Sementara toko-toko di sekelilingnya ludes dilalap api.
Al Saqati lalu rnembagi-bagikan semua barang dagangannya kepada para
fakir miskin. la sendiri kemudian meninggalkan usahanya untuk
selanjutnya sibuk menekuni dunia tasawuf. Pamannya Al-Junayd ini
belajar tasawuf kepada Abu Mahfuz Ma'ruf Ibn AI-Fairuz AI-Karkhil
(wafat tahun 200 H). seorang sufi kenamaan dari Persia.
Kalau Al Saqati, paman dan guru Al-Junayd adalah orang Persia, maka Al-Muhasibi merupakan guru tasawuf Al-Junayd yang berasal dari keturunan Arab, namun lahir di Basrah. Sementara Muhammad AI-Qassab - Abu Ja'far Muhammad ibn All AI-Qassab (wafat 275 H) - menurut AI-Junayd: adalah guru sufi yang paling utama baginya.
Selain itu, Al-Junayd juga berguru tasawuf pada Ibn AI-Karanbi dan Al-Qantari. Yang mengesankan dari dua guru ini, hubungannya dengan Al-Junyad sangat akrab, tak tampak sebagai hubungan antara murid dan guru, Padahal, keduanya merupakan tokoh sufi terkemuka di kota Baghdad, bahkan Al-Qantari adalah teman Ma'ruf AI-Karkhi: gurunya Sari Al-Saqati.
Murid-murid Al-Junayd cukup banyak. Namun ada tiga muridnya yang paling kesohor, yakni Al-Jurayri, Al-Shibli, dan AI-Hallaj. Yang disebut terakhtr ini mengembangkan sendiri faham ittihad yang berbeda dengan faham gurunya. Bila Al-Junayd masih memberi batasan yang jelas antara Tuhan yang qadim dengan makhluk yang hadis, maka AI-Hallaj melangkah lebih jauh. Menurut AI-Hallaj, persatuan makhluk dengan Tuhan bisa terjadi secara total. Dan justru di situlah dia dipandang oleh para ulama Syariat telah menyeleweng dari ajaran Islam. Sehingga la kemudian diadukan kepada Khalifah AI-Muqtadir yang berkuasa saat itu. la pun lalu ditangkap, diadili, dan akhirnya dihukum mati,
Pemikiran Al-Junayd
Dalam pemikiran tasawuf Al-Junayd, Tuhan itu Maha Suci. Kesucian-Nya adalah azali dan abadi. Tuhan itu suci sejak keberadaan-Nya yang tanpa awal dan akan terus demikian tanpa akhir. Sementara manusia yang terdiri dari ruh dan jasad, berbeda dari Tuhan.
Bedanya, pada mulanya ruh manusia diciptakan dalam keadaan suci bersih. Dia tidak mempunyai keinginan apa-apa selain kepada Tuhan. Namun setelah ruh itu dimasukkan ke dalam tubuh manusia, ia rnenjadi terikat dengan nafsu yang ada dalam tubuh manusia, bahkan terkadang berada di bawah pengaruh nafsu yang berusaha untuk menariknya pada berbagai kesenangan duniawi.
Pada gilirannya, ruh terpesona dengan dorongan nafsu atas kemewahan dunia. Karena keinginan dan terpengaruhnya ruh pada benda-benda dunia inilah yang kemudian rnenyebabkan ruh tak lagi suci seperti semula. la tercemar karena dilumuri hasrat dan kenikmatan dunia yang menipu.
Kendati demikian, dari pemahan itu, manusia menurut Al-Junyad bisa mendekati bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk mencapai kebersatuan itu, orang harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya.
Walau begitu, kata Al-Junayd, sufisme adalah suatu sifat (keadaan) yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya) adalah sifat manusia.
Di sini Al-Junayd ingin menegaskan bahwa sesungguhnya diri manusia telah dihiasi dengan sifat Tuhan, Sehingga, kondisi tingkat tertinggi dari suatu pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi pada persatuannya dengan Tuhan, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini seorang sufi akan kehilangan kesadarannya, la tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan lingkungannya. Seluruh perhatiannya hanya tertuju buat Tuhan. Dengan kehilangan kesadarannya akan keduniaan, maka ia otomatis sedang berada dengan Tuhan.
Pada tingkat yang demikian. seorang sufi merasakan tidak ada lagi jarak antara dirinya dengan Tuhan. Karena sifat-sifat yang ada pada dirinya semuanya sudah digantikan dengan sifat Tuhan. Segala kehendak pribadi manusia lenyap, digantikan dengan kehendak-Nya.
Seperti dipaparkan oleh AI-Hujwiri soal tasawuf Al-Junayd ini. bahwa dalarn persatuan yang sesungguhnya (tauhid) tidak akan ada lagi sifat manusia yang tertinggal. Lantaran, sifat-sifat itu tidak tetap, sehingga hanya berbentuk gambar saja. Oleh sebab itu, Tuhanlah sesungguhnya yang berbuat. Semua itu sebenarnya sifat-sifat Tuhan. Karenanya, Tuhan misalnya kemudian menyuruh manusia untuk berpuasa. Bila dilaksanakan, maka Dia memberi nama Shaim pada mereka. Sehingga sekalipun secara lahir puasa itu milik manusia, tapi sesungguhnya puasa adalah kepunyaan Tuhan.
Juga untuk mencapai persatuan kepada Tuhan, menurut Al-Junayd. manusia harus menyucikan batin, mengendalikan nafsu, dan rnembersihkan hati dari segala sifat-sifat kemakhlukan. Setelah kebersatuan dengan Tuhan itu tercapai, seorang sufi kembali tersadar. Dan selanjutnya harus mengajak urnat dan membimbingnya ke jalan yang diyakininya.
Dari situ, dimaklumi, bahwa pemikiran sufisme Al-Junayd berpangkal pada ajaran tauhid atau persatuan dengan Tuhan. Paham persatuan dengan Tuhan dalam pemikiran Al-Junayd ini banyak diikuti oleh para sufi lain di rnasanya dan sesudahnya
Kemoderatan Al-Junayd dalam bertasawuf jelas terlihat ketika ia bicara soal zuhud misalnya. Karena. zuhud merupakan pangkal atau dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam sufisme yang diyakini oleh setiap sufi. Untuk menjadi sufi, setiap orang harus terlebih dulu menjalani zuhud atau menjadi zahid.
Untuk menjadi zahid, seorang sufi harus melepaskan kesenangannya pada benda-benda yang selama ini telah memberinya kenikmatan duniawi. Sebab kesenangan kepada duniawi - bagi para sufi - diyakini sebagai pangkal segala bencana. Sedangkan bencana yang paling besar bagi setiap sufi adalah ketika mereka tak dapat mendekati dan bersatu dengan Tuhan.
Namun dalam pemikiran Al-Junayd, zuhud adalah kosongnya tangan dari kepemilikan dan hati dari hal yang mengikuti (ketamakan). Menurut Muhammad Amin AI-Nawai, pengertian zuhud Al-Junayd itu diartikan sebagai suatu sifat yang tidak memberatkan diri pada duniawi yang dimiliki. Sehingga tidak akan merasa berat untuk menyedekahkan dan mendermakan hartanya pada yang lebih membutuhkannya. Jadi, zuhud dalam pikiran Al-Junayd tidak berarti harus meninggalkan dunia sama sekali.
Zuhud ala Al-Junayd ini lebih merupakan sikap seorang sufi yang tidak begitu terikat pada urusan dunia. Namun bukan berarti harus menjauhi dunia. Bahkan pemahaman itu akan melahirkan sikap kedermawanan dan suka bersedekah pada orang yang membutuhkannya. Jadi seorang zahid boleh mencari rezeki yang halal sesuai ajaran Tuhan. Tapi setelah rnendapatkannya ia harus menggunakannya di jalan yang benar, sesuai petunjuk Tuhan.
Makanya, fenomena itu terlihat dari penampilan sufi Al-Junayd sehari-hari. la tidak anti-dunia. la malah berdagang di pasar Baghdad untuk memenuhi kebutuhannya, Kehidupan sehari-harinya pun dijalaninya secara wajar bahkan ia memiliki rumah yang cukup bagus dan mengenakan pakaian yang pantas, tak seperti Kebanyakan pakaian yang digunakan oleh para sufi umumnya.
Menurut Al-Junyad, setiap Muslim, termasuk juga para sufi, seharusnya mengikuti jejak Rasulullah saw, yaitu menjalani kehidupan ini seperti manusia biasa, menikah, berdagang, berpakaian yang pantas. tapi juga dermawan, la tidak suka dengan sifat manusia yang apatis.
Kata Al-Junyad, "Seorang sufi tidak seharusnya hanya berdiam diri di masjid dan berzikir saja tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk menunjang kehidupannya orang tersebut menggantungkan diri hanya pada pemberian orang lain. Sifat-sifat seperti itu sangatlah tercela. Karena sekali pun ia sufi, ia harus tetap bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Dimana jika sudah mendapal nafkah, diharapkan mau membelanjakannya di jalan Allah.”
