Suluk Wujil ~ Sunan Bonang
Ratu Wahdat
Adalah
Sang Wujil Kinasih namanya, ia berkata pada sang Panembahan Ratu Wahdat. Ia
bersujud pada telapak kaki sang Maha dwija, yang tinggal di Bonang [Tuban]
seraya memohon maaf, sebab ingin diwejang tentang seluk beluk agama yang
terpilih sampai ke sir [rahasia] yang se dalam-dalamnya.
Sepuluh
tahun lamanya Wujil berguru, belum mendapatkan pelajaran yang penting. Adapun
Wujil berasal dari Majapahit, sebagai kinasih sang Raja. Pelajaran
Paramasastra, Sastra Arab semua telah dikuasainya dengan baik. Karena tidak
diberi pelajaran yang penting, maka Wujil pergi sekehendak hatinya. Setiap
harinya bermain topeng sampai bosan, bertingkah laku seorang badut yang menjadi
tumpuan olok-olok.
Sang
Wujil Kinasih dengan sungguh-sungguh memohon belas kasih Sunan Bonang dengan
menyerahkan hidup dan matinya. “ duh sang Mahamuni, hamba mohon diberi
penjelasan tentang ajaran rahasia huruf tunggal menurut paham pangiwa dan
panengen, karena masih ada dalam tatanan gending dan syair. Hamba tidak membawa
hasil dan senantiasa meninggalkan kecintaan saya kepada Majapahit dan
mengembara mengikuti kehendak hati. Oleh karena itu, pada suatu malam hamba
pergi untuk mencari rahasia tentang kesatuan , kesempurnaan dalam semua tingkah
laku. Hamba datangi orang suci , mencari intisari panguripan, titik akhir dari
kekuasaan yang sebenarnya. Titik akhir dari utara selatan, terbenamnya matahari
dan bulan, tertutupnya mata dan keadaan akhir kematian. Titik akhir dari ada
dan tiada.”
Panembahan
Wahdat menjawab sambil tersenyum;” Wahai Wujil Kinasih, betapa kau sungguh
gegabah, berkata yang bukan-bukan, terlalu berani, hatimu ingin menagih karena
besarnya jasamu yang telah diberikan”
Tidak
layak aku disebut sebagai orang suci di dunia, bilamana menjual ajaran membeli
ajaran kitab, lebih baik aku jangan dipanggil ahli Wahdat.
Barangsiapa
menjual belikan ilmu, bersikap sombong, seolah-olah tahu segala sesuatu, orang
tersebut diibaratkan seperti burung bangau yang sedang bertapa di atas air.
Diam tidak bergerak, pandangannya tajam, berpura-pura alim melihat mangsanya,
seperti telur yang tampak putih diluar, di dalamnya bercampur merah.
Sang
Wujil Kinasih membuat api unggun dibawah pertapaan sang Dwijatama, di ujung
tepi laut sebuah desa yang bernama Bonang. Tempatnya sunyi senyap, tidak ada
buah-buahan yang dapat dimakan.
“Wujil,
muridku, kemarilah segera.”
Sang
Panembahan Wahdat memegang kucirnya seraya diusap-usap “ dengarlah kata-kata
rahasiaku ini, kalaupun dari kata-kataku engkau masuk ke Neraka, saya sendiri
yang akan dimasukkan ke dalamnya, bukan engkau!” Wujil Kinasih berkata sambil
bersembah dengan takzim ” Jangan paduka guru, lebih baik hamba Wujil Kinasih
ini yang masuk ke Neraka”.
“Peringatanku
Wujil, berhati-hatilah dalam hidup ini, jangan lengah, jangan sembrana dam
mengambil tindakan. Man Arofa Nafsahu Faqod Arofa Rabbahu [barang siapa yang
mampu mengenali diri sendiri, semata-mata dia mengenal Gusti Allah”
“
Ketahuilah kesejatian Salat itu, bukan Maghrib atau Isa’, itu hanya dapat
disebut sembahyang, kalau pun disebut Salat itu, karena bunganya Salat Daim dan
merupakan Tata krama.”
Wujil
Kinasih, mendengarkan sambil menundukkan kepala dengan khidmat.
Kemudian Panembahan Wahdat melanjutkan “ Jangan menyembah, bilamana tidak diketahui siapa yang disembah. Akibatnya akan direndahkan martabatmu. Seperti menulup seekor burung, peluru kau hambur-hamburkan, burungnya tidak kena. Akhirnya menyembah Adam Sarpin sembahnya sia-sia.”