Al-Junayd tetap melaksanakan ibadah sebagaimana layaknya yang dijalani oleh para sufi. Berzikir, membaca Al Quran dan lain sebagainya. Sehingga dalam pemikiran Al-Junayd keharusan mencari nafkah tidak menjadi penghalang untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan. 'Karena, dunia tidak dibuatnya menjadi suatu kesenangan. Melainkan hanyalah sebuah pelengkap.
Itulah makanya: meski ia seorang pedagang ia tetap menomorsatukan pengabdiannya kepada Allah SWT. Di saat-saat pembeli sedang sepi, ia pun memanfaatkan waktunya untuk shalat sunah. Juga baginya tiada hari tanpa membaca Al Quran. AI-Baghdadi mengatakan, saat-saat akan meninggal Al-Junayd membaca Al Quran sampai tamat. Lalu, ketika ia memulai lagi dari surat AI-Baqarah sampai ayat ke-70, barulah ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Al-Junayd meninggal pada tahun 298 H dan dimakamkan tepat di sebelah makam pamannya. Sari Al-Saqati.
Karya-Karya Al-Junayd
Al-Junayd sendiri sebenarnya termasuk seorang sufi yang tawadhu'. Saking tawadhu'nya ia malah pernah bilang kalau ajaran-ajaran sufinya tak perlu disebarluaskan. Kok begitu? la khawatir pikiran-pikirannya itu membuat orang lupa pada ajaran Rasululullah. Kendati begitu, menurut Al-Sarraj, Al-Junaiyd pernah menulis kitab yang berjudul AI-Munajat dan Shar Shathiyat Abi Yazid AI-Bistami. Juga ada bukunya yang berjudul Tashih Ai-lradhah dan Al Rasa'il.
Al-Rasa'il selain berisi surat-surat Al-Junayd yang dikirimkannya kepada para sahabatnya, juga memuat ajaran-ajaran Al-Junayd sendiri berupa tulisan para muridnya ketika menerima pelajaran dari dia. Selain itu ada satu lagi karya tulisnya. berjudul Dawa Al-Tafit. Buku itu konon kini tersimpan di Birmingham, Inggris.
Tetapi yang jelas, ajaran-ajaran tasawuf Al-Junayd tersebar di bcberapa karya para sufi lainnya, lewat berbagai kutipan-kutipan. Imam AI-Ghazali sendiri tampaknya mengetahui ajaran Al-Junayd melalui berbagai kutipan yang terdapat dalam buku-buku tasawuf. Di dalam biografinya, AI-Ghazali mengakui bahwa ajaran-ajaran sufi yang terdapat dalam bukunya merupakan kumpulan dari ucapan Al-Junayd, Al-Shibli, dan Abu Yazid yang tersebar di beberapa buku.
Alhasil, sufi Al-Junayd telah memberikan pemikiran-pemikiran sufistiknya yang agak beda dengan para sufi kebanyakan. Baik dalam pola penampilan hidup sehari-harinya maupun dalam pandangannya soal zuhud. la memang seorang sufi yang lebih bersifat moderat. Itulah makaya banyak kalangan yang mengikuti ajaran-ajarannya. Bahkan hingga kini, narna sufi Al-Junayd dan ajarannya masih tetap melambung di deretan para sufi terkemuka.
Kalau Al Saqati, paman dan guru Al-Junayd adalah orang Persia, maka Al-Muhasibi merupakan guru tasawuf Al-Junayd yang berasal dari keturunan Arab, namun lahir di Basrah. Sementara Muhammad AI-Qassab - Abu Ja'far Muhammad ibn All AI-Qassab (wafat 275 H) - menurut AI-Junayd: adalah guru sufi yang paling utama baginya.
Selain itu, Al-Junayd juga berguru tasawuf pada Ibn AI-Karanbi dan Al-Qantari. Yang mengesankan dari dua guru ini, hubungannya dengan Al-Junyad sangat akrab, tak tampak sebagai hubungan antara murid dan guru, Padahal, keduanya merupakan tokoh sufi terkemuka di kota Baghdad, bahkan Al-Qantari adalah teman Ma'ruf AI-Karkhi: gurunya Sari Al-Saqati.
Murid-murid Al-Junayd cukup banyak. Namun ada tiga muridnya yang paling kesohor, yakni Al-Jurayri, Al-Shibli, dan AI-Hallaj. Yang disebut terakhtr ini mengembangkan sendiri faham ittihad yang berbeda dengan faham gurunya. Bila Al-Junayd masih memberi batasan yang jelas antara Tuhan yang qadim dengan makhluk yang hadis, maka AI-Hallaj melangkah lebih jauh. Menurut AI-Hallaj, persatuan makhluk dengan Tuhan bisa terjadi secara total. Dan justru di situlah dia dipandang oleh para ulama Syariat telah menyeleweng dari ajaran Islam. Sehingga la kemudian diadukan kepada Khalifah AI-Muqtadir yang berkuasa saat itu. la pun lalu ditangkap, diadili, dan akhirnya dihukum mati,
Pemikiran Al-Junayd
Dalam pemikiran tasawuf Al-Junayd, Tuhan itu Maha Suci. Kesucian-Nya adalah azali dan abadi. Tuhan itu suci sejak keberadaan-Nya yang tanpa awal dan akan terus demikian tanpa akhir. Sementara manusia yang terdiri dari ruh dan jasad, berbeda dari Tuhan.
Bedanya, pada mulanya ruh manusia diciptakan dalam keadaan suci bersih. Dia tidak mempunyai keinginan apa-apa selain kepada Tuhan. Namun setelah ruh itu dimasukkan ke dalam tubuh manusia, ia rnenjadi terikat dengan nafsu yang ada dalam tubuh manusia, bahkan terkadang berada di bawah pengaruh nafsu yang berusaha untuk menariknya pada berbagai kesenangan duniawi.
Pada gilirannya, ruh terpesona dengan dorongan nafsu atas kemewahan dunia. Karena keinginan dan terpengaruhnya ruh pada benda-benda dunia inilah yang kemudian rnenyebabkan ruh tak lagi suci seperti semula. la tercemar karena dilumuri hasrat dan kenikmatan dunia yang menipu.
Kendati demikian, dari pemahan itu, manusia menurut Al-Junyad bisa mendekati bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk mencapai kebersatuan itu, orang harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya.
Walau begitu, kata Al-Junayd, sufisme adalah suatu sifat (keadaan) yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya) adalah sifat manusia.
Di sini Al-Junayd ingin menegaskan bahwa sesungguhnya diri manusia telah dihiasi dengan sifat Tuhan, Sehingga, kondisi tingkat tertinggi dari suatu pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi pada persatuannya dengan Tuhan, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini seorang sufi akan kehilangan kesadarannya, la tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan lingkungannya. Seluruh perhatiannya hanya tertuju buat Tuhan. Dengan kehilangan kesadarannya akan keduniaan, maka ia otomatis sedang berada dengan Tuhan.
Pada tingkat yang demikian. seorang sufi merasakan tidak ada lagi jarak antara dirinya dengan Tuhan. Karena sifat-sifat yang ada pada dirinya semuanya sudah digantikan dengan sifat Tuhan. Segala kehendak pribadi manusia lenyap, digantikan dengan kehendak-Nya.
Seperti dipaparkan oleh AI-Hujwiri soal tasawuf Al-Junayd ini. bahwa dalarn persatuan yang sesungguhnya (tauhid) tidak akan ada lagi sifat manusia yang tertinggal. Lantaran, sifat-sifat itu tidak tetap, sehingga hanya berbentuk gambar saja. Oleh sebab itu, Tuhanlah sesungguhnya yang berbuat. Semua itu sebenarnya sifat-sifat Tuhan. Karenanya, Tuhan misalnya kemudian menyuruh manusia untuk berpuasa. Bila dilaksanakan, maka Dia memberi nama Shaim pada mereka. Sehingga sekalipun secara lahir puasa itu milik manusia, tapi sesungguhnya puasa adalah kepunyaan Tuhan.
Juga untuk mencapai persatuan kepada Tuhan, menurut Al-Junayd. manusia harus menyucikan batin, mengendalikan nafsu, dan rnembersihkan hati dari segala sifat-sifat kemakhlukan. Setelah kebersatuan dengan Tuhan itu tercapai, seorang sufi kembali tersadar. Dan selanjutnya harus mengajak urnat dan membimbingnya ke jalan yang diyakininya.
Dari situ, dimaklumi, bahwa pemikiran sufisme Al-Junayd berpangkal pada ajaran tauhid atau persatuan dengan Tuhan. Paham persatuan dengan Tuhan dalam pemikiran Al-Junayd ini banyak diikuti oleh para sufi lain di rnasanya dan sesudahnya
Kemoderatan Al-Junayd dalam bertasawuf jelas terlihat ketika ia bicara soal zuhud misalnya. Karena. zuhud merupakan pangkal atau dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam sufisme yang diyakini oleh setiap sufi. Untuk menjadi sufi, setiap orang harus terlebih dulu menjalani zuhud atau menjadi zahid.
Untuk menjadi zahid, seorang sufi harus melepaskan kesenangannya pada benda-benda yang selama ini telah memberinya kenikmatan duniawi. Sebab kesenangan kepada duniawi - bagi para sufi - diyakini sebagai pangkal segala bencana. Sedangkan bencana yang paling besar bagi setiap sufi adalah ketika mereka tak dapat mendekati dan bersatu dengan Tuhan.
Namun dalam pemikiran Al-Junayd, zuhud adalah kosongnya tangan dari kepemilikan dan hati dari hal yang mengikuti (ketamakan). Menurut Muhammad Amin AI-Nawai, pengertian zuhud Al-Junayd itu diartikan sebagai suatu sifat yang tidak memberatkan diri pada duniawi yang dimiliki. Sehingga tidak akan merasa berat untuk menyedekahkan dan mendermakan hartanya pada yang lebih membutuhkannya. Jadi, zuhud dalam pikiran Al-Junayd tidak berarti harus meninggalkan dunia sama sekali.
Zuhud ala Al-Junayd ini lebih merupakan sikap seorang sufi yang tidak begitu terikat pada urusan dunia. Namun bukan berarti harus menjauhi dunia. Bahkan pemahaman itu akan melahirkan sikap kedermawanan dan suka bersedekah pada orang yang membutuhkannya. Jadi seorang zahid boleh mencari rezeki yang halal sesuai ajaran Tuhan. Tapi setelah rnendapatkannya ia harus menggunakannya di jalan yang benar, sesuai petunjuk Tuhan.
Makanya, fenomena itu terlihat dari penampilan sufi Al-Junayd sehari-hari. la tidak anti-dunia. la malah berdagang di pasar Baghdad untuk memenuhi kebutuhannya, Kehidupan sehari-harinya pun dijalaninya secara wajar bahkan ia memiliki rumah yang cukup bagus dan mengenakan pakaian yang pantas, tak seperti Kebanyakan pakaian yang digunakan oleh para sufi umumnya.
Menurut Al-Junyad, setiap Muslim, termasuk juga para sufi, seharusnya mengikuti jejak Rasulullah saw, yaitu menjalani kehidupan ini seperti manusia biasa, menikah, berdagang, berpakaian yang pantas. tapi juga dermawan, la tidak suka dengan sifat manusia yang apatis.
Kata Al-Junyad, "Seorang sufi tidak seharusnya hanya berdiam diri di masjid dan berzikir saja tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk menunjang kehidupannya orang tersebut menggantungkan diri hanya pada pemberian orang lain. Sifat-sifat seperti itu sangatlah tercela. Karena sekali pun ia sufi, ia harus tetap bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Dimana jika sudah mendapal nafkah, diharapkan mau membelanjakannya di jalan Allah.”
Al-Junayd tetap melaksanakan ibadah sebagaimana layaknya yang dijalani oleh para sufi. Berzikir, membaca Al Quran dan lain sebagainya. Sehingga dalam pemikiran Al-Junayd keharusan mencari nafkah tidak menjadi penghalang untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan. 'Karena, dunia tidak dibuatnya menjadi suatu kesenangan. Melainkan hanyalah sebuah pelengkap.
Itulah makanya: meski ia seorang pedagang ia tetap menomorsatukan pengabdiannya kepada Allah SWT. Di saat-saat pembeli sedang sepi, ia pun memanfaatkan waktunya untuk shalat sunah. Juga baginya tiada hari tanpa membaca Al Quran. AI-Baghdadi mengatakan, saat-saat akan meninggal Al-Junayd membaca Al Quran sampai tamat. Lalu, ketika ia memulai lagi dari surat AI-Baqarah sampai ayat ke-70, barulah ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Al-Junayd meninggal pada tahun 298 H dan dimakamkan tepat di sebelah makam pamannya. Sari Al-Saqati.
Karya-Karya Al-Junayd
Al-Junayd sendiri sebenarnya termasuk seorang sufi yang tawadhu'. Saking tawadhu'nya ia malah pernah bilang kalau ajaran-ajaran sufinya tak perlu disebarluaskan. Kok begitu? la khawatir pikiran-pikirannya itu membuat orang lupa pada ajaran Rasululullah. Kendati begitu, menurut Al-Sarraj, Al-Junaiyd pernah menulis kitab yang berjudul AI-Munajat dan Shar Shathiyat Abi Yazid AI-Bistami. Juga ada bukunya yang berjudul Tashih Ai-lradhah dan Al Rasa'il.
Al-Rasa'il selain berisi surat-surat Al-Junayd yang dikirimkannya kepada para sahabatnya, juga memuat ajaran-ajaran Al-Junayd sendiri berupa tulisan para muridnya ketika menerima pelajaran dari dia. Selain itu ada satu lagi karya tulisnya. berjudul Dawa Al-Tafit. Buku itu konon kini tersimpan di Birmingham, Inggris.
Tetapi yang jelas, ajaran-ajaran tasawuf Al-Junayd tersebar di bcberapa karya para sufi lainnya, lewat berbagai kutipan-kutipan. Imam AI-Ghazali sendiri tampaknya mengetahui ajaran Al-Junayd melalui berbagai kutipan yang terdapat dalam buku-buku tasawuf. Di dalam biografinya, AI-Ghazali mengakui bahwa ajaran-ajaran sufi yang terdapat dalam bukunya merupakan kumpulan dari ucapan Al-Junayd, Al-Shibli, dan Abu Yazid yang tersebar di beberapa buku.
Alhasil, sufi Al-Junayd telah memberikan pemikiran-pemikiran sufistiknya yang agak beda dengan para sufi kebanyakan. Baik dalam pola penampilan hidup sehari-harinya maupun dalam pandangannya soal zuhud. la memang seorang sufi yang lebih bersifat moderat. Itulah makaya banyak kalangan yang mengikuti ajaran-ajarannya. Bahkan hingga kini, narna sufi Al-Junayd dan ajarannya masih tetap melambung di deretan para sufi terkemuka.
Tasawuf Syekh Junaid al-Baghdadi
Al-Junaid
barkata, “Tasawuf adalah bersama dengan Allah tanpa pertalian dengan
apapun.” Melalui definisi ini, sebenarnya Al-Junaid ingin menyatakan
bahwa sufisme merupakan cara atau sarana menuju Allah dan bersatu dengan
kehendak-Nya. Sedangkan pengertian yang demikian ini, dihasilkan dari
kesadaran akan adanya suatu jurang yang sangat lebar memisahkan manusia
dari Allah. Sehingga sufisme, dimaksudkannya untuk menjembatani jurang
tersebut.
Dengan
perantaraan sufisme, manusia dapat mendekati-Nya, bahkan dapat bersatu
di dalam-Nya. Agar dapat mencapai persatuan tersebut, manusia harus
mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada
dirinya. Jika hal ini dapat dilaksanakan, niscaya tujuan untuk mendekati
Tuhan dan bersatu di dalam-Nya akan tercapai.
Namun
demikian, Al-Junaid juga menyatakan bahwa, “Sufisme adalah suatu
keadaan yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia.” Dan ketika ditanya
apakah sifat itu sifat manusia atau sifat Allah?, Al-Junaid menjawab,
“Esensinya memang merupakan sifat Allah, namun gambaran lahiriahnya
adalah sifat manusia.” Melalui definisi ini, Al-Junaid ingin
menggambarkan bahwa sesungguhnya dalam diri manusia telah dihiasi dengan
sifat Allah, sehingga kondisi tertinggi dari pengalaman sufistik yang
dicapai seorang sufi berupa persatuannya dengan Allah, juga dapat
dilukiskan. Pada tingkat ini, seorang sufi akan
kehilangan kesadarannya, tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan
lingkungannya. Bahkan semua yang ada di sekitarnya tidak lagi menjadi
obyek pemikirannya, lantaran seluruh perhatiannya hanya tertuju kepada
Allah. Sementara dengan hilangnya semua perhatian dan kesadarannya itu,
maka dia otomatis sedang berada di tangan Allah.
Lebih
jauh Al-Junaid menegaskan, bagaimanapun tingginya tingkatan yang telah
dicapai, seorang sufi harus tetap meyakini Keesaan Allah dan menjalankan
perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya sesuai dengan Al-Qur’an dan
Sunah Rasul.
Dalam ajaran Sufi, delapan sifat harus dilatih. Kaum Sufi memiliki:
1. Kemurahan hati seperti Ibrahim a.s.;
2. Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun dari Ismail a.s.;
3. Kesabaran, sebagaimana dimiliki Ya’kub a.s.;
4. Kemampuan berkomunikasi dengan simbolisme, seperti halnya Zakaria a.s.;
5. Pemisahan dari para pendukungnya sendiri, sebagaimana halnya Yahya a.s.;
6. Jubah wool seperti mantel gembala Musa a.s.;
7. Pengembaraan, seperti perjalanan Isa a.s.;
8. Kerendahan-hati, seperti jiwa dari kerendahan hati Muhammad saw.
1. Ajaran Zuhud
Zuhud
merupakan dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam ajaran sufisme
yang diyakini oleh para sufi. Yang merupakan langkah awal dari mereka
yang menekuni tasawuf dalam usahanya untuk berada sedekat mungkin dengan
Allah. Sehingga siapa saja yang tidak berhasil melalui tahap ini, maka
niscaya tidak akan pernah berhasil mencapai hal dan maqam sesudahnya.