Kemudian Panembahan Wahdat melanjutkan “ Jangan menyembah, bilamana tidak diketahui siapa yang disembah. Akibatnya akan direndahkan martabatmu. Seperti menulup seekor burung, peluru kau hambur-hamburkan, burungnya tidak kena. Akhirnya menyembah Adam Sarpin sembahnya sia-sia.”
Wujil
Kinasih masih belum dapat menangkap dengan jelas, tetapi dengan takzim, mendengarkan
wejangan gurunya.
“adapun
puja atau pujian itu meski siang dan malam memuja kalau tidak disertai petunjuk
tidak akan sempurna. Ketahuilah yang disebut puja itu keluar masuknya nafas.
Dan juga anasir yang empat perkara [ tanah, air, api dan angin].
Dahulu kala ketika ‘ada’ diciptakan, adapun sifatnya ada empat hal yakni kahar, jalal, jamal dam kamil]. Delapan sifat itu dalam badan manusia keluar-masuk. Jika keluar kemana arahnya, jika masuk dimana tempatnya.
Tua dan muda itu sifat bumi, jika tua dimanakah mudanya, jika muda dimana tuanya.
Sifat air itu Hidup-mati, bilamana hidup dimana matinya, jika mati dimana hidupnya.
Sifat Api itu kuat-lemah, jika kuat dimana letak lemahnya, namun apabila lemah dimana letak kuatnya.
Yang keempat sifat Angin yaitu ada-tiada. Jika ada dimana tidak adanya, dan ketika tidak ada dimana adanya.”
Dahulu kala ketika ‘ada’ diciptakan, adapun sifatnya ada empat hal yakni kahar, jalal, jamal dam kamil]. Delapan sifat itu dalam badan manusia keluar-masuk. Jika keluar kemana arahnya, jika masuk dimana tempatnya.
Tua dan muda itu sifat bumi, jika tua dimanakah mudanya, jika muda dimana tuanya.
Sifat air itu Hidup-mati, bilamana hidup dimana matinya, jika mati dimana hidupnya.
Sifat Api itu kuat-lemah, jika kuat dimana letak lemahnya, namun apabila lemah dimana letak kuatnya.
Yang keempat sifat Angin yaitu ada-tiada. Jika ada dimana tidak adanya, dan ketika tidak ada dimana adanya.”
Kau
akan tersesat apabila tidak mengetahuinya, ketahuilah pegangan hidup adalah
mengetahui akan dirinya sendiri, dan tiada hentinya memujiNya. Dimana letak doa
dan tujuan doa jangan sampai engkau tidak mengetahuinya.
Hidup
yang sejati itu bagaikan burung, sesaat terbang jauh, hinggap di dahan sebentar
dan terbang lagi, bilamana engkau ingin mengetahui kesejatian dirimu, maka
perbaikilah dirimu. Tinggalah di suatu tempat yang sepi, jangan terpengaruh
dari keramaian dunia. Jangan jauh-jauh engkau mencari Guru, karena Guru sejati
ada di dalam dirimu. Rusaknya dirimu bukan karena orang lain, tetapi karena
kehendakmu sendiri.
Kenalilah dirimu sendiri
Kenalilah dirimu sendiri
“Wujil,
sebelum kau mencari sangkan paraning dumadi, maka kenalilah dirimu sendiri,
yaitu seperti melihat, badan yang terlentang. Perhatikanlah segala bentuk
kekuranganmu, dan kekuranganmu itulah yang selalu diingat terus menerus.”
Wujil
Kinasih telah mampu mengenali dirinya sendiri, dia telah mengenali TuhanNya. Ia
Tidak berbicara, bila tidak ada rahasia yang diajarkannya. Dalam lalakunya, ia
mencari kasunyataning ngaurip, sungguh-sungguh mencari diri sendiri. Ucapannya
tidak pernah menyimpang dari kesucian, tidak penah berbohong.
“
Keadaan Tuhan , jelas tidak sama dengan dengan keadaan manusia, oleh sebab itu
Sucikanlah TuhanMu itu. jika ada orang yang mengaku tahu tentang TuhanNya,
tetapi perilakunya tidak sesuai, tidak mematuhi ajaran pengendalian Nafsu,
mengesampingkan kehidupan yang saleh, maka sebenarnya dia seperti mengambil
sesuatu benda dalam kegelapan. Orang yang benar-benar mengetahui Tuhannya, dia
mampu mengekang hawa nafsunya, siang malam memelihara penglihatannya, tidak
pernah tidur.”