Menurut
Al-Junaid, “Zuhud adalah kosongnya tangan dari kepemilikan dan hati
dari hal yang mengikutinya (ketamakan).” Dengan kata lain, zuhud bagi
Al-Junaid lebih merupakan sikap seorang sufi yang tidak begitu terikat
dengan duniawi. Namun bukan berarti zuhud itu menjauhi dunia. Bahkan
lebih jauh, pengertian zuhud ini melahirkan sikap kedermawanan dan suka
bersedekah pada orang yang membutuhkan.
Al-Junaid
juga bertutur, “Seorang sufi tidak seharusnya berdiam diri di masjid
dan berdzikir saja tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk
menunjang kehidupannya, orang tersebut menggantungkan dirinya hanya pada
pemberian orang lain.” Bagi Al-Junaid, sifat dan sikap seperti itu
sengatlah tercela, lantaran sekalipun sufi, orang tersebut harus tetap
bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Jika sudah
mendapat nafkah diharapkan mau menggunakannya di jalan Allah, yaitu
dengan mendermakan sebagian hartanya kepada siapa saja yang membutuhkan.
2. Ajaran Tawakal
Menurut
Al-Junaid, “Hakikat tawakal adalah menjadi milik Tuhan seperti sebelum
terjadi.” Pengertian ini berarti bahwa seorang yang bertawakal menjadi
seperti ketika belum diciptakan, yaitu sebagai milik Tuhan. Dan lantaran
dia kepunyaan-Nya, maka apapun yang akan diperbuat Allah terhadapnya,
dia akan menerimanya. Junaid juga bertutur, “Bahwasannya kamu harus puas
dengan Allah dalam segala keadaan, dan kamu tidak mengharapkan sesuatu
yang lain kecuali Allah.”
3. Ajaran Mahabbah
Junaid
bertutur tentang mahabbah, “Mahabbah adalah masuknya sifat-sifat yang
Dicintai ke dalam diri yang mencintai, sebagai ganti dari sifat-sifat
yang mencintai.” Maksudnya adalah jika seorang sufi telah benar-benar
jatuh cinta kepada Allah, maka perhatiannya hanya akan tertuju pada-Nya.
Tiada lagi perasaan yang tertuju kepada hal-hal lain yang masih
tertinggal pada dirinya. Pada saat yang sama, dia akan menjadikan tempat
di segala sudut dalam hatinya, hanya untuk Allah.
Namun
demikian, semua ini hanya akan terjadi apabila diawali dengan
menghilangkan sifat-sifat yang ada pada dirinya sebagai makhluk, dengan
meyakini esensi Tuhan yang kekal. Lantaran ketika
sifat-sifat kemanusiaannya hilang, pada saat itulah dia akan terhiasi
oleh sifat-sifat Allah yang dicintai-Nya. Jika sufi tersebut masih
merasakan sifat-sifat kemakhlukan pada dirinya, niscaya dia tidak akan
dapat menghayati keindahan Allah yang dicintainya. Tetapi jika dia tahu
bahwa keindahan Allah hanya dapat dicapai dengan usaha yang tekun dan
pertolongan-Nya, maka ia pasti akan berusaha untuk meraihnya, sekalipun
untuk itu, dia harus menghilangkan sifat-sifat dirinya. Sehingga dengan demikian, mahabbah yang sejati pada Tuhan akan terwujud.
4. Ajaran Mushahadah
Mushahadah
berarti menyaksikan atau lebih jelasnya, “Melihat Allah dengan mata
hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat-Nya dengan mata
kepala.” Hal ini berarti bahwa dalam ajaran sufisme, seorang sufi dalam
keadaan tertentu akan dapat melihat Allah dengan mata hatinya. Sehingga
boleh jadi, hanya bagi mereka, Allah itu dapat dilihat. Menurut
Al-Junaid, Allah hanya dapat dilihat melalui mata hati, bukan dengan
mata kepala. Sehingga seandainya Allah dapat dilihat dengan mata kepala
di akhirat nanti, maka Al-Junaid pun tidak ingin melakukannya.
Al-Junaid bertutur, “Apabila Allah berkata kepadaku: Lihatlah Aku, aku akan menjawab: Aku tidak dapat melihat Engkau ya Allah. Lantaran
dalam cinta, mata adalah sesuatu yang lain selain Tuhan dan makhluk.
Kecemburuan pada yang lain akan menjagaku dari melihat-Nya. Selain itu,
ketika di dunia aku telah biasa melihat-Nya tanpa perantaraan mata
kepala, maka bagaimana aku harus menggunakan perantaraan seperti itu di
akhirat nanti.”
5. Ajaran Mithaq
Menurut
Al-Junaid, yang dimaksud dengan mithaq adalah perjanjian yang terjadi
antara Allah dengan ruh, sebelum dia masuk ke dalam tubuh manusia. Dimana akad ini terjadi ketika ruh tersebut diciptakan-Nya pada masa azali.
6. Ajaran Tentang Fana dan Baqa
Kontribusi
Junaid terhadap tasawuf banyak, ide dasar berurusan dengan kemajuan
yang menyebabkan orang untuk “memurnahkan” diri (fana) sehingga berada
dalam serikat lebih dekat dengan Ilahi. Orang perlu “melepaskan
keinginan alam, untuk menghapus atribut manusia, untuk membuang motif
egois, untuk menumbuhkan kualitas spiritual, untuk mengabdikan diri
kepada pengetahuan yang benar, untuk melakukan apa yang terbaik dalam
konteks keabadian, keinginan baik untuk seluruh masyarakat, harus
benar-benar beriman kepada Allah, dan mengikuti Nabi dalam hal syariat
“. Ini dimulai dengan praktek penolakan (zuhud) dan berlanjut dengan
penarikan dari masyarakat, konsentrasi intensif pada pengabdian (Ibadat)
& mengingati (zikir) Allah, ketulusan (Ikhlas), dan kontemplasi
(muraqaba) masing-masing; kontemplasi menghasilkan fana. Jenis
“perjuangan semantik” recreates pengalaman persidangan (bala) yang
penting dalam tulisan-tulisan Junaid. Hal ini memungkinkan orang untuk
masuk ke dalam keadaan fana. Junaid membagi atas keadaan fana menjadi
tiga bagian: “
1) yang meninggal dari atribut seseorang melalui upaya terus-menerus menentang ego-diri sendiri (nafs);
2)
berlalu dari perasaan seseorang tentang prestasi, yaitu berlalu dari
“kita berbagi salah satu padang pasir manis dan kenikmatan ketaatan‘;
dan
3) lewat jauh dari visi tentang realitas” dari ekstansi Anda sebagai tanda nyata mengalahkan Anda’ “.
Semua
tahapan ini membantu seseorang untuk mencapai fana. Ini adalah melalui
tahap baqa yang satu dapat menemukan Tuhan – atau lebih tepatnya,
memiliki Allah menemukan dirinya. Menjangkau baqa
bukanlah hal yang mudah dilakukan meskipun; mendapatkan melalui tiga
tahap membutuhkan disiplin yang ketat dan kesabaran. Bahkan ada
perdebatan antara ulama, apakah tahap ketiga dimungkinkan untuk dicapai.
Junaid membantu mendirikan “sadar” sekolah pemikiran sufi, yang berarti
bahwa dia sangat logis dan ilmiah tentang definisi tentang berbagai
kebajikan, Tauhid, dll. Tasawuf dicirikan oleh orang-orang yang
Pengalaman fana dan tidak hidup dalam keadaan penyerapan tanpa pamrih
pada Tuhan tetapi menemukan diri mereka kembali ke indera mereka oleh
Allah. Kembali tersebut dari pengalaman demikian dilarutkan mementingkan
diri sebagai diri baru. Sebagai contoh, Junaid mengatakan, “Air
mengambil warna dari cawan itu.” Meskipun ini mungkin tampak agak
membingungkan pada awalnya, ‘Abd al-Hakeem Carney menjelaskan lebih
baik: kita dituntun menuju konsep penting dari ‘kapasitas,’ dimana
penampakan Ilahi diterima oleh hati setiap orang menurut orang itu
tertentu menerima kapasitas dan akan ‘berwarna’ oleh alam seseorang “.
Seperti yang dapat dilihat, seperti ungkapan yang sederhana memiliki
arti yang mendalam seperti; ia membawa pembaca kembali ke pemahaman yang
lebih dalam Tuhan melalui metafora yang lebih bijaksana.