“Itulah
sebagai laku dasarnya, wahai Wujil Kinasih, supaya dapat mematikan hawa nafsu,
jangan hanya mendengar saja, berjuanglah dengan sungguh-sungguh dalam jalan
kesucian, satukan kehendak dan keyakinan.”
“
Penglihatan manusia itu terbatas, maka tidak mampu melihatNya, Dia tidak akan
tampak, karena memang tidak berbentuk , tetapi Dia tetap ada. Dia tidak maqom
[tiada menempati ruang tertentu]. Bila orang berhenti melihat, malahan
mempunyai penglihatan yang sejati, yang sempurna. Melihat semua ciptaanNya yang
nampak, maka sesungguhnya melihat wujud yang Sejati.”
“
Wujil, SEBAB itu tiada bedanya, karena tertutup oleh gerakan-gerakan
[kehidupan], bedanya bukan dari sumbernya. Membicarakan yang SEBAB tidak akan ada habis-habisnya. KitabNya itu bagaikan burung perkutut yang Unggul.
Sekalipun dibicarakan siang malam tanpa henti, jika tidak disertai dengan
ajaran yang bijak, tetap tidak ada manfaatnya. Lebih baik orang diam saja”
“hendaklah
kau tahu hakikat diam dan berbicara. Bila engkau tidak tahu, itu tidak ada
gunanya. Diam artinya tidak ada isinya bilamana berbicara, jika berbicara
jangan keras [menyakitkan]. Burung di pohon kanigara berteriak, itulah
perumpaannya, tidak ada artinya. Bilamana menyangkut tentang kawruh sinandi,
jangan berbuat seperti orang yang dapat berbicara.”
“apa
gunanya bentuk, bagi orang yang berjaga di malam hari dengan orang yang sudah
buta matanya? Keduanya sama saja tidak ada manfaatnya , bilamana tidak dituntun
untuk melihat kebenaran yang sesungguhnya, bagaimana mungkin bisa tahu dengan
sendirinya, bagaimana bisa melihat diri sendiri.”
“Sembah dan puji, sebaiknya kau ketahui. Sembah itu bermacam-macam, kata orang bijak; ada orang yang memuji dalam sekejap saja, bilamana tahu sasarannya, dalam energy positif, maka sama saja orang itu melakukan sembahyang seratus tahun. “
“Sembah dan puji, sebaiknya kau ketahui. Sembah itu bermacam-macam, kata orang bijak; ada orang yang memuji dalam sekejap saja, bilamana tahu sasarannya, dalam energy positif, maka sama saja orang itu melakukan sembahyang seratus tahun. “
“
Adapula orang yang memuji terus menerus siang dan malam tidak mengenal waktu,
bagaikan sembahyang enam puluh tahun. Yaitu orang yang sudah sempurna raganya
[tidak terikat oleh kepentingan jasmaniah] perilakunya dapat menjadi contoh,
bukan seperti burung bangau.”
“
Orang yang melakukan sembah dan puji di siang dan malam hari, dengan pengaruh
kebaikan dan mengikuti petunjuk, sama saja bersembahyang selama dua belas
tahun.”
“
Wujil, yang dinamakan Tafakur itu, bila dalam keadaan diam, dia tahu kemana
arahnya. Orang yang diam itu lebih baik, itulah sembahyang tanpa putus tanpa
terikat oleh waktu. Sempurnalah orang itu, tubuhnya tidak ada yang tertinggal ,
bahkan termasuk kotoran dan air kencingnya.
Hakikat niat
Hakikat niat
Wujil
Kinasih, bertanya ;” apakah hakekat perbuatan baik, itu ?”
Panembahan
Wahdat menjawab “ Wujil Kinasih, perbuatan itu hakikatnya dikerjakan. Bilamana
perbuatan itu tidak dikerjakan bagaimana akan dapat diselesaikan?
Yang tidak lupa mengerjakan kebaikan, itu artinya sudah mendapatkan anugerah dari Tuhan. Dan siapa yang tidak mengerjakan kebaikan, artinya dia telah menunjukkan dosanya, maka yang akan diterima adalah kemalangan, kesengsaraan.”