Fana
dan baqa ini merupakan sesuatu yang kembar dan datang bersamaan,
sehingga jika seseorang mengalami fana (kesadaran diri hilang dan
lenyap), maka bersamaan dengan itu muncul baqa (munculnya kesadaran akan
kehadirannya di sisi Allah). Diri pribadi dengan segala sifatnya yang
menyukai kesenangan dan keinginan duniawi, merupakan tabir penghalang
bagi seorang sufi untuk mencapai persatuan dengan Allah. Sehingga semua
penghambat tersebut, harus terlebih dahulu dihapuskan agar dapat
mencapai puncak tertinggi dari sufisme. Atau dengan kata lain, untuk
mencapai persatuan dalam Allah, maka semua sifat kemakhlukan yang ada
pada diri manusia dan semua perasaan terhadap selain Allah, harus
dihilangkan terlebih dahulu. Sehingga ketika hati benar-benar telah
bersih dan siap ditempati Allah, maka inilah yang dimaksud dengan fana,
yakni hilangnya kesadaran atas diri pribadi.
7. Ajaran Tauhid
Menurut
Al-Junaid, tauhid adalah, “Pengesaan yang qidam (kekal) dari yang
hadath (baru atau diciptakan).” Dengan pengertian ini, Al-Junaid ingin
menegaskan bahwa tauhid merupakan pengesaan Allah yang kekal (qidam)
dari makhluk ciptaan-Nya yang baru (hadith). Pengesaan ini berarti
pemisahan Allah dari segala makhluk-Nya, termasuk di dalamnya pemisahan
dari manusia.
8. Ajaran Makrifat
Menurut
Al-Junaid, marifat adalah kesadaran akan adanya ketidaktahuan
(kebodohan) ketika pengetahuan tentang Allah datang. Melalui definisi
ini, dia ingin menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia itu berada pada
ketidaktahuan tentang hakikat Allah. Dimana keadaan yang demikian ini,
baru disadarinya ketika datang makrifat kepadanya. Pada saat itu, dia
akan mendapatkan pengetahuan tentang hal-hal yang berkenaan dengan Allah
yang sebelumnya tidak pernah diketahuinya.
Makrifat atau pengetahuan tentang Allah, akan dapat dicapai oleh seorang sufi, dalam keadaan fana tertinggi. Dimana
pada saat itu, segala sifat kemanusiaan yang ada dalam dirinya hilang
seketika. Semua keinginannya pada benda-benda duniawi terhapus.
Kesadaran akan dirinya lenyap, digantikan oleh kesadaran akan
kedekatannya pada Tuhan. Sedangkan yang masih tinggal pada dirinya
hanyalah perasaan akan bersatunya ruh dirinya dalam Allah. Dan pada
titik itulah sesungguhnya makrifat ini muncul menguasai dirinya. Di mana Allah dengan segala rahmat-Nya telah berkenan menganugerahkan makrifat itu kepadanya.
Makrifat menurut Al-Junaid merupakan milik Allah, yang hanya didapatkan melalui Dia dan akan ada bersama dengan-Nya sendiri.
9. Sahw (Kembali Pada Kesadaran)
Dalam
sufisme, istilah sahw adalah kembalinya seorang arif (sufi) pada
kesadarannya, setelah sebelumnya mengalami ghaybah (fana) dan kehilangan
kesadarannya. Al-Junaid menjelaskan masalah sahw ini sebagai berikut,
“Allah mengembalikan sufi kepada keadaannya semula, adalah agar dia
dapat menjelaskan bukti-bukti dari rahmat Tuhan kepadanya. Sehingga
cahaya anugerah-Nya akan tampak gemerlap melalui pengembalian pada
sifat-sifatnya sebagai manusia. Dengan demikian hal ini menjadikan
masyarakat menghargai dan tertarik kepadanya.”
Sahw
ini merupakan tahap terakhir setelah seorang sufi mengalami fana dan
baqa. Pada kondisi inilah ujian sebenarnya bahwa seorang sufi harus
mampu kembali kepada kesadarannya dengan hati yang telah disucikan oleh
Allah. Para sufi ini harus mampu menyucikan hatinya secara terus-menerus
dalam kesadaran manusia sehingga dia benar-benar menjadi yang mencintai
dan dicintai Allah.
Junaid
percaya bahwa Sufisme adalah jalan bagi elit untuk mencapai Allah,
bukan orang biasa. “Tasawuf,” katanya, “adalah untuk membersihkan
jantung dari setiap keinginan mengikuti jalan orang-orang umum”.
Abu Ali ar-Raudzabari berkata: “Saya mendengar Al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli ma’rifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang tidak lagi baginya untuk berbuat apapun, –Artinya
menurutnya orang tersebut boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang
telah diwajibkan, Al-Junaid berkata kepadanya: “Ini adalah perkataan
kaum yang berpendapat segala perbuatan-perbuatan akan gugur. Dan ini
bagiku adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Seorang pelaku zina dan
seorang yang mencuri jauh lebih baik dari pada orang memiliki pendapat
seperti itu. Sesungguhnya, orang-orang yang ‘Ârif Billâh adalah
mereka yang mengerjakan seluruh pekerjaan sesuai perintah Allah, karena
hanya kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan itu kembali. Andaikan aku hidup
dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikitpun
selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allah
kecuali bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkannya. Inilah
keyakinan yang terus memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku”.
Sejak
kecil, Al-Junaid terkenal sebagai seorang anak yang cerdas, sehingga
sangat mudah dan cepat belajar ilmu-ilmu agama dari pamannya. Karena
kecerdasannya itu, ketika berumur tujuh tahun, Al-Junaid telah diuji
oleh gurunya dengan sebuah pertanyaan tentang makna syukur. Kehidupan
Al-Junaid al-Baghdâdî, di samping sebagai seorang sufi yang senantiasa
mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya, ia juga sebagai pedagang
barang-barang pecah belah di pasar tradisional. Selesai berdagang,
beliau pulang ke rumah dan mampu mengerjakan salat dalam waktu sehari
semalam sebanyak empat ratus rakaat.
Al-Junaid
al-Baghdâdî adalah seorang sufi yang mempunyai prinsip tak kenal putus
asa. Terbukti, misalnya dalam ibadah, baik di kala sehat maupun sakit,
ia senantiasa konsisten melaksanakannya; bahkan, dalam keadaan sakit, ia
merasa semakin dekat dengan Allah. Di samping itu, Al-Junaid memiliki
sifat tegas dalam pendirian. Ini terlihat ketika ia menandatangani surat
kuasa untuk menghukum mati muridnya sendiri, Husain ibn Mansur
Al-Hallaj (w. 309/ 922 M), sufi pencetus al-hulûl. Dalam surat kuasa
itu, ia menulis dengan tegas, “Berdasarkan syari’at, ia (al-Hallaj)
bersalah, tetapi menururt hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui”.
Dalam
masa-masa hidupnya, Al-Junaid menghadapi kendala dalam mengajarkan
tasawufnya, terutama dari kaum ortodok. Karena perlawanan mereka
terhadap para sufi yang terjadi ketika itu, maka Al-Junaid melakukan
praktik-praktik spiritual dan mengajari murid-muridnya di balik pintu
terkunci. Dari surat-suratnya atau risalah-risalah singkatnya dan
keterangan dari para sufi serta penulis biografi sufi sesudahnya, dapat
dipandang bahwa jalan hidup Al-Junaid merupakan perjuangan yang permanen
untuk kembali ke “Sumber” segala sesuatu, yakni Allah.
Bagi Al-Junaid, cinta spiritual (mahabbah) berarti bahwa, “Sifat-sifat Yang Dicintai menggantikan sifat-sifat si pencinta”. Al-Junaid memusatkan semua yang ada dalam pikirannya, semua kecenderungannya, kekagumannya, dan semua harapan dan ketakutannya, hanya kepada Allah SWT. Untuk itulah, dengan paham-paham ketasawufannya, ia sering dipandang sebagai seorang syekh sufi yang kharismatik di kota Bahgdad. Banyak tarekat sufi yang silsilahnya melalui Al-Junaid. Paham dan amalan tasawuf Al-Junaid ini banyak digali dari pengalaman-pengalaman ketasawufannya; namun demikian, konsep-konsep pemikiran tasawufnya masih belum tersusun secara sistematis, tetapi lebih banyak dijelaskan lewat ungkapan-ungkapan verbalnya.
Bagi Al-Junaid, cinta spiritual (mahabbah) berarti bahwa, “Sifat-sifat Yang Dicintai menggantikan sifat-sifat si pencinta”. Al-Junaid memusatkan semua yang ada dalam pikirannya, semua kecenderungannya, kekagumannya, dan semua harapan dan ketakutannya, hanya kepada Allah SWT. Untuk itulah, dengan paham-paham ketasawufannya, ia sering dipandang sebagai seorang syekh sufi yang kharismatik di kota Bahgdad. Banyak tarekat sufi yang silsilahnya melalui Al-Junaid. Paham dan amalan tasawuf Al-Junaid ini banyak digali dari pengalaman-pengalaman ketasawufannya; namun demikian, konsep-konsep pemikiran tasawufnya masih belum tersusun secara sistematis, tetapi lebih banyak dijelaskan lewat ungkapan-ungkapan verbalnya.
Dari
ungkapan-ungkapan itulah bisa dipahami konsep tasawufnya. Misalnya,
ketika ia menjelaskan tentang tasawuf yang dijalaninya, ternyata ia
peroleh dari pengalaman kezuhudan dan kesederhanaannya terhadap dunia.
Dalam hal ini, Sai’id Hawwa pernah mengutip pernyataan Al-Junaid, yang mengungkapkan, “Kami tidak mengambil tasawuf dari pembicaraan atau kata-kata, melainkan dari lapar dan keterlepasan dari dunia ini, dan dengan meninggalkan hal-hal yang sudah biasa dan kami senangi”. Sikap hidup fakir dan keterlepasan dari kemewahan dunia menjadi penting dalam kehidupan sufistik menurut pandangan Al-Junaid .
Al-Junaid memandang tasawuf sebagai jalan kearifan manusia dalam menjalankan hidupnya. Dalam hal ini ia pernah ditanya tentang orang yang disebut ârif (sufi) sebagai berikut, “Siapakah orang ârif (sufi) itu?” Ia menjawab, orang ârif adalah orang yang tidak terikat oleh waktu.” Kehidupan tasawuf yang dilakukan seseorang merupakan jalan penyucian hati dan jalan kekhusyukan untuk mengingat Dia. Perkataan Al-Junaid yang berhubungan dengan hal ini adalah: “Allah mensucikan “hati” seseorang menurut kadar khusyuknya dalam mengingat dia. Al-Junaid mengatakan :”Sabar itu meneguk kepahitan tanpa cemberut muka.” Selain itu, Al-Junaid al-Baghdâdî juga mempunyai pemikiran tentang bast (rasa lapang) dan qabd (rasa kecut). Bast yang dimaksud adalah istilah tasawuf yang berarti suasana kelapangan jiwa melalui harapan atau kegembiraan rohani akan datangnya rahmat Allah. Di kalangan para sufi, bast dan qabd merupakan kelanjutan dari raja’ (harap) dan khauf (takut), yang keduanya merupakan cara untuk meminta perlindungan dari Allah. Untuk melihat bagaimana bast dan qabd sebagai kelanjutan dari raja’ dan khauf ini, dapat disimak ungkapan yang dikemukakan Al-Junaid sebagai berikut: “Takut (khauf) kepada Allah membuatku menjadi qabd, dan harap (raja’) kepada-Nya membuatku manjadi bast. Dengan al-haqiqah (hakikat) Dia mempersatukanku dengan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia membuatku qabd dan khauf, Dia menghancurkan eksistensi kemanusiaanku. Apabila Dia membuatku bast dan raja’, Dia mengembalikan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia mengumpulkanku dengan al-haqiqah, Dia menghadirkanku. Jika Dia memisahkanku dengan Al-Haqq (Allah), Dia menyaksikanku dalam eksistensi yang lain. Maka ketika itu aku dalam kedaan gelap gulita, dan menjadi tidak sadarkan diri. Ketika itu Dialah yang Yang Maha Tinggi yang menggerakkanku tanpa mendiamkanku dan Dia yang membuatku takut dan cemas tanpa membuatku merasakan adanya belaian kasih. Ketika eksistensi kemanusiaanku hadir, aku merasakan keberadaanku. Dan ketika eksistensi kemanusiaanku lepas, aku merasa hancur tidak sadarkan diri.” Al-Junaid al-Baghdâdî yang terkenal dengan julukan sayyid at-ta’ifah (sesepuh kaum sufi), menjelaskan bahwa cinta murni itu tercapai setelah adanya proses transformasi sifat-sifat yang dicintai pada diri pencinta secara total.
Al-Junaid memandang tasawuf sebagai jalan kearifan manusia dalam menjalankan hidupnya. Dalam hal ini ia pernah ditanya tentang orang yang disebut ârif (sufi) sebagai berikut, “Siapakah orang ârif (sufi) itu?” Ia menjawab, orang ârif adalah orang yang tidak terikat oleh waktu.” Kehidupan tasawuf yang dilakukan seseorang merupakan jalan penyucian hati dan jalan kekhusyukan untuk mengingat Dia. Perkataan Al-Junaid yang berhubungan dengan hal ini adalah: “Allah mensucikan “hati” seseorang menurut kadar khusyuknya dalam mengingat dia. Al-Junaid mengatakan :”Sabar itu meneguk kepahitan tanpa cemberut muka.” Selain itu, Al-Junaid al-Baghdâdî juga mempunyai pemikiran tentang bast (rasa lapang) dan qabd (rasa kecut). Bast yang dimaksud adalah istilah tasawuf yang berarti suasana kelapangan jiwa melalui harapan atau kegembiraan rohani akan datangnya rahmat Allah. Di kalangan para sufi, bast dan qabd merupakan kelanjutan dari raja’ (harap) dan khauf (takut), yang keduanya merupakan cara untuk meminta perlindungan dari Allah. Untuk melihat bagaimana bast dan qabd sebagai kelanjutan dari raja’ dan khauf ini, dapat disimak ungkapan yang dikemukakan Al-Junaid sebagai berikut: “Takut (khauf) kepada Allah membuatku menjadi qabd, dan harap (raja’) kepada-Nya membuatku manjadi bast. Dengan al-haqiqah (hakikat) Dia mempersatukanku dengan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia membuatku qabd dan khauf, Dia menghancurkan eksistensi kemanusiaanku. Apabila Dia membuatku bast dan raja’, Dia mengembalikan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia mengumpulkanku dengan al-haqiqah, Dia menghadirkanku. Jika Dia memisahkanku dengan Al-Haqq (Allah), Dia menyaksikanku dalam eksistensi yang lain. Maka ketika itu aku dalam kedaan gelap gulita, dan menjadi tidak sadarkan diri. Ketika itu Dialah yang Yang Maha Tinggi yang menggerakkanku tanpa mendiamkanku dan Dia yang membuatku takut dan cemas tanpa membuatku merasakan adanya belaian kasih. Ketika eksistensi kemanusiaanku hadir, aku merasakan keberadaanku. Dan ketika eksistensi kemanusiaanku lepas, aku merasa hancur tidak sadarkan diri.” Al-Junaid al-Baghdâdî yang terkenal dengan julukan sayyid at-ta’ifah (sesepuh kaum sufi), menjelaskan bahwa cinta murni itu tercapai setelah adanya proses transformasi sifat-sifat yang dicintai pada diri pencinta secara total.
Dari
kutipan-kutipan di atas, maka jelas sekali tasawuf Al-Junaid
berlandaskan Al-Qur’an dan hadits. Ia menjauhi praktek yang bertentangan
dengan syariat Islam. Adapun dasar-dasar pemikiran Al-Junaid tentang
tasawuf adalah sebagai berikut:
1.
Seorang sufi harus meninggalkan kelakuan dan sifat-sifat yang buruk dan
menjalankan budi pekerti yang baik, sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf
yang selalu mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan bidi pekerti
yang jelek.
2. Ajaran tasawuf adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan sifat-sifat alamiah yang bisa merusak kesucian jiwa, menahan manusia dari godaan jasmani, mangambil sifat-sifat ruhani, mengingatkan diri pada ilmu hakikat, mengingat Allah SWT. dan rasul-Nya, Muhammad SAW.
2. Ajaran tasawuf adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan sifat-sifat alamiah yang bisa merusak kesucian jiwa, menahan manusia dari godaan jasmani, mangambil sifat-sifat ruhani, mengingatkan diri pada ilmu hakikat, mengingat Allah SWT. dan rasul-Nya, Muhammad SAW.
3.
Memalingkan perhatian dari urusan duniawi kepada urusan ukhrawi. Bagi
orang beriman, meninggalkan pergaulan dengan sesama (manusia) masih
mudah dan berpaling kepada Allah sulit. Ternyata berpaling dari nafsu
lebih sulit lagi. Untuk itu, melawan nafsu adalah sangat penting untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, al-Hujwiri mengutip bahwa
Al-Junaid pernah ditanya, “apakah persatuan dengan Tuhan?” dia menjawab,
“meniadakan hawa nafsu,” karena di antara semua tindakan ibadah yang
diridhai Tuhan, tiada yang lebih besar nilainya dari pada menundukkan
hawa nafsu. Menghancurkan gunung lebih mudah bagi seorang manusia dari
pada menundukkan hawa nafsunya.”
4. Manusia harus berpegang teguh kepada tauhid, termasuk dalam bertasawuf. Arti
tauhid, menurut Al-Junaid, adalah mengesakan Allah SWT. dengan
sesempurna-Nya. Bahwa sesungguhnya Allah itu esa, tidak beranak dan
tidak pula diperanakkan, tidak berjumlah dan tidak pula tersusun, dan
tak satupun yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar, Dia Maha Melihat
dan Maha Tunggal, dan seterusnya.