Yang tidak lupa mengerjakan kebaikan, itu artinya sudah mendapatkan anugerah dari Tuhan. Dan siapa yang tidak mengerjakan kebaikan, artinya dia telah menunjukkan dosanya, maka yang akan diterima adalah kemalangan, kesengsaraan.”
“
apakah yang dimaksud dengan hakikat NIAT, guru?”
Panembahan
Wahdat , menjawab” hakikat niat itu bukan terbatas pada gagasan saja. Yang
menggagas dan menyebut itu bukan niat yang sejati. Tidak mudah yang disebut
dengan Salat, sembahyang dan pujian itu, bilamana tidak tahu akan siapa, yang
menerima tugas.
Siapa, yang mendapat denda dengan hal-hal yang bersifat kasar seperti hukuman denda, hukuman cambuk, hukuman mati. Maka orang ramai mempertengkarkannya.”
Siapa, yang mendapat denda dengan hal-hal yang bersifat kasar seperti hukuman denda, hukuman cambuk, hukuman mati. Maka orang ramai mempertengkarkannya.”
“
sembahyang yang sejati dan sejatinya sembahyang itu, tidak mengenal waktu,
semua tingkah lakunya itu ibadah, kebaktian, puji, sembah. Sampai pada air
sesucinya, kotorannya dan bahkan air kencingnya pun menjadi sembah. Itulah yang
disebut dengan hakikat NIAT yang sejati.”
“
NIAT itu penting bahkan lebih penting dari perbuatan yang banyak, NIAT itu bukan
bahasa, juga bukan suara. NIAT adalah suatu energy untuk melakukan suatu
tindakan, yang terungkap di dalam pikirannya. Sebenarnya NIAT itu bukan niatnya
yang di dalam pikiran. Melainkan NIAT untuk melakukan tindakan yang terungkap.
NIAT sembahyang tidak ada bedanya dengan NIAT merampok. Yang berbeda adalah
SEMBAHYANG dan MERAMPOK.”
“
sebabnya orang menjadi sirik kafir karena dikafirkan oleh aturan, karena mereka
mengandalkan segala kepandaiannya berpegang teguh pada untaian kata-katanya,
yang kemudian digunakan utntuk saling meyakinkan orang lain.
Setelah melakukan sembahyang maghrib, mereka ramai saling bertengkar mulut, akhirnya berubah menjadi saling memukul dengan menggunakan baju masing-masing, sehingga ikat kepalanya terlepas. Bertengkar di dalam masjid, akhirnya saling marah dengan memegang teguh bunyi tulisan dan bersembahyang sendiri-sendiri.
Ini karena mereka tidak mengetahui hakikat NIAT. Mereka katanya sudah berniat, ada pula yang mencari NIAT, tetapi tidak tahu jalannya.”
Setelah melakukan sembahyang maghrib, mereka ramai saling bertengkar mulut, akhirnya berubah menjadi saling memukul dengan menggunakan baju masing-masing, sehingga ikat kepalanya terlepas. Bertengkar di dalam masjid, akhirnya saling marah dengan memegang teguh bunyi tulisan dan bersembahyang sendiri-sendiri.
Ini karena mereka tidak mengetahui hakikat NIAT. Mereka katanya sudah berniat, ada pula yang mencari NIAT, tetapi tidak tahu jalannya.”
“
Wujil , hendaklah engkau mengekang hawa nafsumu, bilamana sudah kau ikat,
jangan kau terlalu banyak bicara, jangan terlalu memaksakan kehendak, apalagi
menuruti kehendak pribadi. Itulah jalan yang sesat, yang hanya mengandalkan
pendapat pribadi.”
Tujuan orang beribadah
Tujuan orang beribadah
“
guru, apakah yang dimaksud dengan manunggaling kawula lan Gusti, itu?” Wujil
bertanya.
‘
wahai Wujil dalam kehidupan ini sukar untuk mati, selagi orang tersebut masih
hidup jarang orang yang mencapainya. Mati merupakan tujuan orang yang
beribadah, orang yang berbakti. tiada lagi hitung menghitung, sebab kembali
kepada asalnya.”
“Bilamana
masih memperhitungkan sesuatu tentu engkau tidak akan menemukan apa yang kau idamkan.
Bilamana engkau ingin menemukannya, maka hilangkan dahulu nafsu-nafsumu. “
“Bilamana
engkau sudah menemukannya, maka engkau akan menemukan kesamaan, kemauan
manunggal dengan kehendak. Tunggal wujud beda nama, tunggal kehendak berlainan
wujud, segalanya manunggal.”