5. orang sufi harus bisa melakukan tiga syarat amalan, yaitu:
(a) melazimkan dzikr secara kontinu yang disertai himmah dan dengan kesadaran yang penuh;
(b) mempertahankan tingkat kegairahan atau semangat yang tinggi;
(c) senantiasa melaksanakan syari’at yang ketat dan tepat dalam kehidupan sehari-hari.
Sebab itu, dalam soal berpegang teguh pada syari’at, maka Al-Junaid
seperti dikutip Sa’id Hawwa, pernah menuduh orang yang menjadikan wusul
(mencapai) Allah sebagai tindakan untuk melepaskan diri dari
hukum-hukum syari’ah. Dalam persoala ini dengan tegas ia menyatakan,
“Betul mereka sampai, tetapi ke neraka Saqar.”
Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab fiqih pernah berkata,
“Barang siapa mendalami syariat tanpa hakikat ia fasik, barang siapa
yang mendalami hakikat tanpa mendalami syariat ia zindiq, dan barang
siapa yang melakukan keduanya ia ber-tahaqquq (meraih kebenaran).”
Dikatakan
bahwa para sufi pada masanya, al-Junaid adalah seorang sufi yang
mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara
mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena
itulah dia digelari Imam Kaum Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara
al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya
Tokoh dan Imam kaum Sufi.
Al-Junaid
juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “Allah akan menyebabkan mati
dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh
Junaid disebut fana`,
sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala
sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dalam
sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian
dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya. Disamping
al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia
juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
Perjumpaan Asy-Syibly dan Imam Junaid Al-baghdadi
Rasa cinta di dalam diri adalah sebuah anugerah yang di berikan sang kholiq kepada hambanya. Cinta kepada anak,istri,harta benda dan pangkat adalah sebuah keindahan yang ada di dunia ini, apabila manusia bisa meletakkan perhiasan-perhiasan [dunia seisinya] tepat pada porsinya maka semua perhiasan itu akan memberi cahaya bagi kehidupan. Sebaliknya bila penempatannya bukan pada porsinya, maka semua perhiasan itu sewaktu-waktu membawa bencana dan kehancuran.
Fiman-NYA : “ Dijadikan indah pada [pandangan] manusia KECINTAAN kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,perak,kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah semua PERHIASAN DUNIA, dan di sisi Allah-lah tempat kembali terbaik.” [ QS.Ali imran [3] : 14 ].
Dalam meletakkan cinta diperlukan kecerdasan ruhani, mereka yang memiliki kecerdasan ruhani memiliki prinsip yang menampilkan sosok dirinya sebagai insan yang berakhlaq, mereka tahu bagaimana meletakkan cinta. Para ahli TASAWUF yaitu ahli sufi [Arif-Billah] berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah dengan lugas mengatakan, “ Mencintai pemilik dan pemberi hiasan jauh lebih mulia dan jauh lebih berharga dibanding mencintai sekedar hiasan saja “. Ungkapan tersebut berlandaskan Firman Allah Swt :
قل متا ع الد نيا قليل والا خرة خير لمن اتقى ولا تظممو ن فتيلا انساء
“ Katakanlah olehmu [Hai Muhammad] : Hiasan dunia ini hanya sebentar
[terlalu sedikit] dan [perhiasan Akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertaqwa “. [qs.An-Nisa’ [4] : 77 ] Alkisah,seorang sufi dari PERSIA yang bernama Abu bakar bin Dulaf ibnu juhdar Asy-Syibly. Nama asy-syibli di nisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Beliau di lahirkan pada Tahun 247 H. Di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. karena kepandaian dan kedalaman ilmunya membuat karirnya menanjak pesat, ia menduduki beberapa jabatan
Penting selama bertahun – tahun. Antara lain : menjabat sebagai Gubernur di Provinsi Dermaven. Bersama dengan seorang pejabat baru, Abu bakar Asy-Syibly di lantik oleh Kholifah dan secara resmi dikenakan seperangkat jubah pada dirinya. Setelah pulang, ditengah jalan pejabat baru itu bersin dan batuk –batuk seraya mengusapkan jubah baru itu kehidung dan mulutnya. Perbuatan pejabat tersebut dilaporkan kepada Kholifah. Dan Kholifahpun memecat langsung dan menghukumnya. Asy-Syibly pun terheran-heran, mengapa hanya karena jubah seseorang bisa di berhentikan dari jabatannya dan dihukum. Tak ayal, peristiwa ini membuatnya merenung selama berhari-hari. Ia kemudian menghadap Kholifah dan berkata :
“ Wahai Kholifah, Engkau sebagai manusia tidak suka bila jubah jabatan di perlakukan secara tidak wajar. Semua orang mengetahui betapa tinggi nilai jubah itu. Sang MahaRaja alam semesta telah menganugerahkan jubah kepadaku di samping CINTA dan PENGETAHUAN. Bagaimana DIA akan suka kepadaku jika aku menggunakannya sebagai sapu tangan dalam pengabdianku pada manusia ? “.
Sejak saat itu Abu bakar asy syibly meninggalkan karir dan jabatannya, dan ia ingin bertaubat. Dalam perjalan membersihkan hatinya ia bertemu dengan seorang ulama sufi yang bernama Junaid Al Baghdadi,
asy syibly berkata : “ ENGKAU DIKATAKAN SEBAGAI PENJUAL MUTIARA, MAKA BERILAH AKU SATU ATAU JUALLAH KEPADAKU SEBUTIR “.
Maka Junaid Al Baghdadi pu menjawab, “ JIKA KUJUAL KEPADAMU, ENGKAU TIDAK SANGGUP MEMBELINYA. JIKA KUBERIKAN KEPADAMU SECARA CUMA-CUMA, KARENA BEGITU MUDAH MENDAPATKANNYA ENGKAU TIDAK MENYADARI BETAPA TINGGI NILAINYA. LAKUKANLAH APA YANG AKU LAKUKAN, BENAMKANLAH DULU KEPALAMU DI LAUTAN, APABILA ENGKAU DAPAT MENUNGGU DENGAN SABAR, NISCAYA KAMU AKAN MENDAPAT MUTIARAMU SENDIRI. “
Lalu Asy-syibli berkata, “ lalu apa yang harus kulakukan sekarang ? ” ,
Imam Junaid Berkata : hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun [ untuk mengetahui nilai diri ] dan Mengemislah lalu sedekahkan uangnya selama setahun [ untuk membersihkan keangkuhan diri ] .“
Beberapa tahun telah berlalu dalam menjalani perintah sang Guru meskipun penuh dengan beribu-ribu kesulitan tapi ia jalani dengan penuh cinta [ikhlash] . akhirnya abu bakar asy-syibli menemukan mutiara di dalam dirinya. sehingga ia mengalami RASA CINTA yang teramat dalam di lubuk hatinya [ rindu kepada Allah ]. Suatu ketika disaksikan banyak orang, beliau berlari sambil membawa obor. Hendak kemana engkau wahai asy-syibli? , aku hendak membakar ka’bah, sehingga orang-orang dapat mengabdi kepada yang memiliki ka’bah dan akan aku BAKAR SURGA DAN NERAKA,sehingga manusia benar-benar ibadah hanya kepada Allah Swt [bukan yang lain-NYA]. Dalam keadaan MABUK CINTA yang dalam kepada Allah, ia selalu menyebut asma Alaah dan disetiap tempat yang ia temui, ia menuliskan lafadz Allah. Tiba-tiba sebuah suara berkata kepadanya,” Sampai kapan engkau akan terus berkutat dengan nama itu? Jika engkau merupakan pencari sejati, carilah pemiliknya! “
Kata-kata itu begitu menyentak Asy-sybly, sehingga tak ada lagi ketenangan dan kedamaian yang ia rasakan. Betapa kuatnya RASA CINTA yang menguasainya hingga ia menceburkan dirinya ke sungai Tigris dan akhirnya gelombang sungai membawanya kembali ketepi. Kemudian ia menghempaskan tubuhnya kedalam api, namun api tersebut kehilangan daya untuk membakar. Sehingga tubuhnya utuh tak terbakar sedikitpun. Lalu ia mencari tempat dimana sekelompok singa berkumpul lalu ia berdiam diri supaya dimangsa oleh singa tersebut, tapi singa-singa itu malah berlari tunggang langgang menjahui dirinya. Kemudian tanpa ada rasa takut sedikitpun ia terjun bebas dari puncak gunung, namun angin mencengkeram dan menurunkannya ketanah dengan selamat. Kegelisahannya semakain memuncak beribu-ribu kali lipat, sehingga ia berteriak,” terkutuklahia, yang tidak di terima oleh air maupun api, yang ditolak oleh binatang buas dan pegunungan! “ lalu terdengar sebuah suara. “ Ia yang diterima oleh Allah, tidak di terima oleh yang lain [makhluk-NYA].
Syeikh Al-ghozali menuliskan dalam kitabnya “ Raudhah al-Tholibin wa Umdah al-Salikin “ bahwa Al – Wushul adalh tersibaknya keindahan Al Haq kepada hamba,sehingga membuatnya luruh di dalamNYA. Jika dia melihat pengetahuan yang di milikinya, yang tampak hanyalah Allah swt, dan dia melihat ‘Himmah’ [keinginan kuat]nya,tidak ada Himmah selainNYA. Maka secara totalitas dia sibuk dengan kesaksian [ al-Musyahadah] dan keinginan kuat [Himmah]. Dan sama sekali tidak pernah berpaling dari keduanya, sampai-sampai dia tidak memiliki kesempatan untuk membenahi lahiriyahnya dalam bentuk-bentuk ibadah atau tidak sempat melihat batinnya. Baginya segala sesuatu yang di kerjakannya tampak suci. Sebagian kaum sufi mengatakan :
وان طر فى موصول برء يته وان تبا عد عن مثواى مثوا ه
“ Sesungguhnya batas akhirku adalah dengan melihatNYA,sekalipun aksis [posisi]-NYA kian lama kian jauh dari aksis-ku. Dalam hal ini Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an, firmanNYA :
قل ان كنتم تحبو ن الله فاتبعو نى
يحببكم الله ويغفرلكم د نو بكم والله غفو ررحيم العمران
“ Katakanlah: “ jika kamu[benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku.
niscayaAllah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” Allah Maha pengampun
lagi Maha penyayang.” [ qs.Ali imran [3] : 31 ]. Imam Qusyairi mengatakan bahwa Mahabbah [cinta] adalah nikmat yang berupa kecintaan Allah kepada hambaNYA yang DIA kehendaki secara khusus. Apabila nikmat tersebut untuk semua hambaNYA secara umum maka di namakan rahmat.
GAMBARAN CINTA AHLI MAHABBAH
Raja Andalusia, Al-Hikam bin Hisyam bin Abdurrahman Ad-Dakhil, bersyair : karena cinta……. Ia menjadi hamba, padahal sebelumnya ia adalah raja. Kegirangan istana tiada lagi menyertai. Ia dipuncak gunung menyendiri sendiri pipi tertempel di tanah berdebu. Seakan bantal-bantal sutra untuk bertumpu. Begitulah kehinaan menimpa orang merdeka. Jika cinta melanda, ia laksana hamba sahaya.
Junaid al-baghdadi, mengartikan kata yang bernilai sufistik ini dengan masuknya sifat-sifat Zat yang di cintai mengganti apa yang ada di dalam jiwa sang pencinta, mendorong seorang pencinta untuk tidak mengingat selain Zat tersebut serta melupakan dan mencampakkan secara total sifat-sifat yang dulunya melekat pada dirinya.
Ibnu Arabi dalam puisi-puisi pemandu rindu mengisahkan manakala jiwa berpisah dengan raga, ia selalu bernostalgia dan rindu pada perpaduan itu, meskipun pada hakekatnya mereka berdua, namun tampak sebagai satu pribadi. Kerinduan itu tidak lain karena jiwa memperoleh pengetahuan dan apa saja yang ada dalam kehidupan melalui raga. Namun,karena sifat jiwa yang halus,lembut dan bersifat cahaya, maka tidak dapat di lihat oleh mata. Bila tidak karena rintihan raga, maka takkan pernah terasa kesaksian jiwa. Inilah gambaran jiwa ataupun keadaan hati.
Syeikh Ibnu Atho’illah bermunajat, “ Ya illahi, alam benda ini telah mendorong aku untuk pergi kepada-MU dan pengetahuanku terhadap kemurahan-MU itulah yang memberhentikan aku untuk berdiri di depan pintu-MU.
Rabi’ah al-adawiyah seorang sufi dari Bashrah ketika berziarah kemakam Rosulullah saw pernah mengatakan Maafkan aku ya Rosul, bukan aku tidak mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang
Lain,karena telah penuh cintaku hanya kepada Allah swt .“ tentang cinta itu sendiri Rabi’ah mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal yang di cintainya [ bukan berarti Rabi’ah tidak cinta kepada Rosul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada Allah adalh bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasulullah ].
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Saiyidina Husain [cucu Rosulullah saw] bertanya kepada ayahnya [saiyidina Ali], “ apakah engkau mencintai Allah ? Ali menjawab, “ ya”. Lalu Husain bertanya lagi, “apakah engkau mencintai kakek dari ibu?” Ali menjawab kembali,”ya”. Husain bertanya lagi, “ apakah engakau mencintai aku dan ibuku? Ali menjawab “ya”. Terakhir, Husain yang polos itu bertanya,” Ayahku,bagaimana Engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?” kemudian saiyidina Ali menjelaskan,”Anakku, pertanyaanmu hebat sekali! Cintaku pada kakek dari ibumu, ibumu dan kamu sendiri adalah karena cinta kepada Allah swt. Setelah mendengar jawaban dari ayahnya Husain jadi tersenyum ngerti.
Rumusan cinta Rabi’ah termaktub dalam do’anya, “ Ya Allah, jika aku menyembah-MU karena takut neraka maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembahmu berharap surga, maka campakkanlah aku dari sana, tapi jika aku menyembah- MU karena Engkau semata, maka janganlah Engkau sembunyikan keindahan-MU yang abadi. “ dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman :
ومن الناس من يتخد من دو ن الله اندادا تحبو نهم كحب الله والدين امنو اشد حبا الله البقراه
“ Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada
Allah swt.[ hatinya tertutup untuk mencintai selain-NYA].” [qs. Al
baqarah [2] : 165 ] Demikianlah sekelumit sejarah para pecinta Allah swt yang perjalanannya begitu menyayat jiwa, penuh onak dan duri dalam setiap langkahnya tapi tidak menyurutkan keinginan besarnya untuk bertemu dengan-NYA. para KEKASIH ALLAH SWT jiwanya terjaga dari hal-hal yang dapat menyeret keimanannya, dengan ilmu pengetahuannya yang merasuk di dalam dada mengkristal bagaikan batu karang. Para KEKASIH Allah musuhnya tak terkira banyaknya dan sahabatnya hanya sedikit. Itulah SUNNATULLAH.
Cepat susul barisan mereka mumpung masih ada kesempatan, renungkanlah firman Allah swt di bawah ini :
قل ان كا ن ابااؤ كم وابنا ؤكم واخوا
نكم وازوا جكم وعشيرتكم واموال اقتر فتموها وتجا رة تخشون كسا دها ومسكن
ترضونها احب اليكم من الله ورسوله وجها د فى سبيله فتربصوا حتى ياء تي الله
بامره والله لا يهدى القوم الفسقين اتوبه
“ katakanlah : jika bapak –bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu,
istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu kwatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan
RosulNYA dari jihad di jalan NYA [ mencari keridhoan-NYA]. Maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNYA. Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. “ [ qs. At-Taubah [9] : 24 ].“ katakanlah : “ jika bapak-bapakmu, anak-anakmu,saudara-saudaramu ,istri-istri kaum keluargamu , harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu kuwatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rosul-NYA dari jihad di jalan-NYA [mencari keridhoan-NYA]. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-NYA. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. “ [qs. At-Taubah [9] : 24].
Amalan Imam Al-Junaid Al-Baghdadi sebelum Wafat
Imam
Al-Junaid sebelum wafat, tetap beristiqamah melaksanakan ibadah
meskipun dalam keadaan susah payah. Di hari Jumaat, di hari wafatnya,
Imam Al-Junaid masih berusaha untuk membaca Al-Qur'an, hingga para
sahabat beliau termasuk Abu Muhammad Al-Jurair merasa kasihan, dan
menyampaikan kepada Al Junaid, "Kasihanilah dirimu sendiri". Imam
Al-Junaid pun menjawab, "Aku tidak melihat orang yang lebih memerlukan
Al-Qur'an lebih daripada diriku untuk saat ini. Ia lah yang memenuhi
lembaran amalanku.
Di
saat hendak wafat, Imam Al-Junaid juga berusaha untuk melaksanakan
solat dengan duduk, sedangkan kedua kaki beliau bengkak. Melihat betapa
susahnya beliau melakukan gerakan solat, para sahabat beliau pun
menyampaikan, "Ada apa ini wahai Abu Qasim?!" Imam Al-Junaid pun
menjawab, "Ini adalah nikmat dari Allah, Allahu Akbar ..."
Setelah
selesai Shalat, Abu Muhammad Al-Jurair menyampaikan, "Anda boleh
melakukannya dengan berbaring." Imam Al-Junaid pun menjawab, "Wahai Abu
Muhammad, ini adalah waktu mempertanggungjawabkannya."
Saat
Ibnu Atha', sahabat Al-Junaid datang dan mengucapkan salam, Imam
Al-Junaid tidak langsung menjawabnya, melainkan beberapa saat selepas
itu. Kemudian beliau menyampaikan, "Maafkan aku, tadi aku sedang membaca
wiridku." Kemudian beliau menghadapkan wajah ke kiblat kemudian wafat.
-- al-Fatihah --
Di
waktu sebelum wafat, Imam Al-Junaid telah menghatamkan bacaan Al-Qur'an
kemudian memulakan lagi membaca Surah Al-Baqarah hingga 70 ayat.
(Lihat, Ath Thabaqat Al Auliya, hal. 134)