“Setelah
manunggal serta setia dalam mati dan hidup, tiada larangan perihal sandang
pangan. Semua kehendaknya manunggal dengan kehendakNya.”
“
orang yang dikasihi tidak boleh memilih atau membagi, itulah tanda
kehendak-Nya. Orang yang masih memilih dan membagi adalah orang yang berada di
luar, tidak akan tahu apa yang ada di dalamnya.”
“Sembahnya
hanya disebarkan tanpa arah, sebab tidak tahu yang ada di dalam Puri. Hanya
mendengar saja, maka yang diperhatikan keratonnya, janganlah engkau hanya
mendengar beritanya saja, berita itu sesungguhnya menyesatkan, bila engkau
salah mengerti.”
Niken
Satpada kemudian diperintahkan untuk mengambil cermin, setelah cermin dibawa
menghadap Guru kemudian di sandarkan pada pohon kayu ‘wungu’.
“
Wujil dan Satpada, kalian bercerminlah disitu.” Kedua orang itu bergegas ada di depan cermin, yang tinggi dan lebarnya melebihi badan keduanya. Setelah Wujil
berada di depan cermin, WUjil kelihatan seperti anak-anak yang berwajah jeruk
wangi, karena sudah tua.
“
wahai Wujil kau yang berdiri, aku bersila saja “ kata si Satpada.
“
kalian berdua, lihat baik-baik, disitu ada dua bayangan yang selalu bersatu
kehendak.” Kata sang Panembahan Wahdat.
“
Wujil, kehendakku dan kehendakmu, dimana bersatunya” sela satpada .
“
Engkau dan aku adalah laki-laki dan wanita , dimana bersatunya” sahut Wujil.
“
tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan bersatu di dalam cermin,
seperti layaknya laki-laki dan perempuan yang dipersatukan diatas ranjang.”
Jawab sang Panembahan.
Satpada
masih belum dapat menangkap arti dari manunggalnya Gusti dan kawula.
Wujil
juga keliru pendapatnya “laki-laki dan wanita tidak ada bedanya yang ada dalam
cermin, wujudnya satu. Laki-laki dan wanita kalau sudah ada dalam cermin ,
tidak lagi dikatakan laki-laki atau wanita, karena itu adalah rasa tunggal.”
Satpada
menyahut” perkataan Wujil mulai menyerempet-serempet tentang hal asmara.”
Wujil
cepat menyahut ” aku tidak bermaksud seperti itu. engkau salah paham Satpada.”
Panembahan
Wahdat tersenyum dan menjelaskan; ” Wujil, kau diamlah dan perhatikan wujud yang
ada dalam cermin itu, datang dan perginya wujud itu. wujud yang di dalam cermin
itu, bilamana datang dari mana tempatnya, dan ketika wujud itu pergi, kemana
arah perginya. Nah coba Wujil, kau pergilah ke belakang cermin. “ Wujil
mengikuti perintah Gurunya.
“Satpada,
perhatikan dua rupa itu. sekarang pertanyaanku, dimana rupa sang Wujil yang
tadi ada di dalam cermin itu?” kata sang Guru. “ yang ditanya kebingungan, dan
berkata “ Betul Guru, hanya ada satu wujud, yaitu rupaku saja. Meskipun Wujil
ada dibelakang cermin, tidak kelihatan rupanya.”
“
Satpada, sekarang kau pergilah ke tempat sang Wujil Kinasih. Wujil, kau
kesinilah dan berdiri di depan cermin.!” Perintah sang Guru.
Wujil
pun segera bertukar tempat dengan Niken Satpada.
“
nah sekarang ada tidak rupa si Satpada, dalam cermin itu?” tanya sang Guru.
“
tidak ada rupa wanita, Guru, yang ada hanyalah wajahku. Menurut pendapat hamba
yang bodoh, manunggalnya dua kehendak itu ; Tiadanya adalah Ada, dan Adanya
adalah Tiada.” Jawab Wujil.
“
bagaimana penjelasannya pernyataanmu itu, Wujil ?” tanya sang Guru.
“
tidak ada penjelasannya Guru.”
sumber: 1. Suluk Wujil Sunan Bonang
2. Suluk Seh Melaya 3. Serat Pustaka Raja Purwa, 2006, Pura Pustaka Yogyakarta
Sumber : http://www.kompasiana.com
Sumber : http://www.kompasiana.com